MAMPU✓

By sunHT06

29K 3.8K 5

[C O M P L E T E D | ft. Na Jaemin] ❝Bagaimana rasanya bertetangga dengan orang yang kita suka?❞ ©tata2022 More

Prolog
Cast
SATU : Aku Andira, Kamu Jondara dan Dia Anandra
DUA : Tragedi Hari Senin
TIGA : Mie Kuah dan Raket
EMPAT : Antara Anandra dan Renata
LIMA : Kalau Motor Bisa Ngomong
ENAM : Buta Map
TUJUH : Ugal-ugalan
DELAPAN : Ada Rindu yang Tersampaikan
SEMBILAN : Jatuh Cinta, Kematian dan Penyesalan
SEPULUH : Retak
SEBELAS : Andira Halangan
DUA BELAS : Dua Ajakan
TIGA BELAS : Cerita Dalam Hujan
EMPAT BELAS : Senja Melilit Nestapa
LIMA BELAS : Masih Pada Hari yang Sama
ENAM BELAS : Prayvesi Cigeum!
TUJUH BELAS : Jangan Salahkan Kejujuran
DELAPAN BELAS : Hujan Selalu Menang
SEMBILAN BELAS : Kita Sama
DUA PULUH SATU : Cosplay Spiderman
DUA PULUH DUA : Legenda Tanda Lahir
DUA PULUH TIGA : Pagi Cantik
DUA PULUH EMPAT : Berat Seperti Babi
DUA PULUH LIMA : Bukan Homo
DUA PULUH ENAM : Beli Empat Gratis Satu
DUA PULUH TUJUH : Sayang
DUA PULUH DELAPAN : Jangan Gaduh
DUA PULUH SEMBILAN : Pertama dan Terakhir
TIGA PULUH : Bohong
Epilog

DUA PULUH : Terjebak Di Loteng

549 112 0
By sunHT06

Lu pada punya fobia
kagak? —Andira

⋇⋆✦⋆⋇ 

"Jondara. Jooo. Ooo, Jondara!" Sudah sekitar lima menit aku berdiri di pelataran rumah bercat kulit telur itik ini. Setahuku tidak mungkin isi rumahnya kosong, soalnya motor Jo masih ada di halaman dekat pohon mangga yang sangat ingin kupanjat saat melangkah ke sini.

"Tante Yohanaaaa." Sekarang aku memanggil ibunya, dan ternyata sama saja, rumah itu seperti kelompang tong air. Meski aku terbiasa main ke sini, tetap 'tak mungkin aku asal masuk dan membuat keributan tidak jelas. Cukup dengan teriak-teriak di depan rumah saja aku menguji ketahanan emosional orang-orang di keluarganya Jo.

Sebenarnya, tujuanku bukan untuk membuat gaduh. Itu hanya sembilan puluh persen saja, sementara niatku juga ada berkedok baik-baiknya ke sini. Yaitu, mengisi kehampaan yang menguasai rumah Jo dan Tante Yohana. Tapi kalau kedua makhluk Tuhan Yesus itu tidak ada, maka kuputuskan pulang saja.

Atau ... apakah aku cek rumah Anan juga? Meski tidak begitu dekat dengan Tante Ratna, setidaknya beliau selalu menunjukkan sisi bidadari idaman anak-anak jikalau melihatku main sana anaknya. Lagipula, beliau jarang di rumah, pasti Anan sepi karena sendirian. Daripada mubazir niat baikku menjadi penghidup suasana di hari sabtu sore yang indah ini, maka berbeloklah langkah kakiku ke rumah Anan.

"Anandra." Kupanggil untuk yang pertama, tidak ada sahutan.

"Anan." Yang kedua juga tidak ada respon.

Ini kenapa pada kompak tidak ada? Jangan bilang Anan dan Jo berangkat berduaan tanpa aku? Wah, konspirasi!

"WOI, ANANDRA!" Maka kali ini aku teriak dengan suara super yang pasti bisa saja tembus untuk dua dan tiga rumah sekitar kami, pasti Mama juga geleng-geleng di dapur karena anak gadisnya sebarbar ini.

Maaf, Ma. Lain kali aku akan menjadi anak gadis idamanmu yang anggun dan slay. Soalnya teriakkanku tadi berhasil menongolkan sosok yang kucari, yaitu Anandra. Dia timbul dari jendela loteng dan melempar sendal bekas yang berdebu.

"Adoh!" Itu yang kuteriakkan saat yang dilemparnya tepat sasaran, di puncak kepalaku.

"Berisik, Kampang!" tegurnya.

"Ya disahut ngapa sih?" Aku juga ngomel-ngomel. "Ngapain?" Kemudian tanya sambil memungut sendal berbulu yang warna merah mudanya sudah menyatu dengan dominasi kecoklat-coklatan.

"Ngepet." Anan membuatku tergelak.

"Ikut!"

"Jadi babi lu mau?"

"Oke, Beib. Mau banget!"

"Babi, Dir."

Aku tergelak lagi.

