One Thousand Days

nyonyatua tarafından

7.1K 1.1K 105

Juara ketiga dalam The Goosebumps Love yang diadakan oleh @WattpadRomanceID Salah satu kepercayaan menyebutk... Daha Fazla

Aroma Kematian
Bayangan
Weird Offer
Det Första Steget (1)
Det Första Steget (2)
Life Crisis
Teori Reinkarnasi
Kebimbangan
Iomallach (1)
Iomallach (2)
Now or Never
Sosok Pengganti
Bisikan
Refleks
Rules
Coma
Birai Jendela dan Janji yang Tertinggal
Enza, kan?
Kebangkitan
I Don't Want This Face
Heavy
Handsome Stranger
Tanda
Do You Remember My Name?
Kebimbangan
Seharusnya Kamu Mati
About Last Night
Helianthus annuus
Pilihan
Murdered Dog
He was as Good as I Remember
Coincidence
Pemilik Raga
Purnama Pertama
Aku Tidak Ingin Mati Malam Ini
Suara-Suara
I was Hurt Too
Unexpected Encounter
Refleksi Rasa Bersalah
Traumschnipsel
Lepas dari Raga
Kompensasi Jiwa
Fake Concern
Unsettling Observations
Legacy (1)
Legacy (2)

Manik Hitam

63 17 0
nyonyatua tarafından


Kalau tidak ada masalah pekerjaan, kurasa Alex akan menolak untuk pergi. Kakak laki-lakiku itu pada akhirnya harus pergi juga. Meski setelah ini, Alex mungkin akan mencari segala cara agar Geral pergi dari rumah, tapi setidaknya aku bisa selamat kali ini.

Alex menepuk kepalaku dengan pelan, setelah itu dia juga mengecup ringan keningku. Aku diam saja dan memilih untuk menerima, toh semua itu tidak berarti apa-apa. Hanya kebiasaan lama yang sulit dilepaskan.

"Hati-hati di rumah ya, Za!" katanya sambil melepaskan pelukan.

"Kakak juga, hati-hati di jalan!"

"Kamu enggak lagi ngusir Kakak, kan?" tanyanya sambil mengangkat satu alis.

"Kak Alex mau bekerja, aku juga sama," kataku mencoba menjelaskan.

"Iya, iya, aku pergi," katanya sambil terkekeh pelan. "Enggak usah antar aku keluar!"

Aku hanya mengangguk. Aku memang tidak mengantarkannya keluar, katanya Alex tidak suka kalau diperlakukan seperti tamu begitu Alex kembali menepuk puncak kepalaku sebelum akhirnya berbalik untuk pergi. Pemuda itu menoleh sekilas pada Geral yang kini masih berdiri di dekat pintu. Geral sendiri mengangguk dan tersenyum.

"Aku pergi ya, Za!" katanya sebelum akhirnya tubuhnya menghilang ke balik pintu.

Tidak lama setelahnya, suara mesin mobil menderu cukup kencang. Suara yang membuat kepalaku kembali berdenyut sakit. Aku kembali duduk di sofa dan menutupi telinga kala mesin mobil Alex terdengar lebih keras. Jemariku meremas kepala, bayangan demi bayangan muncul di pelupuk mataku tanpa diundang.

Aku melihatnya malam itu. Matanya tidak berkedip menatapku. Darah mengalir deras menuruni matanya. Anak itu laki-laki yang semula berdiri di trotoar kini sudah terbaring dengan tubuh berlumuran darah. Kepalaku sendiri ada di bawah, aku tidak terjatuh karena ada sabuk pengaman yang membuatku tetap melayang. Tapi, ketika aku menoleh, kepala Ibu terkulai lemah.

Aku kembali menatap anak lelaki itu, dia masih memandangku dengan tatapannya yang kosong. Manik hitamnya terlihat seperti lorong gelap yang bisa menelanku kapan saja. Bibir anak lelaki itu bergerak perlahan.

"Pembunuh!" katanya.

"Enggak, aku bukan pembunuh!"

