Guru BK Ngeselin Itu, Suami G...

بواسطة Kurniasuhada_

23.5K 893 72

Dia tetanggamu yang tiba-tiba jadi guru BK di sekolahmu. Dia yang sejak kecil menjengkelkan, mengaturmu denga... المزيد

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Double R, and other
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20 (a)
Part 20 (b)
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45

Part 16

424 25 4
بواسطة Kurniasuhada_

Oke, aku mau kasih tau kalau mungkin aku akan update tiap seminggu sekali aja, karena aku liburnya cuma hari minggu :"(. Tapi aku sempetin buat update lebih cepet dari itu. Bantu share dan promosiin ya gengs, biar cepet naik 5K hihi.

Btw, kalian juga bisa mampir ke ceritaku yang lain "Dia dan Ilusiku" hihi. *promosi teross.

Happy reading gaistyyyy!!

"Kak Raka tidur di bawah!"

"Kenapa? Ini 'kan kamar saya. Aturan kamu lah yang harus tidur di bawah."

"Enak aja. Kak Raka tuh emang nggak berprikecewekan ya. Masa nyuruh saya tidur di bawah. Dingin tauk!"

"Kamu pikir saya nggak kedinginan satu minggu tidur di sofa ruang tamu?"

"Ya itu sih salah Kak Raka. Ngapain tidur di rumah saya. Rumahnya 'kan deket kenapa nggak pulang aja."

"Saya takut aja ada anak tetangga mati kelaperan kalau saya tinggal pulang."

"Dih, emangnya saya nggak bisa pesen grab food? Gofood? Hellow, saya nggak sekudet itu ya."

"Oh, iya... waktu itu sampe masak soup air laut, kenapa?" ungkit Raka.

"Itu-itu saya cuma lagi mau eksperimen aja."

"Bilang aja nggak bisa masak," sinis Raka. "Udahlah. Pokoknya saya mau tidur di kasur, kamu di bawah."

"Nggak! Nggak bisa!"

Pokoknya malam itu mereka berdua ribet berebut tempat tidur. Rifa tidak mau mengalah walaupun ini di rumah Raka. Begitu pula Raka yang bersikeras tak mau tidur di sofa karena menurutnya ini adalah kamarnya. Sudah cukup satu minggu full ia tidur di sofa ruang tamu, mendonorkan darah untuk nyamuk-nyamuk sialan itu.

"Gini aja deh. Kita bagi tempat tidur kayak yang waktu itu aja." Raka memberi ide.

"Ih, ogah! Nanti kalo Kak Raka.macam-macam sama saya gimana? Ngigo terus peluk-peluk saya gimana?"

"Heh, ada tuh kamu yang peluk-peluk saya. Kamu lupa ya, malam pas kita tidur bareng?"

Rifa mengingat-ingat lagi malam ketika ia meminta Raka tidur di sebelahnya. Rifa tidur dengan bar-bar, sampai tak sadar keesokan harinya ia terbangun dengan posisi memeluk Raka.

"Harusnya saya yang takut diapa-apain sama kamu."

Rifa bergedik. "Ih, itu kan saya nggak sengaja. Orang tidur mana bisa dikontrol sih?"

"Nah itu kamu tau. Orang tidur nggak bisa dikontrol. Yang penting kan sebelum tidurnya kita nggak ngapa-ngapain."

"Beneran ya, Kak Raka nggak bakal ngapa-ngapain saya?"

"Iya."

Rifa mengambil guling meletakannya tepat di tengah-tengah. Raka naik ke atas tempat tidur, mematikan lampu dan mengecilkan ac. Dan, terjadi lagi perdebatan di atara mereka.

"Kenapa lampunya dimatiin? Terus, acnya kenapa dikecilin?"

"Saya nggak bisa tidur kalo lampunya nyala. Saya juga nggak bisa tidur kalo acnya kekencengan," jelas Raka yang bertolak belakang dengan kebiasaan Rifa.

"Tapi saya nggak bisa tidur kalo lampunya mati. Saya juga nggak bisa tidur kalo acnya kekecilan. Gerah tau!"
Rifa memgambil alih remot ac, mengatur pada kedinginan yang pas untuknya. Tak lupa ia juga menyalakan lampu. "Nah, gini kan enak."

