Madame Mafia

By Reiinah76

527K 41.1K 13.9K

Carlie Eloise Heston adalah simbol kesempurnaan. Putri dari keluarga bangsawan paling ternama, memiliki salah... More

Madame Mafia
Chapter 1 - Madame Eloise is Absolute
Chapter 2 - Lion's Cage
Chapter 3 - Red Bar
Chapter 4 - First Kill
Chapter 5 - Red is not so Pretty Anymore
Chapter 6 - To Surrend is Never a Choice
Chapter 7 - Brother
Chapter 8 - Third Kill
Chapter 9 - Abducted
Chapter 10 - Alter
Chapter 11 - Paul and Paula
Chapter 12 - Hell Partner
Chapter 13 - Unwritten Agreement
Chapter 14 - Aliance Meeting (1)
Chapter 14 - Aliance Meeting (2)
Chapter 15 - Teaming Up
Chapter 16 - Ian and Carlie
Chapter 17 - Relationshit
Chapter 18 - Marijuana Date (1)
Chapter 18 - Marijuana Date (2)
Chapter 19 - Stella Martin, The Poor Lady
Chapter 20 - I Hate This Party
Chapter 21 - Little promise
Chapter 22 - Aliance Issue
Chapter 23 - Austin and Emerald
Chapter 23.2 - Austin and Emerald
Chapter 24 - The Show
Chapter 25 - Mama
Chapter 26 - Through the Mirror
Chapter 26 - Through the mirror (2)
Chapter 27 - A Letter that Brings Storm
Chapter 28 - Wish (1)
Chapter 28 - Wish (2)
Chapter 29 - Cotton Candy
Chapter 30 - Every Single Thing
Chapter 31 - Present
Chapter 32 - Fishing Net
Chapter 32 - Fishing Net (2)
Chapter 33 - Vow
Chapter 34 - Agreement
Chapter 35 - A Call for Help
Chapter 36 - Liar
Chapter 37 - Hard Choice
Chapter 38 - Odd Combo
Chapter 39 - Rewrite
Chapter 40 - Alive
Chapter 41 - Letter
Madame Mafia 2
MM 2 : Prologue - Every Single Night
MM 2 : Chapter 1 - New Encounter
MM 2 : Chapter 2 - Invitation
MM 2 : Chapter 3 - Left Out
MM 2 : Chapter 4 - Memories
MM 2 : Chapter 5 - Behind The Flames
MM 2 : Chapter 6 - A Killer
MM2 : Chapter 7 - Make Over
MM 2 : Chapter 8 - Different Dream
MM 2 : Chapter 9 - Nightmare
MM 2 : Chapter 11 - Broken Mirror
MM 2 : Chapter 12 - Boxing
MM 2 : Chapter 13 - The Returned
MM 2 : Chapter 14 - I Did Better
MM 2 : Chapter 15 - Thin Thread
MM 2 : Chapter 16 - Bloody Dream
MM 2 : Chapter 17 - Guns
MM 2 : Chapter 18 - About You And Only You
MM 2 : Chapter 19 - Radomir Volkov
MM 2 : Chapter 20 - Forgive Me
MM 2 : Chapter 21 - Dance Partner
MM 2 : Chapter 22 - One Condition
MM 2 : Chapter 23 - Car Crash
MM 2 : Chapter 24 - Switch
MM 2 : Chapter 25 - For Her
MM 2 : Chapter 26 - Confession
MM 2 : Chapter 27 - From Today
MM 2 : Chapter 28 - Kiss
MM 2 : Chapter 29 - Father
MM 2 : Bonus Part

MM 2 : Chapter 10 - Who was his name?

3.3K 311 160
By Reiinah76

Hi Semuanya! Welcome Back To Madame Mafia!

Sebelum mulai seperti biasa....

Bonus : 150 komen

Kalau komennya lebih dari segitu, aku updatenya sehari lebih cepet dari tanggal update biasa, okei?

Jangan lupa vote dulu, yuk!

