One Thousand Days

By nyonyatua

7.1K 1.1K 105

Juara ketiga dalam The Goosebumps Love yang diadakan oleh @WattpadRomanceID Salah satu kepercayaan menyebutk... More

Aroma Kematian
Bayangan
Weird Offer
Det Första Steget (1)
Det Första Steget (2)
Life Crisis
Teori Reinkarnasi
Kebimbangan
Iomallach (1)
Iomallach (2)
Now or Never
Sosok Pengganti
Bisikan
Refleks
Rules
Coma
Birai Jendela dan Janji yang Tertinggal
Enza, kan?
Kebangkitan
I Don't Want This Face
Heavy
Handsome Stranger
Tanda
Do You Remember My Name?
Kebimbangan
Seharusnya Kamu Mati
About Last Night
Helianthus annuus
Murdered Dog
He was as Good as I Remember
Coincidence
Pemilik Raga
Purnama Pertama
Aku Tidak Ingin Mati Malam Ini
Suara-Suara
I was Hurt Too
Unexpected Encounter
Manik Hitam
Refleksi Rasa Bersalah
Traumschnipsel
Lepas dari Raga
Kompensasi Jiwa
Fake Concern
Unsettling Observations
Legacy (1)
Legacy (2)

Pilihan

80 19 0
By nyonyatua


Angin dingin yang tertiup ke dalam ruangan membuatku membuka mata seketika. Aku menguap lalu bergerak pelan menuruni ranjang karena gorden di kamarku kini melambai-lambai. Kurasa aku lupa mengunci jendela hingga terbuka setelah ditarik angin. Aku harus segera menutup jendela kalau tidak ingin masuk angin saat tidur nanti. Lenganku baru saja terjulur untuk meraih daun jendela saat mataku menangkap satu sosok yang bergerak mendekati pagar depan rumah.

"Eh, siapa deh?"

Aku menggosok mata dan mencoba memastikan sosok yang kini terlihat dari kejauhan. Eh, masa sih? Tidak salah lihat, kan?

Tapi, tidak salah lagi sosok itu adalah Geral. Masalahnya, kenapa dia keluar malam-malam begini?

Mataku semakin membesar saat Geral berjalan di bawah lampu gantung di pekarangan. Kemeja pemuda itu berbercak merah nyaris di sepanjang lengan. Aku melebarkan kelopak mata untuk memastikan kalau penglihatanku tidak salah. Ternyata bercak yang sangat besar itu masih di sana. Kenapa ada bercak merah di kemejanya? Dan bercak apa itu?

Aku menutup bibirku, mungkinkah itu darah? Tapi, darah apa?

Ini buruk. Benar-benar buruk. Aku buru-buru menutup jendela dengan cepat lalu memelesat menuju pintu untuk memastikan kalau kamar ini sudah terkunci. Firasatku buruk, jadi aku tidak ingin bertemu atau berhadapan dengan pemuda itu.

Setelah mengunci pintu, aku kembali ke ranjang. Tidak tidur, hanya duduk saja. Mungkin besok aku harus membeli senjata atau setidaknya tongkat pemukul. Rasanya benar-benar menakutkan kalau setiap malam selalu seperti ini. Aku meraih ponsel dan menekan nomor Alisia. Dialah satu-satunya orang yang bisa membantu.

Sialnya sampai beberapa kali deringan, gadis itu tidak kunjung mengangkat telepon dariku. Aku meremas benda itu erat-erat sambil mendengarkan suara yang muncul di luar sana. Selama itu, aku juga mencoba menghubungi Alisia lagi.

Napasku tertahan kala langkah kakinya terdengar menapaki anak tangga. Geral berjalan masuk dan sudah ada di lantai yang sama denganku. Tidak lama setelahnya, suara air dari kran mengucur deras. Kecipak air terdengar keras menampar baik air. Haruskah aku keluar? Apa aku harus bertanya padanya?

Tapi, saat Geral hampir membuat nyawaku melayang kemarin malam masih memenuhi pikiranku. Kejadian itu masih membuat bergidik ketakutan sampai sekarang jadi mungkin akan lebih baik kalau tidak keluar. Pada akhirnya, aku memilih tetap berdiam di kamar.

Suara kecipak air itu berhenti tidak lama setelahnya. Suara yang kudengar setelahnya adalah suara pintu yang terbanting. Aku menarik napas lega. Setidaknya mungkin aku aman untuk malam ini. Aku terkesiap ketika ponselku mendadak bergetar. Nama Alisia mengambang di layarnya yang menyala.

"Halo! Alisia!" Aku langsung menyapa tanpa menunggu sahutan darinya begitu sambungan telepon telah masuk.

