Gratia Dei

By Amaranteya

2.4K 582 64

Jika Tuhan mau menunjukkan kebaikan-Nya dengan membiarkan Bii kehilangan waras, ia akan sangat bersyukur. Hid... More

Prolog
1. Cuma Kedok
2. Kebebasan
3. Rumah Kosong
4. Maha Pengampun
5. Prasangka
6. Tafakur
8. Berjodoh Tuhan
9. Terulang
10. Pukul 01.00
11. Minoritas dan Tertindas
12. Angka Tuhan
13. Wallahu A'lam
14. Di Negeri Kinanah
15. Inbihaaj
16. Sebuah Afirmasi
17. Semesta yang Bergembira
18. Sebuah Bahagia
19. Pulang
20. Untuk Selalu Bahagia
21. Nilai sebagai Perempuan
22. Bau Sampah
23. Mengutuk Tuhan
24. Hadiah
25. Amukan Nuha
26. Inbihaaj Kyoya Haidee
27. Keputusan
28. Mindset
29. Keberanian dan Tangis
30. Gratia dei
Epilog

7. Darah Iblis

97 22 1
By Amaranteya

Sungguh, air mata Hijir tak berhenti meleleh sejak memasuki ruang di belakang mimbar Masjid Husein, terisak tanpa suara. Tangannya bertumpu pada pagar setinggi dada yang melingkupi makam salah satu cucu Rasulullah tersebut, menunduk dengan sesak luar biasa. Meski makam tetap tertutup sekat cantik berwarna keperakan, Hijir tetap tak kuasa tatkala kisah Peristiwa Karbala hilir-mudik di kepala.

"Allah ...," lirih Hijir mengulang lafaz yang sama, tiap embusan napas, jeda sesekali saat sesak menyergap tanpa ampun. "Allah ... mereka dibutakan kekuasaan, sedang aku dibutakan oleh perasaan terhadap seorang wanita. Betapa lemahnya aku dalam mencintai-Mu."

Kelam, bagi Hijir, kisah Perang Karbala tak kalah kelam dari terbunuhnya Al-Hallaj yang pernah disinggung Jauza dulu. Pemotongan anggota tubuh, darah, darah, dan darah. Bagaimana mungkin Hijir tak menangis membayangkan semuanya? Sesama Islam, saudara seiman ... bermusuhan. Barangkali kegilaan itu berlangsung hingga detik ini.

Sekali lagi, bagaimana Hijir tak menangis, membayangkan orang-orang berkuda itu menginjak-injak tubuh tak bernyawa Sayyidina Husein sebelum dimakamkan tanpa kepala oleh kaum Asadian? Syamr bin Dziljausyan, pemenggal kepala beliau sungguh ingin Hijir kutuk.

Oleh seorang perawi hadits, Imam Bukhori, dari Anas bin Malik beliau mengatakan, "Kepala Husein dibawa dan didatangkan kepada 'Ubaidullah bin Ziyâd. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu 'Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husein. Anas mengatakan, "Di antara Ahlul bait, Husein adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah SAW." Saat itu, Husein disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam)."

Hijir tak lagi mampu menahan isakan. Beberapa orang bahkan sampai menoleh ke arah pemuda itu. Namun, tak ada yang menyela, paham apa kiranya yang membuat seseorang menangis di depan makam--tempat akhir kepala Sayyidina Husein dikuburkan--tersebut.

"Allah ... Kau Maha Adil. Para pembunuh itu pada akhirnya berakhir musnah di tangan-Mu."

Jika Jauza pernah menyinggung masalah toleransi antarumat beragama, sesungguhnya Hijir lebih takut membahas perihal perbedaan aliran. Sebelum terpecah, Sunni dan Syiah bak sudah saling unjuk kebengisan lewat Peristiwa Karbala. Betapa kisah yang pelik tersimpan di balik terbunuhnya Husein yang sudah diketahui Rasulullah jauh sebelumnya, berkat Yang 'Ilmu wa 'Aliman.

Sebisa mungkin dihentikannya tangis, belum satu macam pun doa Hijir lantunkan sejak menapakkan kaki di sekitaran makam.

"Bibit-bibit keruntuhan Umayyah," lirihnya dengan kepala tertunduk dalam.

Benar, barangkali bibit keruntuhan Umayyah sudah dipupuk sejak saat itu, terbilang masa awal-awal berdiri. Pemerintahan Yazid bin Muawiyah terlalu haus kuasa, imbas keserakahan akan posisi khalifah selepas Sahabat Ali wafat. Segala macam cara dilakukan untuk menyingkirkan keturunan Ali--imbas kekecewaan atas lambat nya pengusutan kematian Khalifah Umar saat Ali menjabat. Gila, kaum pro pemerintahan Yazid memilih buta bahwa yang ingin mereka singkirkan adalah cucu Rasulullah. Jelas saja dari sana masyarakat semakin skeptis dan tak suka pada pemerintahan Yazid bin Muawiyah.

