Madame Mafia

By Reiinah76

525K 41K 13.9K

Carlie Eloise Heston adalah simbol kesempurnaan. Putri dari keluarga bangsawan paling ternama, memiliki salah... More

Madame Mafia
Chapter 1 - Madame Eloise is Absolute
Chapter 2 - Lion's Cage
Chapter 3 - Red Bar
Chapter 4 - First Kill
Chapter 5 - Red is not so Pretty Anymore
Chapter 6 - To Surrend is Never a Choice
Chapter 7 - Brother
Chapter 8 - Third Kill
Chapter 9 - Abducted
Chapter 10 - Alter
Chapter 11 - Paul and Paula
Chapter 12 - Hell Partner
Chapter 13 - Unwritten Agreement
Chapter 14 - Aliance Meeting (1)
Chapter 14 - Aliance Meeting (2)
Chapter 15 - Teaming Up
Chapter 16 - Ian and Carlie
Chapter 17 - Relationshit
Chapter 18 - Marijuana Date (1)
Chapter 18 - Marijuana Date (2)
Chapter 19 - Stella Martin, The Poor Lady
Chapter 20 - I Hate This Party
Chapter 21 - Little promise
Chapter 22 - Aliance Issue
Chapter 23 - Austin and Emerald
Chapter 23.2 - Austin and Emerald
Chapter 24 - The Show
Chapter 25 - Mama
Chapter 26 - Through the Mirror
Chapter 26 - Through the mirror (2)
Chapter 27 - A Letter that Brings Storm
Chapter 28 - Wish (1)
Chapter 28 - Wish (2)
Chapter 29 - Cotton Candy
Chapter 30 - Every Single Thing
Chapter 31 - Present
Chapter 32 - Fishing Net
Chapter 32 - Fishing Net (2)
Chapter 33 - Vow
Chapter 34 - Agreement
Chapter 35 - A Call for Help
Chapter 36 - Liar
Chapter 37 - Hard Choice
Chapter 38 - Odd Combo
Chapter 39 - Rewrite
Chapter 40 - Alive
Chapter 41 - Letter
Madame Mafia 2
MM 2 : Prologue - Every Single Night
MM 2 : Chapter 1 - New Encounter
MM 2 : Chapter 2 - Invitation
MM 2 : Chapter 3 - Left Out
MM 2 : Chapter 5 - Behind The Flames
MM 2 : Chapter 6 - A Killer
MM2 : Chapter 7 - Make Over
MM 2 : Chapter 8 - Different Dream
MM 2 : Chapter 9 - Nightmare
MM 2 : Chapter 10 - Who was his name?
MM 2 : Chapter 11 - Broken Mirror
MM 2 : Chapter 12 - Boxing
MM 2 : Chapter 13 - The Returned
MM 2 : Chapter 14 - I Did Better
MM 2 : Chapter 15 - Thin Thread
MM 2 : Chapter 16 - Bloody Dream
MM 2 : Chapter 17 - Guns
MM 2 : Chapter 18 - About You And Only You
MM 2 : Chapter 19 - Radomir Volkov
MM 2 : Chapter 20 - Forgive Me
MM 2 : Chapter 21 - Dance Partner
MM 2 : Chapter 22 - One Condition
MM 2 : Chapter 23 - Car Crash
MM 2 : Chapter 24 - Switch
MM 2 : Chapter 25 - For Her
MM 2 : Chapter 26 - Confession
MM 2 : Chapter 27 - From Today
MM 2 : Chapter 28 - Kiss
MM 2 : Chapter 29 - Father
MM 2 : Bonus Part

MM 2 : Chapter 4 - Memories

3.5K 389 192
By Reiinah76

Hi Semuanya! Welcome Back To Madame Mafia!

Sebelum mulai seperti biasa....

Bonus : 150 komen

Kalau komennya lebih dari segitu, aku updatenya sehari lebih cepet dari tanggal update biasa, okei?

Jangan lupa vote dulu, yuk!