Happy reading!

~~~ 

Dua pekan yang dia habiskan bersama Carlie, mungkin 2 pekan paling bahagia di kehidupan yang Jona ingat. Carlie bertemu dengan Arnette, terkejut membayangkan Jona dekat dengan anak kecil. Kini suara Jona tidak begitu ramah lagi, alhasil membuat Arnette sedikit ketakutan kepadanya. Namun sekalipun begitu, Jona tidak terlalu merasa buruk. Sangat aneh, rasanya tiba-tiba, dia malas berurusan dengan anak kecil kembali.

Terkadang dia bangun dengan mimpi-mimpi lamanya. Pemutaran banyak kejadian yang mulai diingat satu per satu. Dalam satu atau dua minggu, 3 malam dia akan terbangun oleh mimpinya. Kebanyakan tidak sampai ikut membangunkan Carlie, namun beberapa kali wanita itu melek melihat Jona terengah sendiri di kasurnya. Dan setelahnya mereka akan kembali tertidur bersama. Dilingkup kehangatan dan kebersamaan yang mesra.

Ibu Carlie pulang lebih dulu dengan dalih kalau Carlie memiliki banyak kolega yang harus dia temui. Padahal dia hanya menemui Jona seorang, 2 minggu lamanya. Dan sosoknya sebagai guru "Austin" membuat Jona mulai terbiasa dengan perannya. Tidak, bahkan dia kian lama kian kembali menjadi Jona yang lama. Seakan bukan lagi berperan, namun sifat dingin dan pendiamnya, menjadi dirinya yang nyata, mulai saat itu.

Namun sayangnya, 2 minggu terasa terlalu cepat. Dan hanya 2 pekan lamanya Carlie bisa bepergian tanpa dikejar pekerjaan. Niat awalnya adalah untuk kembali ke Paris bersama Jona, namun pria itu mengatakan kalau dia memiliki sebuah urusan ke negara lain lebih dulu, jadi mereka harus pisah penerbangan. Berengut di wajah Carlie ketika mendengarnya begitu menggemaskan, Jona rasanya ingin menciuminya sampai Carlie muak. Namun dia menahan diri dan berakhir mencubit saja hidung mancung wanita jelita itu.

Dan setelah 2 pekan penuh kebahagiaan, lagi-lagi mereka berpisah. Hanya untuk beberapa hari.

Lorong-lorong panjang yang menuju sebuah paviliun, jauh di pedalaman Negara Russia, Kota Batayska, terasa dingin nan sejuk. Kota ini yang tidak diisi banyak rakyat, bisa menjadi tempat penyembuhan yang damai nan asiri. Memberi ketenangan yang cukup untuk menghabiskan hari-hari tua, apalagi sakit-sakitan. Jona pergi kemari minimal setahun sekali, untuk menjenguk seseorang yang sangat dia sayangi.

Ketika dia sampai di depan pintu paviliun, Nona Fallow langsung membungkuk hormat padanya. Dan setelah Jona mengangguk, dia membukakan pintu, yang di baliknya membentang sebuah kamar putih bersih.

Dengung listrik alat kesehatan tidak pernah nyaman di telinga Jona. Bau antiseptik juga dibencinya. Namun wanita renta bersuara serak yang langsung menoleh padanya, dan membelalak bahagia selalu berhasil membuat Jona tersenyum tipis. Dia menghampiri Evalina yang masih terpaku terkejut, lalu duduk di sampingnya, di kursi tamu.

"Senang melihatmu terlihat segar, Ma." Jona berkata, mengecup lembut punggung tangan ibunya.

Senyum Evalina kian melebar saja. "Kurasa ini kali pertama kau datang tanpa menghubungiku lebih dulu." Tangan renta namun cukup kuatnya membelai rambut putranya lembut. Katanya, mau sebesar apa pun seorang anak, tetap saja kecil di mata ibunya. Mungkin pemandangan yang sama yang sedang Eva lihat kini. Anak kecil yang disayanginya, datang mengunjunginya. "Apa kau merusak ponselmu atau sesuatu?"

"Tidak ada salah memberi kejutan, bukan?"

Eva tertawa. Seperti biasa, suaranya pecah. "Aku tahu kau bukan tipe pria seperti itu, sayang." Nona Fallow memasuki ruangan, membawakan dua gelas air minum untuk Jona dan Eva. Tidak seperti Devan yang membawakan kopi, di paviliun ini air putih adalah minuman paling sehat. Sehingga tidak ada minuman manis yang bisa diminum selain air putih. Dan seusai mengantar, Nona Fallow langsung kembali angkat kaki. "Jadi, bicaralah. Ada apa kemari mendadak?"

