Romeo and His Crush

By dandaferdiansyah

1.5K 761 877

Romeo Alvaro Budiman (Romeo) telah memulai hidupnya menjadi anak broken home. Sering menjadi bahan bully-an d... More

BAB 1 - Gimana Hari Ini?
BAB 2 - Aku Lupa
Bab 3 - Inilah Diriku
BAB 4 - Terlalu Lebih
BAB 5 - Hati yang Dekat
BAB 6 - Cukup tau
BAB 7 - Hangat yang Gelap
BAB 8 - Mencurigakan
BAB 9 - Patah Satu Waktu
BAB 10 - Sabar Ini Ujian
BAB 11 - Kecewa Itu Berat
BAB 12 - Aku Takut
BAB 13 - Ada yang Berbeda
BAB 14 - Yang Terlupakan
BAB 15 - Lupakan atau Kembali?
BAB 16 - Akhirnya?
BAB 17 - Harapan Punah
BAB 18 - Kesudahan
BAB 19 - Perubahan
BAB 20 - Menelusuri
BAB 21 - Terlihat Buram
BAB 22 - Terlampaui
BAB 23 - Terpantau
BAB 24 - Bersimpati?
BAB 25 - Skenario Pemula
BAB 26 - Sedikit Sesak
BAB 27 - Solusi Renungan
BAB 29 - Interogasi
BAB 30 - Mengapa Begini?

BAB 28 - Serangan Lawan

9 4 3
By dandaferdiansyah

Mereka berdua memutuskan untuk duduk di taman sekolah favorit. Atau biasa mereka sebut sebagai basecamp. Bukan bermaksud menyombongkan diri atau sekedar ingin pamer. Tetapi itulah nyatanya. Satu sekolahpun hampir tau keberadaan mereka di taman ini. Sampai-sampai dulu waktu awal-awal kelas 11. Ada berita gosip sekolah tentang penempatan tahta taman sekolah kepada Mily, Romeo dan Reva. Sungguh aneh tapi nyata. Tetapi itu hanyalah angin semata. Mereka bukan persohiban yang mempunyai sifat pembalas dendam ataupun lainnya. Mereka hanya berfikir bahwa semua ini bagus. Kalau akhirnya satu sekolah ini tau keberadaan diri mereka selama ini.

"Aku bingung."

"Kenapa?"

Duduk di tengah mentari yang cukup terik. Namun ini belum seberapa dibandingkan jam 12 nanti. Karena ini masih dalam kondisi yang sehat. Sebagai salah satu pencarian vitamin D bagi tubuh.

Reva dan Romeo masih dalam perbincangan yang serius. Meskipun kali ini tidak butuh lelucon yang berlebihan. Karena mereka tau satu sama lain. Kalau masalah ini masih belum bisa diselesaikan secara sempurna. Ditambah keyakinan Romeo yang saat itu menggemparkan hati Reva. Seperti membangunkan sesaat hati yang telah lama menunggu kepastian. Dengan ekspetasi yang tidak terduga. Membuat Reva sendiri kebingungan tak tau arah harus memulai semua ini dari mana.

"Apa baik kita melanjutkan ini sendiri?"

Sambil saling menatap dan mengerti paham maksud satu sama lain. Kali ini wajah Reva mulai ragu bahkan ingin menyerah. Ia seperti tak yakin apakah semua ini akan berjalan dengan mulus. Meskipun harus dijalankan hanya dengan dua orang saja. Karena dia juga merasa bersalah akan dirinya. Yang terlalu membebankan semua ini pada Romeo.

"Kenapa kamu jadi ragu begini sih? Bukannya kamu sendiri yang memaksa aku buat ngelanjutin semua ini."

"Aku tau aku salah, tapi aku juga nggak tau harus melakukan apalagi." Ucap Reva diikuti nada sesak tangis yang mulai menyelimutinya.

