Madame Mafia

By Reiinah76

528K 41.1K 13.9K

Carlie Eloise Heston adalah simbol kesempurnaan. Putri dari keluarga bangsawan paling ternama, memiliki salah... More

Madame Mafia
Chapter 1 - Madame Eloise is Absolute
Chapter 2 - Lion's Cage
Chapter 3 - Red Bar
Chapter 4 - First Kill
Chapter 5 - Red is not so Pretty Anymore
Chapter 6 - To Surrend is Never a Choice
Chapter 7 - Brother
Chapter 8 - Third Kill
Chapter 9 - Abducted
Chapter 10 - Alter
Chapter 11 - Paul and Paula
Chapter 12 - Hell Partner
Chapter 13 - Unwritten Agreement
Chapter 14 - Aliance Meeting (1)
Chapter 14 - Aliance Meeting (2)
Chapter 15 - Teaming Up
Chapter 16 - Ian and Carlie
Chapter 17 - Relationshit
Chapter 18 - Marijuana Date (1)
Chapter 18 - Marijuana Date (2)
Chapter 19 - Stella Martin, The Poor Lady
Chapter 20 - I Hate This Party
Chapter 21 - Little promise
Chapter 22 - Aliance Issue
Chapter 23 - Austin and Emerald
Chapter 23.2 - Austin and Emerald
Chapter 24 - The Show
Chapter 25 - Mama
Chapter 26 - Through the mirror (2)
Chapter 27 - A Letter that Brings Storm
Chapter 28 - Wish (1)
Chapter 28 - Wish (2)
Chapter 29 - Cotton Candy
Chapter 30 - Every Single Thing
Chapter 31 - Present
Chapter 32 - Fishing Net
Chapter 32 - Fishing Net (2)
Chapter 33 - Vow
Chapter 34 - Agreement
Chapter 35 - A Call for Help
Chapter 36 - Liar
Chapter 37 - Hard Choice
Chapter 38 - Odd Combo
Chapter 39 - Rewrite
Chapter 40 - Alive
Chapter 41 - Letter
Madame Mafia 2
MM 2 : Prologue - Every Single Night
MM 2 : Chapter 1 - New Encounter
MM 2 : Chapter 2 - Invitation
MM 2 : Chapter 3 - Left Out
MM 2 : Chapter 4 - Memories
MM 2 : Chapter 5 - Behind The Flames
MM 2 : Chapter 6 - A Killer
MM2 : Chapter 7 - Make Over
MM 2 : Chapter 8 - Different Dream
MM 2 : Chapter 9 - Nightmare
MM 2 : Chapter 10 - Who was his name?
MM 2 : Chapter 11 - Broken Mirror
MM 2 : Chapter 12 - Boxing
MM 2 : Chapter 13 - The Returned
MM 2 : Chapter 14 - I Did Better
MM 2 : Chapter 15 - Thin Thread
MM 2 : Chapter 16 - Bloody Dream
MM 2 : Chapter 17 - Guns
MM 2 : Chapter 18 - About You And Only You
MM 2 : Chapter 19 - Radomir Volkov
MM 2 : Chapter 20 - Forgive Me
MM 2 : Chapter 21 - Dance Partner
MM 2 : Chapter 22 - One Condition
MM 2 : Chapter 23 - Car Crash
MM 2 : Chapter 24 - Switch
MM 2 : Chapter 25 - For Her
MM 2 : Chapter 26 - Confession
MM 2 : Chapter 27 - From Today
MM 2 : Chapter 28 - Kiss
MM 2 : Chapter 29 - Father
MM 2 : Bonus Part

Chapter 26 - Through the Mirror

6.9K 558 41
By Reiinah76

Hai semuanya, welcome backk. Aku update ini jam 12 lebih 50 menit. 

Makasih banget buat kesabaran kalian yang nunggu! 

and cerita ini separuh udah aku edit, separuh belum. (Ga kuat ngantuk say) Besok aku lanjutin edit lagi, jadi jangan aneh ya kalau di ujung-ujung masih bertebaran typo dan pembacaannya belum enak. Nanti aku edit lagi kok. (update : Udah aku edit yaa) 

Ini chapter panjang parah. Jadi, bacanya dinikmati yaa. Thank you penantian semuanya. 

Happy reading! 

~~~ 

Chapter 26 - Through the mirror

~~~

Semilir angin membelai wajah Jona, menyentuh pori-porinya. Merambat kesejukan yang diangankannya sejak tadi. Angin malam ini terpaut kencang. Dan Jona bersyukur karenanya. Dia butuh terpaan yang lebih kuat. Hantaman dersik angin kencang-kencang. Yang bisa menampar-nampar wajahnya. Agar pikirannya tak kalut ke kubang kenangan masa lalunya. Agar Jona bisa fokus menikmati desir nikmat yang berkedut-kedut di sarafnya. Menikmati pembunuhan yang tidak pernah terasa selega ini sepanjang hidupnya. Kebahagiaan yang sudah lampau tak ia kecap. Sembari Devan membisu di belakang.

Tidak bahkan 20 menit dibutuhkan pria itu untuk membawa Jona pergi dari setiap derap kaki polisi yang menerjang basemen. Pria itu muncul di pintu evakuasi, bersama Jona memanjat hingga ke lantai teratas. Di mana telah tergeletak tak bernyawa, satu lusin serdadu polisi, juga Thomas, tangan kanan Falcon. Kedatangannya tepat waktu. Membuat satu orang polisi pun tak berkesempatan melihat wajah Jona. Dalam sama waktu, memberikan mereka ruang menit cukup banyak untuk membersihkan darah kepalan Jona yang berkubang di lantai.

