Madame Mafia

By Reiinah76

528K 41.1K 13.9K

Carlie Eloise Heston adalah simbol kesempurnaan. Putri dari keluarga bangsawan paling ternama, memiliki salah... More

Madame Mafia
Chapter 1 - Madame Eloise is Absolute
Chapter 2 - Lion's Cage
Chapter 3 - Red Bar
Chapter 4 - First Kill
Chapter 5 - Red is not so Pretty Anymore
Chapter 6 - To Surrend is Never a Choice
Chapter 7 - Brother
Chapter 8 - Third Kill
Chapter 9 - Abducted
Chapter 10 - Alter
Chapter 11 - Paul and Paula
Chapter 12 - Hell Partner
Chapter 13 - Unwritten Agreement
Chapter 14 - Aliance Meeting (1)
Chapter 14 - Aliance Meeting (2)
Chapter 15 - Teaming Up
Chapter 16 - Ian and Carlie
Chapter 17 - Relationshit
Chapter 18 - Marijuana Date (1)
Chapter 18 - Marijuana Date (2)
Chapter 19 - Stella Martin, The Poor Lady
Chapter 20 - I Hate This Party
Chapter 21 - Little promise
Chapter 22 - Aliance Issue
Chapter 23 - Austin and Emerald
Chapter 23.2 - Austin and Emerald
Chapter 24 - The Show
Chapter 25 - Mama
Chapter 26 - Through the Mirror
Chapter 26 - Through the mirror (2)
Chapter 28 - Wish (1)
Chapter 28 - Wish (2)
Chapter 29 - Cotton Candy
Chapter 30 - Every Single Thing
Chapter 31 - Present
Chapter 32 - Fishing Net
Chapter 32 - Fishing Net (2)
Chapter 33 - Vow
Chapter 34 - Agreement
Chapter 35 - A Call for Help
Chapter 36 - Liar
Chapter 37 - Hard Choice
Chapter 38 - Odd Combo
Chapter 39 - Rewrite
Chapter 40 - Alive
Chapter 41 - Letter
Madame Mafia 2
MM 2 : Prologue - Every Single Night
MM 2 : Chapter 1 - New Encounter
MM 2 : Chapter 2 - Invitation
MM 2 : Chapter 3 - Left Out
MM 2 : Chapter 4 - Memories
MM 2 : Chapter 5 - Behind The Flames
MM 2 : Chapter 6 - A Killer
MM2 : Chapter 7 - Make Over
MM 2 : Chapter 8 - Different Dream
MM 2 : Chapter 9 - Nightmare
MM 2 : Chapter 10 - Who was his name?
MM 2 : Chapter 11 - Broken Mirror
MM 2 : Chapter 12 - Boxing
MM 2 : Chapter 13 - The Returned
MM 2 : Chapter 14 - I Did Better
MM 2 : Chapter 15 - Thin Thread
MM 2 : Chapter 16 - Bloody Dream
MM 2 : Chapter 17 - Guns
MM 2 : Chapter 18 - About You And Only You
MM 2 : Chapter 19 - Radomir Volkov
MM 2 : Chapter 20 - Forgive Me
MM 2 : Chapter 21 - Dance Partner
MM 2 : Chapter 22 - One Condition
MM 2 : Chapter 23 - Car Crash
MM 2 : Chapter 24 - Switch
MM 2 : Chapter 25 - For Her
MM 2 : Chapter 26 - Confession
MM 2 : Chapter 27 - From Today
MM 2 : Chapter 28 - Kiss
MM 2 : Chapter 29 - Father
MM 2 : Bonus Part

Chapter 27 - A Letter that Brings Storm

7K 487 35
By Reiinah76

Hai semuanya! I miss you all! 

Carlie Eloise is back! 

Bacanya kaya biasa pelan-pelan, diawet-aweti ya! 

Happy reading! 

~~~ 

Chapter 27 - A Letter that Brings Storm

~~~

"Sempurna. Gambarnya cukup jelas."

Dengan seringai mengembang di parasnya, Ahmad menaikkan secarik foto dari amplop yang baru dikirimkan bawahannya. Imaji yang terpatri di sana sedikit buram. Gambarnya sarat bercak-bercak totol-totol, lantaran cahaya malam yang temaram. Menjadikan pemotretannya kurang apik. Namun kendati begitu, pesan yang hendak disampaikan lewat fotonya sejelas teks dalam koran.

Di kertas tak lebih dari 10 x 15 cm itu, terpampang paras Jonathan Austin. Yang wajahnya sedikit terdistorsi posisi kamera, namun sosok jangkungnya masih kentara. Orang asing pun bisa tahu ini foto Jona. Di sampingnya, berdiri seorang wanita. Tak terkira lekat dengannya. Wajah wanita itu lebih runyam lagi. Hampir sulit ditafsir karena kualitas kamera yang cukup buruk. Namun sekalipun samar, sosoknya Ahmad rasa masih tampak jelas.

Carlie Eloise Heston.

Rupanya, Edgar tidak berbohong. Jonathan Austin, dekat dengan putri keluarga Heston.

Dan foto itu adalah gambar yang mereka tangkap di hari kematian Falcon Emerald. Yang juga sesuai perkiraan mereka, dilancarkan oleh dua orang ini. Keduanya tanpa sadar berasyik ria menikmati seru angin sepoi malam. Tanpa tahu kalau di balik bayang, mata kamera tengah membidik wajah keduanya. Menangkap sosok mereka, cukup baik untuk menjadi bukti, yang akan Ahmad dan Edgar pergunakan ke depannya.

"Menggulingkan hubungan mereka dengan melibatkan paman Carlie Eloise memang menggiurkan. Namun porak-porandanya sedikit kurang menggetarkan." Edgar berucap di sampingnya, menyungging cengar-cengir menyebalkan. Beberapa bulan lalu, Ahmad laksana menamparnya. Mencabik tiap helai daging, dan membunuh Edgar Samos tanpa segan, hanya karena parasnya yang menyebalkan. Namun sekarang, hubungan mereka sudah kelewat dekat untuk dibebat dendam.

"Karena itu kita kirimkan foto ini kepada orang itu. Membawa badai lebih besar untuk mengecamuk." Ahmad membalas. Andai dia sadar, senyumnya tak lebih rupawan dari milik Edgar.

Kekeh berat suara Edgar mengudara. "Ini akan menjadi ajang permainan yang asyik."

Ahmad menahan kikikan. "Kau tak salah."

***

Jona tidak mengangkat sambungannya, tak peduli berapa puluh kali Bov Austin coba menghubunginya. Bagai memutus kontak dengan orang tuanya sendiri. Bagai enggan berbicara, padahal Bov butuh membahas masalah pelik dengannya. Padahal sebelumnya ini tidak pernah terjadi. Jona selalu membalas panggilannya.

