Madame Mafia

By Reiinah76

524K 41K 13.9K

Carlie Eloise Heston adalah simbol kesempurnaan. Putri dari keluarga bangsawan paling ternama, memiliki salah... More

Madame Mafia
Chapter 1 - Madame Eloise is Absolute
Chapter 2 - Lion's Cage
Chapter 3 - Red Bar
Chapter 4 - First Kill
Chapter 5 - Red is not so Pretty Anymore
Chapter 6 - To Surrend is Never a Choice
Chapter 7 - Brother
Chapter 8 - Third Kill
Chapter 9 - Abducted
Chapter 10 - Alter
Chapter 11 - Paul and Paula
Chapter 12 - Hell Partner
Chapter 13 - Unwritten Agreement
Chapter 14 - Aliance Meeting (1)
Chapter 14 - Aliance Meeting (2)
Chapter 15 - Teaming Up
Chapter 16 - Ian and Carlie
Chapter 17 - Relationshit
Chapter 18 - Marijuana Date (1)
Chapter 18 - Marijuana Date (2)
Chapter 19 - Stella Martin, The Poor Lady
Chapter 20 - I Hate This Party
Chapter 21 - Little promise
Chapter 22 - Aliance Issue
Chapter 23 - Austin and Emerald
Chapter 23.2 - Austin and Emerald
Chapter 24 - The Show
Chapter 25 - Mama
Chapter 26 - Through the Mirror
Chapter 26 - Through the mirror (2)
Chapter 27 - A Letter that Brings Storm
Chapter 28 - Wish (1)
Chapter 29 - Cotton Candy
Chapter 30 - Every Single Thing
Chapter 31 - Present
Chapter 32 - Fishing Net
Chapter 32 - Fishing Net (2)
Chapter 33 - Vow
Chapter 34 - Agreement
Chapter 35 - A Call for Help
Chapter 36 - Liar
Chapter 37 - Hard Choice
Chapter 38 - Odd Combo
Chapter 39 - Rewrite
Chapter 40 - Alive
Chapter 41 - Letter
Madame Mafia 2
MM 2 : Prologue - Every Single Night
MM 2 : Chapter 1 - New Encounter
MM 2 : Chapter 2 - Invitation
MM 2 : Chapter 3 - Left Out
MM 2 : Chapter 4 - Memories
MM 2 : Chapter 5 - Behind The Flames
MM 2 : Chapter 6 - A Killer
MM2 : Chapter 7 - Make Over
MM 2 : Chapter 8 - Different Dream
MM 2 : Chapter 9 - Nightmare
MM 2 : Chapter 10 - Who was his name?
MM 2 : Chapter 11 - Broken Mirror
MM 2 : Chapter 12 - Boxing
MM 2 : Chapter 13 - The Returned
MM 2 : Chapter 14 - I Did Better
MM 2 : Chapter 15 - Thin Thread
MM 2 : Chapter 16 - Bloody Dream
MM 2 : Chapter 17 - Guns
MM 2 : Chapter 18 - About You And Only You
MM 2 : Chapter 19 - Radomir Volkov
MM 2 : Chapter 20 - Forgive Me
MM 2 : Chapter 21 - Dance Partner
MM 2 : Chapter 22 - One Condition
MM 2 : Chapter 23 - Car Crash
MM 2 : Chapter 24 - Switch
MM 2 : Chapter 25 - For Her
MM 2 : Chapter 26 - Confession
MM 2 : Chapter 27 - From Today
MM 2 : Chapter 28 - Kiss
MM 2 : Chapter 29 - Father
MM 2 : Bonus Part

Chapter 28 - Wish (2)

6.5K 576 147
By Reiinah76

Hai semuanya! Welcome back!

This chapter is long AF WKWKWKWK tapi aku yakin kalian akan suka. Kita lope lopean dulu okeii

Bacanya diawet-awet spy ga cepet kangen, and have a nice emotional ride ahead!

Happy reading!

~~~

Chapter 28 - Wish (2)

~~~

Ubin diketuk di bawah kakinya, gemeretaknya nyaring sebab tak ada bunyi lain bersuara di lorong ini. Langkah Jona. Lambat-lambat, namun terukur. Juga penuh penekanan. Dari langkah belaka saja, setiap insan manusia niscaya akan menebak kalau itu langkah yang sarat dendam. Sarat amarah. Tangannya terkepal, mengaku di kedua samping tubuhnya. Matanya berkilat-kilat, mengibar panji peperangan. Tatapannya tak terkira tajam, bagai mampu membelah batu lewat sirat semata. Beruntung di lorong ini tak satu pun orang hadir. Jika tidak, siapa pun niscaya mengompol ketakutan.

Sensasi dingin merambat ke tangannya tatkala Jona meraih gagang pintu. Getaran lagi-lagi terasa di jemari-jemarinya. Namun kali ini bukan karena takut. Bukan sebab rangsek kenangan lampau. Namun karena murka. Jona membuka pintu itu, nyaris membantingnya. Membiarkan cahaya menyelusup ke dalam kamar temaram nan kelam itu. Melukis paras ayahnya dengan sinar, juga ketakutan.

"J-jona." Bisiknya pelan. Bahkan tanpa bisa berjalan pun, dari suara-suara belaka, ayahnya pasti mampu menangkap keadaan saat ini. Bawahan Jona datang. Menumpas habis bawahan miliknya. Bahkan Hugo tak lagi bisa dihubungi. Dugaan awal Bov pasti tertangkap. Namun mengingat sifat anaknya, asistennya itu bernyawa pun rasanya ganjal.

Ketakutan terpancar di matanya. Rasanya janggal melihat meja berbalik. Biasanya Jona yang takut. Yang ditindas. Kini dirinya yang gentar. Dan ketakutan Bov ini melipat ganda, melihat Jona mengacungkan senapan ke padanya.

"K-kau tidak sungguh-sungguh mengancam ayahmu sendiri... tidak?"

Mata Jona kian menajam. "Bagaimana menurutmu?"

"H-hentikan ini, Jo." Bov berucap, mencoba tampak menitah, walau dia beringsut ngeri. "Aku ini ayahmu."

"Dan ayah seharusnya ada untuk menyokong anak. Bukan menghancurkannya." Jona mengokang senapannya, membuat Bov berjengkit. Nyaris menjerit menangis malah. "Pemandangan yang sama aku pandangi beberapa minggu lalu. Ketika aku membunuh Falcon."

Kerut yang timbul di kening kepala Bov menyiratkan amarah. Namun murka itu tak mampu disalurkannya. Terimpit ketakutan. Terimpit tekanan senapan yang mengarah padanya. "Mengapa kau membunuhnya?"

"Karena mama tidak akan bisa tidur dengan tenang tanpa aku membinasakannya."