Sesampainya mereka memijak lantai teratas parkir, mereka melompat ke gedung sebelah, menggunakan tali yang sedia kala telah mereka sediakan. Sebuah Hotel yang tidak banyak dikunjungi orang. Mereka meragu ada yang bahkan menyadari kedatangan mereka seenaknya di lantai teratas hotel. Tempat itu sunyi, berbanding terbalik dengan gedung samping, mall terbengkalai itu yang kini dikecamuk huru-hara.

Berbondong-bondong polisi meramaikan suasana. Melukis jalan kota Paris, dengan gurat-gurat biru merah. Sirene mereka laksana cat-cat bercahaya yang memantul di tengah malam gelap. Cantik. Melukiskan kebahagiaan malam ini, yang mungkin hanya Jona seorang rasakan. Ambulans mengikut bagai anjing penurut. Petugas-petugas berseragam kelabu turun membawa brankar, jauh lebih banyak dari satu. Menyapu habis mayat-mayat tembakan yang bergelimpangan. Korban yang berjatuhan jauh lebih banyak dari yang Jona rencanakan. Sebab dikejar hingga ke tempat parkir mall di luar ekspektasinya.

Namun kali ini juga, persiapannya matang sekali. Berjalan dengan mulus. Upaya pembunuhannya berlangsung tanpa cela.

Lagi-lagi, kelancaran yang menakutkan.

Mayat-mayat bawahan Jona dan polisi hampir tak bisa dibedakan. Sebab seragam mereka berwarna sama. Hitam. Namun kendati jasad mereka yang terkuak, identitas Jona tidak akan tersebar. Dia telah merencanakan malam ini sesempurna mungkin, menyuruh setiap bawahannya untuk mengenakan lencana keluarga Falcon di balik jas mereka. Tatkala polisi mengecek, praduga mereka tentu jatuh pada dugaan "bawahan keluarga Emerald." Nama Austin tertutup rapat.

Denyar-denyar sirene tak ubahnya suara ngengat di hiking Sabtu pagi. Berdengung nyaring, silih tindih dengan sirene sampingnya. Namun suaranya menangkan di telinga Jona. Bagai setiap bunyinya mengibarkan panji kemenangan yang kian menyanjung kelegaannya. Kepuasannya. Menyatakan padanya dalam setiap bunyi, kalau balas dendamnya telah tuntas. Berhasil dia selesaikan tanpa terlewat.

Rasanya janggal. Biasanya, dia membenci suara sirene polisi. Pengganggu tatkala dia tengah bergelut dengan geng preman murahan yang kerap Jona permainkan, di tengah hari-hari membosankannya. Namun malam ini sirene yang sama laksana senandung di telinganya. Melodinya samar-samar tercipta di telinga Jona. Merangkai not-not tak nyata, namun lebih cantik dari rangkai lagu klasik mana pun.

Malam ini, Jona menjanjikan diri sendiri untuk membuka wine paling mahal di lemarinya. Bersulang. Untuk balas dendamnya. Seorang diri. Atau untung-untung, Carlie Eloise mau menemani. Jona berharap, yang kedua terjadi.

"Bawahan Falcon Emerald telah dibunuh seluruhnya, saya baru mendapat kabar. Sesuai perintah Tuan, dengan memberi mereka pil bunuh diri. Seakan-akan mereka begitu setia, ketika pemimpin mereka tertangkap, mereka lebih memilih menjemput ajal bersama-sama." Devan mengatakan, memberanikan diri untuk mengangkat suara. Walau sebenarnya dia tahu kalau Jona tengah menikmati waktu sunyinya. Seperti biasa, setelah huru-hara, kesunyian adalah sahabat sejati Jona. Pria itu lebih pendiam dari biasa. "Jasad Amanda Emerald telah ditemukan di rumahnya oleh pihak kepolisian. Sama, dianggap aksi bunuh diri. Semuanya berjalan dengan lancar. Namun demi keamanan kami semua, Mike, bawahan saya akan selalu menyertai semua fase penyelidikan polisi. Dia pandai memata-matai."

Jona mengangguk. "Lakukan saja yang seharusnya kau lakukan." Devan membungkuk dengan patuh. "Bagaimana dengan Tiffany?"

"Telah kembali bagai babi tolol dengan sopirnya. Menangis laksana air terjun, membasahi separuh bajuku dengan air mata asinnya."

Tanpa menoleh pun, Jona tahu siapa pemilik suara yang tiba-tiba berkumandang di belakangnya. Namun kendati begitu, Jona tetap membalik badan. Dan di hadapannya berdiri sosok jangkung Carlie Eloise, bersama satu bawahan yang telah Jona pasangkan untuk menjaganya. Wanita itu bersedekap dada, dengan senyum kepuasan terbit di wajahnya. Memperelok parasnya yang normal saja sudah tak terkira cantik. Jona diam-diam menikmati keelokan ini. Diingat lamat di benaknya senyum Carlie malam ini. Yang tak terkira lebar. Tak terkira memesona.

"Sesaat lagi polisi tentu akan menerjang apartemennya. Sebelum itu aku kembalikan dia ke rumah. Dia nyaris gila, terlebih setelah berita tentangnya aku publikasikan." Carlie melangkah mendekat, merapat kepada Jona. Membiarkan kehangatan tubuh pria itu membelai miliknya. Seperti biasa, lebih hangat dari yang Carlie kira. "Aku memiliki videonya yang tengah menangis bagai anak kecil meminta maaf. Aku jadikan hiburan keseharian mulai sekarang di galeriku."