Jona terdiam untuk beberapa saat. Membiarkan keheningan merebak, dan membuat alis Eva berkerut kebingungan. "Jona?" Panggilnya lagi, serak namun begitu lembut. Jona menarik nafas panjang lalu menghembuskannya berat. Tahu kalau ibunya tidak akan suka apa yang akan dikatakannya setelah ini.

"Aku mulai kembali mengingat masa laluku."

Keheningan yang bahkan lebih pekat merebak ke sepenjuru ruangan.

Jona tidak melanjutnya, hanya bisa menatap mata Eva yang melebar begitu besar, tampak bagai akan jatuh dari kantung matanya. Debaran jantungnya bahkan terdengar sampai kemari. Dan dari alat deteksi jantung, Jona bisa melihat naik turunnya menjadi drastis. Keterkejutan melanda ibunya bagai tsunami. Dan walau Jona tidak ingin kesehatannya memburuk, namun dia tahu cepat atau lambat dia harus memberi tahu ibunya. Hanya saja secara singkat, dan padat. Dengan cara bagaimana pun juga, agar Eva tidak perlu merusak tubuhnya lagi.

"S-sebanyak apa? T-tidak. Bagaimana bisa?" Eva tergagap. Ketakutan dan kekhawatiran langsung melesat di sirat matanya. Seakan dia tengah melihat hantu, Seakan Jona adalah hantunya.

"Aku bertemu seseorang dari masa laluku." Eva kian melebarkan matanya, yang seakan memberi tahu Jona kalau dia mengertahui siapa yang Jona temui. Carlie Heston. Carlie pernah menceritakan kalau dia mengenali ibunya Jona. Karena itu Jona yakin, tanpa menyebut namanya pun, ibunya pasti tahu siapa yang dia maksud. "Dan aku tidak kemari untuk mengatakan banyak hal. Aku memiliki penerbangan yang cukup padat. Namun satu kata ini biar kukatakan kepadamu, Ma."

Jona meraih tangan Eva, menyadari betapa gemetarnya jemarinya. Berkedut-kedut sarafnya. Dipicu khawatir dan terkejut menggilakan. "Aku berteima kasih karena kau telah menyembunyikan semua kenangan buruk itu dariku. Keluarga kita, bukanlah yang terbaik bukan?" Senyum pahit terbit di wajah Jona. Dan wajah Eva kian pucat saja. "Namun aku lebih sengsara hidup tanpa mengetahui apa-apa. Karena itu aku memutuskan untuk mengenal diriku yang lama, sekali lagi."

"K-kau akan kembali menjadi dirimu yang... lama?"

Rasa pahit merambati kerongkongan Jona. Ibunya berucap seakan dia tidak menyukai putranya yang lama. Membenci dirinya yang sesungguhnya di balik tirai kenangan yang kandas. Menyayangi Nathan yang berbaur dengan sikapnya. Bukan Jonathan. Bukan anak bungsunya.

Dan hatinya berdenyut sakit hanya dengan memikirkannya saja.

"Aku telah memutuskan begitu." Jona bangkit dari kursi tamunya, mencoba terlihat setenang yang dia bisa. "Aku harus pergi cepat-cepat. Aku akan panggilkan Nona Fallow. Dengan sedikit obat penenang, kau seharusnya akan baik-baik saja, Ma."

Jona memutar badan, hendak pergi meninggalkan ibunya, dan memanggil suster yang menananinya. Namun bahkan sebelum itu, bajunya ditarik oleh tangan kanan ibunya yang dibalut infus. Alhasil membuat infus itu copot, dan tubuh Eva yang tidak bisa menahan bebannya sendiri, nyaris berguling ke lantai. "Ma!" Jona membelalak, meraih tubuh Evalina tepat waktu. Wanita itu langsung bersandar di pundak Jona ketika dia mengembalikan tubuh ringkihnya ke kasur. Namun walau Jona ingin pergi, dia tidak bisa. Sebab kini ibunya mencengkeram bajunya keras-keras, dengan segala kekuatan yang dia miliki tersisa di tubuh lemahnya.

"T-tidak boleh. T-tidak boleh begini, Jona. Kau tidak boleh kembali menjadinya!" Air mata hangat terasa membasahi baju Jona. Menuruni perutnya, sampai ke kakinya. Kian banyak air mata yang mengucur kian sakit pula hati Jona berdecit.

Dia bisa menebak kalau ibunya tidak akan menyukai dirinya yang lama kembali. Yang kelam. Yang luka. Yang banyak kecacatan, dan kekejian. Tidak ada yang mau menerimanya apa adanya, kecuali Carlie. Tidak bahkan ibunya. Semuanya menyukainya yang banyak tersenyum, padahal mereka hanya membuat realitas palsu, kebohongan untuk menjauhkan Jona dari dirinya yang sebenarnya.