Tubuh Bov seketika berpaku kaku. Cahaya di matanya bergetar-getar tanpa kendali. Jona semula berpikir kalau ayahnya tidak tahu menahu soal siasat buruk Falcon kepada ibunya. Namun dalam lubuk hatinya yang terdalam, Jona menebak kalau Bov sebenarnya tahu. Namun memutuskan untuk membiarkan. Membiarkan temannya meracuni istrinya sesukanya. Sekalipun istrinya akan binasa pada perjalanannya. Dan reaksi Bov kali ini menekankan kalau tebakan Jona tepat. Jona bisa meledak akan amarah rasanya. Berpikir ayahnya dikelabui orang lain, jauh lebih mudah ketimbang tahu kalau Ayahnya turut andil adalah ketiadaan ibunya.

"Mengapa kau membiarkan dia?"

Bov berkeringat. Deras. Nyaris menyerupai tetes-tetes air di jendela pada malam hujan. "Evalina menghambat pertumbuhanmu."

Jengkit lagi-lagi menggertak tubuh Bov ketika tangan Jona refleks meraih gagang pintu, dan membantingnya hingga tertutup. Suaranya keras membahana. "Bagian mana dari Mama yang menghancurkanku hingga kau membiarkannya mati, Sialan!?"

Bov bergetar dalam duduknya. "K-kau selalu lemah pada ibumu, Jona."

"Dan kau pikir itu alasan yang padu untuk membinasakannya!?"

"Aku membutuhkan putra yang kuat! Nathan sudah mengecewakan. Kau tidak tahu berapa banyak orang yang mengataiku memiliki anak cacat hanya karena dia sakit-sakitan. Ketika kau lahir, dengan sejumlah kemampuanmu dalam mengayang pelajaran dan tubuh kuatmu itu, aku pikir kau memiliki kesempatan, tapi," kilat-kilat emosi berlabur di matanya. Jona tidak bisa menafsirkan apa saja. Yang jelas ada amarah, ada rasa malu, ada kepahitan masa lampau. Yang janggal, ada sebesit sirat kesedihan, "dia selalu memanjakanmu. Kau lemah karenanya."

"Sekali lagi biarkan aku bertanya. Kau sungguh berpikir itu alasan yang cukup untuk menghilangkan istrimu sendiri!? Ibu dari anak-anakmu!?" Jona menggertak kencang-kencang, hingga rahangnya ngilu di mana-mana.

"Aku mau melakukan apa pun demi menjadikanmu orang hebat. Apa pun. Sekalipun dengan cara yang tidak mengenakan. Itulah tugas seorang ayah."

Jona nyaris menekan pelatuknya saat itu juga, membenamkan amunisi di batok kepala ayahnya. Bov tidak memiliki hak untuk menyebut dirinya seorang ayah. Dia hanya diktator, tiran yang menghancur leburkan kehidupan Jona. Caranya yang seakan berkata Jona diasuh baik olehnya sejak kecil, menderingkan bel-bel penyiksaan mengertakkan saraf-sarafnya. Tatapan Jona dikecamuk murka lebih lagi. Bahkan sekujur tubuhnya bergetar karena amarah yang sama.

"Kau membunuh Nathan."

Jona terkejut, melihat sirat kepahitan terbit di mata ayahnya. Sekalipun dia brengsek, rupanya kenangan lama masih menggertakkan sanubarinya.

"I-itu... kecelakaan."

"Kau pikir aku menerima pembelaan diri semacam itu? Bahkan di makamnya saja kau tidak hadir. Memutuskan untuk berjumpa kolegamu yang menurutmu lebih penting." Jona melangkah mendekat, Bov kian menyusut di kasurnya. Ketakutan tidak main-main. "Kali ini alasannya juga sama? Untuk menguatkanku?"

Bov bergetar kian kencang. "I-itu kecelakaan, Jona, aku bersumpah. A-aku akan melakukan apa pun lagi agar hari itu bisa berulang dan nasib sama tidak menimpanya."

"Kau gemar membohong bahkan di akhir hayatmu, ya?" Akhir hayat. Kata itu laksana belati yang melecut jantung Bov. Pria itu mengap-mengap. Nafasnya menjadi sulit tidak main-main. "Kau tidak akan memutar balik waktu. Karena kematian Nathan berhasil membuatku tergila-gila latihan. Dan kau menyukai itu. Tapi apa kau tahu, Pa? Mengapa aku berlatih keras saat itu?"

Jona kian mengikis jarak. Menyisakan satu meter belaka dari senapannya, hingga batok kepala Bov. Benda besi itu bagai meraung meminta Jona menekan pelatuknya. Jona menggertakkan rahangnya agar dia tidak mengakhiri ini lebih cepat dari yang dia inginkan.

"K-kenapa?"

"Untuk membunuhmu. Membalas dendam untuknya."

Jona bisa bersumpah, dia tidak pernah melihat ayahnya setakut sekarang. Dan ini rasanya memuaskan tidak main-main.

"Motifku kian membuncah setelah mengetahui ulah Falcon dan keacuhanmu terhadap mama. Sahabatmu sudah hilang, dan kini," Jona mencondongkan tubuhnya, menempelkan besi senapan telak di kening ayahnya. "Aku ingin kau ke atas sana, dan meminta maaf langsung pada Mama. Juga Nathan. Paham?"

Kerut di kening Bov kian mendalam. Amarah tersirat, namun ketakutan jauh lebih membahana. Matanya bergetar-getar, perdana dalam kehidupannya Jona melihat tetes air mata menggenang di samping mata ayahnya. Pria ini menyegani kematian, padahal entah sudah berapa orang yang dia bunuh sepanjang kehidupannya. Rahangnya bergemeretuk tanpa kendali.

Bov bagai dipertemukan dewa kematian. Jona memegang kapak kematian itu.

"J-jo, kau tidak bisa melakukan ini padak-"

"Aku bisa. Aku pasti bisa." Jona meletakkan telunjuknya di balik pelatuk. Matanya menyiratkan tekad, namun dadanya tetap saja seberat beton.

Joan sudah berhenti mencintai ayahnya sejak lama. Bahkan dia tidak mengingat kapan terakhir kali dengan suka hati dia memanggil nama ayahnya itu dengan rasa sayang. Namun kendati demikian, mengakhiri hidup ayahnya sendiri, tetap saja perkara yang tidak mudah. Terbesit kenangan masa lampau dengan ayahnya, sekalipun hampir seluruhnya buruk. Dan menjijikkannya, sedikit rasa rindu merambati sanubari Jona. Pria itu menggertakkan rahangnya sekuat mungkin, memfokuskan imaji benaknya hanya pada wajah cantik ibunya, senyum cerah mendiang kakaknya. Pikiran itu berhasil kembali membuncahkan amarah Jona, sampai titik tertinggi.

Wajah Ayahnya kian membuatnya naik pitam. Jona tahu, dia tidak akan menyesal membunuh ayahnya sendiri.

