Guru BK Ngeselin Itu, Suami G...

By Kurniasuhada_

23.5K 893 72

Dia tetanggamu yang tiba-tiba jadi guru BK di sekolahmu. Dia yang sejak kecil menjengkelkan, mengaturmu denga... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Double R, and other
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20 (a)
Part 20 (b)
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45

Part 25

383 19 0
By Kurniasuhada_

Oke, mungkin ini part paling plin plan. Jadi kuharap kalian sabar menghadapi labilnya pikiran anak es em aa kayak Rifa.

Hope u enjoyed this part ya gaistyyy.







Lagi-lagi Rifa tak mendapati Raka pulang ke rumahnya. Gadis yang masih dalam masa pemulihan itu menyingkap tirai yang menutup jendela kamarnya berharap melihat Raka di seberang sana. Namun, kamar yang dahulu ditempati Dita tersebut tampak sepi, tak ada pergerakan sang penghuni rumah.

Niatnya ingin ke rumah Raka ia urungkan setelah mendapat larangan dari Sarah. Rifa bingung mengapa tiba-tiba Sarah sangat tidak suka setiap kali ia membahas  atau bertanya tentang Raka. Rifa memang bilang kalau pernikahannya dan Raka itu sama sekali tidak didasari oleh cinta, namun bukan berarti Rifa ingin memutus hubungan kekeluargaan dengan Mita, wanita yang juga sudah ia anggap seperti ibunya.

Apalagi sekarang Rifa sudah tahu bagaimana perasaannya terhadap Raka. Hanya saja ia tak bisa segamlang itu mengaku, mengingat bagaimana perlakuan Raka akhir-akhir ini setelah ia ke luar dari rumah sakit. Raka tidak pulang ke rumah, tidak pula mengirimi pesan chat untuk bertanya bagaimana keadaan Rifa. Apa mungkin perasaan cinta yang pernah Raka ungkapkan itu hanya bualan belaka untuk menjebak Rifa?

Tak ingin semuanya mengambang Rifa yang merasa kodisinya sudah lebih baik langsung membuka lemari, mengambil seragam putih abu-abu dari sana. Meski waktu dirasa alang tanggung, ia ngotot untuk tetap pergi ke sekolah setelah berdebat dengan mamanya. Ia yakin akan bertemu dengan Raka di sekolah nanti.

"Rifa! Kamu itu belum sembuh, hei!"

Teriakan Sarah tak digubris sama sekali. Tanpa riasan bedak seperti biasa dan rambut yang dibiarkan dikuncir kuda gadis itu berlari ke luar pagar sampai ke depan komplek. Tidak sempat lagi ke garasi untuk mengambil motor.

Napasnya tersengal dengan keringat bercucuran deras mengalir di pelipis dan bagian dalam tubuhnya. Jantungnya berdebar cepat, terasa lebih cepat lelah dari sebelumnya. Biasanya Rifa mampu berlari lebih jauh dan lebih cepat demi menghindari kejaran Pak Husin. Mungkin karena kondisinya yang baru sembuh, makanya jadi agak lemah begini.

Mendengar suara mobil, Rifa refleks menoleh ke belakang, takut kalau mamanya mengejar. Pokoknya, bagaimana pun caranya Rifa harus pergi ke sekolah hari ini. Bukan untuk belajar tapi untuk bertemu Raka.

Tentu saja ia tidak akan sampai tepat waktu sebab ketika angkot yang ia tumpangi berhenti di depan gerbang, waktu sudah menunjukan keterlambatan yang tidak bisa didebat. Pagar pun sudah terkunci rapat. Rifa mendengus, lagi-lagi harus melompat pagar belakang.

Dengan susah payah Rifa memanjat pagar yang ditumbuhi tanaman rambat tersebut. Harapannya ingin masuk secara ilegal dengan mulus harus kandas oleh kehadiran guru berseragam coklat dengan kopiah haji yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

Rifa misah-misuh, salah tingkah melihat guru BK legendaris yang baru pulang haji tersebut. "Eh, Pak Husin. Assalamu alaikum, Pak," ucap Rifa seraya mencium tangan Pak Husin."Apa kabar, Pak? Gimana kemarin ibadahnya lancar?"

"Alhamdulillah lancar. Kamu gimana? Capek abis manjat pagar?" balas Pak Husin, dengan eskpresi datar.