"Kau tak akan menyebarkannya, kan?"

Carlie memutar bola matanya kesal. "Kau harus berhenti meremehkanku bagai wanita tolol."

Video Tiffany tidak boleh disebar luaskan, tentu saja. Latar belakang video akan menjadi bukti solid kalau Carlie ada di TKP, di malam berdarah-darah teater paris. Dan itu akan menimbulkan kecurigaan. Carlie termenung sesaat, berpikir untuk memindahkan video itu ke komputernya yang bersandi ganda. Ponsel memberi risiko tersebar terlalu besar. Terutama jika suatu kali ada yang mencuri benda pipih itu darinya.

Carlie tidak bisa mengambil risiko semacam itu.

"Wajahmu tampak sangat menyala malam ini. Kau lihat rantai sirene itu?" Carlie menunjuk ke jalanan, keduanya menoleh kembali memunggungi Devan. "Wajahmu lebih terang-benderang, sampai memuakkan. Sebegitu benci kepada Tuan Emerald sampai kegirangan setelah membunuhnya?"

Jona menderaikan tawa rendah. "Aku biarkan kau menebak."

Carlie sudah lebih dari tahu apa jawabannya.

Mereka terdiam dalam kesunyian. Menenangkan, sama sekali tanpa kecanggungan. Devan dan bawahan Jona yang satunya di belakang berbeda. Mereka kikuk tak main-main. Tidak tahu harus belaku apa. Sebab itu mereka angkat kaki lebih cepat, meninggalkan Carlie juga Jona, melakukan saja pekerjaan acak, ketimbang mengganggu momen intim majikan mereka. Carlie menahan cekakak geli merasakan langkah Devan terbirit-birit keluar di belakangnya. Sekalipun pekerjaan masa lampaunya lebih dari mengerikan, Carlie melihat beberapa bagian dari Devan sangat menggemaskan.

Kalau dia tidak mengingat Devan bisa membunuh orang, Carlie niscaya mengusilinya setiap saat. Laksana Emma. Namun Carlie masih menyayangi nyawanya.

"Janjimu." Carlie menoleh ketika Jona tiba-tiba berkata di sampingnya, dengan suara pelan, nyaris tak tertangkap. "Aku pegang erat-erat."

Carlie terkekeh lagi. Namun tawanya menertawakan diri sendiri, alih-alih Jona. Menertawakan hatinya yang juga, tidak ingin meninggalkan pria ini. "Sebuah makan malam mewah, sembari membuka wine termahal yang bisa kau beli. Kurasa itu syarat yang sepadan untuk bayaran malam ini, juga dampinganku ke depannya."

Tatapan Jona terlempar kencang ke arah Carlie. Terkejut-kejut Carlie memiliki keinginan yang sama dengannya. Membuka wine. Bersulang. Menikmati malam ini. Keterkejutan menular kepada Carlie, wanita itu ikut melebarkan matanya. "Apa?" Namun Jona tidak menjawab.

Alih-alih, senyum pria itu melebar.

Begitu lebar, begitu tampan. Begitu tulus. Sirat kekejian sirna dari senyum itu. Diganti kehangatan seterik mentari yang menyinari setiap runtut gigi-giginya yang tampak. Matanya yang menyipit, parut-parut di keningnya yang melipat oleh senyum. Entah kata tak mampu mendeskripsinya. Namun jikalau terpaksa, kata "ajaib"lah yang akan Carlie pilih. Ajaib betapa terangnya sebuah senyum bisa berpendar, dari pria terkelam yang dikenalnya.

Keterkejutan seharusnya sudah tak lagi melanda Carlie terlalu kencang. Matanya pernah melihat pemandangan ini. Senyum Jona pernah dia kenang dalam benaknya. Beberapa minggu lalu, di acara Lord Mclore. Senyum tulus. Senyum manis. Sungguhannya. Namun yang malam ini, senyum itu sedikit berbeda dari malam itu. Sedikit lebih berkesan, jauh lebih bermakna.

Tak ada sandiwara, tak ada senyum pura-pura pada Tiffany. Senyumnya kali ini sarat kebahagiaan. Berat sukacita. Dari ujung ke ujung, mengutarakan bahagia tak bersyarat. Dan senyum itu malam ini melebar untuk Carlie. Bukan putri Emerald. Membiarkan kebahagiaan itu menular, membuncah di dada Carlie, merebak pantul-pantul cahaya membias di relung hatinya. Memberikan kehangatan ajaib yang tak pernah dipandanginya sebelumnya.

Bagaimana seseorang bisa tersenyum sehangat ini? Dan seburuk apa kehidupannya hingga senyum ini sirna, diganti kekejian? Carlie tidak tahu. Namun dia ingin tahu. Dia pasti akan tahu. Dan setelah dia tahu, dia akan membimbing senyum itu untuk kian terbit. Kian merekah. Hingga suatu kali melampaui sang kekelaman yang menyelimuti. Mengalahkan kesenduan yang menutup. Menetapi janjinya yang dia tukarkan dengan Nathanael Austin, menyelamatkan adiknya.

"Tentu saja. Bayaran sepadan."

***

Berita Tiffany menyebar luas lebih cepat ketimbang kebakaran hutan. Lebih meriah ketimbang perayaan hari baru. Lebih mencolok ketimbang nila di tengah susu. Lebih viral ketimbang yang Carlie prediksikan.