"Kumohon, Jo-"

"Jika kau mau memohon, memohon maaflah pada mama dan Nathan di atas sana karena ulah bejatmu." Jona mendesis setajam silet.

"A-aku ini ayahmu! Kita tinggal bersama sejak kau membuka matamu!"

Dan kau selalu menghancurkanku di setiap waktu kita habiskan berdua. "Lantas?"

"A-apa kau sudah kehilangan akal sehatmu!?"

Jona menyeringai tipis. "Kalau tentang itu aku tidak tahu, namun kalau perasaan sayang pada ayah sendiri," seringai itu pupus, diganti sorot predator pemangsa, "Sudah sejak lama dimusnahkan. Olehmu sendiri."

"Jonathan Austin!"

Getaran di tubuh ayahnya sudah benar-benar laksana orang kejang. Dia mencari-cari retakan di mata Jona, memburu barang satu atau dua sirat keraguan di mata putranya. Namun nihil. Amarah belaka yang tercantum di setiap sudut matanya. Bov bisa bersumpah dia tidak pernah setakut ini sepanjang hidupnya. Dan pemandangan senapan yang dijulurkan kepadanya tidak pernah sehoror ini melebihi ketika putranya sendiri yang menodongkannya.

"Sampai jumpa."

Bov membelalak, hingga matanya mungkin nyaris melompat ke luar. "J-jo-"

"Aku tidak akan merindukanmu."

Dor!

Deru ledakan senapan menggaung di udara, menggertakkan Bov hingga tulang rusuknya sakit semua. Pria gempal itu menutup matanya akan ketakutan. Menanti amunisi mengakhiri nyawanya.

Namun berselang beberapa detik, Bov menyadari kalau dia tidak merasakan apa-apa. Tidak ada kegelapan. Tidak ada akhir hayat.

Bahkan suara tembakan yang berdenyar pun, rupanya hanya dalam imajinasinya belaka. Ketakutannya yang mencipta suara itu.

J-jona tidak membunuhku? Sekalipun tetap segan, Bov perlahan membuka matanya. Membiarkan sinar membelai retinanya. Dan betapa terkejutnya dia ketika melihat putranya bergeming dalam kekakuan, wajahnya membalik ke belakang. Dan di punggungnya, berdiri seorang wanita jangkung memegangi pundak pria itu. Mencengkeramnya, seakan mengibarkan panji ancaman.

"Eloise." Suara Jona seserak radio rusak. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Menghentikanmu. Sebelum kau menyesal."

Sirat berang merangsek ke mata Jona. Dengan tangannya yang tak memegang senapan, dia tepiskan tangan Carlie yang bertengger di pundaknya. "Ini bukan urusanmu. Keluar!"

"Tidak akan."

"Eloise!"

"Tidak akan sampai kau meredakan emosimu dan menilik kembali apa tindakanmu setelah ini akan menguntungkan, atau memang hanya berdasarkan emosinya yang sedang meledak-ledak saja!" Sekalipun seorang pembunuh ulung berdiri di hadapannya, Carlie tak segan menentang. Langkahnya maju satu langkah, hingga dadanya nyaris mengenai tubuh Jona. Dia mendekap kedua sisi wajah pria itu. "Aku tidak akan menghentikanmu. Aku hanya ingin kau berpikir lamat-lamat. Apa kehilangan satu lagi anggota keluargamu akan membuatmu merasa baik atau menjadi bumerang untukmu."

"Pria ini yang telah menghancurkan keluargaku dan hidupku selama ini!"

"Dan apakah jika dia tidak ada sesuatu akan berubah!?" Carlie membentak kencang-kencang. "Karena saat ini di mataku, walau kau mungkin tidak menyadarinya, namun manik matamu itu sarat oleh ketakutan, dan beban mendalam. Seakan anak kecil di dalam tubuhmu tidak ingin ini terjadi."

"Kau tidak tahu apa-apa tentangku!"

"Tapi minimal aku tahu kalau kau sekarang melakukan apa yang hendak kau lakukan karena ledakan amarah semata! Bukan keinginan terdalam dari hatimu!"

Bov memaku tanpa bisa bergerak. Jona ikut kaku, mereka nyaris tampak mirip. Mata pria itu berkilat-kilat dalam cahaya kalut. Menekankan lebih kalau logikanya kini tidak bekerja sama sekali, diselubungi emosinya yang membuncah-buncah.

Seakan anak kecil di dalammu tidak ingin ini terjadi. Ucapan Carlie bagai godam, kini mulai mengetuk-ngetuk seisi hatinya. Apa yang sesungguhnya Jona inginkan? Baru saat ini dia disadari untuk bertanya seperti itu pada dirinya sendiri. Dia menginginkan kematian Ayahnya, seburuk kematian sahabat ayahnya. Namun kini rasanya berbeda. Kematian Falcon mudah saja dia lancarkan. Namun rindu yang dia tekan habis-habisan di dalam perasaannya kian meronta keluar, ketika dia mencoba mengakhiri nyawa Bov. Jona bahkan hampir malu ketika dia menyadari secercah kelegaan membanjirinya ketika Carlie menghentikannya menembak batok kepala ayahnya.

A-apa yang terjadi pada... ku?

"Aku ingin dia mati. Meminta maaf pada Mama. Pada Nathan." Entah Mengapa, setetes air mata terbit di mata Jona. Air mata kedua yang Carlie lihat pria itu uraikan.

"Sungguhkah? Itu yang hatimu inginkan?"

Jona merasa dirinya nyaris tenggelam. Dalam kegilaan, dan pusar emosi membuncah. Kepalanya mulai terasa pening. Mengorek-ngorek perasaan juga pikiran terdalam ternyata tidak semudah terdengarnya.

Apa yang aku inginkan? Apa yang aku kecil inginkan?

Terbesit di benaknya bayangan mansionnya yang senantiasa gelap. Terbesit senyum ibunya di balik lampu temaram itu. Imajinya berkembang, membuat sebuah tangan kekar merangkul pundak ibunya yang tengah tersenyum. Wajah ayahnya muncul di balik tubuh kedua. Ketika tubuhnya masih fit, belum gempal. Di depan ibunya, muncul wajah Nathan. Memakan Spaghetti di tengah Minggu pagi, bergumam-gumam ceria betapa enak saus tomatnya. Lantas Jona pun ada di sana. Wajahnya dipenuhi noda-noda merah karena dia tidak pandai makan dengan rapi sewaktu kecil. Berkali-kali ibunya tertawa sembari mengelap samping wajahnya. Ayahnya pun ada di sana, berbincang manis kepada Nathan dan Jona mengenai pertemanan, kekeluargaan, atau sebatas jalan-jalan seru yang akan mereka lakukan di sebuah hari libur.