Sekoplak inilah Anandra yang mulai terbuka padaku, rasanya menyenangkan sekali. Aku meletakkan sendal lemparannya di sebelah sendal-sendal yang ada di ujung pelataran rumah ini, padahal mau saja kulempar balik ke atas sana. Tapi kalau kenanya ke jendela, bisa barabe uang Mama lindang buat ganti rugi. Untung otak sehatku masih berjalan dengan baik.

Pintu utama rumah ini tak dikunci, jadi aku seperti maling berkedok pemilik rumah yang nyelonong ke dalam dan berjelajah untuk cari keberadaan Anan. Agak sulit, soalnya rumah ini tak sama seperti isi rumah Jo yang sudah melekat di otakku setiap detailnya. Bahkan di sana, aku tahu di mana letak kaos kaki Jo ketimbang pemiliknya yang lupa di mana Bundanya meletakkan benda itu.

Tapi di sini beda, aku mungkin seperti diantar ke sebuah gedung sekolah untuk pertama kali. Ketika kocar-kacir cari ruang guru, dan juga malu tanya-tanya ke orang karena sangat introvert di suasana baru.

"Anaaaaan!" Karena Anan bukan orang baru, maka aku bukan si introvert.

"Sini!" Sesuai jawaban Anan, ternyata portal menuju loteng ada di paling ujung setelah melewati kamarnya dan juga kamar Tante Ratna. Sebuah tangga kayu menjulang ke atas, lalu ada celah persegi yang menyimpan kebutaan di sana. Alias aku tidak bisa lihat apa-apa selain kegelapan.

"Kenapa gelap?" kutanya dari bawah.

"Ini lagi gue cari saklarnya," jawab Anan dari atas, "Lu enggak usah ikut naik, mending obrak-abrik dapur dan bikinin gue makan. Lapar ceunah."

Oh sayang sekali, aku sudah di anak tangga terakhir dan menongol lewat celah persegi yang terbukanya ditahan pakai sebatang balok. "Ngapa ...."

"Astaghfirullah! Allahu Akbar! Andira, kampang lu syaland!"

Aku tergelak lihat ekspresinya seperti menangkap penampakan hantu, meski mungkin saja itu yang terjadi ketika kepalaku timbul di balik jalan masuk loteng ini. "Mau cari apa lu di sini?" Aku menumpu dagu di permukaan lantai, agak lucu lihat Anan berjongkok karena tempat ini diciptakan berlangit sempit hingga tidak mungkin kami bisa berdiri.

"Cari nafkah, Dir." Tanpa perduli kehadiranku yang juga rewel mau ikut-ikutan, Anan mungkin tak sadar bahwa aku sudah berada di belakangnya.

"Allahu Akbar! Andiraaa!" Dia mendorong bahuku saat menyadarinya, bahkan melempar ponselnya hingga cahaya dari sana tertutup ke arah lantai. "Ngapain ikut masuk?" tanyanya.

"Siapa tau ada harta karun di sini, kalo beneran, kita bisa kaya tanpa ngepet," jawabku yang mulai obrak-abrik kotak di dekat kami.

Kurasa Anan hanya menghela napas, lalu tap tap dinding loteng untuk tombol lampu yang sebelumnya sempat juga menggeplak kepalaku. Dengan cahaya dari ponselnya, bolak-balik ada tertabrak mengenai wajahku. Jadi meski pun hanya lampu kecil yang diperjuangkan, dan kalau dinyalakan pada tempat sempit dan kecil begini, pasti cahayanya cukup mampu untuk menerangi kami.

"Sip, dapat." Anan menciptakan sebuah bunyi yang terdengar tlek ketika ditekan, namun tak ada perubahan sama sekali bahkan ketika wajahku sempat semringah untuk menantinya. "Lah? Mati kali ya," tebaknya.

"Tadi kalo gak salah gue nabrak bohlamnya, bentar gue ...."

Brak!

Aku diam.

Anan juga diam.

Dalam gelap yang hanya dibantu cahaya ponsel, aku rasa kami berpandangan dalam makna yang berbeda. Pertama, si aku yang tak mengerti kenapa Anan tampak kaget dan mematung. Kedua, si Anan yang mungkin berkeinginan menempeleng kepalaku dengan mata yang melebar sempurna.

"Lo nyenggol baloknya?" Anan tanya.

"He'eum."

"Dan akhirnya ketutup?"

"Ya  ... emang apalagi? Kan enggak ada yang nahan bagian  ... bentar, bentar, ini enggak ada ganggang atau alat apa gitu buat dibuka lagi?" Aku mencoba menguir-nguir permukaan celah masuk ke sini yang sekarang telah menyatu sebagai lantai. "Ini cuma bisa kebuka  ...."

"Dari luar, Dir," potong Anan.

"Jadi, kita  ... hehe." Aku menyengir dalam suasana temaram, meski agak buram, setidaknya deretan gigiku yang putih bisa saja menembus penglihatan Anan kalau matanya dapat asupan vitamin E yang cukup.

"Kenapa lu harus ngikut sini, Andira."

Haduh percuma juga kalau mau lari, soalnya tempat ini hanya sepanjang tubuh Anan kalau dia berbaring. Atapnya setinggi kepala Anan juga ketika dia duduk, mau tak mau aku pasrah diomeli.