Denyar pecah ponsel berderu ke lantai. Entah sudah ke berapa dalam satu minggu belaka. Bov lagi-lagi melempar elektronik bodoh itu, setelah sambungannya tidak digubris Jona, ke-8 kalinya hari ini saja. Sang suster yang senantiasa mendampingi, membersihkan ponsel remuk redam itu, menyiuk serta keping-keping tercecer. Tangannya kian hari kian bergetar saja. Air mata laksana menjerit ingin menumpah ruah dari sarangnya. Selama beberapa hari ke belakang, majikannya tak ubahnya singa buas. Yang tak diparap 1 bulan lamanya. Aum-aumnya kian hari kian lantang saja. Temperamennya kian jam, kian mendidih-didih saja.

Segala hal dijadikannya muara amarah. Entah brokoli yang terasa hambar, air yang ujarnya sepat, barangkali selimut juga bisa dijadikan alasan berang. Katanya, rasanya bagai berpasir. Padahal anyar diganti, itu pun langsung, sesuai keluar dari mesin cuci. Entah berapa puluh bentak yang mendera sang suster malang dalam kurun 1 minggu. Dia sendiri kewalahan menghitung. Namun yang jelas, kesabarannya kian hari kian tergerus. Hampir-hampir erosi sepenuhnya. Dia mulai merasa tak sanggup. Menghadapi majikannya itu, yang mencak-mencak setiap yang dia bisa, semenjak sahabat terdekatnya, Falcon Emerald meregang nyawanya.

Dia menyalahkan kematian Falcon Emerald kepada putranya. Gusar setiap hari, menggaduh bagaimana putranya itu tidak becus dalam melindungi hubungan keluarga mereka. Bov Austin menganggap Falcon Emerald laksana saudara sedarah. Sekalipun desir darah sama tak mengalir di darah mereka. Dia berpikir, Jona wajib berlaku sama. Menganggap Falcon tak ubahnya paman kesayangannya. Dan lantas putra tak kompeten itu membiarkan Falcon merenggang nyawa, ketika seharusnya keluarga Emerald dilindungi dalam naung keluarga Austin. Betapa kurang ajarnya cecunguk itu!? Jika tungkainya masih mampu bergerak, Bov niscaya mendatangi Jona dan melancarkan pukul demi pukul galah besi ke tulang belikatnya. Hingga menjerit-jerit, berdarah-darah pun, peduli setan. Amarahnya kelewat maha besar.

Namun jangankan memukul, memarahi saja kini dia tak mampu. Jona sepenuhnya melerai kontak, entah sibuk berlaku apa, di mana. Mengabaikan setiap gapai komunikasi yang ayahnya hendak jalin. Kesabaran Bov laksana bertaut pada tambatan terakhir. Tidak, mungkin benang mutakhir. Dan dia jadikan perawatnya tong sampah amarahnya. Sekalipun suster itu menangis-nangis, menjerit-jerit, meminta maaf tanpa penghujung sembari menjilat-jilat ubin, Bov lagi-lagi peduli setan. Amarahnya laksana desir air. Nyaris menenggelamkannya, menyesatkan akal sehatnya, mencabik-cabiknya.

Hari itu petang menyeruak. Suara televisi di siaran berita mendengung lantang. Cahaya mengintip tipis ke dalam kamarnya yang senantiasa dikerangkeng gorden. Bov bukan pecinta terik mentari. Siang ini, larik-lariknya kian tampak memuakkan. Nafasnya memburu, sarat murka. Lebih menyesakkan lagi, dia tak mampu berbuat apa pun selain melempengkan kaki, bersandar di punggung kasur, menanti jawaban sang putra. Bov bisa gila jika satu hari saja berlalu lagi, tanpa kabar dari Jona.

"Permisi Tuan." Derak langkah yang mengetuk ubin, lantas disusul ketukan di pintu, membuat Bov mengangkat wajahnya. Sekalipun, ekspresi kelamnya tetap terpampang nyata. "Saya Horris. Saya membawa surat yang ditujukan untuk Anda."

Surat-menyurat. Siapa pula pada jaman canggih ini mau menghabiskan waktunya menoreh tinta pada carik demi carik kertas polos? Bov nyaris mendepak pria bernama Horris – yang jujur tidak dia ingat – keluar dari jangkauannya. Namun benaknya tiba-tiba membisik, tidak ada salahnya membaca satu atau dua pesan. Bukan berarti kau memiliki pekerjaan lain pula. Bisikan itu mendorongnya untuk mengedikkan dagu ke arah pintu, membiarkan sang suster terbirit-birit langkahnya untuk menerima surat itu.

"Ini Tuan." Sang perempuan bertangan bergetar memberikan surat itu. Bov meraihnya sekasar mungkin.

Surat itu tidak bertulisan nama pengirimnya. Lagi-lagi hasrat mendorongnya untuk mencabik isinya saja, dan mendepaknya ke tong sampah. Namun lagi-lagi bisikan hatinya menggerakkan jemarinya untuk membuka surat itu. Dan menggelincir ke atas telapak tangannya, dua carik kertas foto. Dua-duanya memiliki tampang yang tak jelas. Lagi, Bov nyaris membentak si suster lagi, karena membawakan padanya surat tak jelas.

Walau sebenarnya, apa salah pula wanita itu?

Matanya menyipit, keningnya berkerut, tatkala dia melihat sosok seorang pria buram yang janggalnya, sangat dia kenali posturnya. Perawatnya membawakan kaca mata plus untuk Bov kenakan, dan baru saat itulah dia melihat sosok yang jelas terpatri di foto itu.

Putranya, Jonathan Austin.

Latarnya gelap. Jelas malam hari. Pria itu berdiri di sebuah bangunan tinggi, seorang wanita berdiri di sampingnya. Keningnya lagi-lagi berkerut, bertanya-tanya siapa gerangan wanita itu. Tebakan awalnya adalah Tiffany Emerald, namun Bov tidak mengingat Tiffany memiliki tinggi badan sejangkung itu. Alisnya kian menaut, jalanan di samping gedung yang Jona singgahi menyala-nyala biru merah. Dan selang beberapa menit, Bov baru menyadari tempat Jona tengah berdiri.

Di gedung persis di samping mall terbengkalai di mana Falcon kehilangan nyawanya. Lampu-lampu berkilauan berasal dari jalanan yang sarat sirene polisi. Di sisi kanan bawah, tertera waktu pengambilan foto itu. Lima menit setelah kematian Falcon Emerald.

Apa putra sialan itu ada di hari penembakan? Lantas tidak menyelamatkan Falcon!?

Amarahnya kian membuncah, Bov merasakan perawatnya berjengkit di sampingnya. Bagai menanti semburan amarah. Yang tentu akan dia lancarkan setelah puas menatap foto-foto di tangannya ini. Namun sebelum menyempatkan diri meledak, Bov meraih carik foto kedua, menatapnya lekat, bagai hendak menampakkan lubang di tengah kertas foto itu. Namun apa yang dipandanginya di sana, berhasil membuat Bov hampir kehilangan setiap kemampuan berbicaranya.