Saking janggalnya, imaji ini rasanya salah bagai dosa. Namun gertak di jantung Jona menyesakkannya, hingga nafasnya sulit berlalu.

Dia sadar, ini yang dia inginkan. Bukan pembunuhan ayahnya, bukan balas dendam, bukan pertumpahan darah. Dia hanya ingin keluarga yang hangat, untuk dirinya sendiri. Dia ingin rangkulan ibunya, permainan dengan kakaknya, perbincangan dengan ayahnya.

Jona menginginkan keluarga. Sesuatu yang tidak mungkin didapatkannya, sekalipun dia mengorbankan apa pun yang bisa diberikannya.

"Apa pun yang terjadi, keinginanku tidak mungkin terwujud." Jona menyentuh lembut tangan Carlie, menurunkannya dari samping wajahnya. "Mendapatkan keinginan adalah hak untuk orang beruntung. Aku bukan salah satunya."

Mata Carlie menyayu dalam keprihatinan. "Mungkin bisa. Jika kau memperjuangkannya."

Jona menggeleng. Ibunya telah tiada. Nathan hanya bersisa kenangan. Ayahnya adalah monster terkeji yang pernah dijumpainya. Keinginannya adalah kehampaan belaka. Namun tatapan meyakinkan mata Carlie seakan mengatakan yang lain. Deru nafas ayahnya yang tersengal-sengal terdengar dari samping telinganya. Untuk sesaat benak Jona mencipta imajinya sendiri tanpa bisa Jona kendalikan. Hubungan baik dengan ayahnya. Hubungan anak ayah yang selama ini Jona dambakan. Kehangatan yang bisa dibuat jika saja dia mau memberi ayahnya kesempatan.

Permaafan satu dengan yang lain. Tanpa harus seseorang pun membunuh siapa pun.

Bayangan ini nyaris membuat Jona muntah, saking menjijikkannya. Namun yang lebih jejap lagi, Jona membenci suara kecil dalam dirinya yang mendambakan ini. Yang menginginkan mimpi ini menjadi kenyataan.

Tangan Jona terkepal, rahangnya sekeras batu. Dia berusaha payah mengenyahkan perasaan hangat ini yang tiba-tiba berdenyar di dadanya. Berusaha setengah mati meracuni otaknya lagi dengan kebencian, supaya dia tidak mundur. Tidak pada langkah terakhir. Namun kecamuk pikirannya itu rupanya membutakan Jona. Melengahkannya. Hingga dia bahkan tidak menyadari sewaktu Bov meraih kasar tangan Carlie, memekikkan wanita itu, dan membawanya ke kasur. Dia bahkan merampas senapan Jona sebelum Jona menyadari apa yang terjadi. Menodongnya ke pelipis wanita itu.

"Eloise!"

Tawa getir Bov udarakan. "A-aku berterima kasih kepadamu untuk menghentikan putra gila ini, Wanita sialan. Tapi sayangnya kau naif." Matanya menyorotkan permusuhan kepada Jona. "Maju selangkah, maka nyawanya yang akan kuhabisi."

Mata Jona langsung berkilat dalam amarah. Perasaannya yang sejak tadi menggila, kini sirna ditelan amarah. "Brengsek!"

"Akan kubalikkan kata itu langsung padamu, anak kurang ajar!"

Carlie meronta-ronta dalam genggaman Bov. Mencoba menggigit dalam setiap kesempatan yang dia miliki. Namun Bov sudah menyandera entah berapa orang sepanjang hidupnya. Carlie bahkan tidak bisa melawan, barang bergeser sejengkal pun. Dan senapan di pelipisnya, menggetarkan Carlie dalam ketakutan.

"Kau akan tahu apa yang terjadi karena melawanku, Jona! Kau akan tahu apa akibatnya mencoba menentangku! Aku akan menghilangkan semua orang di dunia ini yang bisa menghambatmu menjadi orang kuat. Dan kalau wanita ini adalah alasanmu selanjutnya setelah ibumu, maka dia juga harus pergi dari dunia ini! Semuanya demi ka-"

Dor!!

Carlie bahkan tidak bisa menangkap apa yang terjadi, hingga separuh penglihatannya disimbah sebuah tirai merah. Menutup pemandangannya. Darah demi darah mengucur ke balik tubuhnya, tenggelam ke bajunya, merunut di tulang punggungnya. Bagai tengah keramas. Namun airnya diganti darah, sabunnya adalah ketakutan. Carlie mengkaku, bergetar sedikit, ketika pancuran darah longsor ke tubuh bagian kirinya. Membuat kasur putih merona merah. Dan sebuah mayat ambeuk di belakangnya. Jatuh sembari memancurkan darah, galon-galon banyaknya.

Kepalanya runyam, telinganya berdesing dalam dengung memekakkan. Carlie segan tak main-main, namun dia beranikan diri untuk menatap ke depan. Nafas Jona yang tersengal-sengal adalah pemandangan pertama yang dijumpainya. Tangan kanan pria itu yang bersimbah darah adalah pemandangan kedua. Jemarinya menggenggam sebuah senapan berwarna putih, yang kini hampir seluruhnya diselimuti warna merah. Senapan itu berbeda dengan yang Bov ambil dari tangannya.

Baru saat itu Carlie menyadari di tengah dengung kepalanya.

Jona membunuh ayahnya. Dengan menembaknya tepat di lehernya.

"Selalu membawa lebih dari satu senapan ke mana pun aku pergi." Bahkan berkata itu pun, nafas Jona berat-berat. "Ajaran dari ayahku. Dia sendiri yang terkena imbasnya sekarang."

Tangan Jona terulur kepada Carlie, menariknya dari kasur, membuat darah di tubuh Carlie menetes ke lantai. Tubuh wanita itu bergetar, setiap sudutnya dipenuhi darah Bov yang mengalir-alir. Ketimbang dirinya, Jona jauh lebih bersih. Hanya terciprat satu atau dua bercak darah. Walau begitu, pria itu menarik tubuh Carlie ke dalam dekapannya. Memeluknya, tak terkira erat. Sekalipun membuat bajunya terkena darah ayahnya sendiri.

"J-jona."

"Jangan menceramahiku apa-apa soal aku membunuh Papa. Aku tidak ingin mendengarnya." Jona berucap, menenggelamkan wajahnya di samping leher Carlie. Suaranya bergetar, kali ini Carlie pastikan kalau dia membalas pelukan Jona. "Aku menginginkan keluarga. Yang hangat. Yang bisa dengan bangga aku sebut rumah. Namun pria itu menghancurkannya. Dia melibas habis orang-orang yang kucintai, dan kini..."

Carlie terpaku ketika Jona mengecup lembut lehernya. Dengan kecupan yang tersirat kesakitan. "Aku tidak bisa membiarkannya mengambil satu lagi orang yang kucintai. Tidak boleh."

