Guru BK Ngeselin Itu, Suami G...

By Kurniasuhada_

23.5K 893 72

Dia tetanggamu yang tiba-tiba jadi guru BK di sekolahmu. Dia yang sejak kecil menjengkelkan, mengaturmu denga... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Double R, and other
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 20 (a)
Part 20 (b)
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45

Part 19

367 12 0
By Kurniasuhada_

"Kak Abian tuh gimana sih, Kak? Masih aja galau. Udah jelas loh Kak, cewek Kak Abian itu ada main sama Pak Raka."

"Tapi gua nggak ada bukti kuat, Del. Siapa tau mereka emang cuma sebatas tetangga. Nggak lebih?"

"Aku kenal Kak Rifa itu dari dulu. Aku tau dia itu kayak apa. Dulu, dia pernah ninggalin cowoknya demi cowok lain yang lebih hits di sekolah. Jadi nggak kaget lagi kalo dia ninggalin Kak Abian demi Pak Raka."

Abian diam melipat tangannya di atas meja. Rasa-rasanya ia masih tak sepenuhnya yakin kalau Rifa dan Raka ada hubungan lebih. Mungkin benar apa yang Rifa katakan kalau mereka hanya sebatas tetangga biasa. Raka menganggapnya seperti adik sendiri. Namun, apa yang ia temui dengan mata kepalanya itu terlalu memberatkan sangkaannya. Kalau hanya sekali mungkin bisa ia maklumi, tetapi berkali-kali Abian menangkap basah mereka sangat dekat. Sekalipun tak ada hubungan apa-apa, kedekatan seperti itu dinilai tak wajar karena Rifa mempunyai kekasih.

"Kalo aku jadi Kak Abian, aku udah putusin cewek kayak Kak Rifa."

"Itu karena dari dulu kamu nggak suka sama Rifa aja, kan?" sindir Abian. "Atau karena kamu juga suka sama Pak Raka?"

Adelia tersenyum, salah tingkah. "Kak Abian kok gitu sih. Siapa yang bilang aku suka sama Pak Raka?"

"Kita itu sepupuan, Del. Meskipun kita acuh di sekolah, tapi kita tuh gede bareng. Gua tau gimana kalo kamu lagi naksir sama cowok."

"Kak Abian sok tau. Mana ada aku suka sama Pak Raka."

"Udahlah ngaku aja. Percuma mau bohong juga."

"Tapi janji jangan bilang siapa-siapa, ya?" Abian mengangguk, menyodorkan jari kelingkingnya dan disambut oleh Adelia. "Iya, Adel suka sama Pak Raka."

***

"Kenapa belum tidur?"

"Nggak bisa, saya belum ngantuk."

"Mau saya buatin susu, biar cepet tidur?"

Rifa menggeleng, "saya udah minum susu tapi tetep aja nggak bisa tidur."

"Kamu lagi mikirin Abian?" tanya Raka.

Rifa diam, lalu mengangguk samar. "Iya, tapi nggak tau deh dia mikirin saya juga atau lagi mikirin cewek lain."

Raka meletakan kopinya di atas nakas, duduk di kursi belajar Rifa. "Kalian lagi berantem?"

Lagi-lagi Rifa mengangguk. "Abian minta break karena cemburu liat kita deket. Makanya dari dulu saya bilang Kak Raka jangan deket-deket sama saya kalo di sekolah. Saya tuh punya pacar, Kak."

"Tapi 'kan kamu istri saya. Saya yang lebih berhak dekat-dekat sama kamu dibandingkan dia."

"Ih, Kak Raka tuh nggak ngerti ya gimana perasaan saya?"

"Kamu juga nggak mau ngerti gimana perasaan saya."

Rifa berdecak, meringkuk sambil memeluk lutut. "Coba aja kita nggak pernah nikah. Pasti sekarang saya masih aman-aman aja pacaran sama Abian," ujarnya menyesal.

Jujur saja, Raka cukup sakit mendengar penuturan Rifa. Namun, sekali lagi ia harus sadar bahwasanya perasaan suka itu tidak bisa dipaksa. Raka mafhum kalau tidak mudah bagi Rifa menerima semuanya. Wajar, kalau gadis itu galau memikirkan cowok yang selama ini ditaksirnya.