"Capek banget, Pak. Mana saya abis ke luar rumah sakit. Abis kena musibah ini saya, Pak." Rifa mendramatisir. "Tapi saya tetep bela-belain masuk sekolah. Karena saya tuh pengin banget belajar. Yah, walaupun harus telat karena ban mobil mama saya kempes. Makanya saya terpaksa manjat pagar, Pak."

"Oh gitu. Waduh, kasian banget ya kamu?"

Rifa mengangguk. "Iya, Pak, kasian banget, kan? Ini juga saya sebenernya mau pingsan, Pak. Pusing banget nih kepala saya."

"BANYAK ALESAN!" Semprot Pak Husin. Guru yang sudah menyandang status haji itu berkacak pinggang. "Kamu pikir saya ini bisa kamu bohongi? Dari kelas sepuluh sampai sekarang, memangnya kamu pernah tidak terlambat? Tiap hari kamu telat!"

"Pernah kok Pak saya datang tepat waktu, tapi pas Bapak lagi di Arab."

"Malah ngejawab!" Rifa terkisap, menutup mulutnya yang lemes. "Sekarang kamu ikut saya ke lapangan!"

"Ke ruang BK aja deh, Pak," tawar Rifa. Kalau ke sana kan Rifa bisa langsung bertemu Raka. Kalaupun di hukum membersihkan ruang BK, ia bisa curi-curi pandang dan ngobrol dengan Raka.

"LAPANGAN!"



***

"Woi, Fa! Ngapain lu bejermur di situ?"

"Cinta banget ama tanah air emangnya sampe hormat berjam-jam?"

"Bejemur mah di Bali, Fa, bukan di lapangan!"

Gelak tawa dari teman seangkatannya mewarnai aksi hormat bendera yang dilakukan Rifa. Gadis yang kecipratan wajah oriental dari youtube itu berdecak kesal ingin melemparkan sepatu pada teman-temannya.

Cuaca sedang terik-teriknya. Rifa yang lupa pakai skincare harus rela kalau habis ini kulitnya belang. Ia melirik Pak Husin yang asyik mengobrol dengan guru lain di pinggir lapangan.

"Apa gua pura-pura pingsan aja yak biar selamet dari hukuman?" ujar Rifa bermonolog. Ah, lalu ia menggeleng, cara itu sudah pernah ia lakukan tapi tidak berhasil. Pak Husin terlalu sulit dibohongi. Tapi kalau berdiri lebih lama lagi rasanya Rifa juga tidak kuat. Kakinya sudah terasa pegal dan kepalanya pun terasa sedikit pusing.

Kalau tahu Pak Husin sudah masuk lagi, Rifa juga mikir-mikir ke sekolah hari ini. Gadis itu memutar otak, mencari cara agar bisa lolos dari hukuman ini.

"Eh-mmmpphh!" Rifa terlonjak saat seseorang tiba-tiba membekap mulutnya, menarik Rifa ke luar dari lapangan. Cowok itu mendesis, meminta Rifa untuk diam agar Pak Husin tidak terusik dan memergoki mereka.

Rifa menghempas bekapan di mulutnya. Ia berbalik menatap tajam si pelaku. Matanya membeliak, menatap cowok itu dari ujung kaki hingga ujung kepala, lalu mengucek kedua matanya sebab tak percaya dengan apa yang ia lihat. "Pak Raka?"

Benar, itu adalah Raka. Rifa tersenyum lebar sebab akhirnya bisa bertemu dengan orang yang saat ini ia rindukan. "Pak Raka makasih banyak ya udah nyelametin saya. Saya hampir banget pingsan berjemur di lapangan."

"Ngapain kamu ke sekolah?" Bukannya menanggapi Raka malah membalas dengan pertanyaan yang bernada sama flatnya dengan wajah Raka saat ini. Guru BK itu memandang Rifa penuh tuntutan.

Dipandang seperti itu tentu saja Rifa jadi salah tingkah. Dia yang biasanya banyak omong mendadak gagu. "Ditanya tuh jawab, bukan diam aja."

"Ah-itu, saya ...." Rifa menelan ludah. "Sa-saya mau sekolah, lah. Emang ngapain lagi? Masa ... saya mau shoping, kan aneh."

"Siapa yang ngizinin. Bukannya kamu masih harus istirahat?"

"Saya udah sehat kok."

