One Thousand Days

By nyonyatua

7.6K 1.1K 105

Juara ketiga dalam The Goosebumps Love yang diadakan oleh @WattpadRomanceID Salah satu kepercayaan menyebutk... More

Aroma Kematian
Bayangan
Weird Offer
Det Första Steget (1)
Det Första Steget (2)
Life Crisis
Teori Reinkarnasi
Kebimbangan
Iomallach (1)
Iomallach (2)
Now or Never
Sosok Pengganti
Bisikan
Refleks
Rules
Coma
Birai Jendela dan Janji yang Tertinggal
Enza, kan?
Kebangkitan
I Don't Want This Face
Heavy
Handsome Stranger
Do You Remember My Name?
Kebimbangan
Seharusnya Kamu Mati
About Last Night
Helianthus annuus
Pilihan
Murdered Dog
He was as Good as I Remember
Coincidence
Pemilik Raga
Purnama Pertama
Aku Tidak Ingin Mati Malam Ini
Suara-Suara
I was Hurt Too
Unexpected Encounter
Manik Hitam
Refleksi Rasa Bersalah
Traumschnipsel
Lepas dari Raga
Kompensasi Jiwa
Fake Concern
Unsettling Observations
Legacy (1)
Legacy (2)

Tanda

116 21 2
By nyonyatua


Saat Geral tidur, aku keluar dari rumah. Tujuanku adalah menemui Alisia. Ada hal yang ingin kutanyakan kepadanya. Aku sudah mengunci rumah dan berharap Geral akan tidur selama aku pergi. Lagi pula, aku berharap kalau kunjunganku tidak akan berlangsung lama.

Aku menarik napas pelan. Ruko tempat Alisia bekerja sebagai peramal masih ada di sana. Ruko itu tetap usang seperti biasanya. Aku yakin bahkan papan nama Madam Alisia itu mulai miring dan mungkin sebentar lagi akan jatuh. Di atas keusangannya yang mengagumkan, tempat ini tetap membangkitkan bulu kuduk. Meski begitu, aku mencoba mengabaikan semua itu dengan mendorong pintu dan berjalan masuk. Toh, aku yang memang berniat datang ke tempat ini.

"Permisi! Alisia?!"

"Langsung masuk saja!" Suara Alisia terdengar dari dalam. "Langsung duduk saja, aku akan buatkan teh dulu!"

"Oke."

Aku berjalan masuk semakin dalam, ke lokasi di belakang ruko. Benar-benar mencoba untuk tidak menabrak apa pun karena pencahayaan yang terbatas di tempat ini. Aku mendesah lega akhirmya sampai di dalam ruangan. Setelah menemukan ruangan yang dimaksud, aku duduk di salah kursi yang mengitari meja makan. Meja itu bulat dan mungil. Ruangan ini biasa saja. Tidak ada yang istimewa hanya tumpukan barang-barang dan beberapa perabotan untuk makan. Alisia tidak punya banyak barang. Meski tidak berjejal barang-barang di dalamnya, ruangan ini pengap dan sesak. Mungkin karena sangat tertutup dan tidak tersentuh cahaya matahari.

Aku menarik napas berat kemudian menatap sekeliling. Tatapanku tertuju pada potret besar di pojok ruangan. Entah mengapa potret itu menarik perhatianku. Tanganku terulur untuk menarik tirainya. Namun, suara deheman pelan membuatku tersentak. Aku buru-buru melepaskan tanganku dari tirai yang menutupi potret itu dan mengurungkan niatku untuk mengintip. Padahal sebenarnya aku benar-benar penasaran. Kalau sampai ditutupi maka pasti sesuatu yang sangat penting.

Alisia memang tidak menegur ulahku barusan. Perempuan itu bahkan tidak mengatakan apa pun sampai ku kembali duduk di posisi semula. Alisia langsung duduk di hadapanku setelah menaruh nampan di atas meja. Gadis itu kemudian menyodorkan satu cangkir ke arahku. Aku menarik cangkir itu lebih dekat dan mengetukkan jari-jariku di permukaannya yang licin.

"Jadi—" Alisia memiringkan kepala dan menatapku lekat-lekat. "Ada apa sampai kamu repot-repot datang ke sini."