"Ya?"

"Kamu belum tidur."

"Aku terbangun kebelet pipis. Ada apa?"

"Apa kita bisa ketemu?" tanyaku tanpa basa-basi. "Sebentar saja!"

"Untuk apa? Kangen?"

"Bukan. Ini penting."

"Aku kecewa kamu tidak kangen aku."

"Alisia, serius dikit, bisa?!"

"Ke sini saja!"

"Kapan?"

"Terserah!" sahutnya acuh tak acuh.

"Sekarang bisa?"

"Di kios," katanya pendek.

"Oke, aku ke sana sekarang," ucapku cepat sambil menutup sambungan telepon.

Sebelum pergi, aku menatap jam dinding, sudah pukul satu dini hari. Aku mendesah pelan. Sekarang adalah waktu yang tepat karena Geral mungkin sudah tidur. Aku meraih jaket yang menggantung di balik pintu dan kunci mobil. Setelahnya, aku memutar kunci dan membuka pintu. Benda itu berderit lambat dan pelan. Aku melangkah keluar, mengendap-endap agar tidak menimbulkan suara apa pun. Meski begitu, jantungku tetap berdetak lebih cepat. Namun, aku tidak bisa mundur sekarang.

Untuk memastikan kalau pemuda itu benar-benar tidur, aku menempelkan daun telinga di depan pintu kamarnya. Dengkuran pelan terdengar dari dalam, oh dia tertidur. Aku mendesah lega. Tidak menunggu lebih lama lagi, aku kembali berjalan mengendap-endap sambil menenteng sepatu di tangan untuk meminimalisir kemungkinan dia akan mendengar langkah kakiku.

Untung saja, semuanya berjalan lancar. Aku tidak ketahuan sampai di luar rumah. Mobilku juga tidak bermasalah. Sekarang aku sudah berkendara di jalanan yang sepi. Nyaris tidak ada satupun kendaraan yang melintas di jalanan. Kakiku menginjak pedal gas semakin dalam dan memaksa kendaraan ini melaju lebih kencang. Aku baru melambatkan laju kendaraan ketika kios milik Alisia mulai terlihat. Begitu sampai di lokasi yang dituju, aku memarkir mobil tepat di depan pintu masuk.

Alisia keluar tidak lama kemudian setelah aku mengetuk pintu kiosnya. Gadis itu membawaku masuk dan aku mengikutinya tanpa banyak bicara. Kami sampai di ruangan yang kukunjungi tempo hari. Mataku mengamati sekeliling, tidak banyak yang berubah dari tempat ini. Potret yang membuatku penasaran itu masih tertutup tirai seperti yang kuingat terakhir kali.

"Ada apa?" tanyanya tanpa menungguku menjelaskan.

"Soal Geral."

"Oh, ada apa?"

"Kamu bilang kalau Geral akan kembali, kan?" kataku membuka pembicaraan.

"Iya. Dan dia sudah kembali, kan? Apa masalahnya?"

"Aku rasa ada yang salah dengan Geral—" Aku sengaja menggantung kalimat untuk menunggu reaksinya. Akan tetapi, mimik wajah Alisia tidak berubah. Tetap tenang seperti biasanya.

"Apa maksudmu?"

"Dia jadi brutal sekarang. Kayak aku enggak pernah lihat Geral sebrutal itu selama hidupnya. Dia orang paling lembut yang pernah kukenal. Tapi, kenapa sekarang dia berubah?"

"Wow, wow, oke, aku paham."

"Ya, itu masalahnya, Alisia. Jelaskan soal itu!"

"Dengar, kamu sendiri hanya menginginkan pacarmu kembali. Dia sudah bangkit dari kematian seperti yang kamu inginkan. Kalau soal sifat, aku tidak bisa menjamin apa pun karena aku tidak kenal pacarmu."

"Sama seperti yang kubilang sebelumnya, Geral itu orang paling lembut dan baik yang pernah kukenal. Tapi, kenapa sekarang dia jadi seperti itu? Kenapa kamu juga tidak pernah mengatakan soal perubahan ini!"

Alisia mengembuskan napas. Terdengar kesal dan menahan marah. "Orang yang mengalami hal buruk saja ada efek sampingnya bahkan kadang membuat trauma. Lalu kamu pikir orang yang sudan mati akan baik-baik saja dan kembali seperti semula setelah merasakan sakitnya kematian?"

"Maksudmu dia berubah karena trauma pernah mati?" Kali ini aku tidak bisa menutup getaran di tanganku. Aku sama sekali tidak memperkirakan soal ini.

"Bisa Jadi iya, bisa jadi tidak."

"Dan kamu sendiri juga tidak tahu."