Mama juga termasuk. Ucapan itu mengiang tanpa henti di benaknya, dan menahan rasa sakit di dadanya, Jona sampai memejamkan matanya erat-erat.

Dia menginginkan Nathan. Bukan diriku. Bukan Jona.

"Apa karena aku yang lama mirip dengan Papa?"

Nafas Evalina yang tercekat seakan menjawab pertanyaan Jona langsung, dengan "ya". Jona tidak akan mengelaknya. Dia yang dulu adalah monster karya ayahnya. Kertas kosong yang tidak tahu menahu tentang apa-apa, dicoret-coret pakai arang, dirobek-robek, hingga jiwanya kehilangan belas kasih dan kekejian mengambil alih dirinya. Dia tahu keadaan buruk ibunya adalah ulah ayahnya, langsung maupun tidak langsung. Dan tentu saja Eva ketakutan memiliki sosok itu kembali ke kehidupannya.

Tentu saja....

Namun mengapa kalau begitu? Rasanya sesak seperti ini?

"Aku tidak akan menjadi sepertinya." Jona meraih tangan ibunya dari dadanya, melepaskan cengkeram ibunya yang jauh lebih lemah ketimbang tenaga tangannya sendiri. Eva membelalak ketika Jona melangkah mundur. Tangannya meraih, seakan akan kehilangan sesuatu yang begitu disayanginya. Begitu dirindukannya. Anak sulungnya. Dan sembari menggigit bibirnya, Jona mundur satu langkah lagi, menjauh dari ibunya. Menjauh dari wanita yang tidak ingin putra bungsunya kembali.

"Aku adalah Jonathan Austin. Bukan Nathan. Mama tahu itu." Ketika Jona membalik, dia bisa melihat dari ekor matanya kalau Eva membelalak, dan tangisnya menderas. Dia mencoba meraih putranya sekali lagi, namun tenaganya kandas lebih dulu. Tangannya terkulai lemas di samping tubuhnya yang ambruk ke kasur. Namun air mata mengaliri membasahi bantalnya.

"Jangan pergi. Jangan kembali."

Jangan hilangkan Nathan, Jangan kembalikan Jona. Mungkin itu yang ingin dia katakan.

"Sampai jumpa. Lain kali kemari, aku akan menghubungimu lebih dulu." Jona mengeratkan kepalannya, menguatkan dirinya, juga hatinya, yang rasanya bisa ambruk sekaran juga. "Aku berjanji tidak akan menjadi papa. Jadi, jangan khawatir."

Ketika Jona membuka pintu kamar ibunya, Nona Fallow langsung membelalak melihat kondisi majikannya yang bagai habis terkena sambaran petir di siang bolong. Jona membisik serak, "Jaga mama untukku." Dan Nona Fallow langsung terbirit-birit masuk, mengecek nadi Eva, oksigen, dan segala macam lainnya yang memusingkan.

Sembari menghentakkan langkahnya di ubin, Jona kian mengeratkan kepalannya. Kian kencang, kian dalam. Sampai kukunya menekan telapaknya, membuat bekas-bekas kemerahan di balik tangannya. Dan sembari melangkah, benaknya berdoa, entah kepada siapa. Agar dia bisa menepati janjinya dan monster karya ayahnya, tidak akan muncul lagi untuk merusak segalanya.

Sebab 2 bulan belakangan, dia tidak bisa berhenti memimpikan masa lalu kelamnya. Dan aum galak monster itu perlahan mulai muncul dari balik sanubarinya.

***

Terik sinar matahari di lahan pedalaman tandus Rusia Selatan menyengat, walau Jona telah mengenakan pakaian lengan panjang, mantel tebal kelam di luarnya. Keringat mulai bertimbun di balik bajunya, dan rasanya dekarang juga Jona ingin kembali ke mobilnya, menyalakan AC dengan ketinggian maksimum, dan kembali ke Paris segera mungkin. Kian banyak langkah yang dia ambil, kian saja banyak peluh yang mengucur di pelipisnya.

Jona tidak bahkan ingin menginjak tempat semacam ini. Sekering ini. Sepanas ini. Setandus ini. Yang bagai neraka. Frederick Johanssen sialan. Sembari melangkahi jalanan yang berlumur jelaga dan kotoran, Jona menggerutu di dalam hatinya yang terdalam. Pria gila macam apa yang menginginkan rumah persembunyian di tempat seperti ini!? Walau sebenarnya Jona mengerti, karena bagian Rusia kumuh yang tengah dipijakinya ini begitu tidak terawat, terbengkalai, bahkan nyaris semua penduduknya tidak terdaftar anggota Negara. Kata lain, slum. Tidak banyak petugas yang sudi menginjak kaki kemari, terlalu banyak orang yang mudah dijarah menjadi bawahan mafia.