Happy reading!

~~~ 

Rembulan seorang yang menjadi saksi betapa hancurnya Carlie setiap hari.

Dia menegak habis sebotol lagi alkohol. Membiarkan tenggorokannya terbakar rasa pahit, yang membara, seperti kobaran api. Membiarkan perutnya mulas, kepalanya pening. Segalanya mati rasa, selain rasa sakit di sekujur tubuhnya. Sebab dia tidak tahan dengan rasa sakit di hatinya. Tidak tahan dengan rindu yang tidak terlampiaskan. Tidak tahan karena tidak bisa tidur bersama pria yang paling dicintainya di sepanjang hidup.

Banyak kenangan yang dia usahakan untuk lupakan. Tidak satu pun berhasil. Dia masih mengingat pertemuan pertamanya dengan Jona, pengungkapan cinta mereka, seks pertama, malam berdarah-darah dengan paman, perjanjian 40 hari, dan terakhir, perpisahan di Pulau Senja.

Ya, Carlie menyebutnya Pulau Senja, karena seumur hidup, dia tidak akan mungkin melupakan secantik juga sepedih apa tampak senja ketika dia meninggalkan pulau itu dengan sejuta rasa sakit di dalam dadanya.

Dia menegak habis botol ketiganya. Membuka yang keempat. Berdoa, menjerit dalam kesunyian, agar kantuk cepat-cepat melahapnya. Agar dia tidak perlu terus menangis. Agar dia tidak perlu terus mengingat wajah yang dirindukannnya, namun tida bisa diraihnya. Untuk dia agar bisa tenang dengan dirinya sendiri.

Namun hasilnya tidak ada. Hatinya kian menjerit. Kian kencang saja.

Aku merindukannnya. Aku sungguh merindukannnya.

"Mengapa..." Carlie terengah. Jam sudah menunjukkan pukul 3 dini hari, dan dia belum juga kunjung tertidur. Hanya di atas kasur merahnya, menegak habis botol demi botol, jika tidak ingin kesadarannnya hilang ditelan senewen. "Banyak pria di luar sana. Banyak yang mencintaiku. Yang menginginkanku. Yang tampan, sukses, sempurna. Banyak! Lantas mengapa?

"Mengapa!?" Carlie membanting botol keempatnya yang sudah kosong, membiarkannnya pecah belah di dinding, lantas jatuh dan terpelanting di atas ubin. Dia meremas baju tidurnya di dada, menggaruk kulitnya, sampai membuat garis-garis merah menyakitkan. Menahan segala rasa sakit merindukan orang tersayang yang tidak mungkin dijumpainya.

"Mengapa harus kau...." Tangisnya tak terbendung. Carlie terisak, seorang diri di atas kasurnya, ditemani bintang, juga bulan. Ditemani rindu, juga sesak. "Mengapa hanya kau yang bisa menyembuhkan rasa sakit ini?"

Kelelahan menangis, menahan pening, menahan mual, Carlie akhirnya terkapar sendiri di atas kasurnya. Terlentang tak berdaya, hanya bisa melihat atap, kalau tidak langit dari balkonnya. Mengharapkan harapan kosong, pria kecintaannnya akan muncul dari balik sana.

"Bagaimana aku bisa menemuimu lagi?" bisiknya, kehabisan tenaga. Dengan sepenuh kekuatannnya, Carlie meraih ponselnya, membuka aplikasi galeri, dan mencari hidden photo. Tempat dia meletakkan semua kenangan akan wajah pria yang tak mampu dilupakannnya. Tidak mampu dihapusnya. Air mata lagi-lagi mengalir di samping wajahnya, sembari hatinya terbelah menjadi dua. "Aku merindukanmu, aku bisa gila, Jona. Aku sungguh merindukanmu."

Selagi rembulan menyorot, selagi bintang berkelip, Carlie perlahan memejamkan matanya. Berdoa kepada semesta, untuk dipertemukan dengan pria yang paling dicintainya. Untuk kembali ke dekapan hangatnya. Untuk satu malam saja, lepaskan dia dari siksaan kehilangannnya ini.