"Kak Raka?" panggil Rifa.

Raka mengangkat wajah, menatap Rifa. "Iya, kenapa?"

"Kak Raka pernah jatuh cinta?"

Raka mengernyit, "pertanyaan macam apa itu? Ya, jelas lah saya pernah jatuh cinta."

"Gimana rasanya?"

Raka berdehem, menatap kosong ke depan. "Ketika saya jatuh cinta, yang saya rasakan hanyalah ketakutan. Takut kalau saya akan menyakiti dia, takut kalau dia tidak bahagia bersama saya. Takut kalau ada orang lain yang jauh menyayangi dia dibandingkan saya. Dan rasa takut yang paling besar adalah.... " Ia menoleh pada Rifa, memandang gadis itu dalam-dalam. "Saya takut sekali kehilangan kamu. Seperti saya kehilangan, Dita."

"Itu yang saya rasain, Kak. Saya takut kehilangan Abian. Saya takut break ini bakal berakhir dengan kata putus yang bikin saya berjarak sangat jauh sama Abian."

"Aneh." Rifa menggeleng cepat menepis segala pikirannya. "Saya nggak abis pikir, kenapa Kak Raka bisa suka sama saya? Sementara Kak Raka tahu sendiri kita itu dua pribadi yang jauh berbeda. Kita dua orang yang saling bertolak belakang dalam hal apa pun."

"Cinta itu nggak harus karena kesamaan, Fa. Justru saya suka kamu karena kita banyak perbedaan. Rasanya nggak monoton."

"Tapi ... sejak kapan?"

Raka menggeleng, "entahlah. Saya juga bingung sejak kapan saya mulai tertarik sama kamu. Tapi yang saya tahu, saya cemburu melihat kedekatan kamu dengan Abian di pasar malam waktu itu."

"Dan Kak Raka juga tau, kan, kalau cinta itu nggak bisa dipaksa?"

"Tapi masih bisa saya usahakan."

"Mau sampai kapan?" tanya Rifa.

"Sampai kamu nemuin laki-laki yang bisa membahagiakan kamu."

"Setelah itu Kak Raka bakal berhenti berjuang buat saya?"

"Saya hanya berusaha membuat kamu bahagia dalam perjalanan. Perihal dengan siapa nantinya kamu akan bahagia, itu pilihan kamu. Dan saat kamu sudah memilih, saat itu pula saya harus ikhlas melepaskan kamu."

Rifa beringsut ke sisi ranjang, menjulurkan kakinya. Sekarang mereka duduk berhadapan, saling tatap satu sama lain. Mata Rifa berkaca-kaca. "Kenapa orang setulus Kak Raka, harus jatuh cinta sama saya?"

"Karena nggak pernah ada pilihan dalam hal sama siapa kita akan jatuh cinta, Fa. Bahkan seorang manusia bisa jatuh cinta sama patung yang nggak bernyawa," tuturnya. "Sekarang lebih baik kamu tidur, besok sekolah."

"Kak Raka nggak mau ajak saya jalan, gitu"

Raka menoleh jam dinding. "Selarut ini?" ia menggeleng. "Besok kamu harus sekolah, lebih baik tidur daripada besok ngantuk."

"Mau ngajak saya jalan, atau saya ajak Udin jalan? Dia masih belum tidur loh jam segini."

"Ambil jaket kamu, biar nggak dingin di jalan." Raka dengan cepat menyambar kunci motornya.

Rifa mengulum senyum melihat wajah Raka yang seketika berubah ketika dirinya menyebut nama Udin. "Masa sama Udin juga cemburu sih, Kak?"

"Berisik, kamu."

***

"Rifa bener kan, ini tuh belum terlalu malem buat ke luar. Kota masih ramai kok. Masih bisa lah kalau mau duduk ngopi atau makan burger di mekdi." Rifa berceloteh ketika melewati kedai kopi dan restoran cepat saji yang masih buka dan banyak pengunjungnya. "Sempayan juga masih buka loh jam segini."