Tempat ideal untuk membuat sebuah vila pertemuan. Tapi...

Bagaimana dia hidup tenang setiap hari bersembunyi di terik ini? Jona tidak bahkan bisa mendongak ke langit. Kesilauan dan terlalu lelah lehernya.

Kali lain kita melakukan pertemuan, aku akan menyuruhnya mendatangiku. Jona berikrar begitu di dalam hati. Bersumpah kalau dia tidak akan pergi lagi ke tempat ini, apalgi seorang diri seperti ini. Tanpa Devan. Dia tidak memiliki orang untuk meluapkan emosinya. Dia memendam kekesalannya seorang diri. Bukan cara baik untuk menjaga mood agar tetap tinggi.

Demi menyembunyikan wajahnya, Jona mengenakan pakaian tidak masuk akal tebalnya. Dan berpura-pura sebagai pedagang berkeliaran, dia melangkah terus di atas tanah tandus menuju mobilnya. Namun di tengah-tengah perjalanan itu...

"Kemari, kau! Maling tak beradab!"

Jona terkejut ketika pundaknya tertabrak seorang anak - tidak bahkan lebih dari 15 tahun - yang hanya mengenakan kaus usang juga tak bersepatu, tepat di belokan yang sedang dia tuju. Jona yang terbiasa dengan keadaan terjepit langsung memutar otak, menyambungkan segala yang bisa dia terka. Anak ini menggenggam kentang. Wajahnya tampak ketakutan, bekas luka terlihat di kepalanya. Langkah seseorang yang jauh lebih berat, dewasa, terdengar membuntuti dari belokan. Dan dari semua itu Jona menyimpulkan, kalau anak tidak berdaya ini mencuri kentang, dan pedagang yang tengah marah ingin menghajarnya, membuka kembali luka di kepalanya. Otaknya memang cepat. Dan kejadian ini tidak ada sama sekali sangkut pautnya dengan Jona, di bidang apa pun.

Sampai dia kehilangan akal, dan menarik anak itu untuk bersembunyi di balik sebuah tirai pedagang yang sudah terbengkalai.

Anak kecil itu langsung memberontak, disangka kalau dia telah tertangkap. Namun ketika melihat pengejarnya menggaruk kepala kebingungan, tidak menemukan sosoknya, dan berlari ke arah lain, dia langsung menghela nafas sangat lega. Dan di sana lah dia baru menyadari, kalau pria aneh berpakaian tebal serba hitam ini, tengah membantunya untuk kabur. Matanya membelalak terkejut, namun lebih daripadanya, Jona lebih melotot.

Apa yang kulakukan?! Apa panas Rusia telah menggilakan otakku!? Apa pedulinya aku dengan anak bodoh ini? Aku hanya ingin ke mobil dan menyalakan AC, dan... Jona memandang tangannya sendiri, lantas berdecak kesal. Aku sudah gila. Aku tidak seharusnya menolongnya.

"A-apa yang kau mau!?" Pusaran pikiran Jona terhentikan ketika anak remaja itu berlari dari cengkeramannya, melangkah mundur, dan menatapnya segan.

Jona berdecak kian kencang saja. Di tengah panas terik ini, dia merasa gila, dan kini anak tidak tahu terima kasih ini bahkan tengah mencari ribut dengannya. Ini benar-benar kacau. Tidak ada yang sesuai dengan rencananya untuk kabur tanpa ketahuan siapa-siapa. "Apa itu yang kau katakan kepada orang yang telah menyelamatkanmu, bodoh?"

Anak itu tergagap. Seakan dia menyadari kalau dia memiliki hutang budi namun terlalu enggan untuk mengakuinya. "D-Di sini tidak ada yang saling membantu selain ingin imbalan!" Dia melihat ke kentang di tagannya, yang penuh kotoran, juga keringat tubuhnya. "K-Kentang ini milikku! Aku tidak akan membayarmu dengan ini!"

Jona kian kesal saja. Siapa pula yang mau memakan kentang menjijikkan itu ketika Frederick baru saja menghidangkannya daging dan sup lezat di vila persembunyiannya!? Jona mengerti kalau tempat ini dipenuhi masyarakat kelewat miskin. Bahkan anak ini saja tampak jelas tulang rusuknya. Hanya pedagang kaya raya yang bisa mendapatkan makanan layak di tempat kumuh seperti ini. Dan ketua dari semua pedagang itu adalah Frederick Johanssen.