***

Hatinya bagai diimpit barbel berat. Tangis menderu, mengliri wajahnya tanpa henti. Tangannnya bahkan bergetar ketika meraih kenop pintu. Getaran kerinduan dan lara yang berlabur. Carlie langsung melepas seluruh baju pestanya sesaat dia sampai, mengenakan baju tidur asal yang tergeletak di sofa. Kemarin dia menggunakan pakaian itu. Lantas tungkainya mengacir ke kamar mandi, untuk membersihkan asal riasan wajahnya, yang kini sudah hancur oleh tangis. Tentu saja, dia tidak berhenti menangis sedetik pun di dalam mobilnya. Menangisi kekonyolannnya untuk tidak berjumpa dengan Jona. Menangisi tungkainya yang kabur. Menangisi betapa rindunya dia pada pria kesayangannnya itu, namun luput meraihnya.

Menangisi betapa bodoh dirinya, melepas kesempatan yang mungkin tidak akan kembali lagi.

Maskaranya kacau balau, sekacau sanubarinya. Bahkan Carlie tidak membersihkannnya pelan-pelan. Dia menghapus asal saja riasannnya dan kembali ke kasurnya, terlentang. Menangis seperti anak kecil.

Anak kecil yang merindukan boneka kesayangannnya.

Sialnya, boneka itu tidak diperuntukan oleh takdir baginya.

Dadanya sakit setengah mati. Dari ekor matanya, Carlie bisa melihat laci di mana dia menumpukkkan semua alkoholnya, cara untuk dia tertidur. Impit di dadanya, bagai akan menghancurkannnya. Setiap detik, lebih buruk dari sebelumnya. Dia mengenang setiap malam dia tertidur penuh rindu. Penuh jerit ingin beertemu. Penuh harap, kalau mereka bisa dipersatukan, sekali lagi. Berharap melihat pria yang dicintainya, baik-baik saja, walau tanpanya.

Semua kenangan malam itu menjadikan hatinya kian sesak saja. Carlie meringkuk sembari membasahkan seprainya oleh tangis pilu yang tak berkesudahan.

Aku lelah.

Dengan semua cerita cinta ini. Dengan semua rasa sakit ini. Dengan hubungan yang tidak direstui ini.

"Lantas mengapa kau mempermainkanku?" Bisikannnya begitu lirih, jikalau didengar langsung, mungkin seseorang akan ikut menangis bersamanya. Ucapannnya entah ditujukan kepada siapa. Mungkin Tuhan, Mungkin dewa dewi, Mungkin takdir. Mungkin semuanya. Carlie hanya ingin berdamai dengan hatinya. Kembali menjadi dirinya yang lama, merindu kebahagiaannnya tanpa rasa kehilangan. Merindu tidur nyenyaknya, tanpa tersiksa memikirkan pria yang paling dia cintai di seluruh dunia.

"Dan bagaimana aku bisa melakukan itu kalau aku berjumpa denganmu, hari ini?"

Kelelahan menangis, Carlie memejamkan matanya perlahan demi perlahan. Mulas juga pening membuatnya tak tahan lagi. Dia butuh tidur. Kali ini alkohol tidak dibutuhkan. Tangis telah memabukkannya. Dan selagi matanya tertutup, Carlie berdoa sekuat mungkin di dalam hatinya. Jikalau kesempatan kedua akan mengetuk pintu takdirnya. Kesempatan untuk menemui Jona sekali lagi.

Untuk memeluknya. Untuk mengatakan, "Aku masih mencintaimu."

Sembari kegelapan menyelimuti, hatinya mengucap harap hampa yang kali ini berani dia harapkan. Aku ingin bertemu denganmu, Jonathan Austin.

***

Untuk kali pertama sepanjang 4 tahun barangkali, Dewa-dewi memihak kepada Carlie.

Dia memimpikan Jona. Mata juga rambut kelamnya. Decak geramnya. Kehangatannnya. Pembicaraan mereka sebelum tidur. Segalanya yang manis-manis, Carlie memimpikannya. Namun barangkali sebelum dia bahkan tidur selama itu, kesadarannnya kembali. Carlie mengerjapkan matanya yang begitu lengket karena tangis yang tak berkesudahan. Sekujur tubuhnya seperti dihunjami jarum-jarum kecil. Katanya emosi memberi rasa sakit sama banyaknya seperti fisik. Kali ini Carlie kesakitan setengah mati.