Ada Jona di sana. Ada seorang sosok tinggi di sampingnya. Tanpa meragu, itu sosok Devan. Dan di sampingnya, berdirilah di sana Falcon Emerald. Wajahnya buram sebab kualitas foto yang tidak memadai, namun Bov sudah berteman dengan pria itu cukup lama untuk mengenalinya lewat postur tubuh belaka. Dan baju yang pria itu kenakan, persis adalah yang terpampang selama ini di berita-berita kematiannya. Bov merasakan dadanya yang menyesak. Jona menemui Falcon, tepat di hari kematian Falcon. Matanya melirik ke bawah, di mana jam pemotretan foto terpampang di sana. Tidak, ini hanya 15 menit sebelum waktu kematian Falcon Emerald.

Berarti Jona ada 15 menit sebelum Falcon Emerald menyongsong kegelapan.

Kebingungannya kian memuncak. Wajah Thomas, tangan kanan sahabatnya itu, yang terpatri juga di foto, tidak memecahkan masalah rumit ini untuknya. Bagai menatap rangkaian puzzle tak beraturan. Tiap bagian-bagiannya tidak menyambung.

Jona adalah putranya. Falcon adalah paman putranya. Putranya itu berdiri di gedung, tepat samping mall terbengkalai di mana sahabatnya merenggang nyawa. Bersanding seorang wanita. Bov tidak mengenalinya. Namun sebelum kematian Falcon, Jona menemui kepala keluarga Emerald itu. Bahkan berbincang. Entah apa, berempat dengan bawahan mereka. Keningnya berkerut-kerut. Mencipta parit-parit dalam mencekung di sana. Dan kini putra yang sama itu tidak bahkan mengangkat teleponnya. Dia tidak bahkan tampak terganggu dengan keadaan Falcon Emerald yang merenggang nyawa. Bov mengepalkan tangannya, menatap betapa santainya tubuh Jona merangkul seorang wanita, di foto pertama.

Tunggu, siapa wanita ini?

Desir di darahnya bagai mengecamuk nadi-nadinya. Sebuah bisikan kencang meraung-raung, mendenyut-denyutkan nadi Bov, dan nalurinya lantas menanggapi. Dia rasa dia butuh tahu sosok wanita ini, untuk merangkai puzzle ini menjadi satu kesatuan. Pengirim surat yang anonim tak lagi bahkan dia pikirkan. Dia mesti mendapat identitasnya. Sang wanita misterius yang ada bersama Jona, di hari kematian Falcon Emerald.

"Panggil si Morim itu!" Sentaknya kepada sang suster. Anggukan lantas menanggapi, berat dengan gentar. Langkahnya terbirit-birit lagi keluar dari kamar. Gerakannya belaka rasanya bisa mengecamuk amarah Bov, kalau tidak dia tahan. Pria bertubuh jangkung, bermantel kulit tebal, dan berpipi cekung itu datang dengan mata sayu. Segan kalau-kalau dimarahi oleh sebuah kesalahan. Namun tidak juga dia berpikir, kalau pertanyaan yang Bov tanyakan. "Siapa wanita di foto ini?"

Horris, pria yang bertugas mengantar pos untuk Bov, bahkan ketakutan untuk melihat foto yang Bov sodorkan. "M-maaf, Tuan. T-tapi saya tidak bahkan membuka surat it-"

"Kau sama tidak bergunanya dengan wanita di sampingmu, sialan!" Mata Horris tertutup rapat, tatkala sebuah vas hitam dari nakas melayang ke wajahnya. Menyisakan jarak satu senti dari menghantam wajahnya. Beruntungnya pecah belah, mengurai di ubin. Tidak, mungkin tidak terlalu beruntung. Karena kini Horris mematung dibekukan ketakutan maha besar. Dia mendengar desas-desus kalau majikannya tengah mudah marah. Namun jika dihadapi langsung, tetap saja dia nyaris ketar-ketir. "Panggilkan bawahanku atau siapa pun untuk mencarikan identitas wanita ini kepadaku! Tidak lebih dari 48 jam, apa kau paham!?"

Horris bergidik kian ketakutan. "A-apa saya boleh meminjam fotonya, Tua-"

"Jangan banyak bertanya dan ambil saja ini cepat!"

Amarahnya yang sejak kemarin tak pernah surut, membuat setiap suku katanya dibebat beban tekanan keras. Horris bergetar kakinya sembari menghampiri cepat-cepat. Bov sudah cukup dicobai kesabarannya selama berhari-hari oleh putranya. Dan kini ketika kecurigaan kalau putranya ada di tempat kematian sahabatnya, batok kepala Bov rasanya siap membuyar jadi keping-keping daging, yang berserakkan memenuhi tegel. Dia menyerahkan foto itu dengan kasar kepada Horris, tidak merasa cukup sabar untuk menanti 48 jam sampai informasi yang diinginkannya segera datang.

Namun sebelum pria malang itu melanjutkan langkahnya keluar dari kamar, suara seorang reporter menolehkan wajah Bov. Hampir spontan.

"Kasus yang menjerat Tiffany Emerald kini tengah ditangani persidangan ke-4nya. Sang putri pengedar narkoba hari ini datang ke persidangan dengan baju putih sederhana, hanya mengenakan jins. Penonton berkata, sangat berbanding terbalik dengan pakaiannya biasanya yang mentereng dalam merek-merek luks."

Kening Bov mengerut. Kian dalam saja. Bahkan lebih ketimbang ketika dia melihat foto. Siaran televisi lebih dia benci ketimbang sinar mentari. Dia pagi ini hanya menyalakannya, berharap suara-suara siaran mampu sedikit menenangkan desir nadinya yang menggila-gila. Walau itu memberi kemungkinan padanya kalau dia akan melihat siaran kematian sahabatnya, berkali-kali dalam kurun 24 jam. Namun perdana dalam satu bulan, dia melihat bukan muka sahabatnya itu, namun alih-alih wajah putri sahabatnya yang terpampang di televisi.

"Apa yang terjadi pada Tiffany? Tidakkah dia meminum pil bunuh diri seperti ibunya?" Mungkin ini juga perdana dalam satu bulan sang suster perawat mendengar suara majikannya sedikit melandai.

"Beliau terjerat kasus pemanipulasian data voting sebuah acara Desainer. Beliau ingin mengalahkan desainer terkenal, Carlie Eloise Heston, namun menggunakan cara licik. Dan kini kiatnya terciduk, tepat di hari kematian ayahnya. Putri Heston menggiringnya ke kursi panas." Kali ini sang suster lebih terkejut lagi. Dia bisa menjelaskan lugas, tanpa terbata-bata oleh gentar.

"Orang terang sialan," gertak Bov dengan rahang mengeras.

Matanya jelalatan, memerhatikan siaran TV itu yang tiba-tiba menarik perhatiannya. Bahkan Horris diam di tempat, tak berani keluar tanpa seizin Bov.