"Enak buat kamu, tapi nggak enak buat saya. Siniin remotnya."

"Nggak mau. Ini tuh suhunya udah pas sama kamar tidur saya."

"Tapi kamu nyiksa saya namanya. Bisa masuk angin saya kalo kamar kayak kutub utara gini."

"Yeh, bodo amat. Kalo Kak Raka nggak nyaman, pindah aja ke ruang tamu." Rifa menyimpan remot acnya tidak ingin sampai Raka merebut. Ia rebahan dengan posisi memunggungi Raka, menarik selimut lalu tidur dengan pulas.

Sementara itu, Raka yang tersiksa kedinginan harus mengambil selimut tambahan dalam lemari. "Gini banget punya istri," gumamnya, lalu ikut tidur dengan posisi selimut menutupi seluruh tubuh.

***

Rifa sudah selesai mandi, turun ke bawah mendapati Mita yang tengah berkutat di dapur. Wanita itu dengan cekatan memotong-motong sayuran dan beberapa buah sosis untuk dicampurkan ke dalam nasi goreng.

"Raka belum bangun, Fa?" tanya Mita yang mendapat anggukan dari Rifa. "Kok tumben dia bangunnya siang. Kamu tolong bangunin gih."

"Toh juga ini hari minggu, Kak Raka nggak kemana-mana."

"Tapi biasanya dia jogging dulu kalau pagi minggu, Fa. Kamu tolong bangunin ya."

Rifa membuka kamar, terlihat Raka masih setia membungkus tubuhnya dengan dua lapis selimut tebal. Disingkapnya tirai yang menghalau cahaya matahari masuk ke kamar, dikecilkan pula ac yang tadi malam Raka sebut seperti kutub utara itu.

Raka masih bergeming. Tak ada tanda-tanda terdistraksi sama sekali. Rifa menyibak selimut tersebut mendapati Raka mengigil di bawah sana. Wajahnya pucat dan berkeringat.

"Kak Raka?" Rifa menyentuh dahi Raka, suhu badannya tinggi sekali. "Ya ampun Kak Raka demam. Maaa, Kak Raka sakit, Ma." Rifa berlari ke dapur menghampiri Mita.

"Kami kenapa, Fa? Panik gitu mukanya."

"Kak Raka sakit, Ma. Badannya panas banget. Rifa harus ngapain?" Mita berusaha menenangkan kepanikan Rifa, dengan menyuruhnya mengambil anduk dan air hangat. "Ini buat apa?" tanya Rifa.

"Itu buat ngompress biar panasnya turun. Kamu nggak usah panik. Raka memang sering kena demam kalau kedinginan."

Rifa menggigit bibir bawahnya. Ia ingat tadi malam Raka sempat bilang kalau ia tidak bisa tidur karena acnya terlalu dingin. Itu sebabnya pula Raka memakai selimut tambahan supaya tifak kedinginan tapi nyatanya cowok itu tetap tidak tahan dan berakhir sakit demam. Rifa jadi merasa bersalah terhadap Raka. "Tapi, Kak Raka nggak bakal kenapa-kenapa, kan, Ma? Maksud Rifa, tadi malam itu Rifa nyalain ac-nya kenceng banget soalnya Rifa nggak bisa tidur kalo acnya nggak sama kayak yang di kamar Rifa."

"Nggak pa-pa, kamu kompressin aja nanti juga panasnya turun."

Rifa kembali ke kamar, duduk di sisi ranjang, meletakan mangkuk berisi air hangat di atas nakas. Anduk kecil itu diperas lalu ditempelkan di dahi Raka yang menggigil kedinginan.

"Saya minta maaf ya, harusnya tadi malam saya nggak egois kencengin ac-nya sampe Kak Raka kedinginan."

Raka menggeleng. "Nggak pa-pa. Emang saya-nya aja yang lemah, kedinginan dikit langsung sakit."

"Nanti malem janji nggak bakal gitu lagi deh. Kak Raka boleh kok tidur di kasur sama saya, ac-nya juga gapapa kalo mau dikecilin."

"Takut banget saya sakit, ya?" goda Raka.