"Pembunuh apa? Enza, kamu dengar aku, kan?"

Anak lelaki itu masih menatapku, bibirnya bergerak pelan. "Pembunuh!"

"Enggak! Bukan aku, itu kecelakaan," kataku sambil menggeleng.

"Enza, dengarkan aku!"

Napas kasar berembus keluar dari mulutku saat seseorang menepuk pipiku. Tindakan yang membuatku menatapnya. Kini aku memandangi manik hitam pekat di rongga matanya. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Manik hitam itu, kenapa bisa persis sama?

"Si—siapa kamu?"

"Enza ini aku! Ini aku! Geral!" katanya terdengar panik.

"Lepasin! Kamu juga mau bilang kalau aku pembunuh!"

"Enggak, kamu harus tenang. Ini aku, Enza. Geral, kamu dengar aku, kan? Aku enggak ngomong apa-apa dari tadi, Za."

Aku masih memberontak kala kusadari aroma tubuhnya tidak asing. Aku ingat aroma tubuhnya kadang hilang, kadang muncul, akan tetapi aku menyukainya.

"Tenanglah!" katanya lagi sambil menaikkan tubuhku di atas pangkuannya. "Aku ada di sini. Kamu enggak sendirian."

Dia juga menangkup wajahku ke dadanya, seolah-olah dia melindungi dari hal apa pun yang mengusikku. Dia juga meraih helaian rambutku. Jemarinya meremas kepalaku. Pemuda mengusapkan bibirnya perlahan di atas permukaan keningku. Aku terdiam dan tidak ingin merespon. Wajah anak lelaki berdarah itu masih membayang di mata, aku masih takut.

Aku ingin menarik kepalaku menjauh, akan tetapi aku malah menempelkannya di dada pemuda itu. Dia tidak mengatakan apa pun lalu menarik kembali kepalaku dan menaruhnya di dekat dada. Aku melingkarkan lenganku di tubuhnya hingga jemariku bisa meremas punggung kemejanya.

"Anak itu, anak itu berdarah," gumamku dengan bibir gemetar.

"Dia tidak nyata!" gumamnya lembut di telingaku. "Dia hanya bayangan."

Aku mempererat pelukanku. Meremas kemejanya lebih keras. Aku ingin pemuda ini diam.

"Dia hanya ilusi!"

Aku tidak menjawab. Pemuda tidak paham apa yang kulihat bukanlah ilusi. Anak itu nyata, darahnya juga benar-benar ada.

"Kamu dengar aku, Enza. Itu hanya ilusi. Dan aku akan menyadarkan kamu soal itu karena kamu tidak sendirian!"

Pemuda terus mengusap kepalaku dan berbisik pelan di telingaku. Mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Dia juga menambahkan kalau dirinya ada di sini bersamaku. Aku terdiam, jemariku terkepal. Keringat membanjiri punggung dan kepalaku. Lengannya memelukku semakin sementara bibirnya terus mengirimkan kalimat-kalimat lembut di telingaku. Bayangan itu mulai buram dan kabur. Ujung hidungku kini menyentuh permukaan kulit lehernya. Dia menepuk kepalaku lembut. Aku juga menghidu aroma mint bercampur sabun mandi yang menenangkan. Rasa nyeri di kepalaku berangsur-angsur menghilang. Sentuhan jemarinya kini membelai punggungku dan lagu nina bobo yang disenandungkannya membuatku mengantuk.

Aku menggeliat perlahan. Kepalaku masih sakit, akan tetapi suara-suara sudah menghilang. Tanganku masih melingkari lehernya. Aku menarik lenganku dan ingin bergerak tapi tangannya masih merangkul erat pinggangku. Tubuhku masih berada di pelukannya. Entah sejak kapan aku mulai tertidur, tapi Geral merangkulku erat.

Kini aku memandangi wajahnya. Geralku tapi seperti bukan Geral. Tidak ada kemiripan di antara mereka berdua. Wajah pemuda ini memberikan kesan polos dan tidak berdosa, sementara Geral selalu tampak serius. Mulutnya terbuka sedikit. Bibirnya memerah dan bercak darah kering masih menempel di permukaannya. Bulu mata lebatnya membuatku ingin mencabut satu saja sebagai tanda mata.

