Guru BK Ngeselin Itu, Suami G...

By Kurniasuhada_

23.4K 893 72

Dia tetanggamu yang tiba-tiba jadi guru BK di sekolahmu. Dia yang sejak kecil menjengkelkan, mengaturmu denga... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Double R, and other
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20 (a)
Part 20 (b)
Part 21
Part 22
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45

Part 23

341 12 1
By Kurniasuhada_

"Aku minta maaf ya, Fa. Gara-gara aku, kamu jadi kayak gini sekarang."

Rifa menggeleng sambil membuka mulut menerima suapan bubur dari Abian. "Kamu nggak salah kok, Yan. Justru aku berterima kasih karena kamu udah berjuang nyelametin aku."

Abian terdiam. Apakah ia harus jujur kalau yang menyelamatkan Rifa itu bukanlah dirinya melainkan Raka? Tetapi kalau Abian berkata yang sejujurnya, Rifa pasti akan terpengaruh pikirannya. Bisa saja gadis itu merasa berhutang nyawa pada Raka dan guru BK itu bisa dengan mudah mendekati Rifa. Ah, tidak. Abian tidak ingin Rifa jatuh ke tangan cowok lain.

"Kamu kok diam aja, Yan? Kamu, kan yang nyelametin aku?"

"Ah-iya, Fa. A-aku yang nyelametin kamu."

"Aku nggak tahu gimana jadinya kalo kamu nggak nyelametin. Mungkin aku udah nggak ada sekarang."

Abian mengambil tisu, menyapu sudut bibir Rifa yang belepotan bubur. "Itu semua nggak ada apa-apanya dibanding rasa bersalah aku sama kamu, Fa. Aku nyesel ninggalin kamu sendirian waktu itu. Harusnya aku bikin camping pertama kamu berkesan, bukan malah berantakan."

"Udah, nggak usah dibahas. Lagian aku juga nggak kenapa-kenapa." Rifa menggerakan tubuhnya yang pegal karena selalu rebahan.

"Kamu mau duduk?" Rifa mengangguk. Dengan sigap Abian bergerak, membantu menaikan sandaran brankar agar posisi Rifa bisa bersandar. "Enak nggak posisinya?"

"Udah enakan kok." Rifa meraih ponselnya di atas nakas.   Mengecek barangkali ada pesan dari Raka. Sebab dari saat ia terbangun, Raka sama sekali tak nampak batang hidungnya. Bahkan kata mamanya, Raka tak pernah menunggu Rifa di rumah sakit, hanya sekali saja sewaktu mengantarkan setelah itu langsung pulang.

Besoknya harinya masih sama. Rifa tidak melihat Raka datang untuk menjenguknya. Hanya teman-teman sekelas dan beserta guru-guru yang datang untuk melihat keadaannya.

Sebenarnya ke mana Raka? Bahkan ponselnya pun tidak aktif, seolah menghilang begitu saja.

Rifa yang sudah membaik keadannya, mengaku bosan hanya duduk di kamar. Ia ingin diajak berjalan-jalan ke taman dan Sarah dengan senang hati menuruti permintaan anak gadisnya itu.

Cahaya matahari pagi menghangatkan persendiannya yang kaku. Terlihat jelas ada banyak sekali baret di kaki mulusnya bekas duri semak belukar sebab waktu itu ia hanya mengenakan celana di bawah lutut.

"Kata dokter, besok kamu sudah bisa pulang." Sarah berujar sambil memijat bahu Rifa.

"Kenapa nggak hari ini aja, Ma? Rifa udah nggak betah di sini. Rifa mau pulang. Rifa mau ketemu ...."

"Ketemu, siapa?"

"Kak Raka," jawab Rifa yang entah kenapa membuat raut wajah Sarah agak berbeda. "Mama kenapa?"

"Nggak pa-pa sayang. Tapi emang kata dokter besok baru boleh pulang."

Rifa menurut saja perkataan mamanya. Gadis itu kembali membuka mulut untuk bertanya. "Ma, sebenarnya Kak Raka ke mana sih? Kenapa nggak pernah jengukin Rifa?"

"Raka sibuk. Lagian kan ada Abian, pacar kamu. Kenapa kamu nyari yang lain?"

"Karena Kak Raka itu suami aku."

Sarah melepaskan napas berat. Ia kini duduk berjongkok di samping kursi roda Rifa. "Kamu nggak perlu berpura-pura menerima pernikahan itu lagi, Sayang. Mama tahu kamu nggak punya perasaan apa-apa sama Raka. Dan yang seperti mama bilang tempo hari kalau mama akan bantu perceraian kamu sama Raka. Toh, kalian menikah juga di bawah tangan dan mama yakin kamu belum pernah disentuh, kan sama Raka?"