Sempayan itu tempat ngopi paling legend di kota. Belum bisa dibilang pecinta kopi kalau belum pernah mencoba kopi pahit buatan Mbah Soektidja.

"Kamu sering ke Sempayan?" tanya Raka. Gadis itu menggeleng, terlihat dari kaca spion.

"Udin yang sering ke sana sama Susan. Saya mah ngikut aja. Pesen gorengan palingan, soalnya saya nggak minum kopi."

"Berarti kamu sering keluar malem?"

"Sering, tapi ngumpet-ngumpet ke luar lewat jendela. Ya, walopun pulangnya selalu ketahuan sama Mama dan akhirnya kena marah, deh."

"Saya juga sering denger ceritanya dari tante Sarah. Biasanya kalo kamu berulah, dia pasti ada cerita."

Rifa tertawa di boncengan. "Mama emang ngadu mulu ya sama Kak Raka?"

"Gimana nggak ngadu, anaknya bandel banget kayak gini."

Refleks Rifa menepuk pundak Raka. "Enak aja ngatain saya bandel, saya tuh bukannya bandel, Kak. Cuma demen eksplorasi aja," ujarnya berdalih.

"Eksplorasi, emangnya kamu Dora?"

"Kok Dora, sih Kak?"

"Iya, Dora the eksplorasi."

"The explorare itu mah. Ih, Kak Raka mah nggak bisa ngelawak."

"Tapi, kan, sama aja aja. Intinya eksplorasi juga," debat Raka.

"Iya sama, tapi nggak lucu."

"Biarin."

Tidak jelas mau ke mana. Katanya, Rifa cuma mau diajak keliling kota saja malam ini. Biasanya kalau sedang suntuk Rifa akan menghubungi Udin untuk diajak keliling kota. Tapi Raka bilang, sekarang Rifa tidak perlu Udin, karena kapan pun Rifa mau pergi, Raka siap mengantarkan.

Rifa sebenarnya geli melihat Raka yang jadi manis sekali seperti ini. Mereka terbiasa berkelahi sejak kacil. Bahkan sampai detik ini, bayang-bayang wajah menyebalkan Raka itu masih sangat jelas di ingatan Rifa. Jangankan duduk di boncengan Raka, lewat di depan rumahnya saja Rifa selalu membuang muka saking jengkelnya karena dulu Raka suka ngadu.

"Kamu laper nggak?" tanya Raka.

"Laper sih, tapi bosen ah kalo makan di mekdi."

"Emang siapa mau ngajak ke mekdi?"

"Emangnya ada warung makan bukan jam segini selain restoran cepat saji?"

"Ya adalah, sampai pagi juga ada," jawab Raka, membawa Rifa melewati alun-alun kota yang masih ramai. Kebanyakan dari mereka adalah remaja SMA yang nongkrong mengajak pasangan, duduk lesehan menikmati pop es dan gorengan.

Tentu saja Raka tak mau ikut-ikutan nongkrong di sana. Ia berhenti di depan warung tenda biru "Mak Romlah" yang tak kalah ramai. Tidak ada meja atau kursi, warung ini mengusung konsep lesehan di atas terpal yang di ampar di atas tanah lapang, di bawah tenda biru dan lampu pijar.

"Eh, Bang Raka. Udah lama nggak ke sini? Gimana kabarnya, Bang?" Seorang pramusaji berbadan kurus dengan ikat kepala, agak kemayu itu terlihat akrab dengan Raka. Suaranya yang agak bindeng itu membuat Rifa mengulum senyum. "Bang Raka ke mana aja sih, Bang. Yanti kangen deh sama Abang."

"Yanti?" Rifa menarik alis. "Yanti kok kumisan?"

Yanti menoleh ke arah Rifa. "Yanti itu kalo malem, kalo siang Yanto. Puas kamuh?" ujarnya. "Pacarnya, Bang?" tanya Yanti alias Yanto.

"Istri saya," jawab Raka tanpa beban.