Sembari mencoba bersusah payah bangkit dari tidurnya, tiba-tiba dia merasakan nafas seseorang di sampingnnya. Nafas berat, penuh penekanan. Juga kehangatan dari seorang manusia.

Baru kali itu Carlie menyadari sesuatu.

Ada seseorang di dalam kamarnya.

Kepanikan langsung menyerangnya. Seperti semua wanita di luar sana, seorang pria diam-diam masuk ke kamar bukanlah kabar baik! Sialan! Carlie menendang entah siapa pria itu, dan terkejut ketika kakinya dicekal tanpa bisa bergerak. Dia hendak menjerit, sekencang mungkin, meminta pertolongan entah dari siapa. Namun sebelum itu mulutnya dibekap, sampai dadanya kian terimpit saja. Kali ini tangannnya yang beraksi. Carlie hendak menampar pria yang memasuki kamarnya tanpa izin itu, namun sekali lagi, tangan kokohnya begitu cekatan, tamparan Carlie tidak bahkan sampai ke wajahnya.

Kini kaki Carlie ditahan oleh kaki pria itu. Tangannnya ditahan di atas kepala, mulutnya dibekap oleh tangan kanannya. Keduanya sama-sama terengah. Keduanya sama-sama kaget. Carlie karena keberadaan orang asing. Pria itu karena serangan Carlie.

Namun dibutuhkan semenit lamanya bagi Carlie untuk menyadari kalau yang membekapnya kini, bukanlah orang asing.

Dan untuk sesaat, nafasnya berhenti. Barangkali, jantungnnya juga.

Berdiri di atasnya, menekannnya ke kasur, sembari terengah adalah sosok Jona. Iya, kau tidak salah membaca. Ini sungguhan Jona. Dengan paras tampan juga tubuh besar nan jangkungnnya. Dengan tatapan tajamnya, yang entah mengapa terlihat lebih lembut dari biasa. Carlie teerperangah dalam keterkejutan, menyangka dirinya masih bermimpi atau berhalusinasi. Namun tekanan di sekujur tubuhnya menyatakan kalau dia benar-benar tidak sedang bermimpi.

Dia sungguh Jona.

Ini sungguh Jonaku.

Dan memikirkannnya saja, Carlie nyaris menangis sesegukan.

"Ada banyak bawahan ayahmu di luar kamar. Kalau kau berjanji untuk tidak menjerit, aku akan melepaskan." Carlie terpaku. Betapa rindunya dia dengan suara serak ini. Betapa rindunya dia, dengan bau nafas Jona yang seperti campuran kopi, juga keretek.

Carlie mengangguk pelan, dan sesuai janjinya, Jona melepaskan bekapan mulutnya. Juga tahanan di kaki Carlie. Namun tidak tangannnya. Dia masih berada di atas tubuh Carlie, dan untuk sesaat, mereka terdiam tanpa berkata.

Dunia pun rasanya ikut terdiam dalam kesunyian.

Carlie menyelami pandangan kelam Jona, mengingat betapa dia menyukai mata cokelat nyaris hitamnya, menyukai betapa kelamnya sosoknya, dibalut dengan segala sesuatu serba hitam. Jona pun menatapnya bagai tengah melihat permata. Terkesima oleh sirat cokelat Carlie. tenggelam dalam tatapan, tanpa bisa mendayung keluar dari jerat pesona. Entah berapa lama telah berlalu, satu menit? Dua menit? Namun keheningan ini berhasil membuat jantung Carlie berdegup tanpa kendali.

Dia benar-benar tengah melihat Jona. Dia benar-benar tengah menemui pria kecintaannnya. Dia benar-benar, ada di depanku. Saat ini. Sangat dekat. Seperti setiap mimpiku, di setiap malam.

Jona terperangah ketika menyadari apa yang dilakukannnya. Dia langsung bangkit dari atas tubuh Carlie, dan mundur dua langkah. "Maaf, aku tidak bermaksud lancang begitu. Aku hanya tidak ingin ketahuan."