Carlie nyaris tidak memercayai pendengarannya sendiri. Nyaris tidak memercayai indranya sendiri. "A-apa?"

"Aku mencintaimu." Jona bergetar kian kencang. "Aku selalu membenci kata itu. Karena aku menggambarkan keluargaku yang koyak sebagai cintaku yang sejak lama kandas. Namun kali ini aku mengatakannya. Sebab membayangkan kau direnggut dariku, membayangkan aku datang kemari dan mendapatimu sudah tiada..." Carlie bahkan tidak menyadari sejak kapan Jona terisak lembut. Perasaannya pasti sedang kacau balau sekarang. Dia baru menghabisi ayahnya sendiri. Keluarganya satu-satunya yang dia masih miliki. "Aku bisa gila, Eloise."

Wajahnya melerai dari pelukan Carlie, tangannya menggenggam kedua sisi leher Carlie. Mata hitam pekatnya menatap Carlie lurus-lurus, seakan mengeruk kehangatan dari raga wanita itu. Kehangatan yang bisa melepas perih dari dada Jona. Kehangatan yang membelainya. Membuatnya... merasa hidup. Merasa berharga, walau secercah saja.

"D-Dia tidak boleh mengambilmu dariku. Papa tidak boleh membunuhmu di hadapanku. Daripada begitu.... daripada b-begitu, lebih baik dia tidak ada saja." Jona berguncang. Tak pernah sehebat ini namun sesunyi ini sebelumnya. "Kehilangannya tidak sebanding, jika aku kehilanganmu."

Ucapannya yang terakhir tak lebih dari bisikan lirih. Carlie menyentuh lengan pria itu. Ingin Jona tahu, kalau dia ada mendampinginya. Ingin Jona tahu, kalau dia tidak sendiri. "Aku tidak pergi. Aku di sini. Kau menyelamatkanku, Jona. Kau... tidak kehilanganku."

Derap kaki terdengar bergemeretuk dari kejauhan. Nyaris satu lusin pasang kaki terdengar dari kejauhan. Mereka adalah langkah Devan yang disertai setiap bawahannya. Terkejut, juga panik, mendengar suara ledakan senapan. Nafas Devan tersengal-sengal ketika dia membanting pintu kamar Bov hingga terbuka. Kepanikan melukis setiap sudut kerut wajahnya. Namun resah yang nyaris menggilakannya itu seketika surut, bagai ombak sebelum tsunami. Ketika dia melihat sebuah senapan terarah kepadanya.

Yang memegang senapan itu adalah Carlie Eloise. Meraihnya dari tangan Jona, mengacungkannya pada Devan.

Sembari melumat dalam bibir Jona. Seakan mengibarkan panji ancaman. Keluar. Sebab aku tengah menikmati bibir bosmu ini.

Devan dan satu lusin bawahannya seketika menutup mata mereka, membalik bagai anggota pramuka yang tengah diberi aba-aba bubar jalan. Pemandangan mayat Bov terbesit sekilas di mata Devan. Sembari keluar, menutup pintu di belakangnya, pria itu menahan senyum-senyum sendiri.

Yang tertembak bukanlah majikannya ataupun Carlie. Tapi Bov Austin.

Dan bos kesayangannya, mendapatkan kembali seseorang untuk diperjuangkan. Untuk dikasihinya.

Devan mengayunkan langkah nyaris berjingkrak. Apalagi yang lebih indah yang bisa terjadi pada malam kemenangan ini? Devan rasa tidak ada.

***

Jona ingin Carlie menginap di rumahnya, untuk malam ini. Bukan di kamar tamu, namun di kamarnya. Dan Carlie mengiyakan tanpa protes.

Mayat Bov dan gelimpangan bawahan-bawahannya Devan urusi. Mereka sudah terbiasa menghapus sisa pekerjaan majikan mereka sehingga malam ini tak ubahnya hari-hari biasa ketika majikan mereka tengah berkelahi. Carlie tidak ingin melihat satu pun mayat lebih banyak. Devan memberikannya handuk basah untuk mengelap darah dari tubuh Carlie seadanya, lantas wanita itu langsung pergi kembali ke Paris bersama Jona. Sepanjang perjalanan, pria itu menggenggam tangannya. Tapi dia membisu.

Kurang lebih, Carlie bisa menebak isi pikiran Jona. Sekalipun dendamnya mungkin besar kepada ayahnya, Bov Austin tetaplah ayahnya. Orang yang membesarkannya. Carlie bisa melihat pundak Jona merosot, antara lega, juga kepahitan. Tentu rasanya tidak benar membunuh orang tua sendiri. Tentu rasanya mengerikan mengakhiri hidup orang yang membawanya ke dunia ini. Jona membiarkan otaknya berkecamuk sendiri, sembari menggenggam tangan Carlie, kehangatan yang mewaraskannya. Dengan begini, pikirannya tidak akan menggilakannya sepanjang perjalanan.

Bahkan ketika sampai di mansion, Jona masih membisu. Satu kalimat yang dia ucapkan hanyalah bagaimana asisten Carlie datang kemari tadi, dan sekarang sudah dibawa kembali. Juga sudah mendapat kabar kalau Carlie baik-baik saja. Emma memang asisten yang sangat memedulikan Carlie. Dia pastikan sesampainya dia esok hari di butik, dia akan memeluk Emma dan mengucapkan sedikit apresiasi.

Air hangat adalah hal pertama yang Carlie kecap setibanya di mansion. Jona bersikukuh menyuruhnya mandi di kamar mandi kamarnya, namun Carlie mengotot kalau kamar mandi kamar tamu jauh lebih efisien waktu. Dia bisa membasuh tubuhnya sembari Jona melakukan hal yang sama. Jona benar rupanya, melibas habis darah dan tanah tidak semudah yang dia bayangkan. Carlie menahan gejolak muntah berkali-kali melihat air-air yang luruh dari tubuhnya berubah menjadi merah keruh seluruhnya. Bau besi menguar di sepenjuru ruangan. Ketika air reda, dan isi perut Carlie masih utuh, tidak bisa dipungkiri, Carlie cukup lega.

Jona menyiapkan baju tidur anyar untuk Carlie. Pas ukurannya. Dia melangkah ke luar kamar tamu, mengeringkan rambut sekilas. Baru setelahnya dia menyeberangi koridor, mengetuk pintu kamar Jona. Pria itu membukakan hampir secepat kilat. Rambutnya setengah basah, tubuhnya tidak dibungkus busana, hanya celana pendek selutut longgar saja yang bertengger di pinggangnya. Matanya masih kelam, namun sedikit lebih cerah ketimbang di mobil. Sepertinya mandi hangat sedikit membantu. Carlie tersenyum spontan membayangkannya.

"Masuklah," ujar Jona serak, Carlie mengiyakan.