Sedangkan ketua Frederick adalah Jona. Jadi kurang lebih, dia yang menguasai kebanyakan makanan di tempat ini, tidak bahkan memikirkan nasib anak-anak malang yang harus sampai mencuri demi mengisi perut mereka.

"Aku tidak akan meminta dan aku tidak membutuhkan apa pun darimu. Pergi sana." Jona hendak berjalan melewatinya. Amarahnya kelewat banyak mengonggok di dada. Dia butuh pergi sekarang juga kalau tidak ingin membuat kasus besar dengan meledakan kepala satu anak yang membuatnya naik pitam. Sembari berlalu, tatapan kesal tetap terpasang di wajahnya,

Sampai anak itu tiba-tiba meraih jubah Jona dengan tangan kotornya, alhasil membuat amarah Jona pecah, dan menepisnya kelewat kencang.

"Apa maumu!?" bentaknya kesal. "Aku tidak memiliki urusan denganmu!"

Anak itu meringis merasakan tangannya yang ditepis begitu sakit. Namun ketakutan yang semula terbersit di wajahnya sirna, digantikan dengan binar kagum di matanya. Walau masih ketakutan, dia memberanikan diri untuk berbicara. "Aku tidak salah lihat! Itu yang di pinggangmu! Springfield Armory 1911 Pro?! Model Rail, bukan!?" Jona membelalak. "Bagaimana kau bisa mendapatkan senapan semahal itu!? Apa kau saudagar kaya raya!?"

Jona tak bisa menampik, dia terkejut. Jangankan pengetahuan akan senapan klasik, di tempat ini pendidikan saja hampir tidak ada. Atap sekolah sudah lebih dulu runtuh sebelum guru bahkan bisa berbicara. Namun anak ini... Dia bisa mengetahui dengan jelas nama sebuah senapan hanya dengan melihatnya bertengger di pinggang Jona. Bagaimana dia mendapat pengetahuan semacam itu?

"Bagaimana kau tahu?" Jona bertanya.

"Aku menemukan buku yang terbuang di tumpukan sampah. Isinya tentang senapan." Jona mengernyit jijik mengingat satu lahan berisikan puluhan kilogram sampah yang dibuang ke tempat dekat sini setiap minggu. Satu alasan lain mengapa dia benci datang kemari. "Apa kau memiliki koleksi senapan lain!? Aku tidak pernah menembak namun kalau katapel aku pandai! Aku pernah menjitu tepat ke mata beruang sebelumnya, sampai dia lari terbirit-birit!"

Jona tidak mendengar yang anak itu rancaukan setelahnya. Dia tenggelam dalam kepalanya sendiri. Frederick sering berkata, ketika melalui jalanan kumuh seperti ini di mana kriminalitas adalah norma, Jona akan kerap menemukan orang-orang menarik. Mereka yang langsung membuat intuisi berkata, "jarah dia, jadikan dia bawahan." Seseorang yang berguna bahkan dalam sekali lihat. Jona tidak pernah mengerti rancau tidak jelas Frederick yang itu.

Namun tiba-tiba saja, saat itu, Jona mengerti apa yang Frederick Maksud.

Anak itu terpaku terkejut ketika Jona menjulurkan tangan kepadanya, menghentikan rancau panjangnya.

"Jonathan Austin." Anak itu, ragu-ragu meraih tangan Jona. "Sebut namamu, dan ikut denganku."

Dan Jona terbangun.

Terik matahari senja bersimbah menyilaukan, menutupi hampir separuh tubuhnya dalam cahaya hangat, yang sekaligus membuatnya gerah. Perjalanan dari Rusia ke Paris tidak membutuhkan waktu panjang. Namun sepertinya dia kelewat kelelahan oleh perjalanan panjang yang baru dia lakukan, melintasi benua amerika, ke eropa, dan kini kembali ke rumah asalnya. Karena kelelahan, Jona tertidur. Dan lagi-lagi, dia bermimpi. Namun kali ini mimpinya aneh.

Dia tidak mengingat Carlie pernah menceritakan kepadanya tentang kejadian ini. Tidak juga Devan. Pertemuannya dengan seorang anak tidak dikenali di daerah kumuh yang berbau apak juga sampah. Pertemuan yang barangkali tidak diketahui siapa pun kecuali dirinya. Siapa anak itu? Jona bertanya di dalam hatinya, namun ketika dia mencoba mengenang, kepalanya malah pening. Alhasil membuatnya menyerah kelewat cepat. Dan Jona menghembuskan nafas berat, masih bertanya-tanya mengapa di kala kenangan-kenangan pentingnya tengah kembali dalam wujud mimpi, dia memimpikan seorang anak yang tidak tampak mencolok sama sekali dari kejadian yang lain.