Rasanya tak cukup baik jika Reva seperti ini. Romeo yang mulai mendekatinya sambil memeluknya erat. Ia tak mau melihat satu tetes kekecewaan menyelimuti sohibnya satu ini. Begitu juga ketika dirinya merasa di dalam ombang-ambing permasalahan. Hanya para sohibnya yang mengerti dan selalu berada di dekatnya. Meskipun untuk sekedar menghibur atau memberi ketenangan sesaat.

"Jangan pernah merasa gagal. Karena tak semua jalan itu harus ditempuh dengan secepat kilat. Dimana ada jalan, disitu ada rintangan. Jadi nggak usah merasa bersalah gitu. Kita hadapi sama-sama ya."

Di tengah perbincangan mereka. Terlihat dari jauh. Mily yang berdiri tegak melihati Reva dan Romeo. Seperti ingin terharu dan tersentuh akan semuanya. Seperti perjuangan yang selama ini mereka tempuh terdengar sia-sia dimata semua orang. Bahkan Mily hampir berfikir, apakah ini semua karenanya. Yang selama ini tak mengerti arah pembicaraan mereka. Bagaimana perjuangan mereka yang ingin membuatnya kembali ke pelukan. Sampai harus mengorbankan segala hal demi ikatan persaudaraan mereka kembali.

"Mily, Mily, kamu nggak boleh nangis. Mereka bukan siapa-siapa. Dan lo harus bisa atur hati lo. Jangan deketin mereka lagi oke."

Sambil berbicara sendiri seolah menata kembali hatinya. Bahwa ia benar-benar yakin melepaskan segala hal yang selama ini ia miliki. Meskipun itu terdengar sulit. Dan tak akan bisa bertahan selamanya. Tapi mau tidak mau ia harus siap melakukannya. Ini demi kehidupannya mendatang bahkan untuk hari ini juga. Karena ia tak mau membuat ulah dengan nada yang sama.

Jari-jari manis yang telah menghapus tetesan air mata itu. Mily yang ingin keluar dari situasi ini. Langsung membalikkan badannya. Seperti ingin meninggalkan tempat ini segera. Langkahnya yang pasti dengan wajah yang cukup kusam. Efek dari rasa sesak tangisnya saat itu. Kini bukannya selamat, ia malah terancam punah. Dibalik langkahnya ini terdapat sosok yang berdiri tegak. Mendekapkan kedua tangannya sambil menatap Mily dengan penuh ejekan. Mulutnya yang teringin sekali Mily benahi. Tak bisa membuatnya berhenti mengalah.

"Kenapa lo liatin mereka terus, bukannya kalian udah end ya?"

Siapa lagi kalau bukan Halda. Ketua circle paras tenar itu muncul dimana-mana. Dan selalu satu tujuannya. Mengacaukan setiap hal kecil untuk diperdebatkan menjadi besar. Karena Mily sekarang lagi gak mood menghadapi situasi konyol seperti ini. Ia lalu mencoba menghindar untuk pergi dari hadapan Halda.

"Eits...Mau kemana lo?"

Bukannya malah dibiarkan pergi. Halda menghalangi setiap langkah Mily. Seperti seakan ingin menjebak Mily dalam kondisi yang tidak tepat ini. Dasar anak yang ingin sekali mencari perkara. Tak melihat apa dan siapa yang sedang dihadapinya saat ini. Semua diterjang meski badai telah ada dihadapannya sekarang.

"Lo bisa nggak minggir dari hadapan gue?!"

"Nggak, emang kenapa?"

"Dasar Anj**g ya lo!"

Halda langsung spontan mengeluarkan telunjuknya. Menancapkan tepat di bibir merah Mily. Bukan untuk menutup mulut Mily. Tetapi hanya memberhentikan kata-kata kasar yang akan muncul kesekian kalinya. Entah apalagi hal yang direncanakan Halda saat ini.

"Lo ikut gue!" Tegas Halda sambil menarik tangan Mily kasar.