Jemariku bergerak menyibak helaian rambut yang menutupi sebagian dahiny. Bekas luka memutih melintang di keningnya. Ujung luka itu nyaris mencapai alisnya. Aku menelusuri bekas luka itu. Aku terkesiap dan buru-buru menarik jariku saat dia bergerak. Senyuman mengembang di bibirnya sesaat setelah dia membuka mata.

"Kamu sudah bangun rupanya!"

Dia melepaskan lengannya dari pinggangku lalu membelai pipiku. Lesung pipitnya menyembul saat dia tersenyum. Aku hanya mengangguk.

"Sudah baikan?"

Aku menggangguk. "Udah."

"Kamu pasti lapar," katanya lembut. "Mau makan sekarang?"

Aku menggeleng lalu melingkarkan lenganku kembali ke lehernya.

"Lepasin dulu, biar aku bisa masak buat kamu!" pintanya.

"Kita makan malam di luar saja!"

"Oke, tapi aku lebih ingin begini sekarang. Gak masalah, kan?"

"Iya, enggak masalah."

"Kamu tahu banget kalau aku suka meluk kamu, Za. Dan sofa ini menyenangkan," katanya dengan suara riang.

"Karena sempit?"

"Iya, jadi aku bisa meluk kamu lebih erat."

"Sesuka itu?"

"Iya."

"Padahal dulu kita bisa pelukan lebih banyak, sayang kamu sibuk."

"Kamu benar. Kalau dipikir-pikir, aku agak menyesal karena tidak melewatkan waktu lebih banyak sama kamu. Lalu, aku mati begitu saja."

Kata-kata terakhirnya membuatku tertohok. Aku seakan sedang mengkritiknya semasa hidup. Padahal siapa sih manusia yang tahu kapan ajal akan menjemput?

"Maaf, Geral. Aku bukan mau ngejek atau apa."

"Aku tahu. Jangan khawatir. Untung kamu manggil aku kembali jadi aku bisa menebus kesalahanku ke kamu," katanya masih dengan senyuman yang sama seperti sebelumnya. Sepertinya Geral tidak tersinggung dengan kata-kataku barusan.

"Ngomong-ngomong tadi kamu ke mana?" tanyaku mencoba mengalihkan topik obrolan.

"Ah, soal itu. Aku lagi mengurus pemindahin sebagian uangku ke kamu."

"Hah? Gimana bisa?"

"Itu memang milik kamu dan aku kan butuh makan juga selama di sini, jadi sudah sewajarnya. Makanya tadi, aku mengingatkan pengacaraku buat ngurus pemindahan itu lebih cepat dari yang seharusnya."

"Tapi, bagaimana caranya? Bagaimana bisa?"

"Sssst! Itu aku yang atur, jangan khawatir!" pungkas Geral sambil menaruh ujung jari telunjuknya di bibirku.

"Tapi—"

Geral membungkamku lebih telak ketika pemuda itu menciumku. Bibirnya yang hangat dan menyenangkan tetap tidak bisa membuatku menghapus semua pertanyaan dari kepalaku. Bagaimana bisa Geral yang sudah meninggal bisa mengurus semuanya? Lagi pula, apa itu mungkin dilakukan?


Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

86K 15.1K 41
Tidak ada satupun yang tahu kalau Rylie menjadi admin SweetTalk, akun instagram yang menanggapi curhatan dan memberikan saran. Namun, semua masalah d...
3.7K 309 73
Sebuah kumpulan puisi. Berisi makian juga nasehat atau juga tidak sama sekali. Kalau saja karya harus berdasarkan pekerjaannya, pengangguran tidak pu...
8.5K 442 32
Phuwin gerah mendapati pertanyaan "kapan nikah?" yang tak berkesudahan. Tak disangka pertanyaan itu akan berhenti karena menghadiri pernikahan sahaba...
1.5M 76.6K 40
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...