"Jangan geer ya. Saya cuma nggak tega aja liat orang sakit." Rifa membuka laci, menemukan paracetamol di dalam sana. "Kak Raka minum obat dulu, abis itu istirahat biar demamnya cepet turun."

"Kamu mau ke mana?" tanya Raka.

"Saya nggak mau ke mana-mana. Di sini aja nemenin Kak Raka, siapa tau Kak Raka butuh sesuatu."

"Baik banget. Kerasukan jin apa?"

Rifa berdecak, mencubit lengan Raka tak kira-kira membuat cowok itu mengaduh kencang. "Ya Allah, orang lagi sakit juga, masih aja dianiaya."

"Abisnya jadi orang ngeselin banget sih, heran." Rifa merajuk.

"Iyaa, iyaa, maaf. Ya udah, kamu di sini aja temenin saya. Kepala saya mendadak pusing."

Rifa mengangguk, merapikan selimut Raka yang turun. Ia membasahi kembali anduk yang mulai mengering lalu menempel dengan hati-hati. Hingga akhirnya Raka kembali terlelap.

***

"Rifaaaaaa, main yoookkk!"

"Yuhuuu, bestieeee!"

"Rifaaa, Ayangnya juga ikutan nih. Kuy laah maen!"

Rifa mendengar seruan tersebut di depan rumahnya. Tidak perlu ditanya lagi itu suara siapa, pastilah Udin, Susan dan ada Abian juga sepertinya. Rifa yang masih berada di kamar Raka, bingung. Apakah harus meninggalkan Raka dalam situasi seperti ini.

Mita datang ke kamar membawa nampan berisi sup ayam. "Itu kayaknya ada temen-temen kamu. Samperin dulu gih."

"Tapi, Kak Rakanya gimana?"

"Biar Mama yang jagain."

Rifa pulang lewat pintu belakang. Sampai di rumah, Sarah sudah mempersilakan mereka masuk, duduk di ruang tamu.

"Heh , Paul, dari mane aje lu?" tanya Udin.

"Ada kok gua, di belakang," sahut Rifa, agak berkeringat. "Tumben, lu pada ke sini? Mau ngapain?"

"Dih, dih, dih! Apa lu kata, tumben? Tiap minggu juga kita ke sini, Fa. Lu amnesia apa begimana si?"

"Auu dah, nih anak aneh banget. Cewek lu noh, Yan. Ngapa si, aneh banget."

Abian bergedik, menatap Rifa. "Kamu udah mandi belum?" tanya Abian.

"Udah kok. Udah mandi. Kenapa?"

"Pertanyaan macem apa itu, Fa? Ya Abian mau ngajak lu jalan lah, wooooii. Ini tuh hari minggu. Ngedate kek, apa kek gitu. Lu malah nanya kenapa. Aneh banget." Udin geleng-geleng kepala.

Rifa menggaruk tengkuknya, memikirkan bagaimana cara menolak ajakan teman dan pacarnya. "Ngghh, nggak bisa dulu deh kayaknya. Soalnya, gu-gua belum ngerjain PR buat besok."

"Besok emang ada PR ya, Din?" tanya Susan. Udin dan Abian menggeleng. "PR apaan, Fa? Perasaan besok tuh nggak ada PR."

"Oh, bukan itu. Ma-maksud gua, PR yang buat hari Rabu. Iya, itu kan banyak banget. Jadi, gua mau nyicil ngerjain dari hari ini, gitu."

"Tumben banget lu peduli soal PR-PRan gini. Lagian, kan ada Abian, Fa. Sekali ngedip juga dah kelar PR kita. Nggak usah dipikirin lah. Iya, kan, Yan?" Abian mengangguk.

"Nanti aku yang bantuin kamu ngerjain PR. Atau kalau mau, kita bisa  kerja kelompok hari ini di rumah aku," tawar Abian yang langsung mendapat persetujuan dari Udin dan Susan.

"Udah, lu nggak usah banyak alesan. Ikut aja buruan."

"Maaf banget ya, gua nggak bisa. Gua mau di rumah dulu aja hari ini. Next time, gua nggak bakal nolak kok mau diajak ke mana aja."

Meskipun kecewa, mereka tetap menghargai keputusan Rifa. Mereka bertiga akhirnya berpamitan pulang. Abian yang berjalan paling belakang berhenti sejenak di deoan pintu. "Kamu nggak lagi ada masalah, kan, Fa?"