Lagi, siapa nama anak itu?

"Tiga puluh menit lagi kami akan sampai ke Paris, Tuan." Jona menoleh ketika Devan melangkah dari kabin belakang, menuju kabin utama. "Saya berniat membangunkan Anda tepat ketika kita landing, namun ternyata Anda sudah terjaga lebih dulu."

Jona masih memikirkan tentang mimpinya, sampai suara Devan hanya terngiang di telinganya. "Kau..." Jona terpaku, ketika mengingat kalau di mimpinya itu tidak ada Devan yang menemaninya. Dia hanya berdua saja, dengan anak tidak jelas asal-usulnya itu. Sehingga rasanya bodoh sekali menanyakan kepada orang yang seharusnya tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi juga. Jona membungkam mulutnya.

"Ada apa dengan saya?" Devan bertanya kebingungan.

Jona menggeleng. Sudah, lupakan dulu tentang anak tidak jelas itu. Masih banyak yang harus diurusi. "Kau pernah mengatakan tentang pengeluaran kedua bersaudara Yones dan Ahmad Amdalla dari aliansi, bukan? Namun kau belum menceritakan secara mendetail. Kita masih memiliki 30 menit sebelum sampai. Duduklah dan ceritakan yang butuh kuketahui."

Devan mengangguk patuh, namun dia tidak mau duduk. Yang Jona ketahui alasannya - sebab dia merasa tidak layak duduk di tempat yang sama dengan bosnya. Sebuah idealisme Devan yang tidak bahkan bisa Jona singkirkan. Jadi dia biarkan saja Devan berdiri sesukanya. Selama perjalanan kembali, Devan mulai menceritakan awal mula pertemuan dengan Carlie yang mengakibatkan ditendangnya Paul dan Paula keluar. Cerita mereka saja memakan waktu sampai landing, sehingga untuk cerita Ahmad Amdalla, Devan lanjutkan di mobil. Tentu, setelah menendang keluar sopir yang menjemput, menyuruhnya untuk ikut mobil belakang, khusus pengawal, dan menjadikan dirinya sopir Jona untuk pembicaraan rahasia penting mereka ini.

Sesampainya Jona di mansionnya, dia sudah mendengar kurang lebih semuanya secara sempurna. Dan kian saja dia menyadari betapa pentingnya dia menyembunyikan kepergian tiga orang itu dari aliansi kalau tidak ingin membuat keributan.

Kembali ke mansionnya yang gelap setelah 2 bulan penuh, rasanya nostalgia minta ampun. Hanya satu yang kurang di rumah raksasa ini. Perempuan untuk menemaninya. Jona tersenyum sendiri sembari melangkahi taman depannya, mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Carlie kalau dia sudah kembali ke Paris, dan mengajaknya menginap barang satu atau dua malam di rumahnya. Namun sebelum bisa, seorang pelayan sudah menantinya di pintu depan, lantas membungkuk hormat ketika Jona sampai.

"Tuan, ada tamu yang sudah menanti Anda semenjak 1 jam yang lalu."

Jona mengernyitkan kening, Dan Devan menyusul cepat-cepat. "Tidak ada rencana pertemuan untuk Tuan hari ini seharusnya."

Wanita itu membungkuk kian dalam. "Maaf, tapi beliau tamu penting, kami tidak bisa menolaknya."

Devan dan Jona bertukar pandang kebingungan. Mereka langsung melangkah ke ruang kerja Jona, yang katanya menjadi tempat bagi tamu penting itu untuk menantikan kembalinya Jona. Tidak ada bawahan selain Devan yang berani memperbolehkan orang asal memasuki ruang kerja bos mereka. Kalau begitu berarti seseorang ini yang datang, memang sangat akrab dengan Jona, dan sudah memiliki akses bebas ke mansion besar ini.

Seseorang yang penting.

Namun tidak juga Jona menduga kalau wajah Marco Moretti, salah satu petinggi aliansi yang muncul di hadapan wajahnya. Duduk di sofa, dengan kopi sudah dihidangkan di hadapannya. Pria itu langsung berdiri dan membungkuk dengan senyum picik di wajahnya. "Selamat datang kembali setelah perjalanan yang saya dengar panjang Anda selama dua bulan, bos." Pria itu kembali berdiri tegak. "Saya sudah menanti Anda sedari tadi."

Marco Moretti adalah salah satu dari tiga orang yang menyetujui pembubaran. Dan Jona sudah mewaspadainya semenjak pertemuan aliansi.