Nama Tiffany melejit menjadi pencarian tertinggi di Google. Setiap diketuk, aibnya tercantum semua. Desainer tak beradab yang memanipulasi data demi kemenangan curang, anak seorang pengedar narkoba yang baru membunuh diri beberapa minggu lalu. Setiap berita mencantum kejelekannya lebih buruk dari sebelumnya. Setiap pekan, kabar terbarunya dari sisi pengadilan kian berlipat ganda. Masalah utamanya adalah karena peretasan data. Namun Carlie tahu kalau semua orang di dunia ingin pengadilan memenjarakannya atas kasus narkoba ayahnya. Mengingat tak ada lagi anggota keluarga yang masih hidup untuk disalahkan, mereka ingin kesalahan itu ditanggung oleh sang putri.

Sejujurnya Carlie meragu itu bisa terjadi. Sebab Tiffany tidak pernah ikut serta dalam bisnis ayahnya yang mana pun. Hakim pun akan kesulitan mencari bukti untuk mendakwanya atas isu narkotika. Dia pun tidak pernah mengonsumsinya, begitu Jona memberitahu Carlie.

Pengadilannya tetap berjalan hingga hari ini. Namun Carlie tak bisa menonton setiap beritanya. Sebab kesibukannya yang ikut melejit, bersama hebohnya masalah Tiffany. Namanya yang kian mengheboh, sebagai desainer "malang" yang kehilangan hadiahnya karena kesalahan perhitungan data. Sebagai ratu yang sempat heboh jatuh karena tidak bisa memenangkan penghargaan terbesarnya, dan kini bangkit lagi seusai menguak kecurangan lawannya, meraih kemenangan yang sejak semula adalah haknya.

Setiap julukan yang mengagungkannya lebih konyol dari sebelumnya. Namun Carlie menikmati setiap itu.

Pialanya telah kembali kepadanya. Beserta siaran TV dan permintaan maaf berkali-kali dari pihak acara, setelah kelalaian mereka. Carlie bahkan mendapat hadiah beberapa perjalanan tamasya, juga voucher belanja, sebagai kompensasi. Hanya terhitung beberapa minggu, semuanya telah ludes dia gunakan. Semula dia ingin menghabiskan tamasyanya dengan Ian, sebagai rasa terima kasih. Tapi pamannya rupanya berhasil membawanya kembali ke kampus. Meninggalkan Carlie. Akhirnya, dia pergi saja dengan Emma.

Jadwalnya tidak pernah sepadat ini sebelumnya, sarat akan pertemuan klien, juga interviu media. Kasus yang menimpanya menggegerkan, dan setiap telinga haus ingin mendengar kejelasannya dari pihak Carlie. Walau kebanyakan media TV kecil Carlie tolak, namun sekian banyak yang berasal dari TV besar dia terima. Dia menghabiskan kebanyakan waktunya menjawab-jawab pertanyaan yang sama.

Apa yang Anda rasakan? Bagaimana acara meminta maaf kepada Anda setelah ini semua? Bagaimana pandangan Anda terhadap sangsi Tiffany Emerald? Begitu juga mengingat beliau berasal dari keluarga yang berlatar belakang buruk. Apa Anda mengetahui tentang kecurangan ini sebelum kabarnya tersebar?

Carlie menjawab satu per satu dengan sabar. Membiarkan kamera semakin hari kian menyorotinya. Juga balas dendamnya. Beberapa pekan belakangan ini kebahagiaannya membuncah. Rasanya lega memiliki keinginan membalas dendam tuntas sempurna.

Dan perasaan yang sama dimiliki oleh Jonathan Austin. Di mansionnya.

Pekerjaan Jona kian hari kian sibuk. Tertangkapnya Falcon mengartikan penyelidikan masif polisi demi melacak jejaring peredaran narkoba Falcon. Meraba-raba mafia lain yang mengenalnya, dan menangkapi satu per satu. Mafia-mafia kecil dalam kurun waktu beberapa minggu, banyak yang dijebloskan ke bui. Jona menghabiskan hampir setiap waktunya melindungi namanya dan aliansinya agar tak terjamah mata polisi. Pekerjaan melelahkan yang biasanya dia benci setiap ada kawanannya yang tertangkap pemerintah, namun kali ini Jona melakukannya dengan ringan hati.

Keinginan balas dendamnya tuntas seusai bertahun-tahun. Membersihkan sisa balas dendam, bukan perkara sulit.

Dalam beberapa minggu terakhir, Jose Ramirez sering mengunjunginya. Memanjatkan terima kasihnya sebab rival utamanya, Falcon, telah dijatuhkan. Seperti siang ini, dia datang membawa wine mahal dari Meksiko. Menuangkannya ke dua gelas bening, menyodorkan salah satu kepada Jona.

"Sudah berkali-kali kita melakukan ini, tapi," dia mengangkat gelasnya ke udara, "untuk kemenangan kita."

Jona mengangkat miliknya juga. "Untuk kemenangan kita."

Aliran anggur terfermentasi merunut kerongkongannya. Rasa pahit dan manis melebur, mengirim derai nikmat merunut hingga perutnya. Satu hal yang Jona akui, Jose memiliki lidah dalam memilih wine. Setiap hadiah minumannya tak pernah ada yang gagal menghibur Jona.

"Setelah ini semua selesai, apa rencana Anda?"