"Sehat? Muka pucat gitu kamu bilang sehat? Kamu nggak mikir kalo kamu kenapa-napa itu bakal ngerepotin orang lain? Hobi ya kamu bikin gaduh? Kemarin hilang di hutan, sekarang mau acara pingsan karena maksa sekolah padahal masih sakit?"

Rifa menarik senyum tipis, melipat kedua tangannya di dada. "Pak Raka itu nggak tau kondisi saya. Jadi nggak usah sok ngatur. Lagian Pak Raka pikir hilang di hutan itu mau saya? Saya juga nggak mau kali ngerepotin orang lain."

"Kalo nggak mau ngerepotin, harusnya kamu sadar diri. Kalo masih sakit nggak usah masuk sekolah."

"Saya ulangi sekali lagi, saya itu baik-baik aja. Bisa liat sendiri kan, saya udah sehat wal afiat?" Rifa menunjukkan kebugarannya di hadapan Raka.

"Oh, bagus lah." Rifa tercengang mendengar jawaban Raka. Ini jauh berbeda dengan Raka yang beberapa waktu lalu Rifa kenal. Raka seperti kembali ke setelan pabrik. "Apa? Kenapa ngeliatin saya begitu?"

"Enggak kok, nggak pa-pa. Saya bersyukur aja sih, bukan Pak Raka yang nyelametin saya karena saya nggak mau utang budi sama Pak Raka. Dan sebagai cewek saya bangga banget punya pacar kayak Abian yang care sama pasangannya. Sampai bela-belain bolak balik rumah sakit buat ngerawat saya." Percayalah tujuan Rifa saat itu hanyalah untuk menyindir Raka supaya cowok itu peka, namun Raka menanggapinya lain.

"Baguslah kalo gitu. Saya ikut seneng dengernya. Lagipula saya juga sibuk, nggak sempet buat ngurusin kamu."

"Saya juga nggak butuh perawatan Pak Raka. Walaupun status kita suami-istri, tapi pernikahan itu cuma di atas kertas. Nggak ada kewajiban menjaga satu sama lain. Selama ada Abian, saya sudah merasa cukup dilindungi," balas Rifa. Meskipun dadanya terasa mengkal, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar sangat meyakinkan. Tak nampak kalau saat ini ia sedang patah hati.

"Sekali lagi, saya ikut seneng dengernya. Saya akui kalau Abian memang jauh lebih bertanggung jawab sebagai laki-laki." Raka merasa keputusannya sudah tepat dengan tidak mengaku bahwa dirinyalah yang sebenarnya telah menyelamatkan Rifa, bukan Abian. Terlihat jelas, Rifa sangat senang mengetahui bahwa ia diselamatkan oleh Abian. Tidak mungkin Raka merusak kebahagiaan itu dari Rifa.

Mereka menutup percakapan dengan sama-sama berjalan ke arah berlawanan. Rifa menahan rasa sesaknya begitu pun dengan Raka. Rifa pikir, Raka benar-benar peduli dan sayang padanya, ternyata Rifa hanya kegeeran. Pernyataan cinta Raka waktu itu rupanya hanyalah sebuah omong kosong belaka.

Sementara Raka, ia berusaha menerima kenyataan bahwa Rifa memang bukanlah untuknya. Ada orang lain yang lebih pantas memiliki gadis itu.

***

"Fa, kamu kan masih sakit. Ngapain maksain diri ke sekolah?"

"Iya, Fa. Muka lu masih pucat banget gitu. Nyokap lu sampe nelpon gua, bujukin lu buat pulang aja."

Rifa menggeleng, merebahkan kepalanya di lipatan tangan. Gadis itu ngotot tidak mau pulang. "Gua nggak pa-pa, kok. Gua udah sehat."

Udin dan Abian saling pandang. Lalu Abian menggeleng tanda menyerah sebab tidak berhasil jua membujuk Rifa.  Mereka khawatir dengan kondisi gadis itu. "Fa, kita pulang aja ya. Nanti kalo udah sehat, baru sekolah lagi."

Rifa bangun lalu menggebrak meja membuat seisi kelas kaget, begitu pun Abian dan Udin. Keduanya refleks menjauh. "Kalian berdua ngerti bahasa manusia, kan? Kalo gua bilang enggak, ya enggak! Paham nggak sih?"

"Fa? Lu kenapa deh?" tanya Udin baik-baik. "Lu lagi ada masalah?"