Kernyit di kening Carlie seketika mendalam. Maaf? Jona menggunakan kata-kata semacam itu, hanya untuk perihal kecil ini? Dia bahkan tidak merasa bersalah ketika memasuki kamar mandi Carlie dulu, ketika dia tengah mandi.

Carlie pun sama kakunya. Dia bangkit perlahan dari kasurnya, menatap Jona yang hanya berjarak satu meter darinya. Dan kali ini kecanggungan dari keheningan meruyak. Carlie tiba-tiba salah tingkah. Padahal dia tidak pernah salah tingkah. Dia wanita paling percaya diri di dunia. Namun di depan laki-laki yang dirindunya, dia tidak bahkan bisa berkata dengan benar.

"B-bagaimana kau bisa di sini?"

Carlie menyadari betapa bodohnya pertanyaannnya ketika Jona menunjukkan ke arah balkon. Tentu saja, sialan. Tentu saja lewat balkon. Itu jalan eksklusif yang hanya bisa dilalui Jona dengan sejuta kemahirannya dalam olahraga.

"Aneh." Carlie mendongak ketika Jona berkata. "Ketika aku kemari, aku bagai terpanggil untuk menaiki balkon ini sampai ke atas. Rasanya asing memanjati balkon orang, dan tidak benar. Tapi naluriku berkata begitu. Tapi untungnya... aku kabur dari bawahan ayahmu di bawah sana." Carlie kian mengerutkan keningnya. "Kau tahu, ayahmu dan kembaranmu meletakan puluhan pengawal hanya untuk menjagamu karena kau menangis tadi."

Carlie tidak terkejut untuk bagian ayahnya. Dia memang over protektif kepada putri kecilnya. Tapi... "Apa yang kau katakan? Kau berkali-kali menaiki balkon untuk sampai ke kamarku. Mengapa sekarang kau malah mengatakan kalau rasanya asing?"

Jona tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia menggaruk lehernya yang tidak gatal. Dia seperti gugup. Dan Jona yang Carlie tahu, tidak pernah gugup. Kejanggalan di hatinya kian saja memuncak. Ada apa dengannya? Dia tidak seperti Jona yang kukenal.

"Jona?" panggilnya lagi.

"Aku," Untuk sekian detik, Jona terdiam. Dia menatap ke luar jendela lalu tersenyum tipis. Senyum yang menyedihkan, "kehilangan ingatanku."

Carlie terpaku.

Tanpa bisa bergerak.

Dan kemudian, matanya membelalak.

"A-apa?"

Kehilangan ingatan? Bahkan Carlie tidak bisa merangkai kata-kata apa yang dirasakannnya saat ini. Percampuran kebingungan pekat, juga rasa ingin tahu yang besar. Jona kehilangan ingatan? Bagaimana bisa? Apa yang terjadi setelah aku pergi? Dan kalau kehilangan ingatan, mengapa dia masih bisa mengenali aku? Mengapa dia ada di sini, di kamarku, seperti dia yang dulu?

Perangainya memang berbeda dari yang Carlie kenang. Penuh kecanggungan, juga keraguan. Sama sekali bukan Jona yang dikenalinya. Namun kehilangan ingatan!? Tidak bahkan sedikit pun di benaknya Carlie menyangka seorang Jona bisa kehilangan ingatannnya. Dan pertanyaan kian timbul saja di benaknya bagai balon-balon tiup yang kian membesar. Namun keterkejutan meraih kemampuannya berbicara. Carlie hanya bisa terpaku, lidahnya kaku, bibirnya bergetar sedikit. Dia menanti, untuk penjelasan lebih terperinci.

"Aku kehilangan ingatan. Setelah sebuah kecelakaan mobil." Suaranya begitu lembut dan separuh mendayu. Benar-benar berbeda dengan Jona yang Carlie kenang. Yang penuh penekanan, juga kedinginan. Dia mulai percaya kalau klaimnya, memang benar. Dia kehilangan ingatan. "Empat tahun yang lalu, tepatnya."

Ketika kita berpisah. Carlie menggigit bibirnya.