Celetukan Jose yang janggal membuat Jona menatapnya aneh. Mereka sering bertemu untuk menyelamati kemenangan, tapi untuk ke depannya bagaimana, Jose tidak pernah menanyakan. Tidak juga Jona memikirkan. Dia terlalu terhasut euforia. Terikat pekerjaan membersihkan sisa balas dendamnya.

"Melanjutkan bisnis penjualan senjata ilegal seperti biasa? Atau memiliki rencana lain untuk menggulingkan mafia lagi? Maaf kalau lancang, tapi saya akan sangat senang jika Tuan membiarkan saya ikut serta dalam satu atau dua rencana itu. Sangat menghibur melihat betapa cekatan, juga lihainya pekerjaan Tuan Jona. Saya belajar banyak."

Ucapan Jose menohok Jona lebih banyak dari yang dia inginkan. Pria Meksiko ini bagai alarm, yang membangunkan Jona keluar dari fantasi kebahagiaannya. Dia belum memikirkan apa pun untuk ke depannya. Tidak memiliki rencana. Tidak memiliki keinginan yang ditujunya. Sebab beberapa tahun terakhir, pembunuhan Falcon adalah satu-satunya hal yang dia pikirkan. Satu-satunya ambisi yang harus dia tuntaskan. Atas nama ibunya.

Pertanyaan Jose ini menghantui Jona bahkan hingga mentari terbenam dan langit berubah gelap. Menjadi hamparan gelap yang tidak disinari bintang-bintang, alih-alih, digantungi beribu-ribu awan. Hujan hendak turun, beserta antek-antek gelegar petirnya. Jona terpaku di depan penghangat ruangannya, duduk di sofa sembari menyesap kopi yang baru saja Devan antarkan untuknya. Matanya menerawang tanpa fokus, sekali ini saja membiarkan kepalanya tenang tanpa memikirkan pekerjaan, apalagi keamanan aliansinya yang tengah rawan.

Televisi menyala di depannya, menyiarkan channel acak yang tidak Jona perhatikan. Lampu remang di ruang kerjanya itu kian mencekam perasaannya. Hingga suara seorang reporter membuatnya menoleh pada TV.

"Carlie Eloise." Mata Jona kembali fokus. "Memanjatkan belasungkawanya kepada Tiffany Emerald yang tengah melakukan persidangan. Sekalipun telah dicurangi, putri Heston ini rupanya masih menyisihkan waktu untuk berprihatin kepada rivalnya ini. Walau penonton tidak merasa empati yang sama, namun banyak yang memujinya karena masih rendah hati, tidak membenci musuhnya sendiri. Ucapannya ini Carlie Eloise kemukakan dalam interviu radio 2 hari lalu, dari siaran..."

Jona terkekeh sendiri. Carlie pandai menggiring pandangan penonton untuk memandangnya sesuai yang dia ingin. Berbanding terbalik dengan kenyataan. Sebab tidak mungkin wanita itu setelah ini semua berbelas kasihan kepada Tiffany, kan? Namun tak lama setelahnya, senyum Jona lagi-lagi bungkam.

Aku belum menemuinya hampir sebulan lamanya.

Setelah malam berdarah-darah itu, Jona belum menemui Carlie lagi. Wanita itu sibuk, begitu juga dirinya. Kenyataan ini mengusiknya. Jona sadar betapa menghiburnya pertemuannya dengan Carlie setelah mengenal cukup lama sekarang. Tangannya meraih remote TV yang tergeletak di sampingnya, lantas mematikan siaran, menjadikan layar hitam sepenuhnya. Langkahnya dia sentakkan ke luar ruang kerjanya, sekonyong-konyong Devan menghampiri.

"Siapkan mobil untukku." Jona memerintah, biasa, dengan nada tak terbantah.

"Ke mana Anda akan pergi, Tuan?" Devan bertanya.

"Mencari angin."

"Apa baiknya saya meneman-"

Jona menghentikan langkahnya, lantas menatap Devan. "Berjagalah di sini. Kabari padaku jika terjadi perkara genting. Yang remeh-temeh, kau bisa urusi sendiri."

Devan membungkuk patuh, seperti biasa, sempurna 90 derajat. "Baik, Tuan. Segera."

Sembari memegang setir, Jona menghempas jauh pikiran di benaknya. Untuk saat ini, dia hanya ingin menikmati waktu, menemui Carlie. Mobil sedan Hondanya membelah jalanan kota Paris, berwarna hitam legam, sesuai dengan warna kesukaannya, juga pekerjaan mengerikan yang dilakukannya. Jona memiliki kesukaan pada mobil mewah. Sport, atau bahkan klasik antik. Namun dia sengaja membeli hanya mobil-mobil simpel pasaran. Mobil mahal ampuh menarik perhatian untuk menyoroti. Jona tidak butuh itu kalau dia tetap ingin bersembunyi dari tikus-tikus kepolisian.

Jarak dari rumahnya ke apartemen Carlie tidak dekat namun tidak jauh juga. Tetapi selalu, rasanya bagai panjang sekali. Hingga kini Jona tidak tahu mengapa. Ketika tungkainya memasuki gedung 35 lantai itu, Jona merutuk penuh kekesalan. Terkutuk gedung ini dan sekuritinya yang ketat. Jona tidak bahkan bisa mengakses lift tanpa memiliki kartu tanda pengenal. Dia hanya bisa mengendap lewat jalur evakuasi, dan memanjat lewat balkon-balkon. Baginya, hinggap di satu balkon ke balkon yang lain bagai burung gagak tak kasat mata, jauh lebih mending ketimbang menaiki tangga 35 lantai. Beruntung ada sebuah lift khusus staf yang tidak harus menggunakan kartu pengenal. Lift itu minimal meringankan 15 lantai perjalanan Jona.