Jari-jariku masih bermain di permukaan cangkir sementara kepalaku menunduk. Aku sama sekali tidak menatap Alisia. "Ini soal Geral."

"Kutebak dia sudah bangun makanya kamu datang," katanya sambil menautkan jemarinya.

"Kamu benar."

"Lalu?"

Aku meneguk ludah sebelum mulai bicara lagi. Setelah merasa sedikit lebih tenang, aku menceritakan semua yang terjadi. Aku melakukannya karena kurasa Alisia memang sudah seharusnya mengetahui hal ini.

"Apa kamu tahu cara untuk membuat Geral berhenti mengamuk dan bisa lebih tenang?" tanyaku setelah mengakhiri cerita.

"Bukankah dia sudah berhenti mengamuk?" tanya Alisia tenang. Nada suaranya masih sedingin biasanya.

"Iya sih."

"Kalau begitu tidak akan ada masalah. Dia hanya kaget, kamu hanya harus memahaminya. Berada di tubuh orang lain itu pasti rasanya aneh, Za. Kamu sendiri bakalan sefrutasi pacarmu itu kalau mengalaminya sendiri."

"Iya, aku paham juga soal itu."

"Nah, jadi kamu tidak perlu pikirkan soal itu. Mulai besok dia akan kembali jadi Geral yang selama ini kamu kenal."

"Kamu yakin soal itu?"

"Tentu saja," katanya meyakinkanku. Rasanya aku sedikit tenang dengan keyakinan Alisia sekarang. "Aku jamin."

"Lalu, ada hal yang ingin kutanyakan."

"Soal apa itu?"

"Soal ini," kataku sambil membukascarf hitam yang menutupi leherku dan menaruh benda itu di pangkuanku. "Apa kamu tahu luka apa ini?"

Aku memiringkan kepalaku sedikit untuk menunjukkan satu sisi di leherku. Ujung jariku menunjuk luka yang sekarang telah meninggalkan bekas hitam menonjol di permukaan kulitku.

"Oh, luka itu," sahut Alisia dengan santai. Gadis itu bahkan sempat menyesap teh di cangkirnya.

"Iya, luka ini, Al."

Perempuan itu menarik satu alis ke atas lalu tersenyum. Sayangnya, senyuman yang terbentuk tampak tanpa emosi. Ekspresinya memang dingin walau mungkin kata-kata yang keluar dari bibirnya cukup ramah di telinga. Wajahnya yang oval dan kulitnya yang pucat dengan balutan rambut hitam panjang membuatnya bisa dikatakan cukup mengerikan daripada bersahabat. Meskipun, beberapa waktu lalu dia begitu ceria, entah kenapa dia sangat dingin hari ini. Aku bahkan yakin kalau mungkin aku sedang berbicara dengan alter ego perempuan ini. Kurasa bahkan salah satu dari dua sifat itu bukanlah sosok Alisia yang sebenarnya.

"Well, aku tahu kau akan menanyakan hal ini cepat atau lambat," tukas Alisia masih santai sambil memainkan jemarinya di permukaan cangkir.

"Maksudmu kamu tahu luka apa ini?"

"Tentu saja."

"Kalau begitu, bisa kamu jelaskan!" pintaku.

Aku menatap Alisia, masih menunggu penjelasan. Bersikap frontal atau mungkin memaksanya bisa berakibat buruk. Bisa jadi gadis menyebalkan itu tidak akan berbagi informasi denganku.

"Aku tidak akan menyembunyikan apa pun dan aku tidak pelit soal informasi yang mungkin kamu butuhkan," sahutnya cepat. Jawabannya seperti sedang menanggapi gagasan buruk yang berkembang di dalam benakku. Seolah-olah, Alisia bisa membaca pikiranku.

"Aku tahu." Suaraku sedikit bergetar. Kini aku melepaskan jariku dari leher dan kembali duduk dengan kepala lurus.

"Luka di lehermu itu adalah pertanda ritual pertamamu. Goresan itu akan bertambah hingga hari keseribu. Luka itu akan memanjang mengintari lehermu selama hari itu hingga ujungnya akan saling terkait."

"Maksudmu aku akan berkalung bekas luka hitam ini?"

"Iya."

Jantungku mungkin melewatkan satu atau dua kali degupan ketika mendengar kata-katanya. Berkalung bekas luka itu selamanya terdengar benar-benar mengerikan. Tanganku yang semula saling memilin kini mulai genetar.