"Carlie Eloise." Sang reporter melanjutkan. "Berpartisipasi secara aktif dalam pemecahan masalah persidangan. Beliau tidak pernah melewatkan satu pun pertemuan sidang yang digelar. Dengan sebuah harapan, kalau kasus ini secepat mungkin mendapat titik terang yang dibutuhkan semua orang. Aksinya sangat diapresiasi, baik oleh pihak kejaksaan, juga masyarakat luas-"

Bov nyaris memuntahkan isi perutnya. Mendengar drama empati tragis nan menyedihkan dari putra bangsawan Heston itu. Namun belum sempat makanannya dimuntahkan keluar, mata Bov kali ini memelotot. Sempurna.

Putri yang kini fotonya disiarkan di televisi, mengenakan baju hitam, bercelana hitam gelap, dan menyandang nama belakang Heston, anehnya tak terkira familier di matanya. Bagai baru Bov tatap. Baru saja. Otaknya seketika memuntir setiap gir di dalam benaknya, mengorek-ngorek kenangan yang terasa anyar, namun sekaligus jauh. Dan dalam selang waktu tidak bahkan 1 menit, Bov mendapatkan jawaban yang dibutuhkannya.

Sekaligus mendapat kunci penyambung puzzlenya.

"Berikan padaku foto itu!" Horris langsung menyerahkan kembali, mundur lagi dalam segan.

Tidak diragukan lagi. Sosoknya yang jangkung, rambutnya yang hitam berkilau. Senyumnya yang samar tampang, walau pecah-pecah. Cara berdirinya, pundak tegaknya. Pekerjaannya memata-matai musuh sebagai mafia tahun-tahun silam membantu Bov dengan mudah mengenali seseorang walau fotonya terdistorsi sekalipun. Dan saat itu juga dia tahu, kalau wanita yang berdiri bersama putranya, di malam penembakan, yang dirangkul oleh Jona, tersenyum lebar-lebar, adalah Carlie Eloise. Putri Heston. Perempuan yang membawa Tiffany terjerumus kepada pengadilan berkepanjangan.

Klik.

Setiap kepingan puzzle menjadi runtut gambar terpecahkan. Komplit. Tidak satu pun keping tertinggal. Imaji yang kini muncul di benaknya, seketika membuncah amarah Bov. Tak pernah dalam hidupnya setinggi ini. Tangannya terkepal, rahangnya bergetar, dibebat amarah pekat. Dia meraih ponselnya yang belum dipecahkan, menelepon nomor lain perdana dalam 1 bulan, selain nomor putranya. Kibaran panji berkobar-kobar di sanubarinya. Setiap kibasnya, menjunjung balas dendam.

***

Menggelar fashion show di tengah huru-hara kasusnya dengan Tiffany yang tengah memanas, juga di tengah jutaan interveiew yang mengonggok, ternyata tidak semudah yang Carlie kira. Dia tidak tertidur, nyaris selama 3 hari. Ratusan telepon menggebraknya tiap waktu, menjadi alarm pengingat kalau desainer papan atas memiliki jadwal yang padat tanpa ampun. Bagai menarik nafas pun tidak diperbolehkan. Sebagian besar pekerjaannya dia alihkan ke to do list bawahannya, itu pun belum cukup untuk memberikannya tidur tambahan. Carlie sering-sering mengompres matanya, segan jikalau matanya membengkak dan menghitam. Tidak tampil prima dalam acara fashion show, adalah petaka yang tak mampu dia toleransi.

Pikirannya yang setiap 10 menit mengembara pada sosok Jona tidak membantu sama sekali. Satu minggu terakhir setelah dia menjumpai Jona, sarat oleh kenangan air mata pria itu. Oleh sentuhan lembutnya. Suara seraknya. Sendunya. Bahkan Carlie kerap memimpikannya. Terbit di benaknya hampir setiap malam sosok itu yang terpantul di jendela kamarnya, tampak lebih rentan dari kaca tipis. Sosok yang ingin dia dekap, namun tak bisa. Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu seberapa menyesalnya Carlie hari itu tidak piawai menahan tangis, sehingga dia tidak bisa merengkuh pilu Jona.

Padahal Carlie, hampir tidak pernah menyesal sepanjang hidupnya.

Walau susah, kewalahan bahkan, namun bukan Carlie Eloise kalau tidak bisa melalui momen-momen tergenting dalam hidupnya. Ayahnya menanamkan mental pejuang kuat di lubuk hatinya. Jadwal padat belaka tidak bisa menghancurkan Carlie.

Lihatlah, bahkan kini dia tetap terang benderang bersinar di atas panggung. Giginya memantulkan cahaya, rambutnya juga samanya menyala. Tepuk tangan tenang, namun meriah dari penonton membelai-belai telinganya. Jajaran model ternama telah memamerkan karya-karya busananya sepanjang berjam-jam semalam. Carlie muncul dari belakang panggung paling akhir, mendapat apresiasi paling adiluhung. Sekalipun para model menawan sempurna, gelar bintang tak mampu direbut dari lencananya.

Carlie tetap sang ratu di acara fashion shownya.

Andai lebih banyak orang tahu, kalau akhiran acara di backstage, bisa seheboh persiapan. Setiap perias sibuk mondar-mandir mengumpulkan kuas make up mereka yang berceceran. Jajaran model melepas satu per satu riasan dari wajahnya, menyempatkan diri meraih pembersih gratis dari perias mereka masing-masing. Carlie sendiri tidak ingin kembali ke rumah dengan wajah penuh make up. Emma membantunya membersihkan setiap lapis permak, sembari berkali-kali model-model datang padanya untuk memanjatkan pujian atau rasa syukur, atau dua-duanya. Proses pelepasan riasannya kian lama. Beberapa menit sekali, dia berbincang dengan orang-orang kerjanya. Menghabiskan waktu membahas proyek selanjutnya, bahkan sebelum menarik nafas lega, seusai melewati minggu penuh huru-hara.

"Madame." Suara Emma membisik di telinga Carlie. Di tengah berbincangnya Carlie dengan koreografer fashion shownya. Membenahi gerakan-gerakan model malam ini, mencari-cari celah untuk diperbaiki dalam fashion show selanjutnya. "Ada panggilan masuk ke ponsel Anda."

Carlie menoleh. "Dari siapa?"

Emma kian menunduk, memperkecil suaranya. "Tuan Austin."

Walau berbulan-bulan telah berlalu, Emma masih tidak setuju pada kedekatan Carlie pada Jona. Terlebih karena kali pertama Carlie kembali dari kediaman Jona, tangannya patah, dan luka-luka. Sebab itu kernyit tak suka terpatri di wajah Emma, menyebut – atau mungkin melaknat – nama pria itu. Sebaliknya, Carlie mengedarkan senyum lebar. Emma kian mengenyit, tidak suka betapa akrab majikan kesayangannya itu, dengan pria yang dia sebut "iblis".

"Permisi, saya memiliki panggilan penting. Sisa pembicaraannya lewat email saja." Carlie berucap singkat, sebelum meninggalkan koreografer itu. Menepuk pundak Emma sebelum pergi. Seakan menegurnya, "Wajahmu buruk rupa berkerut-kerut seperti itu." Emma kontan menjunjung kembali senyum tipisnya.