Mily yang mencoba melepaskan semuanya. Malah dicengkeram erat oleh Halda. Mily yang mencoba menahan rasa sakit itu. Tak ingin mencoba untuk melepaskan genggamannya. Keluar dari taman dan menuju suatu tempat yang entah kemana. Langkah mereka dipercepat melewati koridor yang cukup ramai. Mily hanya bisa menahan semuanya. Ia ingin tau apa yang akan dilakukan geng paras tenar pada dirinya. Karena pasti ada rahasia yang mereka sembunyikan selama ini. Sehingga Mily ingin mengetahui tentang segalanya.

Sampai di tempat yang telah direncanakan. Halda membuka pintu gudang sekolah. Tepatnya di area belakang sekolah. Cukup kumuh dipenuhi barang bekas. Yang juga merupakan tempat yang sempat dijadikan objek penculikan Mily oleh Reva, Romeo dan Tasya. Namun itu telah dilupakan. Sepertinya mereka akan merencanakan hal baru. Kali ini tarikan tangan itu semakin kuat. Memasukkan Mily ke dalam gudang sekolah dengan kasarnya.

"Argh...Aduh sakit tau gak!" Teriak Mily tak terima akan sikap Halda.

Halda yang sepertinya telah geram akan semua ini. Segera menutup pintu gudang itu dengan pelan. Sembari melihati suasana luar yang sudah cukup aman. Gudang yang telah lusuh, dipenuhi barang bekas yang telah rusak. Bahkan terlihat berdebu dan bersarang laba-laba. Tapi disini juga banyak sekali benda-benda tajam seperti kayu, kaca, besi dan sebagainya. Yang bisa membuat luka yang tidak biasa bagi manusia.

"Halda! Lo ngapain bawa gue kesini? Temen-temen lo mana!"

Halda hanya tertawa. Dibalik pintu gudang ia hanya melihat wajah Mily yang tengah ketakutan akan sikapnya kali ini. Wajah Halda seperti halnya psikopat yang hendak membunuh manusia lainnya. Kedua tangannya mendekap. Setelah cengkeraman yang cukup membuatnya lelah. Hingga sampai pada titik yang ia tunggu-tunggu.

Mily mencoba tenang di situasi yang cukup seram ini. Disini sepertinya Halda sendiri. Tak ada seorangpun bahkan jejak terlihat disini. Bukan berarti ini bisa dibilang aman. Bisa saja Halda membuat suatu hal yang lebih liar. Daripada hal yang biasanya ia lakukan bersama teman-temannya.

Kembali ke area taman. Reva dan Romeo yang tengah bersedih. Sedang menikmati angin-angin menyejukkan disana. Sambil melihati kehijauan yang rindang. Seperti cukup menutupi rasa kekecewaan mereka akan hal ini. Meskipun tak semua bisa dilupakan begitu saja. Tapi seenggaknya mereka tengah menjalankan proses. Yang nantinya akan membawa ke tujuan yang sebenarnya.

"Jadi gimana Rev nantinya?"

Dengan suara yang sudah tak kuat mengeluarkan kata-kata. Romeo sedang meyakinkan kepada Reva sekali lagi. Apakah misi ini akan tetap dijalankan apa tidak. Bukan untuk memamerkan kepada semua orang melainkan sebuah pengorbanan. Dimana hal yang seharusnya tercapai secepatnya, harus ditunda karena hal yang tak terduga.

"Kayaknya kita tunda sementara deh."

Ucapan Reva yang belum kelar. Sudah membuat wajah Romeo bertanya-tanya. Ia seakan ragu sekaligus ingin marah dengan sikapnya kali ini. Padahal waktu itu dia bilang bahwa akan menyelesaikan misi ini secepatnya. Kenapa sekarang dia malah menghentikan semua ini begitu saja. Bukan hanya kebingungan, rasa kesal kali ini juga menyelimuti wajah Romeo yang senantiasa diam mendengarkan.

"Maksud lo Rev?"