"Namun selama aku ingat, empat tahun belakangan. Aku tidak pernah merasa hidup." Lagi-lagi, dia menggaruk lehernya. Lagi-lagi, tidak cocok dengan Jona yang Carlie kenang. "Seakan satu bagian besar dari hidupku hilang entah di mana. Satu bagian yang sangat kurindukan. Sampai kemarin ini aku mendapat surat undanganmu, dan menyadari separuh bagian itu adalah kau."

"J-Jadi... kau melupakanku?"

Jona ragu-ragu mengangguk. Seperti setengah meminta maaf. "Namun sesaat aku melihat wajahmu di internet, aku langsung meyakini kalau kau adalah satu bagian hatiku yang telah kandas. Aku langsung merindukanmu, padahal aku tidak mengingatmu." Sebuah senyum tipis Jona ulurkan. "Carlie Eloise Heston. Kita pernah saling kenal, bukan?"

Kehilangan ingatan, berarti melupakan sebagian atau semua kejadian hidup yang pernah dialaminya. Dalam kasus Jona, bisa ditebak, dia melupakan segalanya. Bahkan tindak-tanduknya tidak sama sekali mencerminkan Jona yang Carlie kenal. Dia bagai orang lain. Dia bagai sosok lain yang asing. Namun walau begitu, dia tetap Jona. Dia tetap pria dengan sejuta pesona yang paling dikasihi Carlie di dunia, disebutnya dalam doa sebelum tidur, diharapkannya untuk kembali bersamanya.

Dan dilupakan oleh pria yang paling dicintainya....

Sekalipun Carlie tidak ingin, air mata menggumpal di pelupuknya. Siap menuruni parasnya, dan membasahi setiap bagian lehernya. Dia telah lelah menangis. Tetapi hatinya menjerit kesakitan. Senubarinya tercabik-cabik rasa pengkhianatan yang sebenarnya tidak seharusnya dia rasakan. Namun tetap saja, rasanya sakit setelah mati.

Pria yang paling kusayangi, telah melupakanku. Ketika aku memikirkannya setiap malam.

"Jadi semuanya..." Carlie membisik lirih, "kenangan kita, bagaimana kita bertemu, bagaimana kita berpisah. Semua ciuman, semua pelukan, semua yang kita lakukan bersama, kau melupakannnya?"

Tangis Carlie berhasil membuat Jona membelalak terkejut. Dia ingin menghampiri tapi Carlie mengulurkan tangan untuk menghentikannnya. Kini tangisnya sudah mengalir deras. Hatinya sakit sekali. Sesaknya tidak main-main. Dia rasanya bisa pingsan saat ini juga, saking sakitnya dadanya terasa.

"A-aku tidak bermaksud-" Suara Jona tercekat kepanikan.

"Keluar!" Jerit Carlie menggelegar sampai setiap sudut kamar. Jerit penuh sesaknya. Begitu lirih, begitu menyakitkan. Begitu perih. "Keluar dari kamarku sekarang juga dan tinggalkan aku sendiri!"

"Madame!?" Suara dari luar pintu penthousenya menggelegar bersama gedoran. Pasti bawahan ayahnya yang mendengar Carlie menjerit. "Apa yang terjadi di dalam!? Apa ada orang lain!? Madame!?"

Carlie bisa melihat Jona memucat dari balik air matanya. Dia kebingungan setengah mati. Dia ingin menenangkan Carlie. Carlie menghempaskannnya jauh-jauh. "T-tunggu, kita bisa bicara sebenta-"

"Keluar dan jangan pernah temui aku lagi, sialan!" Sentakan Carlie kian membahana. Dipenuhi rasa sakit. Dipenuhi nyeri tak terkendali. "Semua kenangan, semua memori, segala yang kita lakukan bersama. Semuanya! Jangan katakan kalau aku saja yang mengingatnya sampai hari ini, menangisimu sampai aku tidak bisa tidur, karena aku tidak mau mendengar satu kata pun keluar dari mulutmu kalau kau melupakan semua itu!"

Kalau semua kenangan itu sekarang hanya milikkku saja. Semua kenangan kita berdua, hanya aku yang memendam. Dia kehilangan semuanya.

Dia kehilangan ingatannnya, juga kehilangan aku. Padahal, aku tidak pernah bisa hilang dari bayangannnya.