Rifa membenarkan bahwasanya mereka belum pernah bersentuhan layaknya sepasang suami istri. Raka selalu menjaga peraturan yang Rifa buat agar tak macam-macam.

"Nanti mama akan bicarakan ini sama Raka dan tante Mita."

"Tapi, Ma ..."

"Kamu nggak perlu takut sama Papa. Dan Mama pikir, mereka juga akan mengerti bahwa pernikahan ini bukan pernikahan yang kalian inginkan. Lagi pula, Raka tidak bertanggung jawab sama kamu. Lihat sekarang? Apa dia ada jengukin kamu? Nggak ada. Suami macam apa yang seperti itu? Janjinya mau menjaga malah batang hidungnya pun mama nggak liat."

Sarah mengusap pipi Rifa lembut. "Saat ini, mama percayakan kamu sama Abian. Dia anak yang baik dan benar-benar menyayangi kamu. Pun, kalian berdua sama-sama mencintai, kan?"

Rifa hanya diam, menahan air matanya yang sedikit lagi lolos. Mengapa doanya untuk bercerai dengan Raka terkabul di saat ia telah menerima pernikahan mereka? Dan mengapa Raka menjauh saat cintanya sudah bisa Rifa balas?

***


"WELCOME HOME, RIFA!!!"

Sambutan meriah diadakan oleh Udin, Susan dan Abian ketika Rifa tiba di rumah. Mereka menghias dengan ucapan 'selamat datang kembali' dan balon-balon membentuk nama gadis itu.

Awalnya Rifa kaget karena mereka memasuki kamar yang sebelumnya tak diizinkan lagi mereka masuk karena di dalam sana terpajang  foto pernikahan Rifa dengan Raka. Namun, setelah dilihat-lihat foto itu sudah tidak ada. Mungkin mamanya lah yang telah menurunkan foto-foto tersebut.

"Welcome home, bestie gua yang cantik." Susan langsung menghambur memeluk Rifa. "Gua kangen banget pengin sekolah bareng ama lu."

"Gua juga, Fa. Sekolah jadi sepi pas lu sakit. Nggak ada temen dikejar-kejar guru BK lagi gua," sahut Udin membuat Susan melepas pelukannya pada Rifa dan menggeplak kepala Udin.

"Sembarangan lu. Temen bari abis kena musibah malah mau diajak kejar-kejaran ama BK."

"Gua juga kangen banget sekolah. Rasanya punggung gua pegel banget rebahan mulu."

"Itu kepala kamu masih sakit nggak, Fa?" tanya Abian.

Rifa menggeleng, menyentuh perban kecil yang menempel di dahinya. "Udah enggak kok. Cuma kadang-kadang aja suka pusing kalo kebanyakan mikir."

"Yah berarti besok lu nggak usah sekolah dulu, Fa."

"Loh kenapa?" Rifa menatap Udin bingung.

"Iya, soalnya besok ada mapel matematika sama ekonomi. Njir, double kill! Mending absen sehari lagi lah daripada lu nambah pusing."

Rifa terkekeh mendengar saran Udin. Gadis itu duduk di atas tempat tidurnya sementara Abian turun ke bawah untuk membantu Tomi menaikan barang dan Susan membantu Sarah di dapur. Sekarang hanya tinggal dirinya dan Udin.

"Din, lu kan sering nengok gua di rumah sakit. Lu pernah nggak ketemu Pak Raka?"

Udin diam sesaat lalu menggeleng. "Nggak. Gua nggak pernah ketemu sama Pak Raka, Fa." Ia teringat pesan Raka bahwa apabila Rifa bertanya apakah dirinya pernah menjenguk ke rumah sakit jawab saja 'tidak.' Udin heran mengapa Raka menyuruhnya berbohong. Dan kebohongan itu lantas membuat Rifa termenung.

"Kenapa ya, Din, padahal sebelumnya Kak Raka care banget sama gua. Sekarang kok kayaknya dia nggak peduli lagi. Bahkan kata Mama dia nggak ngerawat gua sama sekali di rumah sakit."

"Mungkin lagi sibuk kali, Fa."

"Masa sih, Din? Tapi kok gua ngerasa aneh ya?"