"Iya, iya, ini memang salah gue. Tapi tolong mengerti apa kata gue sekarang. Kalau kita terlalu mengekang untuk cepat selesai. Jadinya bakal nggak sesuai harapan."

"Terus, lo mau semua ini selesai gitu?"

"Bukan selesai, lebih tepatnya gue ikutin skenario yang sedang dijalankan Tuhan."

Romeo langsung menggelengkan kepalanya dihadapan wajah Reva tepat. Meninggalkannya tanpa sapa bahkan satu kata sekalipun. Menurutnya, Reva benar-benar keterlaluan. Dia seakan memainkan permainan yang bisa dihentikan seenaknya sendiri. Dia seperti tak memikirkan perasaan Romeo saat ini. Berbicara dan memutuskan secara sepihak. Padahal waktu itu keputusan Romeo seakan dikekang keras olehnya. Tetapi apalagi yang harus Romeo katakan. Kecuali apa yang harus ia jalankan saat ini. Karena dia hanya bisa mengikuti alur yang dibuat Reva sendiri.

Langkah Romeo semakin nyata melewati koridor. Tiba-tiba para siswa SMA Bara Emas seakan berlari melewatinya. Dengan tergesa-gesa seakan ingin meliput sesuatu. Ada yang menarik tangan temannya hingga membuat dokumentasi. Seperti ada yang tidak beres kali ini.

Sejenak melupakan masalah yang ada. Romeo tak menanyakan kepada siapapun saat itu. Ia hanya mengikuti langkah mereka yang sepertinya bergegas cepat. Ia penasaran bahwa ada sesuatu yang terjadi namun tak ia duga. Atau mungkin menyangkut nyawa seseorang yang ia kenal selama ini. Itu cukup membawa berita terburuk dalam waktu ini. Karena ia merasa tidak bisa merasakan kehilangan untuk kedua kalinya.

Pemberhentian mereka tepat di toilet cewek. Romeo masih dibingungkan oleh situasi ini. Semua siswa seakan mengintip sesuatu. Tetapi mereka tak ingin mendekat kesana. Romeo mencoba mencari jalan diantara ribuan desakan. Ia tak mau ketinggalan informasi hangat seperti ini. Setelah berbagai jalan ia tempuh. Sampailah ia di ujung teropong. Penglihatan paling nyata terletak disana. Ternyata disini juga tidak terlihat apapun. Sampai langkahnya ingin keluar dari zona para siswa itu mengintip.

"Hei, jangan kesana!"

"Kenapa, emang ada apa sih?"

"Bahaya! Katanya ada psikopat disana."

Sautan para siswa itu seperti meyakinkan Romeo akan suatu hal yang menakutkan. Seketika ia berfikir, siapa psikopat itu dan darimana mereka mengetahuinya. Tanda tanyanya kini semakin berbelit dan teringin nekat ke arah sana. Namun halangan ini selalu mengawasinya. Beberapa waktu berjalan. Tangan Romeo seakan terseret dan terangkat. Ia seperti ditarik seseorang tak terduga dari arah belakang ke depan. Sampai kini berada dihadapannya tepat.

"Romeo, Ayo!"

"Ha? Lo gilak ya!"

Kini langkahnya menjadi pelarian yang serius. Reva dan Romeo melewati halang rintang teropong itu. Mereka langsung berlari, lebih tepatnya menyelamatkan diri dari rasa penasaran. Pemberhentian mereka membuat para siswa disana teriak teringin mengikuti. Namun penjagaan para geng kelas lain membuat suasana cukup ricuh tak bisa melewati rintangannya. Untung saja kala itu kenekatan Reva kuat. Sehingga halangan itu bisa ia lewati.

"Rev, lo gilak ya. Ada apa sih?"

"Lo mending ikutin omongan gue. Daripada lo terjebak dalam rasa penasaran itu. Udah diem aja!"