"Oh, istri. Bilang dong kalo udah punya istri biar saya nggak deket-deket. Soalnya saya ogah dibilang pelakor," sahut Yanti, berubah jutek. "Ya udah, mau pesen apa?"

"Pecel ayam aja kayak biasa, sama es teh manis."

"Mbaknya?"

"Samain aja kayak suami saya," ujar Rifa, sengaja ingin membuat Yanti semakin kesal.

"Ya udah tunggu!" Yanti berbalik, mengibaskan rambutnya yang cepak. Jalannya lenggak-lenggok dengan celana jeans ketat dan kaos yang diikat layaknya abg.

"Kak Raka sering ke sini, ya?" tanya Rifa.

"Iya, zaman kuliah saya sering ke sini sama temen-temen. Ngerjain tugas sambil makan pecel. Ya, walaupun ujung-ujungnya malah ngobrol doang, skripsinya mah nggak dikerjain."

"Pantesan si Yanti akrab banget sama Kak Raka," celetuk Rifa.

"Nggak usah cemburu, saya masih normal kok. Masih suka cewek."

"Ih, siapa yang cemburu? Kegeeran banget." Rifa memalingkan wajah sambil mengulum senyum.

"Fa?" panggil Raka. Ketika Rifa menoleh pipinya langsung ditusuk jari telunjuk Raka. "Yah, kena."

"Ish, jail banget sih, Kak?" protes Rifa, mencubit lengan Raka kuat-kuat sampai cowok itu meringis kesakitan. "Ampun, nggak?"

"I-iya...iya ampun. Ya Allah sakit banget." Raka mengusap lengannya yang memerah karena cubitan Rifa. "Demen banget nyubit ya jadi orang?"

"Ya siapa suruh Kak Raka jail."

Raka mengelus dadanya sabar. "Untung sayang, kalo nggak udah saya masukin botol kamu," ujarnya sambil tersenyum gemas.

"Bodo amat, wle!" Rifa meledek.

Sekitar lima belas menit makanan mereka datang. Mereka duduk khidmat menikmati pecel ayam dan secangkir es teh manis. Semakin malam bukannya semakin sepi namun semakin ramai orang berdatangan. Raka bilang, sebagian besar pengunjung di sini adalah supir angkutan yang tengah beristirahat.

Karena tempatnya tidak disekat, jadi pelanggan bisa duduk leluasa mau dekat dengan siapa. Dan ketika sedang makan seorang pria bertubuh kekar tiba-tiba duduk di samping Rifa. Cukup dekat hingga membuat gadis itu harus bergeser merapat dengan Raka.

Aroma alkohol menyeruak dari tubuh pria bertato itu. "Ke sini sama siapa, Neng?" tanyanya.

"Sama suami," jawab Rifa sekenanya.

"Masa udah punya suami, sih?" Pria itu merapat lagi, tak mempedulikan tatapan Raka yang kesal. "Itu suaminya?" ia menunjuk Raka.

"Emangnya kenapa?" balas Rifa.

"Gak pa-pa, tapi saya berani taruhan. Dia nggak bakal tahan genjot sampai pagi," sahutnya lalu tertawa garing. "Sama saya aja, pasti puas." ia berujar lagi, melirik bagian dada Rifa yang agak terbuka. "Gede juga."

"Jaga omongan kamu, ya!" sentak Raka. Cukup nyaring hingga suaranya terdengar oleh pengunjung lain. "Kamu pikir istri saya cewek murahan?"

Bukannya takut pria itu malah tertawa mengejek. "Saya nggak bilang istri kamu murahan. Cuma kalo kamu nggak bisa nyervice bener, biar saya yang gantiin. Saya bisa genjot sampai puas," ujarnya lalu tertawa lagi.

"Emang bangsat nih orang!" Raka bangkit daru tempatnya. Menarik kaos pria itu hingga sama-sama berdiri. "Gua udah tahan dari tadi ya, Anjing! Tapi lu malah ngelunjak!"

"kamu pikir saya takut?" Pria itu berusaha menepis cengkraman Raka, namun Raka lebih dahulu melayangkan bogem di wajah pria itu hingga membuatnya terhuyung namun tak terjatuh. "Segitu doang kemampuan kamu?"