"Ya. Aku tidak tahu. Seperti yang kujelaskan juga ke kamu, Enza. Aku tidak kenal pacarmu. Jadi, aku enggak tahu apakah sifat brutalnya itu karena efek samping kematian atau memang tabiatnya begitu."

"Kalau tabiatnya Geral, maka enggak mungkin begitu."

"Nah, kalau begitu kamu sudah dapat jawabannya. Jadi, pulanglah!" Alisia mengibaskan tangannya. "Jujur, aku mau tidur, Za."

Aku terbelalak menatapnya. Bisa-bisanya dia, aku jauh-jauh datang kemari hanya untuk mendengarnya mengusirku. "Aku bisa saja mati dan kamu menyuruhku pulang tanpa solusi?!"

"Terus aku harus apa? Kamu sudah dapat jawaban yang kamu mau, kan?"

"Iya, tapi seenggaknya kasih aku solusi!"

Alisia kini menatapku tajam. "Dengar, aku malas mendengar kamu merengek terus. Aku perjelas ini sekali lagi, aku sudah mengingatkanmu. Ada harga yang harus kamu bayar, jadi apa pun itu coba kamu pikirkan sendiri!"

"Maksudnya dengan perubahan perilaku itu?"

Alisia mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Harga ini bisa bervariasi," ucapnya santai seolah hanya mengucapkan dia lebih suka es krim rasa vanila dibanding cokelat.

"Jadi kamu sendiri juga tidak tahu variasinya?"

"Dunia ini terlalu luas untuk kita pahami secara utuh, memangnya kamu pikir aku mampu melihat semua hal di dunia lain juga. Aku masih waras, bukan orang gila yang bisa menerawang nasib seseorang di alam baka."

"Aku tahu, maafkan aku," sahutku lemas. "Tapi Geral, gimana? Aku harus apa?"

Alisia kini menatapku tanpa berkedip. "Camkan lagi, aku malas mengulang terus. Semua hal harus dibayar. Sampai kapan kamu akan manja dan merengek seperti ini? Kalau kamu pikir kau tak sanggup mengapa kamu melakukan perjanjian ini sejak awal? Jangan mengatakan kalau kamu tidak tahu. Kita berdua tahu dengan siapa kita melakukan transaksi," ucapnya tegas. Alisia mengingatkan semua hal yang pernah aku sepakati saat memutuskan untuk memanggil Geral kembali.

"Tapi memangnya dia harus sebrutal ini? Aku hampir mati, kamu paham!" Aku kembali menghardik wanita berambut hitam itu.

"Kalau kamu tidak sanggup, aku bisa mengantarkannya kembali ke alam baka. Kamu mau itu?" Suara Alisia menukik lebih tinggi.

"Aku—" Aku kehabisan kata-kata untuk membantah. Aku juga tidak ingin Geral kembali. Sejujurnya aku senang dia datang lagi dan menemaniku setiap hari, meski setiap malam aku harus ketakutan.

"Ini bahkan belum mencapai seratus hari. Pikirkanlah kamu masih menginginkannya atau tidak."

Tanganku yang semula terkepal kini terkulai lemas di meja. Alisia benar, aku menginginkan ini semua. Rasanya tak sanggup kalau aku harus mengirimkan Geral kembali. Secepat ini. Aku tak bisa. Aku akan hancur. Tidak, aku bahkan akan lebih hancur dari sebelumnya. Mengirim Geral kembali sama saja dengan mengatakan kalau aku tidak menginginkannya lagi ada di sisiku. Aku akan menyakiti hatinya dan jelas aku tidak menginginkan itu terjadi.

Aku menginginkanmu tanpa tahu batasnya. Saat aku tahu kau menginginkanku dalam cara yang sama, aku bahagia, Enza.

Suara Geral kembali terngiang di telinga. Akupun menginginkan pemuda itu tanpa tahu batasnya. Dan mungkin karena ini, aku tidak boleh menyerah.


Continue Reading

You'll Also Like

69.2K 10K 24
Bagi Kang Yoo Ra, kesempurnaan itu tidak ada. Jika bahagia muncul, maka ia harus siap kehilangan. Meski hidupnya berubah, Yoora tetaplah yang dulu...
24.3K 2.9K 51
Anak Dengan Yang Mulia Abadi Melarikan Diri 揣着仙尊的崽跑了 Penulis: bagi dengan nol 除零 Waktu rilis: 2020-08-15 Lengkap: 50
609K 54.6K 33
Athalia Sharafina menyukai Narado Risyad dalam diam selama bertahun-tahun. Tapi tidak pernah menyatakannya bahkan disaat-saat terakhirnya dengan Nar...
328K 19.4K 25
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...