Romeo berujung pasrah. Mengikuti ucapan Reva yang entah mengarah kemana. Ia bahkan tak sempat bertanya siapa yang terjebak dalam psikopat ini. Reva yang berujung panik sekaligus dipenuhi rasa emosi. Langsung melangkah mundur cukup jauh. Seperti akan mengambil ancang-ancang kuat membuka pintu gudang sekolah. Meski ia tak tau akan separah apa tanpa aba-aba. Tetapi ia yakin, ini adalah jalan terbaik.

"Romeo, lo minggir!"

Romeo hanya bisa mengikuti apa mau Reva. Agar semua hal ini cepat terselesaikan. Reva mulai beraksi, ia sudah memasang wajah serius sekaligus emosi. Menggenggam tangannya seakan beradu pukul dengan lawan. Melainkan ini hanyalah pintu gudang yang harus ia taklukkan.

"1...2...3!!!"

Reva berlari sekuat tenaga. Melepaskan segala keresahannya. Hingga ia berujung pada penaklukan yang mengesankan. Romeo yang langsung menutup mulutnya karena kaget. Melihati pintu itu terbuka dengan eloknya. Seperti membuat semua itu terkesan ber-damage. Reva langsung menganggukkan wajahnya dan menarik cepat tangan Romeo.

Diikuti langkah para siswa Bara Emas. Mereka yang meluapkan rasa penasarannya dengan emosi. Melepaskan setiap ikatan dari halangan. Menuju ke tempat sesungguhnya mereka melihati semua ini. Hingga para geng penjaga harus berjatuhan satu sama lain. Tak kuat menahan itu semua. Karena terlalu kuat untuk dihadang dengan beberapa orang saja.

"Halda, hentikan!"

"Halda?" Tanya Romeo kebingungan.

Di suasana gudang yang cukup terang. Disana terlihat posisi Halda yang memegang pecahan kaca teringin membunuh Mily. Disana Mily terlihat lemah. Tubuhnya terlentang di cengkeraman Halda. Ia seperti pasrah tak tau harus melakukan apa. Untung saja kedatangan Reva dan Romeo yang cukup cepat. Menyelamatkan dia dari serangan psikopat seperti Halda yang tak terduga. Kini Reva yang tak berfikir panjang. Langsung menyergap kaki Halda. Menggigitnya dengan keras sampai ia kesakitan dan melepaskan pecahan kaca itu dari genggamannya.

Mily langsung mendorong tubuh Halda kuat. Melepaskan segala cengkeraman itu sampai ia berdiri kembali. Merapikan segala pakaiannya dan menghampiri Romeo. Reva kala itu menghadang langkah Halda yang telah terlentang lemah. Seakan ingin pasrah namun juga ingin melanjutkan semua ini.

"Rom, bawa Mily keluar. Biar gue yang hadepin Halda."

"Tapi Rev!"

"Keluar gue bilang!"

Romeo mengangguk pelan mengikuti perintah Reva. Mily yang sekarang dalam pelukannya langsung ia keluarkan dari gudang. Diluar telah disaksikan banyak orang. Perkumpulan itu seperti demo besar-besaran. Padahal hanya ingin melepaskan rasa penasaran yang terpendam saat itu.

"Hal! Lo mau apa sekarang?"

"Simpel Rev, gue mau lo mati!"

Serangan Halda yang cukup tragis. Ia melemparkan debu-debu remahan kayu pada mata Reva. Membuat tubuh Reva melemah dan jatuh. Kakinya yang tak tertahan berdiri karena serangan itu. Membuatnya kini tak bisa melihat Halda dengan jelas. Wajah Halda sudah semakin liar. Ia seperti akan melanjutkan adegan kedua setelah ini. Karena pecahan kaca itu masih tersebar di sekitarnya.

_____

Jangan lupa vote dan commentnya ya bestie🙌

Continue Reading

You'll Also Like

312K 17.6K 65
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

571K 26.7K 49
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
4.3M 254K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
454K 29.3K 53
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG🤭 Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...