Huru-hara di backstage memekakkan telinga. Carlie melangkah ke luar, cukup jauh dari gedung fashion show sebelum mengangkat panggilan Jona. Dan ketika kata singkat "halo" dari suara bariton pria itu menggaung, Carlie tak kuasa menahan mekar senyumnya.

Akhir-akhir ini suara Jona belaka mampu menghiburnya.

Semenjak malam Carlie melihat tangis Jona, hubungan mereka sukar dipisahkan. Nyaris tak ada hari tanpa bertukar panggilan. Entah hanya untuk menanyai kabar, atau membagi. Biasanya panggilan tidak lebih dari 15 menit. Atau terkadang, pertukaran pesan saja. Namun semua itu sudah cukup untuk menghibur hari-hari Carlie. Dia membenci dirinya yang menanti 15 menit itu sedari pagi, setiap hari. Namun sama waktu, dia tidak bisa berhenti.

"Kau melihat siaran langsung fashion shownya?" Carlie bertanya, bersusah payah menyembunyikan nada gelinya.

Dari seberang sana, Jona menjawab. "Tidakkah aku telah berjanji?"

"Aku tidak yakin apa aku boleh memercayai janji seorang psikopat. Kau sulit merasa bersalah."

Derai tawa pria itu menggema dari belakang telepon. Satu hal lagi yang Carlie nanti-nanti sejak pagi, setiap hari. Semenjak malam penembakan Falcon Emerald, Carlie mendapati senyum yang Jona tunjukkan padanya, tak terkira tulus. Juga lepas. Bahkan tawanya kini bagai tak dibebat apa-apa. Hanya tawa ringan, dipenuhi hiburan. Entah berapa kali Carlie menahan diri dari pagi untuk tidak memanggil Jona lebih dulu hanya untuk mendengar tawanya. Jika dipikir kembali, Carlie merasa dirinya mulai gila.

Semenjak menjumpai pria ini, kewarasanku rupanya menipis.

"Favoritku adalah gaun yang digunakan model ketiga di koleksi ke dua. Yang merah kecokelatan, dibatasi brokat-brokat hitam. Elegan. Aku bisa membayangkanmu mengenakannya." Upaya Jona membuktikan kalau dia menepati janjinya menonton fashion show Carlie, butuh Carlie apresiasi. Terkadang perempuan membutuhkan pria seperti ini. Menunjukkan dengan tidakkan, alih-alih janji palsu.

"Mengesankan. Selera kita sama. Itu desain favoritku." Carlie mengusap-usap lengannya, merasakan hawa dingin musim salju yang hendak menyongsong menggerogoti pori-porinya. Entah mengapa jantungnya berdentum-dentum gelisah. Bagai sebuah beton mengganjal di ulu hatinya. Gelap, seorang diri. Mungkin itu yang sedikit menggentarkannya. Carlie berusaha semaksimal mungkin untuk menepis perasaan ini jauh-jauh. Tempat ini sarat sekuriti. Kalau bukan orang jahat piawai, tidak ada yang bisa berulah. Moga-moga.

"Aku ingin melihat kau mengenakannya." Suara Jona bagai senandung. Menenangkan debum jantung Carlie, lebih mujur ketimbang apa pun.

"Kalau kau tidak sibuk, datanglah kali-kali ke tempatku maka aku akan mengenakannya di depanmu." Lihat, kan? Sejak kapan dia mau mengenakan gaun hanya untuk menghibur keinginan seseorang? Sungguh, bersama Jona membuatnya kian hari kian goblok saja.

"Ketimbang aku, kurasa jadwalmu 2 kali lebih padat." Jona berkata. Dia pun lebih banyak tersenyum kini. Mungkin perasaannya mengenak setelah melancarkan balas dendamnya. "Kabari aku kalau kau memiliki waktu senggang. Aku pastikan kau tak kesepian."

Kali ini Carlie tertawa lantang-lantang. "Lebih baik aku kesepian ketimbang bersamamu, iblis. Aku membencimu." Sebuah jeda melengang setelah itu, kembali menarik kesunyian. Namun rasanya tidak buruk. "Mungkin aku akan mengatakan itu jika kita berbincang beberapa bulan yang lalu."

Carlie bisa bersumpah dia melihat Jona mengangguk, walau dia tidak melihat. Tidak masuk akal? Memang. Namun kurang lebih, dia mulai bisa membaca gelagat Jona di balik telepon sana. "Mengejutkan bagaimana kau langka mengujar kebencianmu kepadaku sekarang. Namun tak apa," Lagi-lagi sunyi, lagi-lagi jeda. Lagi-lagi, kenyamanan, "aku lebih suka begini."

Carlie tidak begitu menyukai panggilan telepon. Dia senantiasa membatasi panggilan dari bawahannya. Jika tidak genting atau penting, tidak ada telepon yang boleh mengganggu hari-harinya. Email lebih baik. Dia tak usah menghabiskan waktu menjalin pembicaraan tak bermanfaat. Lantas, apakah pembicaraannya dengan Jona bermanfaat? Carlie rasa tidak. Sepenuhnya hanya basa-basi harian. Lantas, apa dia ingin berhenti? Senyum maha lebar terbit di wajahnya. Carlie kian merasa gila. Tidak, aku tidak ingin. Panggilan Jona adalah penghiburan yang baik.

Karena itu ketika salah satu panitia seksi perlengkapan panggung melambai-lambai padanya dari gedung fashion show, Carlie menghela nafasnya panjang. Sekalipun dia ingin beristirahat, pekerjaannya malam ini belum usai. Dia mengacungkan jempolnya, panitia perempuan itu membalas dengan senyum dan kembali melangkah ke dalam. Menanti Carlie menyusul sendirinya.

"Sayang sekali, kau menghubungiku dalam waktu yang buruk. Aku harus bergegas kembali." Carlie berucap, sebisa mungkin menekan habis nada kecewa di ucapannya. "Aku akan menghubungimu lagi malam nanti kalau sempat. Jika tidak, esok pagi. Selamat malam dan sampai Jumpa." Kebiasaan buruk Carlie muncul ke permukaan. Dia mematikan panggilan itu sebelum Jona bahkan membalas sampai jumpanya.

Setelah meregangkan tangan dan kakinya, menarik nafas sedalam mungkin, akhirnya dia melangkah kembali ke gedung penuh sesak yang sejujurnya enggan dia masuki kembali. Langkahnya Carlie paksakan untuk ringan-ringan. Terkadang dengan memaksa diri berlaku santai, akan membuat diri sendiri santai pula. Ajaran yang lagi-lagi berasal dari ayahnya.

Namun belum genap dua langkah dia menjauh dari titik asalnya, sebuah tangan meraih wajahnya. Tangannya besar, tak terkira kasar. Hampir mirip dengan Jona, namun berkali lipat lebih dingin. Carlie membelalak, refleks meronta-ronta dengan setiap keping energinya. Namun tangannya dicekal, oleh seseorang yang berbeda. Matanya memburam, bintik-bintik hitam merapat kian penuh, memenuhi setiap sudut penglihatannya. Meraup perlahan demi perlahan cahaya dari matanya, menenggelamkannya ke ngarai kegelapan. Carlie tidak bahkan bisa menangkap apa yang terjadi, dunianya lebih dulu memudar menjadi gelap. Hal terakhir yang mampu dilihatnya, hanyalah gedung fashion show, yang lampunya tiba-tiba padam total.