Rifa menggeleng. "Enggak kok, Yan. Aku baik-baik aja."

"Kamu yakin? Soalnya kamu keliatan beda banget. Kayak ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari kita."

"Nyembunyiin apa sih, Yan?"

"Aku nggak tau. Tapi aku ngerasa kamu beda, Fa."

"Beda? Nggak ada yang beda, Yan. Semuanya masih sama kayak dulu. Kalau pun ada yang beda, itu mungkin dari kamu sendiri."

"Yan, buruan woi! Jadi maen kagak?" teriak Udin.

Abian mengangguk, memberi isyarat untuk bersabar. "Aku main dulu. Sampai ketemu besok di sekolah."

***

"Kak Raka yakin udah baikan?" Raka mengangguk. Dibantu Rifa, Raka bangun, duduk bersandar di sandaran ranjangnya. "Yakin, udah nggak pusing?" tanya Rifa lagi memastikan.

"Tadi ada temen-temen kamu, kan?" Bukannya menjawab, Raka malah balik mengajukan pertanyaa. "Kalo mau main, gapapa main aja. Mumpung hari minggu," ujarnya kemudian.

"Kak Raka yakin ngizinin saya main sama temen-temen? Sama Abian juga?"

"Kenapa kamu nanya gitu?"

"Ya, nggak pa-pa."

"Kamu pikir saya cemburu kamu pergi sama pacar kamu?"

"Bukan gitu maksudnya. Saya cuma nggak enak aja ninggalin Kak Raka yang lagi sakit."

"Sekalipun saya lagi sakit, saya nggak punya hak buat larang-larang kamu mau pergi ke mana. Saya masih ingat kok perjanjian kita. Saya nggak akan mengekang kebebasan kamu."

"Saya boleh tanya sesuatu sama Kak Raka?" Raka mengangguk. "Mau sampai kapan kita kayak gini, Kak?"

"Maksud kamu?"

"Iya, mau sampai kapan kita terjebak dalam pernikahan ini?" Rifa merasakan banyak hal yang bertabrakan antara dirinya dan Raka. Dari segi apa pun itu semuanya hampir bertolak belakang. Tidak mungkin sebuah hubungan dapat dilaluinya dengan kondisi seperti ini. "Hubungan ini hanya akan menyakiti kita satu sama lain. Kak Raka pantas dapetin orang yang jauh lebih baik daripada saya. Dan saya pun ingin bersama orang yang bisa mengerti saya."

"Kamu pikir saya nggak bisa mengerti kamu seperti yang Abian lakukan?" Raka menatap bola mata Rifa tepat di tengah-tengah. "Saya bisa jauh lebih baik, kalau saya mau."

Rifa menarik senyum tipis. "Tapi Kak Raka nggak mau, kan? Karena kita emang nggak cocok. Kita tuh ibarat air dan minyak yang dicampur dalam satu gelas. Mau gimana pun diaduk, tetep aja kita nggak bakal nyatu."

"Itu karena kamu mengibaratkannya sama hal yang rumit, Fa."

"Ya karena ini emang rumit, Kak."

"Enggak akan serumit itu seandainya kita mau saling menerima satu sama lain."

"Gimana mau saling menerima kalau Kak Rakanya terlalu nyebelin. Saya nggak suka sama Kak Raka. Kak Raka tuh egois, suka marah-marah, banyak ngatur, dan kemarin Kak Raka ngebentak saya di depan orang banyak. Kak Raka pikir saya nggak malu?" Rifa menekuk wajah, sekali lagi mengeluarkan uneg-unegnya di depan Raka. "Saya dihukum buat sesuatu yang nggak saya lakuin."

"Seandainya saya nggak bentak kamu waktu itu, kamu bisa aja dapat hukuman yang lebih berat dari sekadar bersihin toilet. Kamu bisa aja kena skorsing karena berperilaku tidak menyenangkan terhadap orang lain."

"Tapi saya kan nggak salah, Kak? Orang-orang nggak tau siapa yang cari masalah duluan. Hanya karena mereka liat saya kasar sama dia, bukan berarti saya yang mulai." Rifa membela diri.