Terkutuk wanita itu juga yang tinggal di penthouse. Lantai tertinggi. Ketika sampai di balkon kamar Carlie, nafas Jona telah menderu. Beberapa butir keringat pecah di pelipisnya. Jona harus menarik nafas dalam-dalam selama beberapa saat sembari berkacak pinggang. Membiarkan paru-parunya, mereguk oksigen sebanyak yang dia inginkan.

Kali terakhir Jona kemari, Carlie sedang tidak mengenakan baju. Jona berharap, dia mendapat pemandangan yang sama pada malam ini.

Namun keningnya terpaksa berkerut kecewa, melihat kenyataannya tidak demikian.

Seperti biasa, pintu balkon Carlie tidak terkunci. Namun ketika masuk, Jona mendapati isi penthousenya kosong melompong. Kesimpulannya, Carlie sedang pergi. Entah ke mana. Namun bunyi kecipak air dari kamar mandi, merekahkan kembali senyum Jona. Carlie ada di sini.

Langkahnya sarat kepercayaan diri, sarat ketegasan. Menduga sifat Carlie yang jarang mengunci balkonnya, Jona menyimpulkan kalau kamar mandi wanita itu juga tidak dikunci. Dia toh tinggal seorang diri. Tanpa berpikir dua kali, Jona membuka pintu kamar mandi, membiarkan pekikan nyaring seorang wanita berkumandang lantang, beserta seru-seruan penuh ketakutan. Bagi kebanyakan orang tentu ini pelecehan. Bagi Jona, pembunuhan yang dia lakukan 100 kali lipat lebih buruk dari pelecehan.

Dia tidak merasa bersalah memasuki kamar mandi satu wanita belaka.

"Demi Dewa-Dewi Yunani kalau mereka memang nyata! Apa masalahmu, setan sialan!?" bentak Carlie menggelegar dari bathtubnya yang dipenuhi air dan buih. Jona kesal karena buih itu menutupi pemandangan yang ingin dia lihat. "Mengapa kau ada di sini!? Ini rumahku!"

"Kau tidak mengunci balkonmu. Aku menyimpulkan, aku diundang."

"Termasuk memasuki kamar mandi wanita tanpa rasa bersalah?!"

Jona menatap sekelilingnya dengan wajah tak berdosa. "Aku pernah melakukan lebih buruk." Seketika wajah Carlie langsung menyirat kengerian, Jona tahu apa yang wanita itu pikirkan. "Bukan artinya memerkosa siapa pun, sebab aku pun jijik melakukan itu. Bagaimana kalau ada yang mengidap AIDS dan aku tertular?"

Carlie kagum. Pria itu lebih mengkhawatirkan tertular AIDS ketimbang pemerkosaan itu sendiri. Sekaligus, menakutkan.

"Keluar! Aku bisa memanggilkan sekuriti kalau kau mau!"

"Pertama, ponselmu ada di kasur, bagaimana tepatnya kau akan memanggil sekuriti, Eloise?" Wajah Carlie seketika merona merah. "Kedua, lebih baik jangan jika kau tidak mau satu atau dua sekuriti malang kehilangan batok kepala mereka. Aku bisa kabur dan menjadikan kau tersangka. Aku cukup pandai dalam menjadikan orang lain bersalah atas pembunuhan yang kulakukan."

"Dan psikopat ini tidak merasa bersalah untuk itu." Carlie menggumam penuh kekesalan. Jona tersenyum menanggapinya.

"Jadi ini yang kalian para wanita lakukan di kamar mandi hingga menghabiskan satu jam hanya untuk membasuh tubuh saja? Berkubang dalam busa?" Jona bertanya, tanpa segan mendekat walau Carlie memelototinya tajam. Jona duduk di sisi bathtub Carlie yang berbentuk kotak, dan memiliki sisi tebal. Walau tidak nyaman, dan celana panjangnya terkena ubin basah serta uap air, Jona tak masalah.

"Aku sangsi kau pernah coba berendam sehingga kau tidak tahu betapa nikmat rasanya."

Kening Jona berkerut. "Jadi aku boleh ikut masuk untuk mencoba?"

Tangan Jona dengan cekatan menangkap botol sampo yang dilemparkan ke wajahnya. Tentu, oleh Carlie. "Berhenti bermimpi sebelum aku menenggelamkan wajahmu ke sini dan menyesakkanmu sampai mati!"

Walau Jona ingin melihat Carlie mencoba membunuhnya, namun dia urungkan niat untuk kian memancing pertikaian. "Shampoo, with extra castor Oil, memaksimalkan kelembutan dan cahaya rambut." Keningnya mengernyit dalam, membaca botol sampo yang dilempar kepadanya. Carlie terpana melihat betapa menggemaskannya Jona tampak membaca keterangan sampo wanita. "Bagaimana sebuah rambut bisa menyala aku tak paham."

"Bisa. Ketika cukup terhidrasi dan tampak dari lampu yang terang."

Dari keningnya yang masih berkerut, Carlie tebak Jona tidak sungguh-sungguh mengerti yang diucapkannya. "Apa ini?" Jona mencondongkan tubuhnya ke sisi bathtub satu lagi, melewati tubuh Carlie, lantas mengambil sebuah tube dari sana. "Conditioner?"