"Kalo ada masalah bilang, Fa. Jangan tiba-tiba kayak gini," tambah Abian.

Rifa tak menyahut. Ia meraih tas ranselnya lalu melenggang pergi tanpa mengubris satu pun pertanyaan dari Udin dan Abian yang kebingungan dengan sikapnya. 

Gadis itu mempercepat langkahnya,  bergegas ingin ke luar dari area sekolah, menuju pagar belakang. Namun, langkahnya seketika terhenti ketika di depan sana—di depan ruang OSIS—Rifa menangkap pemandangan yang sama sekali tak ingin ia lihat dengan matanya.

Potret kedekatan antara Raka dan ketua OSIS baru bernama Adelia. Meskipun Raka pernah bilang tidak akan menaruh hati pada gadis mana pun selama mereka masih terikat pernikahan, tetapi sikap Raka tadi pagi membuat perasaan Rifa mengambang.

Raka yang tadi pagi itu benar-benar berbeda. Dia seperti kembali ke setelan pabrik sebagai manusia yang menyebalkan. Tidak punya perasaan.

"Makasih ya, Pak Raka."

Mata Rifa membeliak mendapati aksi berani yang dilakukan Adelia terhadap Raka. Di depan teman-temannya Adelia berani memeluk Raka. Bahkan ini masih di area sekolah. Tak terima dengan hal itu Rifa mempercepat langkahnya, menarik tubuh gadis itu agar terlepas dari Raka.

Tubuhnya berada di tengah-tengah, menjadi benteng agar Adelia tak bisa menyentuh Raka lagi. "Seru banget peluk-pelukan. Kalo boleh tau, dalam rangka apa ya?" tanya Rifa dengan nada satir.

"Oh, ma-maaf, Kak. Itu, tadi saya nggak sengaja. Saya refleks aja meluk Pak Raka, soalnya saya seneng banget karena Pak Raka udah bantu saya bikin proposal," jelas Adelia. Tentu saja Rifa tahu betul kalau itu hanyalah modus.

"Oh, gitu ya, Pak?" tanya Rifa, memutar tatapannya pada Raka. "Mau juga dong meluk Bapak. Soalnya tadi Pak Raka udah nyelametin saya dari hukuman Pak Husin." Rifa merentangkan tangannya namun segera ditepis oleh Raka.

"Kamu apa-apaan sih?"

"Loh, kok nggak boleh? Tadi Adelia boleh, kenapa giliran saya nggak boleh?"

Raka menarik lengan Rifa menjauh dari khalayak ramai. Langkah Rifa tercecer mengikuti Raka yang membawanya ke koridor sepi menuju tangga.

"Kamu ini sebenernya kenapa sih?" tanya Raka. Tidak paham dengan sikap Rifa semenjak gadis.itu ke luar dari rumah sakit.

"Saya?" Rifa menunjuk dirinya, lalu mengetuk-ngetuk dagunya seraya bepikir. " Ummm, saya kenapa, ya? Kira-kira saya kenapa ya?"

"Kamu itu aneh tau nggak?"

"Aneh? Masa sih saya anwh, bukannya Pak Raka yang aneh, ya?"

"Saya aneh apa?"

"Ya ane, lah. Pak Raka bilang kalo Pak Raka sayang sama saya. Pak Raka cinta sama saya. Terus, kenapa tiba-tiba Pak Raka cuekin saya sampai nggak nengokin di rumah sakit?"

"Saya ... saya udah bilang kan, saya nggak punya waktu. Toh juga ada pacar kamu dan bukannya kamu bersyukur dirawat sama pacar kamu?"

"Oh, jadi Pak Raka udah nggak cinta lagi sama saya? Udah nggak peduli juga sama saya?"

Raka menarik alis. Memandang Rifa tajam. "Mau kamu apa sih sebenernya? Kenapa kamu bahas tentang perasaan saya ke kamu. Kenapa kamu tanya-tanya perasaan saya ke kamu, sementara kamu sendiri udah jelas nggak akan bisa membalas perasaan saya? Kamu sengaja mau main-main sama perasaan saya?"

"Nggak gitu, Pak, maksud saya. Saya cuma mau mastiin—"

"Buat apa?" potong Raka. "Supaya kamu ngerasa bangga karena sudah bikin saya jatuh cinta dan bertepuk sebelah tangan?"