***

Ketuk-ketuk telunjuk Jona di sofanya menandakan seburuk apa kesabarannya di ambang amblek. Kerut-kerut di keningnya menunjukkan perasaannya yang sangat buruk malam ini. Bahkan samping bibirnya berkedut-kedut, Jona menahan agar rahangnya tidak bergetar khawatir, dengan mengapitkan gigi-giginya kencang-kencang. Namun walau begitu, bunyi gemeretuk masih melolos dari mulutnya.

"Lepaskan, Sialan! Lepaskan aku!" Erang seorang wanita terdengar dari kejauhan. Suaranya melengking, lebih menyerupai suara anak kecil ketimbang seorang pekerja. Jona jarang-jarang membawa orang asing ke rumahnya. Dia menjunjung tinggi privasi. Namun malam ini emosinya menelan logikanya penuh-penuh. Dia membawa Emma Blanchet, asisten Carlie Eloise ke kediamannya. Tanpa berpikir dua kali.

Langkah wanita itu menapak ke dalam ruangan, matanya mengilat-ngilat dalam amarah juga ketakutan. Jona mampu melihat kalau wanita mungil itu berusaha menutup-nutupi keseganan lewat gertak di rahangnya. Berusaha terlihat agung sekalipun jiwanya beringsut ciut. Namun alih-alih berhasil, sosoknya tak ubahnya tikus tak berdaya dalam kandang kucing. Terlebih jika disandingkan dengan tubuh jangkung Devan yang tengah mencekal lengannya. Emma Blanchet, bagai anak remaja payah yang dikerangkeng jerat amukan ibunya.

Ya, Devan sedikit keibu-ibuan kalau Jona mau mengaku. Semua orang pun menyadarinya, tidak?

"Maaf sedikit lama, Tuan. Perempuan ini tidak bisa berhenti memberontak." Derit pintu ruang kerja yang tertutup, lantas terkunci membuat pundak Emma bergetar. Jona tidak menyalahkannya. Tidak ada yang tidak takut ketika pertama kali memasuki mansionnya, yang dilencanakan nama besar sekaligus kejam sang pemiliknya. Namun malam ini, Jona tidak memiliki waktu untuk menanggapi ketakutan seorang wanita belaka.

"Anda yang membawa saya dengan paksaan. Tentu saya meronta!" Amarahnya tak ubahnya pekikan. Dia kian menyedihkan saja.

"Jelaskan apa yang terjadi." Jona tidak membuang waktu, perintahnya langsung pada intinya.

Setelah sambungannya dengan Carlie diputuskan sepihak, Jona digeram kekesalan. Dia hendak menelepon Carlie kembali, entah mencari keributan singkat dengan menegurnya atau mencari perdebatan bodoh. Mungkin tanpa Jona sadari, dia ingin lebih lama saja berbincang walau pembicaraannya konyol. Namun kali ini dia menghubungi, Carlie tak membalas. Keningnya mulai berkerut-kerut kebingungan. Dua kali, tiga kali, empat kali. Jona mulai hilang hitung berapa banyak dia menelepon Carlie yang berakhir tanpa balasan. Tiba-tiba getaran di hatinya menggelora. Kali ini tujuannya menelepon tidak lagi untuk mengganggu, melainkan untuk memastikan kalau Carlie baik-baik saja. Memastikan kalau dia cuman tidak ingin membalas pesan Jona dengan sebab biasa. Iseng.

Nafasnya hampir-hampir menghela lega tatkala panggilannya diangkat, namun yang terdengar dari balik sana ternyata adalah suara Emma, yang awalnya tak Jona kenali. Emma langsung bertanya-tanya, kepanikan tercetak di suaranya. "Di mana Madame Eloise?" Jona bisa bersumpah, untuk sedetik jantungnya berhenti berdetak.

Emma tidak banyak membeberkan apa pun kepadanya, tidak selain gedung fashion show yang tiba-tiba mati lampu. Jona dongkol. Kesabarannya tidak sepekat itu. Dia menyuruh Devan pergi dan mengambil (baca:menculik) Emma Blanchet, untuk dimintai keterangan. Namun laporan yang Devan berikan dalam perjalanannya kembali ke mansion, selepas dari gedung fashion show nyaris membuat Jona jantungan kedua kalinya.

Seluruh sekuriti, model, panitia sedang berhuru-hara. Madame Eloise tiba-tiba menghilang tanpa jejak setelah pemadaman listrik yang disebabkan kabel korselet, dan semuanya mengerahkan segenap tenaga untuk mencarinya. Hingga kini, sosoknya belum ditemukan.

"Saya tidak memiliki kewajiban untuk menuruti kemauan Anda!" gertak Emma. Mungkin niatnya untuk membangkang agar dilepaskan, namun sayangnya, perasaan Jona sedang tidak baik. Kelembutan sirna dari kamusnya.

"Patahkan kelingking kirinya kalau dia membangkang lagi. Lanjutkan sampai semua 10 jemarinya remuk kalau masih menolak."

Devan bahkan terkejut mendengar perintah Jona. Pada Emma dampaknya lebih buruk lagi. Darah bagai surut dari parasnya, menghilang ditelan rasa seram. Emma bahkan tidak bernyali untuk menganggap ancaman Jona bual belaka. Pria ini nyatanya telah membunuh jauh lebih banyak orang di dunia ketimbang yang Emma kenali. Dia memekik lantang ketika Devan meraih tangannya kuat-kuat, melipatnya di belakang punggungnya, dan menekan kelingkingnya. Hingga nyeri. Bahkan sebelum di patahkan, Emma sudah takut sendinya bergeser 2 milimeter.

"B-baik! S-saya akan menceritakan!" Akhirnya dia menyerah, bahkan sebelum Jona bertanya lagi. Emma dalam hati waswas, membayangkan Carlie berurusan dengan pria kejam ini selama ini. "T-tapi saya rasa tidak akan membantu banyak."

"Katakan saja."

Emma menelan ludahnya. Tak pernah sesepat ini sepanjang hidupnya. "Lampu gedung fashion show padam. Saya hendak keluar menyusul Madame Eloise karena khawatir. Beliau sedang berbincang dengan Anda lewat telepon." Jona memampang wajah muramnya. Emma merasa setiap kata bagai belati kecil-kecil keluar dari kerongkongannya. Sakit. Menakutkan. "Namun backstage penuh huru-hara, saya tidak bisa keluar karena keterkejutan di dalam. Beruntungnya 10 menit kemudian lampu darurat menyala. Namun ketika saya keluar, Madame Eloise telah tidak ada. Saya hanya menemukan ponselnya yang terjatuh di aspal, nama Anda tertera sedang menghubungi beliau. Saya sangka Anda tahu sesuatu tentang kepergiannya, karena itu saya..." Emma hampir tidak bisa melanjutkan, "m-maaf lancang, saya mengangkat panggilannya."