"Untuk melembutkan rambut."

"Kalau ini?" Dia meletakkan conditioner itu dan meraih satu tube yang lain. Kali ini isinya telah setengah habis. "Hair Mask?"

"Masker untuk rambut, jelas sekali."

Kernyit di keningnya kian mendalam. "Kau memakai masker untuk rambutmu? Gunanya?"

Carlie memutar bola matanya. "Melembutkan rambut."

Mata Jona kian melotot. "Sampomu untuk melembutkan, conditioner tadi untuk melembutkan. Lantas kau sekarang memiliki masker rambut untuk melembutkan juga? Mengapa memiliki tiga produk untuk kerja yang sama? Itu tidak efisien."

"Kelembutan ditambah kelembutan di tambah kelembutan akan memberi kelembutan ekstra! Seperti garam ditambah garam, lantas ditambah lagi, dan akan membuat makananmu ekstra asin, bodoh!" gertak Carlie tidak terima. "Lagi pula fungsinya berbeda. Sampo untuk membersihkan kulit kepala, conditioner untuk melembutkan saja, hair mask bisa memberi nutrisi tambahan."

Dari wajahnya, Jona tidak tampak puas dengan penjelasan itu. Namun walau begitu, dia melanjutkan. Meraih botol lain. "Ini?"

"Creambath."

"Yang sebelahnya?"

"Keratin Oil."

"Lalu untuk apa guna dua-duanya?"

Sebelum menjawab Carlie menyempatkan diri untuk tertawa lebih dulu. Tawa geli yang sedikit lepas. "Melembutkan rambut."

Kalimat Carlie anehnya laksana bilah yang menyulut emosi Jona. Carlie kian terpingkal melihat Jona yang memelotot lebar. "Untuk apa kau melembutkan rambutmu lagi sampai sebanyak ini!? Kau ingin ngengat yang hinggap tergelincir jatuh ke tanah!?"

Mengejutkan bagaimana pembunuhan tidak menyulut emosi Jona, tapi "melembutkan rambut' belaka mencamuk amarahnya. Tanpa Carlie sadari, dia lupa kenyataan kalau Jona menyusup ke dalam kamar mandinya. Dia sibuk tertawa. Geli sendiri. Terhibur oleh kepolosan Jona.

"Di wastafel sana kau bisa menemukan hair tonic. Dengan kandungan aloe vera untuk cepat melebatkan rambut. Menumbuhkan banyak anak rambut." Jona menoleh ke wastafel ketika Carlie menunjukkannya. "Lantas di sampingnya ada serum rambut. Dengan kandungan ginseng untuk memperkuat akarnya, sehingga tidak mudah rontok dari batok kepalamu." Walau Jona tampak tak suka mendengarnya, Carlie melanjutkan. "Di sampingnya lagi ada hair oil untuk melindungi rambut dari pengering atau pelurus rambut, atau keduanya. Itu baru rambut, belum perawatan tubuh. Mengerti mengapa kita memakan waktu lama di kamar mandi?"

Kening Jona mengernyit. "Kau menggunakannya setiap hari?"

"Tentu tidak. Seperti ini," Carlie menaikkan masker rambutnya, "satu atau dua kali seminggu. Biasanya aku gunakan bersama scrub."

"Apa pula itu?"

Carlie cekikikan lagi. "Ini." Dia menyodorkan sebuah jar plastik, dan Jona membukanya dengan mata penasaran. Alisnya menaik, merasakan tekstur pasir yang membelai jemarinya. "Untuk mengangkat sel kulit mati dan membersihkan tubuh dengan menggosokkannya."

"Pasir-pasir ini akan membersihkan tubuhmu? Apa bisa juga membersihkan tubuh pria?"

Carlie melotot kebingungan. "Kau ingin mencoba pakai?"

"Terkadang noda darah atau tanah yang mengering susah hilang walau aku telah mandi." Jona berkata, bagai noda darah di tubuh adalah hal paling normal di dunia ini. Mau tidak mau Carlie berjengkit.

"Seharusnya bisa."

"Beritahu aku cara menggunakannya."

Carlie tertawa geli lagi. "Gunakan seperti sabun sebelum kau membasuh tubuhmu. Tunggu beberapa menit, lantas gosok hingga keluar biji-biji bagai penghapus kotor dari kulitmu. Jangan terlalu kencang, mengingat kekuatan ekstra di kepalanmu itu. Kalau kau tidak ingin kulitmu koyak." Sirat mata Jona fokus meraba-raba tekstur scrub yang baginya "janggal". Di sisi lain Carlie tertawa geli merasa janggal juga, mafia paling ternama di dunia, kebingungan sendiri menyentuh scrub badan. Betapa menariknya.

"Kau mau mencoba di tubuhku?"

Jona bisa bersumpah, jantungnya hampir lepas mendengar ucapan Carlie. Matanya membelalak sembari dia menoleh. "Kau tidak tahu apa yang sedang kau katakan, sepertinya."

"Nyatanya aku tahu." Carlie menyengir. "Penawaran ideal menurutku."

Untuk beberapa saat, kernyit Jona tak luput. Dia menatap Carlie, mencari celah gurauan, namun dia tidak menemukannya. Jona menyimpulkan, Carlie serius. Seringai tipis Jona terulur, menatap scrub di tangannya, tubuh Carlie, berganti-gantian sebanyak 2 kali. "Tapi kau sudah basah oleh air."