Rifa menggeleng. Bukan seperti itu maksudnya. Rifa ingin bilang kalau sebenarnya ia juga pelan-pelan menyukai Raka. Tetapi entah kenapa lidahnya sulit sekali bicara jujur.

"Kalau sudah jelas kamu milihnya Abian, kenapa harus tanya lagi tentang perasaan saya?"

"Karena saya ... saya juga ... Ci-cinta sama Pak Raka," jawab Rifa tergagap. Gadis itu mengeratkan jari-jarinya, dengan mata yang terpejam. "Saya juga cinta sama Pak Raka. Tapi Pak Raka tuh nyebelin, nggak pinter, Pak Raka nggak peka sama perasaan saya."

Sumpah, Raka semakin tidak mengerti dengan sikap Rifa. Apa waktu di hutan ia sempat ketempelan kuntilanak genit atau jin lainnya. Demi apa pun itu, ini tampak tak seperti Rifa yang ia kenal. "Kamu jangan main-main sama saya," ucap Raka dingin.

"Saya nggak main-main, Pak. Saya bela-belain datang ke sekolah pas lagi sakit cuma buat ketemu sama Pak Raka. Saya kangen sama Pak Raka, karena selama saya sakit Pak Raka nggak nengokin sama sekali. Pak Raka nggak lupa, kan, kalo saya ini masih istri Pak Raka?"

"Istri?"

Suara itu berasal dari seseorang yang sejak tadi bersembunyi di balik tembok. Dia adalah Adelia yang mengikuti mereka berdua dan menguping pembicaraan Raka dan Rifa. "Maksudnya? Kalian? Pak Raka, beneran udah nikah sama Rifa?"

Baik Raka maupun Rifa, keduanya sama-sama kaget oleh kehadiran Adelia. Namun, itu tak berlangsung lama karena setelah itu Rifa langsung angkat bicara. "Bukannya gua udah pernah bilang kalo Pak Raka itu suami gua?"

"Tapi waktu itu Pak Raka bilang kalian nggak ada apa-apa. Iya, kan, Pak?"

Rifa tersenyum mendengar suara Adelia yang bergetar. Uh, sekarang nikmatilah pembalasan Rifa. Tanpa basa-basi, Rifa menggandeng lengan Raka mesra. "Oh, itu emang gua yang nyuruh karena kita nggak mau banyak yang iri. Supaya yang suka modus sama suami gua juga nggak patah hati. Tapi ... lama-lama gerah juga ya liat cewek-cewek genit sama suami."

"Enggak, enggak. Nggak mungkin. Kak Rifa kalo halu jangan ketinggian deh. Dia nggak mungkin istrinya Pak Raka, kan?" gadis itu menuntut jawaban tegas dari Raka kalau Rifa bukanlah istrinya.

"Butuh bukti kalo dia suami gua? Oke!" Tanpa basa-basi, setelah melihat sekitaran Rifa langsung mengecup pipi Raka membuat tak hanya Adelia namun juga Raka sendiri kaget dengan aksi Rifa. "Udah puas sekarang?"

Mata Adelia yang semula hanya berkaca-kaca alhirnya rembes juga. Air matanya berjatuhan dengan kalimat yang tertahan di tenggorokan. Tanpa berpamitan ia langsung pergi sambil menangisi kenyataan yang belum bisa ia terima.

Raka menyentuh pipi kirinya bekas ciuman Rifa. Ia menatap gadis itu dengan tatapan bingung, aneh, tidak percaya. "Kamu udah gila, ya?" tanya Raka.

"Enggak. Tapi aku istri Kak Raka. Mulai sekarang, nggak ada yang boleh deketin Pak Raka selain saya. Nggak ada yang boleh peluk-peluk Pak Raka selain saya. Titik!"

Continue Reading

You'll Also Like

496K 10.2K 33
Gimana rasanya nikah sama laki-laki mirip kanebo kering, sok dingin tapi nafsuan..... jangan lupa follow
893K 5K 5
[ Repost ] DILARANG KERAS MENJIPLAK !!! "Ngapain kamu ngelihatin aku kaya gitu? Kamu pikir aku pisang?" Tanya Ana dengan nada sinis. Evan menatap bin...
49.4K 1K 27
bagaimana jadinya jika kalian harus menikah dengan pria dari papah teman dekat kamu sendiri?. itulah yang dirasakan Rachel Melissa perempuan berusia...
6.9M 291K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...