"Madame!? Tolong jawab saya!" Gedoran di pintu kian saja mengencang. Saking nyerinya dadanya, Langkah Carlie bagai menjadi jeli. Siap ambruk kapan pun takdir berkehendak. Rasa sakit ini benar-benar tidak tertahan. Rasa dilupakan ini adalah siksaan terberat, bahkan lebih dari perpisahan mereka. Bahkan lebih dari semuanya malam minum-minumnya.

Jona melupakan aku.

Jona melupakan kita.

Jona melupakan semua kenangan yang kita pupuk bersama.

"Aku akan menjerit kalau kau tidak angkat kaki sekarang juga!" Bahkan untuk menatap wajahnya, Carlie nyeri setengah mati. Dia benar-benar akan ambruk. Dia benar-benar ingin ambruk dalam tangis. "Keluar kau! Atau aku akan memanggil orang di luar, dan menyeretmu sampai tidak menemuiku lag-"

Namun sebelum sempat Carlie menyelesaikan ucapannya, tangan Jona lebih dulu meraih tangannya. Carlie terkejut, nyaris menjerit, tapi kali ini Jona tidak membekapnya. Dia tidak menahan mulut carlie untuk berteriak.

Tapi Jona mendekapnya.

Dengan dekapan penuh kehangatannnya yang sangat Carlie rindukan. Dengan tubuh kokohnya yang terkesan dingin, namun sehangat mentari. Dengan wangi tubuhnya yang begitu Carlie damba dalam setiap mimpinya, untuk sekali lagi dia hirup, sedalam ini.

Tangan kokoh nan besarnya menarik Carlie erat ke dalam pelukannnya. Jona sepertinya peduli setan sekalipun kemejanya basah oleh tangis dan ingus Carlie, barangkali. Dia mendekap Carlie begitu hangat, sampai kata-kata mustahil Carlie ujarkan lagi. Sampai setiap bagian dari tubuhnya melemah dalam dekapan, oleh siksaan batin yang tidak tertahan.

Carlie akhirnya menyerah berdiri. Dia terjatuh ke lantai, dan Jona yang tekejut, mencoba meraihnya. Namun gagal. Keduanya ikut jatuh. Jona di bawah, Carlie di atasnya. Namun wajah mereka tidak saling menatap. Carlie hanya menangis, dan menangis di ceruk leher Jona. Menangisi segalanya yang hilang dari benak pria yang membagi sejuta rahasia dengannya. Sedangkan Jona merentangkan tangan untuk membelai rambut Carlie. Usahanya untuk menenangkan, dan sekalipun Carlie benci bagaimana Jona kehilangan ingatannnya, dia mustahil menyangkal kalau belaian Jona adalah penenang terbaik di seluruh dunia. Isaknya belum kunjung mereda, namun dengan sabar, Jona mencoba menenangkannnya.

Aku sangat merindukan ini. Aku sangat merindukan Jona.

Aku di dekapannya kini.

"Maafkan aku. Mungkin aku tidak bahkan berhak mengatakan itu kepadamu." Carlie tetap menangis. Dia tetap sesegukan. Jona tetap membelainya, mencoba menenangkannnya. "Namun satu hal ini aku minta darimu."

Langkah pergi bawahan ayahnya terdengar pergi dari kejauhan. Barangkali untuk turun ke bawah dan meminta kunci cadangan kamar Carlie, agar bisa masuk sebab Carlie tidak menjawab seruannnya. Namun kepergiannnya menyisakan sebuah suasana tanpa gangguan. Hanya Jona dan dirinya. Hanya tubuh mereka yang saling bersentuhan. Hanya ada dua sejoli, di tengah dunia yang menghening, berkabung dalam kubang rindu, yang terpendam 4 tahun lamanya.

"Tolong jangan katakan padaku untuk pergi." Carlie bisa merasakan rahang Jona mengeras, menahan perasannnya yang sama bergejolak tanpa kendali. "Karena setelah 4 tahun tersiksa tidak tahu menahu apa-apa, aku akhirnya menemukanmu. Aku akhirnya bisa mendekapmu. Aku akhirnya bisa hidup kembali."