Jona bahkan peduli setan dengan tata krama asisten Carlie itu. "Kau sudah mengecek CCTV?"

"Berdasarkan informasi yang saya dapat. Lampu lebih dulu padam sebelum Madame menghilang. Kamera tidak menangkap apa-apa." Bahkan kata tidak bisa dideskripsikan betapa leganya Emma ketika Devan bergantian untuk menjelaskan kepada Jona. Dia rasa sudah tak sanggup berkata-kata lagi tanpa tergelincir lidahnya. Gagap, dan mengesalkan Jonathan Austin. Menggali liang lahatnya sendiri.

"Tepat sebelum dia tiada?"

Devan mengangguk. "Diduga aksi penculikan direncanakan."

Jona menyandarkan sikunya ke samping sofa, membiarkan kepalannya menahan rahangnya. Rasanya dia bisa meledak, membanting apa pun di ruangan ini untuk menyurutkan barang sedikit kekhawatiran yang bagai membunuhnya perlahan. Namun kain genting sebuah perihal, kian dibutuhkan juga kepala dingin untuk memecahkannya. Namun melakukannya, jauh lebih susah dari berkata-kata.

"Aksi penculikan amatir kalau begitu artinya. Tindakannya terbaca sekali," Jona berucap. "Mungkin untuk sandera agar mendapatkan uang tebusan besar dari keluarga Heston."

Emma tidak mengerti bagaimana dua orang ini bisa mengatakan tentang penculikan tanpa bergetar ketakutan. Wanita malang itu harus mengingatkan diri kalau Jona adalah kriminal lebih buruk dari penculik mana pun di dunia ini. Dan itu kian membuatnya kian bergetar ketakutan.

"Tapi sekuriti di bagian fashion show tak terkira padat, Tuan. Pembobol amatir tak akan mampu menyusup satu langkah pun tanpa terciduk sekuriti."

Mata Jona mendongak, menoreh ekspresi kebingungan. "Lantas mereka sengaja ingin menunjukkan khalayak kalau mereka menculik Carlie Eloise? Untuk guna apa tindakan bodoh itu?"

Devan beringsut tidak nyaman. Namun memaksakan diri, dia melanjutkan. "Pencarian pertikaian. Mungkin, musuh keluarga Heston."

Emma bergetar kian kencang. Kali ini lebih banyak khawatir ketimbang ketakutannya. "S-saya harus mengabari Tuan Heston kalau begitu. Mereka pasti akan melacak Madame dengan cepat."

Emma merogoh ke dalam kantung jinsnya, mencari ponsel Carlie dan lagi-lagi menantang nyalinya untuk dengan lancang menelepon nomor Gerald Heston, ayah Carlie, tanpa seizin pemilik nomornya. Terkadang kalau dia memanggil lewat ponselnya, sang Tuan besar tidak akan membalas. Biasanya, beliau sibuk. Namun jika Carlie yang meneleponnya, ayahnya niscaya menelengkan tugas apa pun dan membalas. Putrinya adalah anak kesayangannya. Dan sekarang keadaan sedang genting. Emma tidak bisa lambat-lambat.

"Tidak perlu." Jona mencegah. Emma menatapnya kebingungan. "Itu lebih lama. Kita yang tangani."

Dalam sekali tatap dari Jona, Devan sepertinya langsung tahu apa yang harus dia lakukan. Dia membungkuk, lantas bergegas keluar dari ruang kerja. Namun sebelum itu, pria itu kembali untuk menarik tangan Emma bersamanya. Semula wanita itu hampir memberontak lagi, namun ketika mengerti kalau Devan melakukannya agar Emma tidak mengompol di ruang kerja Jona, ketakutan dibiarkan berdua dengan bosnya yang tengah berang itu, Emma menutup mulutnya.

Tiga puluh menit laksana tiga jam. Jona menanti dengan tidak sabar, ingin melancarkan penyelamatan secepat mungkin. Namun dia bisa apa-apa jika tanpa tahu lokasi Carlie Eloise. Matanya menatap jam kelewat terlalu sering, bibirnya berkedut-kedut kian khawatir dia merasa. Sehingga ketika langkah Devan kembali masuk ke ruang kerjanya, membawa setumpuk data di tangan, bersama asisten Carlie yang mengekor di belakangnya, Jona hampir-hampir menjerit lega. Devan membentangkan setiap foto CCTV jalanan yang mereka tangkap. Merunut mobil yang tampak keluar dari Gedung fashion show dalam waktu 15 menit pemadaman listrik itu. Mereka tertangkap jelas di kamera. Lagi-lagi bukti kalau mereka tidak repot-repot menutupi cara menemui mereka.

Pancingan. Entah untuk siapa.

"Mobil hitam berpelat ini berhasil kami lacak beserta identitas pemiliknya, namun..." kegelapan yang menyelimuti mata Devan seketika membuat Jona kian berjaga-jaga. Keningnya berkedut sembari menatap Jona, pemandangan yang jarang terjadi. Ketidakpercayaan melukis wajah Devan. Namun sirat horor lebih mendominasi. "Kami menemukan bahwa mobil itu, adalah mobil keluarga Austin, Tuan."

Jona bahkan tidak sadar sampai dia melompat dari sofa, dengan tubuh menegang. "Apa? Bagaimana mungkin!?"

Devan mengangguk, seakan mengatakan kalau dia tidak salah membaca. "Mobil ini adalah sedan hitam yang Anda berikan kepada ayah Anda 5 tahun silam. Dan dari rutenya kami bisa mengonfirmasi dengan yakin, arahnya menuju paviliun tuan Bov Austin." Jona bahkan tidak sadar ketika darah seakan surut dari wajahnya, keterkejutan menghantamnya hingga nyaris semaput. "Bisa dipastikan, penculik Madame adalah Tuan Bov Austin."

***

Lampu terik jarang-jarang mengusik matanya. Hari ini, sinar nyaris membutakannya. Cuat bulu matanya berkibas-kibas seraya Carlie membuka matanya, membiarkan penglihatannya menjelas. Sekalipun bercak-bercak hitam tetap memenuhi setiap sudutnya.

Sebuah kamar gelap. Carlie membutuhkan tenaga ekstra demi menangkap satu atau dua cahaya lebih, yang syukur-syukur bisa memberinya petunjuk tentang di mana dia berada kini. Selang 2 menit, Carlie baru sadar kalau ruang yang dia tempati hanyalah temaram. Cahaya tipis masih berpendar di atap. Nuansa tempat ini tidak jauh berbeda dengan mansion Jona. Kelam nan dingin. Perabotannya juga tidak diwarnai rona lain selain hitam dan putih. Kepalanya bagai bertumbuh menjadi dua. Berat tidak main-main. Carlie meringis merasakan pening menyergap setiap relung otaknya. Ringisnya rupanya berhasil membuat seorang pria menoleh padanya.