"Nah, itu kamu paham. Orang-orang menyimpulkan hanya dari apa yang mereka liat. Mereka liat kamu kasar,  maka kamu yang salah. Seandainya kamu terusin ngebela diri, kamu juga nggak bakal menang. Makanya saya bentak kamu supaya kamu berhenti, meskipun saya tahu itu nyakitin kamu."

"Jadi...Kak Raka ngebentak saya waktu itu cuma mau nyelametin saya dari skorsing?"

"Iya, tapi nggak usah geer. Saya cuma nggak mau aja kamu kena banyak masalah."

"Saya nggak geer. Saya cuma heran aja kenapa caranya harus sekasar itu. Emangmya nggak punya cara lain ya selain ngebentak saya di tengah orang banyak? Gede kepala tuh jadinya gebetan Pak Raka."

"Gebetan apa sih, Fa?"

"Ya gebetan. Itu, tuh murid Pak Raka yang kecentilan. Dikit-dikit, Pak Raka bantuin saya, Pak Raka tolongin, Pak Raka sakit, Pak Raka nyenyenyenye." Rifa geregetan, menirukan gaya bicara Adelia yang sok polos dan kecentilan. "Demen kan, Kak Raka sama modelan yang lenjeh gitu?"

"Demenan liat istri saya sih. Yang galak, bawel, sula bikin masalah."

"Istra istri istra istri. Haluuu bangettt!"

"Halu gimana? Orang kita jelas-jelas udah nikah."

"Iya, tapi Kak Raka nggak asik kalo harus jadi suami saya. Soalnya Kak Raka ngeselin. Orang paling ngeselin sedunia."

"Kalo gitu ajarin saya supaya jadi suami yang bisa bikin kamu nyaman."

"Ha?"

"Saya mau ada di posisi Abian. Jadi orang yang bisa bikin kamu nyaman."

"Kak Raka kesambet apa sih?"

Raka tak mengubris. Ia mengamit jari-jari Rifa yang gemetar. Gadis itu kian terpaku merasakan telapak tangan Raka yang hangat menyentuh tengkuknya, menarik wajah Rifa mendekat membuat darahnya berdesir.

Rifa memejamkan mata ketika wajah mereka hanya berjarak tak sampai satu jari. Degub jantungnya laksana bedug adzan maghrib yang dipukul kencang ketika bibir tebal Raka menyentuh bibir tipisnya. Hanya ciuman biasa saja, tak saling melumat atau memeluk, tetapi itu sukses membuat Rifa salah tingkah.

"Sa-saya, mau bantuin Mama dulu."

"Kamu belum jawab pertanyaan saya, Fa." Raka tak membiarkan Rifa pergi begitu saja sebelum mendapat jawaban. "Apa kamu mau, membuka hati untuk saya?"

"Saya—"

"Oke, kamu nggak perlu jawab sekarang. Tapi saya akan buktikan kalau saya bisa lebih baik dari orang yang saat ini kamu panggil "sayang". Saya akan berusaha jadi suami yang baik buat kamu."

Rifa tak menjawab. Setelah Raka melepas tangannya gadis itu langsung pergi ke luar kamar, menyembunyikan wajahnya yang semerah tomat.

Selamat datang di part-part gumushh. Ehemm, Raka katanya mau ada di posisi Abian. Itu artinya Raka suka dong yaa sama Rifa🤔

Duhhh, ikutin terus deh ikutin. Tapi keknya seru ya kalo kita bikin trailer buar cerita ini. Wkk ada yang mau bikinin?

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

3.3M 161K 62
[Repost] " Ayah aku ingin punya adik." Anin berkata pada ayahnya. "Ayah tidak punya istri, bagaimana caranya?"tanya sang ayah. "Menikahlah lagi yah."...
496K 10.2K 33
Gimana rasanya nikah sama laki-laki mirip kanebo kering, sok dingin tapi nafsuan..... jangan lupa follow
My Sexy Neighbor بواسطة F.R

قصص المراهقين

904K 13K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
45.2K 1.2K 21
tentang seorang Nasea Adriana yang kesuciannya di renggut oleh guru Kimia nya yaitu Arseno Barata, pria yang disebut Bara itu ternyata sudah mempunya...