"Apa enggak ada cara lain agar luka ini tidak muncul?"

Alisia mengggeleng. "Enggak ada karena luka itu adalah penanda dan harga yang harus kamu bayar untuk memanggil roh seseorang yang telah meninggal."

"Lalu apa yang akan terjadi dengan bekas luka ini?"

"Aku tidak tahu soal itu. Tapi, hal yang aku tahu tentang ritual ini adalah pada hari ke seribu saat lingkaran itu saling terkait maka kamu harus memilih, nyawamu atau nyawanya."

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak tahu pasti, tapi katanya begitu." Alisia kembali berteka-teki. "Satu hal yang pasti, kamu mengikat perjanjian dengan iblis. Kamu sendiri juga tahu kalau iblis tidak akan memberikan apa pun secara cuma-cuma. Pada akhirnya kamu akan membayar semuanya karena tidak ada yang gratis di dunia ini."

Mendengar kata-kata itu membuatku sedikit takut. Alisia benar, tidak ada yang gratis di dunia ini, apalagi memanggil orang yang sudah mati kembali ke dunia maka pasti akan ada bayaran yang sangat besar. Dan memanggil jiwa yang mati itu bukan pekerjaan malaikat, semua itu pekerjaan iblis. Jadi, lagi-lagi, Alisia tidak salah dalam hal ini. Aku tahu soal ini. Namun, aku ingin tahu lebih banyak.

"Membayar? Dengan apa? Nyawa?" tanyaku akhirnya setelah merasa cukup tenang.

Alisia tersenyum sekarang. " Aku tidak tahu. Satu hal yang kutahu, iblis tidak suka memberi kejutan di awal. Pembayaran itu akan tiba pada waktunya dan kamu akan melunasi hutang itu apa pun yang terjadi, meski kamu menolak sekalipun."

Aku kembali mengetuk cangkirku. Mataku menatap cairan kental teh di dalamnya. Aku benar-benar terjebak sekarang. Sialnya, aku bahkan tidak tahu jalan keluarnya. Bulu kudukku tidak kunjung tenang setelah mendengar kata-kata Alisia barusan. Ujung jariku kini menyentuh leherku. Bekas luka kecil itu seolah mengigit-gigit di balik kulitku.

"Kamu takut?"

"Memangnya kamu tidak takut kalau urusannya dengan iblis?"

"Kalau menurutku, nikmati saja kebersamaanmu bersama pacarmu itu selagi kamu bisa," Alisia tersenyum hingga giginya yang putih menonjol mengerikan. "Sebelum kamu harus membayar lunas hutangmu, bukankah setidaknya kamu harus bahagia. Dunia ini enggak ada adil padamu, kan?"

Aku tidak menjawab. Lagi-lagi kata-katanya benar. Alisia seperti sedang mengoleskan madu di setiap kalimatnya yang beracun. Aku baru sadar sekarang, sepertinya memang tidak ada lagi jalan kembali. Semua sudah terjadi dan aku harus membayar cepat atau lambat. Akan tetapi, seribu hari masih lama. Aku akan memikirkan bayarannya nanti. Untuk sekarang, aku hanya perlu sedikit senang karena Geralku telah kembali seperti kata Alisia. Bukankah dunia ini tidak adil padaku, jadi setidaknya aku harus bahagia. Benar begitu, kan?


Continue Reading

You'll Also Like

10.3K 1.9K 23
Kebersamaan yang didamba Kenan ternyata tak bertahan lama. Karena urusan masing-masing, dia harus melepas satu per satu adiknya menjalani kehidupann...
771K 55.2K 13
Okay, siapa sih yang tidak kesal karena diperlakukan semena-mena? Lagi, kenapa Arin sangat teramat sial karena bertemu dengan orang jutek, tidak tah...
1.8M 101K 25
❝Apakah aku bisa menjadi ibu yang baik?❞ ❝Pukul dan maki saya sepuas kamu. Tapi saya mohon, jangan benci saya.❞ ©bininya_renmin, 2022
513K 55.9K 25
(PART TIDAK DIHAPUS) Glacie : Aku pernah mencintainya. Sekarang, mungkin aku masih mencintainya. Aku menikahinya bukan karena kesepian. Dia laki-laki...