Meski demikian, Hijir tahu betul semua hal dalam sejarah memang akan tetap berkaitan hingga ratusan tahun setelahnya. Sebab akibat di dunia ini adalah bagian dari sistem semesta yang dirangkai seapik mungkin oleh Yang Esa. Hijir tak boleh asal mengutuk, sedang dari sana, dari kekejaman-kekejaman itu, dunianya orang-orang saat ini ada. Keagungan Islam yang detik ini bisa Hijir reguk barangkali adalah hasil dari kekejaman-kekejaman di masa lampau.

"Allah ...." Satu dua lafaz mulai Hijir lantunkan pelan, merangkainya menjadi doa magis untuk dilangitkan. Khusyuk lelaki itu bertawassul, tak muluk-muluk, Hijir hanya minta imannya dikukuhkan, bahunya dikuatkan tatkala menerima cobaan, juga ... cinta pada-Nya diistiqamahkan.

-o0o-

Dua pesan muncul di notifikasi ponsel. Menggeser tampilan layar, Hijir cukup heran saat mendapati pukul berapa sekarang, pukul 22.00 waktu Mesir. Artinya, sudah lewat tengah malam waktu Indonesia.

"Laith?" gumamnya. Hijir baru hendak kembali ke kamar dalam ma'had saat ponselnya bergetar.

Tak cukup ruang membaca isi pesan yang lumayan panjang dari bilah notifikasi, Hijir memutuskan membuka ruang obrolan dengan adiknya Jauza itu.

|Assalamu'alaikum, Mas. Nggak ganggu kan, ya? Semoga nggak, ada yang buat aku penasaran soalnya, pengen tahu pendapat Mas Hijir.

|Udah pernah baca kisah Babad Tanah Jawa? Tadi Mbak Jauza sama Ayah ngomongin itu lewat video call. Aku nggak berani tanya mereka karena kedengerannya agak nggak masuk akal, takut diketawain kalau maksain nanya, lagian berbau mitologi gitu, aku sangsi. Tentang Said Anwar, Said Anwas, Nabi Syits, Dewi Mulat, atau siapalah itu, terus jadi nyambung ke nenek moyang orang Jawa. Menurut Mas Hijir gimana?

Hal pertama yang Hijir lakukan setelah membaca rentetan kalimat itu adalah terkekeh geli. Ia dibuat tak habis pikir oleh pemuda itu. Bukankah Laith agak melenceng menanyakan itu padanya? Jauza jelas jauh lebih paham dibanding Hijir.

Ingin menjawab tak tahu, sayangnya Hijir sudah pernah membaca kisah yang satu itu. Semesta memang lucu, ia ingin melupakan Jauza, malah dibuat dekat dengan adik perempuan itu.

Sampai di dalam kamar, Hijir memutuskan melakukan panggilan. Jika Laith baru saja mengirim pesan, artinya pemuda itu belum tidur, bukan? Benar saja, pada dering pertama keduanya langsung tersambung.

Berbasa-basi memberi salam juga menanyakan kabar, Laith lantas menodong jawaban, "Jadi gimana, Mas?"

"Anggap saja ini sebagai wawasan ya, Ith. Jangan hanya karena penjelasan aku, kamu jadi sibuk mencari siapa yang benar atau siapa yang salah, keyakinan tidak sehaus itu akan pengakuan dan pembenaran."

Di seberang, meski tahu Hijir tak bisa melihat, Laith mengangguk juga.

"Kamu pasti tahu bahwa Syits adalah putra sekaligus nabi kedua setelah Adam. Satu-satunya putra Adam yang lahir tanpa kembaran. Syits lahir sebagai hadiah dari Allah untuk menghibur kesedihan Adam atas kematian Habil."

Sengaja duduk di depan desk-nya, mata Hijir menerawang tembok berisi banyak sticky note warna-warni, berisi jadwal juga catatan-catatan kecil.

"Bagi masyarakat Jawa yang memang memegang teguh sisi religiusitas Jawa itu sendiri, saat Adam berdoa pada Allah untuk menjadikan Syits sebagai penguasa atas saudara-saudaranya, mereka percaya bahwa raja Iblis mendengar doa tersebut.

"Istri Syits yang bernama Dewi Mulat digantikan Iblis dengan putrinya yang bernama Dewi Dlajah. Wajah mereka mirip, hingga lahirlah putra-putra Syits."

Hijir menutup mata sejenak, meredakan gejolak dalam dada yang tiba-tiba menguasai. Jujur saja, ia tak benar-benar menyukai kisah itu, alasannya jelas, hanya mengingatkannya pada sosok Jauza yang memang suka belajar banyak hal, tak peduli itu akan selaras dengan keyakinannya atau tidak.