"Aneh karena sekarang lu beneran jatuh cinta, kan sama Kak Raka?" Rifa cukup lambat menjawab pertanyaan Udin hingga akhirnya cowok itu sadar kalau sahabatnya baru saja sembuh dan harus banyak istirahat.  "Udah nggak usah dipikirin dulu. Mending lu istirahat yang banyak. Obatnya jangan telat diminum biar cepet sehat. Biar bisa kejar-kejaran sama Pak Husin lagi. Bentar lagi pulang haji."

"Lagi pada ngomongin apa sih kalian?"

Abian dan Susan kembali lagi dengan membawa nampan berisi cemilan dan minuman serta buah-buahan yang sudah dipotong lalu memetakannya di atas karpet. Katanya mau lesehan saja biar seru.

"Kalian kenapa jadi repot-repot banget, sih?" Rifa berkaca-kaca melihat sambutan dari pacad dan dua sahabatnya. Dalam hati, ia membandingkan Raka dengan teman-temannya. Raka bahkan tidak ada di rumah untuk menyambutnya saat ia pulang.

Lihat saja kalau nanti suaminya itu pulang Rifa omeli habis-habisan.

Usai dengan cemilan dan buah-buahan ketiga orang itu berpamitan. Yang terakhir adalah Abian, ia membiarkan Udin dan Susan ke luar lebih dahulu. Rifa menatap cowok yang telah menyelamatkan hidupnya itu. Entah kenapa masih ada yang janggal, masih ada rasa tak yakin kalau Abian yang telah menyelamatkannya pasalnya Rifa sempat melihat bayangan Raka datang ketika ia tersangkut di jurang. Apakah itu hanya halusinasinya saja?

"Besok kalo masih belum enakan. Nggak usah dulu pergi sekolah, ya. Nanti pulang sekolah aku ke sini jengukin kamu lagi. Kamu jangan terlalu banyak pikiran. Istirahat aja yang banyak supaya lekas sehat. Kasian tuh boncenganku berdebu nggak pernah boncengin bidadarinya lagi."

Kontan saja Rifa tersenyum gemas, mencubilt lengan Abian. Masih sempat-sempatnya menggombal di situasi seperti ini. "Makin hari makin jago ngegombal ya. Belajar sama siapa? Udin?"

"Tapi kamu senyum, kan?" Jelas saja Rifa tersenyum. "Udah ah, pokoknya aku mau sering-sering gombalin kamu aja buar kamunya senyum terus. Soalnya aku nggak terima kalo ada cowok lain yang bisa bikin kamu senyum terus selain aku."

"Berarti Udin nggak boleh?"

"Kecuali Udin."

"Papahku juga nggak boleh?"

"Ya kecuali Papahmu juga. Itu aja, yang lain nggak usah."

Rifa terkekeh mendengar perkataan Abian diikuti wajah cemberutnya. "Mulai possesive ya Mas yang satu ini?" Semakin manyun saja wajah Abian dibuatnya. "Iyaudah, Abian kan besok sekolah. Mending pulang gih, istirahat. Soalnya kamu udah capek banget juga kan jagain aku di rumah sakit."

"Nggak mau pulang sebelum dipeluk."

Peluk? Entah kenapa Rifa sedikit keberatan mendengar kata itu ke luar dari mulut Abian. Sejak perasaannya muncul terhadap Raka, ia menjadi canggung melakukan sentuhan fisik yang berarti dengan Abian. Itu terasa seperti sebuah pengkhianatan untuk dirinya sendiri.

"Duh, udah nungguin nih. Mana pelukannya?" Rengek Abian yang ditanggapi Rifa dengan cara sebijak dan sehalus mungkin.

"Pelukan jari aja gimana?" tawar Rifa, ia merentangkan lima jarinya di depan Abian. "Biar nggak khilaf."

Abian tertawa kecil mendengar kalimat kedua Rifa. "Palingan kamu yang khilaf sama aku. Kalo aku sih enggak," ujarnya merasuk jari-jari Rifa dengan miliknya. "Ya udah, kalo gitu aku pulang dulu ya? Kamu istirahat yang bener."

"Iya, Abian. Lama-lama kamu jadi kayak mamahku. Bawel."

"Bodo amat, bawel artinya sayang," balas Abian. Cowok itu mengusap kepala Rifa. "I love you."

Lagi-lagi hanya senyumlah yang Rifa suguhkan menanggapi ucapan manis Abian. Gadis itu mengantarkan Abian ke depan pintu kamar lalu menutupnya rapat setelah Abian pergi. Sesungguhnya ia masih resah perihal Raka yang tak pulang meski sudah cukup larut.