Kamar Jona masih seluas, juga segelap yang Carlie ingat. Namun malam ini ruangannya tidak terasa terlalu dingin. Apalagi mencekam. Rasanya hangat. Entah karena uap hangat masih memancar dari kamar mandi, atau dia kini di sini bersama seorang pria yang baru berciuman dengannya, mengucapkan sayang padanya. Atau mungkin kedua-keduanya. Tanpa sadar wajah Carlie merona merah. Dia bahkan nyaris terperanjat ketika merasakan pelukan Jona di pundaknya dari belakang. Pria itu membenamkan wajahnya ke pundak kanan Carlie.

"Aku tidak merasa baik." Gumamnya serak. "Aku sendiri bingung kenapa."

Carlie meraih rambut pria itu, mengusapnya selembut yang ia bisa. "Jangan tanya aku juga, kau pikir aku lebih tahu soal isi otakmu ketimbang kau sendiri?" Tawanya yang manis mengudara di kamar. "Namun kalau kau membutuhkan kawan sembari otakmu menenangkan dirinya sendiri, kau memeluk orang yang tepat."

Sebuah tawa serak nan dalam terdengar lembut. "Ayo tidur." Jona mengajak.

Lampu yang sudah sejak semula temaram, Jona matikan. Menyisakan satu lampu kecil kuning memancar sinarnya. Biasanya dia tidur dalam kegelapan, malam ini, dia ingin melihat wajah Carlie sampai dia terlelap. Pria itu membaringkan tubuh Carlie tepat di sampingnya, langsung memeluknya seerat mungkin. Seakan tidak ingin kehilangan wanita yang nyaris diambil darinya malam tadi, oleh ayahnya sendiri. Jona tampak rapuh malam ini. Matanya bergetar-getar menyimpan berjuta emosi yang kompleks. Carlie tak bisa melakukan apa pun selain membelai-belai lembut pria itu. Menghantarkan kehangatannya sebanyak mungkin.

"Esok hari, Nathan pasti mengambil alih tubuhku. Aku telah membunuh banyak orang." Ucapan Jona berupa bisikan serak.

"Kau terdengar sangat sedih."

"Sangat. Aku baru bisa menemuimu lusa atau tidak 3 hari lagi." Nafas berat pria itu helakan. "Andai dia tidak perlu muncul."

"Kalau begitu, aku pastikan aku akan menjadi orang pertama yang menemuimu lusa atau 3 hari lagi itu. Dengan begitu, tidak terlalu menyedihkan, tidak?" Carlie berucap, mengecup lembut pipi kanan Jona. Terbit senyum tipis, sekalipun masih getir, di paras maskulinnya.

"Aku ingin keluarga seperti keluargamu." Kalimat yang Jona utarakan, berhasil membungkam Carlie. Bahkan nafasnya tersekat barang sedetik. "Yang hangat. Yang bisa disebut keluarga." Sebuah nafas berat dia tarik dalam-dalam, lantas keluarkan lagi. "Kurasa aku menyadari itu tadi ketika kau menanyakan apa yang sungguh aku inginkan."

Pria itu memeluk pinggang Carlie kian erat. Matanya menatap langsung manik perempuan yang disayanginya, namun tangannya bergetar. Ketika lemah, mata adalah bagian tubuh paling tidak bisa berbohong. Kerentanannya terpancar jelas lewat tatapan belaka. Jemari-jemarinya bergetar segan, dia ketakutan membiarkan siapa pun melihat ke balik dinding kokoh pertahanannya. Barangkali Carlie pertama yang diizinkan masuk. Carlie menggenggam tangan itu dan menautkan jemari mereka. Seerat mungkin.

"Tapi dalam waktu sama aku membencinya. Sangat. Terlebih ketika dia nyaris merebutmu dariku. Mencelakaimu." Jona ragu barang sedetik, bagai menimbang ulang apakah kalimat selanjutnya ingin dia akui atau tidak. Tapi pada akhirnya, dia berbicara. "Dan aku membenci diri sendiri yang sesaat tadi berpikir, kalau aku bisa mencoba memperbaiki hubunganku dengannya."

Padahal dia telah membunuh Nathan. Membiarkan Mama mati.

Rahang Jona digertakkan kencang, Carlie membelainya lembut-lembut. Seakan mencoba menenangkan kedut ototnya.

"Kurasa itu pikiran yang lumrah. Kau yang kecil hanya menginginkan seorang ayah yang bisa kau sayangi, tidak?" Ucapan Carlie jelas mencambuk dada Jona tepat di ulu hatinya. "Hanya sayangnya, dia tidak pernah ada untukmu."

Hingga kini, Carlie tidak tahu apa yang menyebabkan Jona membenci ayahnya hingga ingin membunuhnya. Yang Carlie tahu hanyalah Jona memiliki masa lalu yang tak terkira buruk. Ayahnya memberi andil sebagian besar dari masa lalu itu. Namun dalam hatinya yang terdalam, Carlie berharap suatu saat Jona mau menceritakannya. Membuka pintu pada rahasia terakhir yang terkubur dalam hatinya. Membiarkan Carlie mencoba menyembuhkan, bersamanya.

"Sejak kapan kau mencintaiku?" Carlie membisik lembut. Untuk sesaat, mata Jona berkedip terkejut. Setelahnya rona merah merambati paras dan telinganya. Dia menggemaskan.

"Kau bisa melupakan apa yang kukatakan tadi."

"Kurang ajar." Carlie memukul pundak pria itu. "Jangan berani-beraninya kau mengatakan kalau yang kau ucapkan tadi adalah bualan belaka, Sialan!"

Jona memalingkan wajahnya, menutupinya dengan tangan kirinya. Berusaha agar mukanya yang terbakar rona merah, tak terlihat pada Carlie. Bodohnya, dia tidak menyadari telinganya sudah semerah tomat. Carlie meraih tangan kekarnya, meminggirkannya. Lantas dia duduk menaiki tubuh kekar pria itu, melumat bibir kasar, namun manisnya, yang baru sejak malam ini Carlie sukai. Semula, Jona terperanjat. Namun dalam hitungan detik, pria itu sudah menerimanya.

"Aku tidak akan membiarkanmu mengatakan sayangmu tadi bual basi." Carlie membisik lembut. "Karena kemungkinan besar, aku memiliki perasaan yang sama kepadamu, psikopat."

Carlie bersumpah, mata Jona nyaris melompat dari sarangnya. Wajahnya yang semula semerah tomat, kini merona dua kali lipat lebih merah. Siapa sangka seorang mafia tak berhati bisa tersipu seburuk ini? Carlie sendiri saja terkejut melihatnya.

"Jangan bercanda. Kau membenciku."

"Kata siapa?"

"Kau sering mengatakannya."

Carlie terkekeh geli sendiri. "Tapi aku ada di sini bersamamu."