"Dari Dewi Mulat, Syits dikaruniai anak bernama Sayid Anwas yang nantinya dididik langsung oleh Adam. Sedangkan, dari Dewi Dlajah--perpaduan dengan Dewi Mulat melalui gumpalan darah yang terbentuk--lahir anak bernama Sayid Anwar yang berada dalam didikan iblis. Anwas tumbuh menjadi orang yang menyukai ilmu agama, sedang Anwar tumbuh menjadi orang yang menyenangi lelaku tirakat atau bertapa."

Pendengaran Hijir masih sangat normal untuk bisa mendengar Laith yang terbatuk di seberang. Sebuah respons yang hampir sama saat pertama kali Hijir mengetahui hal yang sama. Ia terkekeh.

"Nabi Syits hampir tidak mengakui Anwar, tetapi diberi petunjuk oleh Allah. Diterima dengan baik di keluarga Syits. Namun, karena Anwar melanggar satu pantangan, ia diusir Adam pada akhirnya. Dalam pengusiran itu, Anwar bertemu Malaikat Harut dan Marut, disesatkan ke tepian Sungai Nil. Di sana, beliau belajar Ilmu Laduni. Kamu tahu, Laith? Cukup rumit sebenarnya menceritakan ini." Hijir terkekeh sekali lagi, ia tak berbohong.

"Ayolah, Mas. Kalau nggak tuntas, bisa nggak tidur aku malam ini karena kepikiran." Seperti biasa, Laith selalu terdengar seperti anak kecil di telinga Hijir, minus saat memperkenalkan calon suami Jauza untuk pertama kali di rumah sakit kala itu.

"Singkat cerita, setelah belajar Ilmu Laduni beberapa tahun, Sayid Anwar kembali menempuh perjalanan dan singgah di daratan Maladewa, beliau berhasil menaklukkan bangsa jin.

"Di sana, ada sosok bernama Prabu Naradi yang juga berhasil dikalahkan Sayid Anwar. Pada akhirnya, Prabu Naradi membiarkan Sayid Anwar menikahi putrinya. Sejak saat itu, beliau mendapat julukan Prabu Nurasa yang mendapat izin dari Tuhan untuk murtad dari ajaran Adam. Begitulah Tanah Jawa muncul sebagai wilayah kekuasan Prabu Nurasa."

"Jadi maksud Mas Hijir, Prabu Nurasa ini yang nantinya menjadi asal mula bangsa Jawa?"

Hijir mengangguk sembari bergumam, cukup bagi Laith menangkap gumaman tersebut.

"Makanya, Ith. Buat orang yang betul-betul paham dan percaya pada asal-usul tanah Jawa yang satu itu, akan mikir dua kali kalau mau berurusan dengan orang Jawa asli." Lagi-lagi Hijir tertawa, merasa aneh juga dengan ucapannya. "Darah orang Jawa itu mengerikan. Ibarat, dia punya tiga perpaduan. Darah Adam, darah iblis, juga darah malaikat."

Di sana, Laith ikut tertawa. "Pantas aja Mbak Jauza mengerikan. Jawa tulen dia, Mas."

Sial! Jauza lagi, Jauza lagi!

-o0o-

Telat banget emang, bener-bener baru sempet update.

Untuk part ini, aku belum--mungkin justru nggak--berani buat ungkap penjelasan detail mengenai keturunan Syits, Sayid Anwar, yang dipercaya jadi awal mula bangsa Jawa. Karena itu tadi, ini kaitannya memang ada unsur mitologi Jawa, juga nilai religiusitas Jawa itu sendiri. Seperti kata Hijir, keyakinan itu bukan sesuatu yang haus akan pengakuan dan pembenaran dari orang lain. Jadi, nggak ada gunanya mengadu mana yang salah dan mana yang benar. Just believe what you believe tanpa merusuh perihal apa yang orang lain percaya.

Wish you enjoy, salam damai

Amaranteya

29th of August 2022

Continue Reading

You'll Also Like

7.8K 2K 21
📌 FOLLOW SEBELUM MEMBACA #1 Kerinduan ~ 4 April 2023 Sequel cerita "Hijrah, Kok Gitu?" PASTIKAN SUDAH MEMBACA HKG (di akun @dakwahwtitersG_ofc) TERL...
1.4K 150 19
"Semua hal, pasti akan tiba pada akhirnya." Kotak berukuran sedang dengan warna putih-abu yang sudah bertahun-tahun tidak tersentuh, membuat Arumi me...
10.5K 5.3K 44
[REVISI SETELAH TAMAT] •Romance spiritual• Masa SMA itu ga harus punya cerita tentang cinta. Tapi, kalau kebetulan cinta yang datang mau bagaimana? ...
24.4K 4.3K 71
[Chapter lengkap] [17+] Bijaklah memilih bacaan. Yumna dan Yusra, kembar identik, tapi beda frekuensi. Jika Yusra adalah lambang keberuntungan, Yumna...