Ketika sebuah kecupan mendarat di puncak kepalanya, Carlie kian menangis. Aku sungguh merindukan ini semua.

"Aku memikirkanmu siang dan malam walau aku tidak mengenalmu. Aku merindumu dalam setiap malam, dalam setiap mimpi, padahal aku tidak tahu namamu. Karena itu ketika kini akhirnya kita bertemu," Carlie memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menatap Jona. Sebuah senyum tipis mengembang di parasnya dan dengan lembut, jemari kasar kapalannya, mengusap air mata Carlie. Mengeringkan wajahnya yang basah oleh sendu. "jangan katakan kita akan berpisah lagi. Karena aku tidak mungkin bisa meninggalkanmu kini, setelah menemukanmu kembali."

"Apa ada..." Carlie membisik lirih, suaranya pecah, "Sedikit saja, kenangan yang masih kau miliki tentangku? Satu saja?" Namun Jona tidak menjawab. Alih-alih matanya menyayu. Seakan menyampaikan kata maaf yang hanya tersirat tatap. Menyampaikan penyesalan yang begitu menyakitkan. Carlie menggigit bibirnya. "Aku membencimu."

"Kau hanya perlu tahu aku mencintaimu." Jona membelai kembali rambut Carlie, begitu penuh damba, begitu penuh kehangatan. "Untuk satu itu, aku ingat dengan baik."

Carlie kembali menyelam ke dalam dekapan Jona, ingin merasakan kehangatannnya sebanyak yang dia bisa. Ingin kembali berangan kalau kehangatan ini akan berlangsung selamanya. Kalau dekapan ini tidak akan pernah meninggalkannya, sekalipun dalam hidupnya.

Kali selanjutnya kita bertemu aku akan menjadikanmu milikku.

Tiba-tiba, Carlie mengingat ucapan Jona. Dan dalam hatinya yang terdalam, doanya kembali dipanjatkan. Kalau janji Jona akan menjadi kenyataan. Dan Carlie tidak perlu kehilangan dekapan ini lagi, selamanya. Suatu saat nanti.

Namun sialnya, langkah bawahan ayahnya kembali terdengar dari kejauhan. Carlie menatap Jona kepanikan. "Kau harus sembunyi! Kalau ayahku melihatm-"

Namun Jona mencekal tangannnya. Senyumnya kian melebar, namun kali ini, sirat kelicikannnya terpancar. Kecerdikan yang senantiasa Carlie sukai, di balik otak pria itu yang dipenuhi tindak-tanduk ajaib.

"Karena aku melupakan semua kenangan kita, bagaimana kalau kita membuat kenangan baru?"

Carlie mengerut kening kebingungan. "Maksudmu?"

"Ikut aku, Carlie Eloise." Jona bangkit, Carlie pun ikut bangkit. "Malam ini, aku ingin terus bersamamu." 

~~~

Aku seneng chapter kali ini. Kalau aku jadi Carlie juga aku bakalan sedih setengah mampus sih. 

Kalau kalian? 

Thank you semuanya yang udah baca. Udah Vote, Udah komen, udah share, intinya thank you semuanya!

Next Update : 27 Januari 2023

Bonus komen : 150 komen

Komen "😘" buat yang nungguin next chapter.

Follow instagram aku (username : nnareina) buat kabar update!

Kalau komennya lebih dari segitu, kita updatenya satu hari lebih cepet ya! Jadi yang semangat buat next chapter, komen sebanyak mungkin yuk!

Thank you and have a nice day!

Love you all! See you soon! 

Continue Reading

You'll Also Like

7.8M 224K 37
Jika dia berpikir akan menjadikanku salah satu permen karetnya -Habis manis sepa dibuang- berarti dia salah memilih wanita. Aku pastikan tidak akan m...
4.5M 190K 28
"aku akan mencintaimu, biarlah usia hanya menjadi angka, peduli setan dengan apa yang di katakan orang! Bahkan penjara terasa lebih indah dari pada a...
2.4M 177K 33
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
709K 2.5K 13
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...