"Itu karena kau prihatin melihatku..." Menembaki diri sendiri. Barangkali itu yang mau Jona katakan, namun tidak bisa dia suarakan.

Carlie tersenyum kian lebar. "Aku tidak mudah berbelas kasih kepada siapa pun, tapi kepadamu," sekali lagi sebuah ciuman mendarat di bibir Jona, "aku tidak bisa meninggalkanmu. Aku tidak bisa berhenti memikirkan tentangmu. Mengkhawatirkanmu. Menyebut-nyebut namamu. Kalau bukan ulah asmara, apa lagi yang bisa kusalahkan?"

"Kau jahat." Entah mengapa Jona mengatakan itu. Entah mengapa, mendengar dia mengatakan jahat, adalah hal terjanggal yang pernah Carlie dengar. "Aku tengah sedikit saja berduka atas kematian ayahku, dan kini kau malah mengucapkan kata-kata manis padaku. Apa kau tak tahu itu sama artinya dengan menutup sebuah lubang kosong dengan kehadiranmu?" Kendati ucapannya begitu, Jona tetap memeluk erat pinggang Carlie yang ada di atasnya. "Kau membuatku kian sulit melepas diri darimu."

"Untuk apa kau melepas diri dariku?" Carlie nyaris geram.

"Kalau kau meninggalkank-"

Sebelum melanjutkan, Carlie membekap mulut Jona. "Aku akan menamparmu kalau mengatakan kata itu lagi. Berapa kali aku harus berjanji sampai kau mengerti, dasar penakut."

Tak dipungkiri, ucapannya sedikit menohok selongsong hati Jona. Dengan sindiran, namun sama waktu kehangatan.

"Panggil namaku," Carlie membisik, selembut sutra. Menangkup kedua sisi wajah Jona. "Bukan Eloise. Bukan Heston. Namaku."

Jona menelan ludahnya. "Carlie."

"Jonathan." Carlie menatap mata pria itu dalam-dalam. "Aku mencintaimu."

Apa yang terbesit dalam mata Jona saat ini, Carlie tidak tahu. Namun yang jelas, perasaan yang menderak pria itu saat ini tidak akan bisa digambarkan dengan kata-kata. Matanya memancarkan kebahagiaan tak bertepi, dadanya memburu kencang, saking kencangnya degupan jantungnya. Bahkan sampai nyeri menggedor-gedor tulang iganya. Carlie bisa merasakannya di balik dada mereka yang bersentuhan. Sebab jantungnya berdegup dalam irama yang sama. Kencang nan menggilakan. Rasanya dadanya bisa pecah. Perutnya memuntir-muntir, dihamburi kupu-kupu yang menggelikan. Carlie tidak bisa menahan senyumnya. Dia merasa bodoh.

Aku tidak lebih baik dari ABG baru bertemu jodoh, sial.

Namun membayangkan jika jodohnya memang pria yang tengah terbaring di bawahnya kini, Carlie rasa dia tak apa. Malah, dia ingin.

"Apakah seseorang boleh merasa sebahagia ini dalam hidupnya?" Jona membisik, terdengar menyakitkan. "Apakah aku boleh?"

Rasanya Carlie ingin merengkuhnya. Entah masa lalu semacam apa yang dialaminya, hingga merasa bahagia terdengar bagai dosa di sanubarinya. Carlie bersusah payah agar dirinya tidak menangis. Sebaliknya, dia tenggelamkan wajahnya di samping wajah Jona, diusap lembut sisi wajah pria itu yang satunya.

"Kau boleh. Kau sangat boleh. Kau sangat berhak mendapatkan kebahagiaanmu sendiri, Jona." Memanggil nama ini, rasanya tepat sekali.

"Kebahagiaanku ada padamu, Carlie." Dan mendengar namanya disebut, adalah kebahagiaan lain yang tidak bisa Carlie utarakan dalam kata-kata. "Bolehkah aku memilikimu untukku sendiri, malam ini?"

Carlie tidak bodoh untuk tahu apa yang Jona inginkan. Seks. Yang panas. Yang penuh gairah. Yang saling memiliki. Yang saling meleburkan raga. Apa pun yang mampu menghangatkan hati Jona kini yang dinganga lubang besar. Apa pun yang bisa mengingatkannya, kalau Carlie adalah miliknya. Ada di sampingnya. Ada menemaninya. Ada menyayanginya. Nadanya bahkan sampai terdengar sakit. Jona membutuhkannya, lebih banyak dari yang dia inginkan. Dan malam ini, Carlie merasa, dia tidak apa memberikan apa yang Jona kehendaki.

"Kalau kau tidak tahu saja. Aku perawan."

Ucapannya untuk sesaat, membuat Jona terpaku dalam keheningan. Bahkan lebih dari 5 detik. Setelahnya, matanya membelalak. Mulutnya menganga. "Umur 25. Serius?"

Carlie terkekeh geli. "Di negara asalku, Seks sebelum nikah ada tabu." Carlie bersumpah, Jona kian membelalak lagi mendengarnya. "Namun sejujurnya, aku peduli setan pada norma seperti itu. Aku hanya... merasa jijik disentuh dengan pria mana pun. Bayangkan keringat mereka menyatu dengan tubuhku." Carlie mengernyit, tampak tersiksa dengan bayangan itu belaka. Namun tak butuh lama senyum lagi-lagi terbit di wajahnya. Tulus, penuh rona kebahagiaan. "Tapi aku tak apa kalau kau yang menjadi pertama bagiku. Padahal kau pria paling jorok yang pernah kutemui. Selalu bersimbah darah dan dosa."

Jona tertawa serak. "Kalau begitu, aku pastikan pengalaman pertamamu berkesan."

Carlie mencium lembut bibir Jona. "Kalau tidak, aku akan meraih senapanmu di lemari belakang sana, dan menumbuk jantungmu menjadi dua, ya?"

Joan tergelak. "Aku rupanya harus berhati-hati ekstra."

Tidak ada pembicaraan lagi yang menguar setelahnya. Tidak ada percakapan manis. Tidak ada kata cinta. Hanya ada raga yang saling bersentuhan. Mengucap asmara, tanpa perkataan. Tanpa lantun bisikan manis.

Carlie menggerang setiap tubuhnya dihunjami kecupan-kecupan manis. Dia memeluk leher Jona, bagai itu tambatan terakhir yang masih membiarkannya bernafas. Nafas keduanya berat, sarat gairah, juga emosi asmara. Setiap sentuhan yang Jona simbah ke kulit-kulitnya, menggetarkan sekujur tubuh Carlie. Menaikkan bulu kudunya. Menggertakkan sanubarinya. Ini rasanya benar. Ini rasanya tepat. Rasanya bagai surga tengah memberikan kebahagiaan tak berujung. Rasanya bagai perutnya sedang dililit-lilit asmara yang tidak masuk logika. Rasanya bagai tubuhnya, menghangat di bawah terpa bara terpanas di dunia.