***


Motor matic yang dikendarai Raka tampak tak santai membelah jalan kota di malam hari. Pikirannya tengah berkecamuk namun skill selap selip masih berjalan dengan lancar.

Keputusan terberat harus ia ambil. Merelakan berbagai hal yang ingin sekali ia wujudkan, membiarkannya terkubur dalam-dalam. Apalah jadinya sebuah hubungan yang dipaksakan? Bahkan jika ia tetap mempertahankan pernikahan ini, maka Rifa lah yang akan tersiksa. Sebab, disini jelas hanya dirinya yang memiliki rasa, sedangkan gadis itu tidak. Rifa mencintai remaja sebayanya bernama Abian. Tak munafik, Raka akui mereka itu cocok dibandingkan dengan dirinya.

Saking penuhnya isi kepala, Raka tak fokus ketika melewati polisi tidur dengan kecepatan cukup tinggi. Motornya tiba-tiba oleh dan menyeremput seorang pejalan kaki.

"Ya ampun!" Raka buru-buru bangkit dari motornya yang terjatuh. Prioritasnya adalah orang yang tadi ia serempet.  Terlihat perempuan itu masih tersungkur sambil meringis. "Ma-maaf, tadi saya nggak sengaja. Motor saya oleng tiba-tiba."

"Makanya mas, kalo nyetir tuh fokus." Gadis itu mengangkat wajah dan keduanya sama-sama kaget sebab mereka saling mengenal satu sama lain. "Pak Raka?"

"Adelia?" Raka melihat plastik hitam yang terhempas di atas aspal dan perban di kaki gadis itu. "Kamu nggak pa-pa? Ini ngapain kamu jalan sendirian malam-malam? Itu kaki kamu gimana?"

Adelia bingung harus menjawab yang mana dulu sebab pertanyaan Raka terlalu beruntun. "Pak Raka nanya nya satu-satu deh. Saya berasa di BAP kalo nanya nya kayak barusan."

"Ya ampun maaf. Saya panik soalnya." Raka membawa Adelia duduk di trotoar lalu membangunkan motornya yang penyok di bagian plat dan sedikit lecet-lecet. "Kamu nggak pa-pa?"

"Nggak pa-pa, lecet dikit doang. Nanti dibersihin juga udah sembuh." Adelia tersenyum meyakinkan. 

"Kamu abis dari mana malam-malam?"

"Oh itu, saya habia dari Alfamart, Pak. Kebetulan orang tua saya nggak ada di rumah dan beberapa keperluan masak sama nyuci udah abis, makanya saya belanja."

"Sendirian?" Adelia mengangguk. "Kakak kamu mana?"

"Oh kakak sepupu saya maksudnya? Dia lagi ada keperluan jengukin pacarnya yang lagi sakit. Jadi nggak enak minta temenin. Lagian rumah saya deket kok dari sini." Adelia menunjuk gang di depan sana. "Masuk gang itu dikit, udah nyampe deh di rumah."

"Ya udah, kalo gitu saya antar kamu pulang. Kaki kamu juga masih sakit, kan?" Raka melihat gadis itu berjalan masih agak pincang.

"Nggak ngerepotin Pak Raka, emangnya?"

Raka menggeleng. "Anggap aja ini permintaan maaf saya karena udah nyerempet kamu."

Adelia pun hanya mengangguk dalam hati menjerit tak karu-karuan pasalnya ini sama sekali tidak direncanakan.   Tiba-tiba saja ia dapat keberuntungan bisa kembali duduk diboncengan guri BK gantengnya itu tanpa harus berdrama ini dan itu.

Kalau tidak ingat ini adalah gurunya dan harus menjaga image ia pasti sudah memeluk cowok idamannya ini dengan erat.

Lalu tiba-tiba ia teringat dengan perkataan Rifa tempo hari tentang hubungannya dengan Raka. Rifa bilang mereka telah menikah dan audah berhubungan layaknya suami isteri. Maka sesampainya di depan gerbang, Adelia langsung menanyakan hal itu pada Raka.

"Pak Raka. Saya boleh nanya sesuatu nggak sama Pak Raka?"

Raka mengangguk, "tanya aja."

"Apa iya Pak Raka udah nikah sama Kak Rifa?"

Continue Reading

You'll Also Like

4M 311K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.3M 295K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
55K 1.7K 64
⚠️SEBELUM MEMBACA, FOLLOW TERLEBIH DULU AKUN AUTHOR NYA!!⚠️ SEDANG DI REVISI!!⚠️ kisah yang di alami oleh Laura Syifanazia Thufaila seorang wanita ca...
1.2M 90.3K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...