"Maaf, Anan." Sebagai manusia berbudi pekerti, aku juga harus tahu diri. "Tapi! Hal bagusnya lu enggak terjebak sendiri, 'kan ada gue." Sambil tersenyum dan menarik-turunkan kening, aku mencoba dogol agar Anan tidak marah-marah sekali.

"Masalahnya, siapa yang bakal bukain dari luar kalo kita berdua sama-sama di sini?" Anan mulai terlihat pasrah, tampak kakinya disilangkan untuk duduk bersila.

"Ya emang Tante Ratna  ...."

"Pulang besok malam," sela Anan.

"Hehe." Entahlah, aku juga tidak tahu mau melakukan apa. Sudah seperti penjahat yang melakukan tabrak lari saja. "Kita bisa minta tolong, Jo," ajuku kemudian.

Masih sama seperti kemarin-kemarin, kalau dengar nama Jo keluar dari mulutku, pasti Anan tidak mampu menutup ekspresi janggalnya yang membuatku seakan merasa bersalah. Tapi kalau tidak melibatkan Jo dalam masalah kami, aku juga akan merasa tak enak padanya karena tidak mengandalkan dia. Sementara sejak dulu, meski itu tentang bekicot yang sangkut di atas rambutku, aku akan meneriaki namanya untuk meminta pertolongan.

Mungkin ketergantunganku terhadap Jo akan selalu menjadi permasalahan yang membuat Anan merasa tersinggung. "Sebenarnya, kenapa lo sebegitu sensitifnya sama Jondara, Anan? Dia juga teman kita," kataku.

"Entahlah." Anan menumpu dagu pada kedua kakinya yang ditekuk dan dipeluk erat-erat. "Gue merasa jarang diandalkan oleh lu, Dir. Seakan Jondara yang terbaik, dan gue biasa-biasa aja," akunya.

"Anan." Aku mau tertawa mendengarnya. "Harus berapa kali gue  ... oke-oke, ayo kita selesaikan ini berdua. Menurut lu kita harus gimana?" tanyaku.

Anan pun menoleh, tampak memposisikan pipinya di atas lutut senyaman mungkin. "Diam aja dulu," katanya.

"Hah?"

"Gue mau berduaan sama lu, sebentar aja." Terdengar seperti pintaan, dan aku mengangguk. "Maaf kalau kesannya kayak ngemis." Tapi bukan begitu caraku memaknainya.

Maka kuposisikan diri untuk menyamai Anan, dalam pandangan yang berlawanan. "Lu tau, waktu lu pergi dan enggak pernah berkunjung ke sini. Setiap hari, gue kangeeeeeennn banget sama lu, Anan. Meski itu dihabiskan sama Jo, tetap dalam pikiran gue cuma ada lu. Tapi masalahnya, mana mungkin hal itu terbaca dan lu ketahui sementara terletak di dalam pikiran gue sana," kataku.

"Dan ketika lu kembali, bukan berarti rasa kangen gue berkurang. Intensitasnya tetap sama, bahkan terus bertambah sampai rasanya gue kehabisan wadah untuk menampungnya. Juga minusnya, semua terasa kacau karena lu melibatkan Renata untuk menguji gue. Tiba-tiba, rasanya terbaca jahat banget, Anan. Lu enggak bisa gitu sama cewek."

Anan berdecak. "Ujungnya, lu tetap anggap gue sebagai tokoh antagonis," katanya.

Aku menggeleng. "Karena gue cemburu," ucapku kemudian.

"Apaan tadi?" Sebenarnya kami sadar kalau tak ada yang bermasalah, telinga Anan pasti baik, mulutku juga lancar sekali mengungkapkannya. "Ulang," pintanya.

"Gue cemburu." Untuk yang kedua, mulutku agak kaku. "Karena lu cinta pertama gue." Mungkin aku sudah gila, soalnya Anan menempeleng kepalaku pakai botol plastik yang entah dia temukan dari mana.

tbc;

Continue Reading

You'll Also Like

839K 172K 80
Diterbitkan oleh Penerbit Grass Media (Tersedia di TBO & Gramedia) *** Elang, Emillio Elang Nugroho, mahasiswa semester sepuluh dengan segudang teka...
1.3K 431 28
𝙁𝙤𝙡𝙡𝙤𝙬 𝙨𝙚𝙗𝙚𝙡𝙪𝙢 𝙗𝙖𝙘𝙖⚠️ Judul awal : Zanaya and Zayana Cerita dua gadis kembar namun beda nasib. Mental yang di hajar habis-habisan...
1.3K 396 15
"Adrian hanya ingin sukses dengan apa yang Adrian sendiri inginkan, bukan paksaan dari Papa atau siapa pun." ____ Adrian Martadinata mahasiswa semest...
10.2K 8.3K 48
Kita itu beda Hidup dia cerah, hidup gua suram. Dia terang, gua gelap. Dia suka keramaian, gua suka kesendirian. Dia terbuka, gua tertutup. Dia p...