Pria itu membalas tinjuan Raka dengan tenaganya membuat Raka terhuyung. Namun, Raka tak mau kalah. Demi harga diri gadis yang dicintainya, ia pantang tersungkur lemah.

Situasi mulai riuh, orang-orang yang tadinya makan terdistraksi oleh keributan tersebut. Yanti yang tadi sibuk melayani pengunjung jadi histeris. Begitu pula Rifa, gadis itu shock, tidak tahu harus berbuat apa ketika Raka dan pria itu adu jotos di hadapannya.

"Mas, tolong pisahin!" teriak Rifa pada orang-orang yang asik menonton. "Itu suami saya dipukulin! Pisahin jangan diem aja!"

Perkelahian itu baru berhenti ketika pemilik warung datang membawa pihak keamanan. Rifa langsung menghampiri Raka yang babak belur oleh pria itu. Beberapa orang juga ikut membantu, membawa Raka ke belakang tempat istirahat pegawai, memberi air mineral untuk Raka.

"Beberapa hari terakhir, mas-mas yang itu emang sering ke sini. Ngeselin banget orangnya, tapi nggak ada yang berani lawan." Yanti alias Yanto berujar. Ia mengambil air hangat di dalam mangkuk dan serbet yang belum dipakai, memberikannya pada Rifa. "Bang Raka berani banget, deh. Yanti jadi salut."

"Saya nggak terima dia ngelecehin istri saya."

"Beruntung banget kamu, punya suami kayak Bang Raka," uxap Yanti dan Rifa hanya tersenyum. Sampai wanita setengah pria itu akhirnya ke luar untuk melayani pelanggan lagi.

"Maaf ya, Kak Raka harus babak belur gara-gara belain saya."

"Kenapa minta maaf? Saya itu suami kamu dan wajib bagi saya jagain kamu. Mau gimana pun akhirnya, menang atau kalah, saya bakal tetep maju."

Rifa mengompress wajah Raka dengan air hangat. Beberapa kali Raka mendesis, merasa perih ketika air hangat mengentuh bagian kulit wajahnya yang terluka. "Kak Raka kalo nggak jago berantem, mending nggak usah berantem. Saya ngeri ih liat mukanya babak belur gini."

"Terus saya harus diem aja liat istri saya dilecehin?" gadis itu hanya diam. Sambil terus mengompress pipi Raka. "Kamu tenang aja, nggak sakit kok. Besok juga udah sembuh."

"Kalo orang-orang nanya itu mukanya kenapa, Kak Raka mau jawab apa?"

"Abis bertarung sama iron man."

"Emang bisa pake jawaban kayak gitu?"

"Mau jawab apa aja bisa, Fa. Masalah orang percaya atau nggak ya, urusan mereka."

"Aneh. Kak Raka tuh aneh."

"Makanya nggak usah dipikirin. Saya udah enakan juga, kamu mau pulang?" tawar Raka.

"Emang Kak Raka bisa bawa motor?"

"Saya cuma babak belur bukan stroke. Jadi tetep bisa bawa motor."

"Ya udah, kalo gitu kita pulang aja."



Continue Reading

You'll Also Like

496K 10.2K 33
Gimana rasanya nikah sama laki-laki mirip kanebo kering, sok dingin tapi nafsuan..... jangan lupa follow
55.4K 1.7K 64
⚠️SEBELUM MEMBACA, FOLLOW TERLEBIH DULU AKUN AUTHOR NYA!!⚠️ SEDANG DI REVISI!!⚠️ kisah yang di alami oleh Laura Syifanazia Thufaila seorang wanita ca...
116K 4.6K 32
(18+) Di putusin pacar saat hari ulang tahun itulah yang Sia rasakan. Kemudian mamanya menjodohkan dia dengan pilihan mamanya . Ingin menolak tapi...
28K 610 23
ARDA (18++) Menyala Abangkuhhh🔥🔥 [ Saquel IWTL, soon ] Kak Bintangnya Kakkkk ><