Jona memberikan pautan-pautan lembut. Dia tidak berbohong ketika mengatakan akan menjadikan malam ini berkesan. Alih-alih imagenya yang senantiasa menguarkan kata kecaman, intimidasi, dan ancaman, Jona malam ini memperlakukan Carlie bagai porselen lembut yang perlu dibelainya dengan sentuhan manis. Dia meletakkan ciuman-ciuman manis, menyentuh bagian-bagian dengan sentuhan selembut mungkin, menyatukan tubuh mereka, dengan gerakan kelewat manis. Kau membaca terlalu banyak kata manis. Menjemukan? Mungkin ya. Namun sungguh, Carlie tidak bisa menggambarkan cara lain untuk menjelaskan betapa lembutnya sentuhan tangan kasar Jona di sekujur tubuhnya.

Selain manis. Melebihi gulali.

Carlie merasa tubuhnya dibelah dua pada kali pertamanya, Jona memberinya waktu menarik nafas. Dan apa yang terjadi setelahnya, Carlie tidak bisa menggambarkannya. Kata-kata tidak cukup untuk menjelaskan. Yang dia bisa lakukan hanya mengingatnya. Dia berharap, sampai selamanya, kenangan ini tak akan hilang.

Tubuhnya disiksa kenikmatan. Sanubarinya disiksa asmara. Menghajarnya bertubi-tubi, menghantarkan kebahagiaan yang merenggut kewarasannya. Carlie mengeratkan pelukannya setiap beberapa detik berlalu. Nafasnya berat-berat, erangannya kian lama kian mengencang. Jona piawai dalam melakukan ini. Sedikit kecemburuan merambat, membayangkan tubuh kekarnya melakukan seks berkali-kali dengan wanita lain yang pernah disewanya. Sebab Carlie ragu Jona pernah berpacaran dengan perempuan mana pun.

Carlie mendapat puncak kenikmatannya, bahkan sebanyak dua kali. Kepalanya berputar, dunia seakan mengabur di depan matanya. Tubuhnya lebih hangat dari tungku api. Nafasnya lebih berat ketimbang timah. Namun sekalipun sentuhan Jona telah usai, hati Carlie membuncah-buncah dalam kegembiraan. Dalam kehangatan. Dalam rasa sayang. Dia peluk tubuh Jona erat-erat, membiarkan malam ini berlalu dengan tubuh mereka yang saling bersentuhan. Saling menghangatkan. Saling memiliki.

Jona menepati janjinya. Malam ini adalah malam terbaik, yang mampu Carlie kecap sepanjang nafasnya.

Carlie terlelap langsung setelahnya, namun tidak lebih dari 1 jam paling tidak. Rasanya janggal bangun di samping orang lain. Rasanya tepat bangun memeluk Jona.

Dia meraih baju – milik Jona – mengenakannya. Dia tidak meraih celana dalamnya, sebab ukuran baju pria itu sudah jauh lebih dari cukup untuk menutupi selangkangan dan paha atasnya. Tubuhnya lemas, Carlie ingin kembali terlelap saja. Namun dia menahan diri, menanti seseorang untuk muncul dari balik tidurnya.

Dan 30 menit kemudian, pria yang dinantinya, kembali siuman.

"Selamat malam, Nathan." Carlie membisik, membangunkan mata pria itu yang masih mengerjap-ngerjap kebingungan.

"Hai..." Matanya yang dibebat kantuk bertumbuk dengan milik Carlie. "Oh, kau. Wanita yang kemarin."

Senyum Carlie merekah lebar. "Senang kau masih mengingatku." Tidak mungkin juga ada yang melupakan wajah secantikku, tidak? "Aku ingin menyampaikan kabar kepadamu."

Nathan tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia celingak-celinguk, melihat-lihat keadaan. Hingga akhirnya dia menyadari kalau tubuhnya telanjang, kalau Carlie mengenakan baju kebesaran milik Jona, kalau wanita itu ditandai bekas-bekas ciuman di sekujur tubuhnya, dan bergeletakan naas baju-baju di lantai. menghias ubin dingin. Seketika wajahnya memerah, sampai telinganya laksana terbakar padam. Kalau Jona tadi karena tersipu, Nathan karena malu. Bagaimana pun juga, di dalam jiwa Nathan, terlelap seorang anak kecil, kan?

Namun walau begitu, dia tersenyum-senyum. "Kuharap kabarnya baik."

Carlie mengulas senyum lembut. "Aku mencintai adikmu." Binar secerah matahari seketika terbit di mata Nathan. "Dan aku akan menolongnya, seperti yang kau inginkan."

"Sungguh?" Nathan mengulas senyum lebar-lebar.

Carli mengangguk. "Tapi aku tidak menolongnya untukmu. Tidak untuk janji yang kau ajukan." Jemari lentiknya meraih sisi wajah Nathan, mengusapnya lembut. Nathan tahu sentuhan itu dimaksud untuk adiknya yang tertidur, namun kendati begitu, dia tetap saja merona merah. "Tapi untuk dia yang aku cintai."

Nathan mengulas senyum tipis. Salah satu senyum termanis, terbahagia, yang pernah Carlie pandangi. "Terima kasih, Kak. Sungguh, terima kasih." Bahkan bisikannya, mengandung riang yang sukar digambarkan.

"Karena itu, setelah aku berhasil, janji untuk meninggalkannya, dan istirahat dengan nyenyak?" tanya Carlie.

Mata Nathan membelalak sesaat, keterkejutan tersirat di matanya. Namun tak perlu lama, senyumnya kembali mengulas. Dia mengangguk lembut. "Aku berjanji." 

***

This chapter brings me so much joy it doesn't make sense 😭

Ada yang kepo sama masa lalu Jona? Secepetnya akan aku bongkar okeii

Next Update : 19 Juni 2022

Spoiler in instagram : 18 Juni 2022

Instagram username : nnareina

Thank you semuanya yang udah sempetin waktu buat baca, thank you buat semua komennya, buat semua votenya, viewsnya, sharenya. Semua cintanya pada this odd couple. Thank you banget nget nget ngettt

I hope you enjoy kelanjutannya dan jangan bosen-bosen, we are far from done.

Love you all and have a nice day! See you soon!♥️

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 174K 32
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
2.2M 112K 129
Hanya satu hal yang diinginkan oleh Lauren Rodriquez - Garcia di dalam kehidupan pernikahannya, yaitu cinta tulus dari suaminya. Rank #1 Pelakor (11...
935K 11.7K 6
Luna dan Laura. Kembar non-identik, namun sama-sama cantik. Perbedaan di antara mereka sangat mencolok. Jika Luna mengejar prestasi, maka Laura menge...
412K 33.1K 43
Dilarang keras menjiplak!