~~~

Menurut kalian gimana reaksi Evalina setelah tau kalau Jona udah kembali ingatannya? 

Apa kalian pikir Eva itu jahat buat bohongin Jona soal kehidupan aslinya? Komen yuk!

Thank you semuanya yang udah baca. Udah Vote, Udah komen, udah share, intinya thank you semuanya!

Next Update : 17 Februari 2023

Bonus komen : 150 komen

Kalau komennya lebih dari segitu, kita updatenya satu hari lebih cepet ya! Jadi yang semangat buat next chapter, komen sebanyak mungkin yuk!

Komen "😎" buat yang nungguin next chapter.

Follow instagram aku (username : nnareina) buat kabar update!

Thank you and have a nice day!

Love you all! See you soon! 

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 103K 62
Highest Rank : #1 in Mistery and Thriller (07.03.2017, 16.04.2017, dll.) Yusi adalah seorang Kembang Desa yang dicintai semua pria di desanya. Namun...
13.7K 4.6K 51
Romance & Thriller/Action [18+] Note: -Alur cerita novel ini hanyalah fiksi. Hasil dari ide, kreatifitas dan imaginasi penulis sendiri. -Cerita denga...
1.2M 4.9K 15
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
207K 6K 34
cerita ini mengandung dewasa 23++yang di bawah umur 18 kebawah jangan di baca karna di cerita ini berjudul gxg domnya Chika,dan bagi yang homophobia...