"Cepat juga kau bangun, terang sialan." Mata buram Carlie merunut sosok bertubuh gempal dan berkulit gelap itu yang tengah terduduk di atas kasur. Wajahnya bulat, sama dengan tubuhnya. Baju yang dikenakannya lusuh, pinggang ke bawahnya dilapisi selapis selimut tebal. Di sampingnya berdiri sebuah kruk untuk membantunya berjalan. Lengannya yang sama tebalnya, dialiri infus. Carlie mencoba mengenalinya, namun benaknya kelewat runyam untuk dia gunakan. Dia membiarkan otaknya menjernihkan diri barang beberapa detik, dan barulah setelah itu, kenangan menyerangnya bertubi-tubi.

Seseorang menangkapku. Setelah aku berbicara dengan Jona di telepon.

Matanya seketika membelalak, melotot dengan tajam. Carlie baru saat itu menyadari kalau tangan dan kakinya dibebat borgol besi. Rantai-rantainya menggelepai sampai ubin dingin. Dia dipaksa berlutut di lantai, pundaknya mulai sakit-sakit. Namun kendati ketidakberdayaannya, amukan Carlie tak surut. Dia menatap pria itu seakan memberi ancaman. Peduli setan walau ancamannya tidak bermakna. "Sebut namamu dan urusanmu menangkapku, buruk rupa!" gertaknya, lebih tajam ketimbang silet. "Apa kau menyanderaku untuk uang tebusan?!"

Pria itu terkekeh mencemooh. Nyaris-nyaris meludah. Bagai ucapan Carlie tak ubahnya penghinaan baginya. "Aku tidak membutuhkan uang sucimu untuk menghidupiku. Kusarankan kau urung pelotot itu dan memohonlah untuk nyawamu bagai budak menjijikkan. Sebelum kutanamkan peluru di batok kepalamu itu."

Tentu Carlie tidak akan berlaku begitu. Dia lebih baik mati ketimbang memohon pada siapa pun. Tapi gelagat pria ini membuat keningnya sedikit berkerut. Entah mengapa, sosoknya mengingatkan Carlie kepada seseorang yang dia kenal betul.

Matanya yang hitam pekat, caranya berdecak. Caranya tertawa mencemooh. Bahkan ancaman pembunuhannya Carlie rasa tidak asing di telinganya. Dia terlihat seperti... Jona. Namun seribu kali jauh lebih buruk rupa. Pria itu ada benarnya, Carlie semestinya memohon untuk hidupnya di masa genting semacam ini. Namun tentu dia tidak. Sebaliknya dia bertanya kepada pria itu. Sekalipun sebenarnya, jemarinya mulai mendingin karena ketakutan.

"Siapa kau?"

Lagi-lagi dia tertawa mencemooh. Lagi-lagi tawanya familier. "Aku tidak memiliki kewajiban untuk menjawabmu. Sebentar lagi juga, kau akan tahu."

Sebelum Carlie mampu mendesak jawaban apa pun, seorang pria muncul dari balik pintu. Wajahnya cekung, tubuhnya ramping. Dia tidak pendek, namun bukan berarti jangkung juga. Jauh ketimbang tinggi tubuh Jona. Matanya berbentuk tajam, namun sayu di alisnya menyirnakan ekspresi kejam itu, menggantikannya dengan submisif. Pria itu dari gelagatnya bisa Carlie tebak, bukan seseorang yang perkasa-perkasa amat.

"Tuan Jona sedang menuju kemari. Sesuai dengan perintah Anda, beliau datang kemari tanpa membuang waktu." Mata Carlie seketika melebar mendengar nama Jona. Matanya kembali menyorot kepada pria gempal di atas kasur itu, terkaget-kaget sendiri ada orang lain yang mengetahui hubungannya dengan Jona. Dan pria itu kini sedang datang kemari. Untuk menyelamatkanku barang kali? Dari balik tubuhnya, Carlie mengepalkan tangannya yang diborgol. Rahangnya digertakkan oleh rasa awas.

"Katakan padaku kau sebenarnya siapa!?" bentak Carlie, kali ini tidak bisa mengurung getaran di suaranya.

Namun pria sialan itu tidak menanggapinya. "Bawa wanita ini ke paviliun belakang. Jangan biarkan dia lolos, apa pun bayarannya. Paham!?"

Dua orang pria berseragam hitam, masuk ke dalam kamar. Masing-masing memegang ketiak Carlie, dan mengangkatnya dari ubin. Carlie menggeliat-geliat tidak terima. Meronta sebanyak yang dia bisa. Namun seketika dia membungkam, melihat lambang keluarga Austin terpatri di baju setiap petugas yang membawanya. Otaknya memuntir dalam kebingungan tak berujung, menjadi topan yang meriak-riuk di dalam benaknya. Jona tidak mungkin melukainya. Bahkan pria itu katanya sedang kemari, sekarang juga. Lantas mengapa petugas keluarga Austin yang sehausnya ada di bawah naung perintahnya kini menyanderaku?

Selagi di bawa, Carlie melemparkan tatapannya ke pria yang masih terduduk di atas kasur itu. Mencoba merunut wajahnya, di detik-detik terakhir sebelum dibawa pergi. Dia mengucapkan beberapa kalimat perintah kepada pria yang datang pertama, dan pria itu lantas membungkuk dalam. Gelagatnya, hampir menyerupai bagaimana Devan berlaku pada Jona. Dan ucapan pria itu tepat sebelum Carlie menghilang, menjelaskan kepadanya segala yang butuh dia ketahui.

"Baik, Tuan Austin."

Pintu yang menutup di belakang punggungnya, berderu bersama otak Carlie yang engselnya menjadi satu dan jelas. Pria itu adalah ayah Jona. Orang dari masa lalu pria itu, yang mungkin bertanggung jawab atas kehancuran putranya. 

~~~

Awas kalo dikata kurang panjang. Ini udah panjang banget Wkwkwkwk

Thank you banget semuanya yang udah baca. thank you buat komennya, votenya, sharenya, semuanya. thank you so much! Aku bener-bener bersyukur ada kalian. 

Next update : 5 Juni 2022

Spoiler in instagram : 4 Juni 2022

(Instagram username : nnareina) 

See you all in the next chapter! Have a nice day and love you all! 

See you soon!

Continue Reading

You'll Also Like

9.7M 13.8K 1
Judul awal : Baby Boy!!! (Leo&Bella) Angela Charotte Bella, gadis 21 tahun yang bekerja sebagai sekretaris di perusahaan properti terbesar di dunia...
2.4M 18.6K 12
Kejadian pembunuhan 2 tahun silam menjadikan Zara korban kesalahpahaman dan terjebak di bawah kungkungan Aldrick, seorang pria yg tampan nan arrogant...
25.3M 791K 67
"Papih, ini om-om yang udah ngehamilin Abi!" cast : ~ Kendall Jenner as Abigail Meshach Pradipta ~ Harry Styles as Aldrich Reynand Maxston _________...
577K 38.4K 32
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...