"Ada pula scrub untuk saat mandi." Carlie meraih sebuah tube, mematri seringai penuh makna di wajahnya. "Dengan satu syarat. Aku tidak akan memuaskan gairah laki-laki mana pun. Walau begitu, kau masih mau?"

Mata Jona merunut wajah Carlie, lantas turun ke kolam buih. Bagai dia bisa menerawang ke balik sana dan melihat tubuh Carlie yang telanjang. Seringainya kian melebar, matanya berkilat-kilat dalam ketertarikan. "Penawaran ideal," gumamnya tak terkira serak. "Kau benar. Penawaran ideal."

Carlie mengulas senyum menggodanya. "Tangan hingga pundak. Telapak hingga paha, sedikit sebelum selangkangan. Batasnya."

Jona mengangguk, tanpa memperdebatkan.

Di bawah lampu kamar mandi yang kelewat terik, mata Carlie mengilat-ngilat, menyelubung banyak makna. Namun milik Jona tak ubahnya bohlam yang memancarkan ketertarikan, tidak lebih redup ketimbang mercusuar di lautan. Ditarik penutup tube olehnya, ditekan, membiarkan produk scrub mengalir. Jona hampir berjengkit, tak menyangka warnanya merah nyala. Pasti Carlie membelinya hanya karena warna. Sekalipun tak pernah bertanya, melihat barang-barang wanita itu yang serba merah, Jona yang acuh tak acuh pun sadar kalau warna darah adalah favorit Carlie Eloise.

Carlie mengeluarkan tangan kanannya dari kolam buih, menampakkan kulitnya yang berkilat-kilat basah. Kulit indahnya laksana cermin yang memantulkan cahaya, Jona merutuki diri yang tak menyadari ini lebih cepat. Diraih olehnya tangan Carlie, yang lembutnya tidak main-main, tidak ada bulu sama sekali, putih bersih, tak bercela. Jona menaikkan lengan bajunya demi menghalau basah.

"Pelan. Bukan mengampelas." Komentar Carlie bahkan sebelum Jona memulai. Walau tidak membalas, namun dalam hati dia mengiyakan. Jona membiarkan tekstur pasir menggelinding di bawah telapak tangannya, menggosoknya perlahan, membiarkan setiap butirnya melebur dengan kulit Carlie. Wanita itu terpaku kaku di bawah sentuhan, Jona tersenyum sendiri, Carlie tidak tahu kalau lengan kuat bisa menjadi pemijat yang ulung.

"Oh Tuhan..., kencangkan dikit di bagian sini." Jona menekan pijatannya lebih kencang di lengan atas. Membiarkan erang-erang nikmat diutarakan Carlie dengan mata terpejam. Jona anehnya menikmati ini sebanyak Carlie. Padahal biasanya, dia peduli setan pada kenikmatan orang lain.

Ketika Carlie mengatakan ini penawaran ideal, Jona tahu Carlie benar. Mencecap kulit mulut semacam ini tanpa harus membayar mahal. Siapa yang kerugian? Pria itu berhenti, terkejut-kejut sendiri. Tunggu, kapan terakhir aku menyewa wanita untuk menghangatkan kasurku? Jona tidak mengingat. Akhir-akhir ini benaknya senantiasa dibombardir oleh rencana balas dendamnya, sampai mengacuhkan kehidupan seksualnya. Lagi pula, dia memiliki Carlie. Wanita yang bisa Jona usili dari waktu ke waktu, dia tidak merasa kesepian tanpa dampingan.

Mata Carlie menyorot kebingungan ketika Jona berhenti. Namun dia kembali tersenyum tatkala Jona melanjutkan. Tangan kasar pria itu yang kapalan menekan cukup kencang, namun tidak sampai nyeri, naik dari siku basah Carlie, hingga ke pundaknya. Membiarkan Carlie menikmati pijatan sedikit lebih lama di sana. Lantas turun kembali, membiarkan pergelangan tangannya yang kali ini kenikmatan. Jona sampai curiga Carlie tak lagi menganggap ini sesi membersihkan kulitnya. Hanya sesi pijat menenangkan yang memanjakan raga.

"Tak terhitung berapa kali banyaknya otot tanganku tertarik ketika latihan." Carlie menatap Jona, matanya menyipit. Dia menikmati ini. "Tak pula aku berpikir semua sesi pijat menenangkan otot tegang yang tanpa sengaja aku pelajari akan berguna malam ini."

Tawa Carlie lebih serak hari ini, namun tetap cantik. "Aku mengapresiasi skillmu walau bidangnya acak. Aku sangka kau hanya bisa mengurut pelatuk. Aku keliru."

Seringai Jona kian memekar, dipuji oleh wanita ini yang bahkan jarang mau menatapnya dengan lembut, terang-terangan, nyatanya lebih menghibur dari yang Jona kira. Tangannya terulur, meminta Carlie memberikan lengan satunya. Dengan senang hati, Carlie menyodorkan.

Uap panas di udara rasanya memberat. Bagai bulir-bulir uap kian merapat sembari beterbangan. Nafas Carlie yang berat memberikan beban tambahan. Matanya membuka tutup setiap Jona menemukan titik-titik tertentu yang lebih nikmat ketimbang yang lain, otot yang sedikit kelelahan dan butuh diurut. Dan dengan baik hati, Jona membiarkan Carlie menikmati beberapa detik lebih lama di bagian-bagian tersebut. Kenikmatan yang Carlie rasakan nyatanya tidak mengurang, walau Jona sudah berpindah ke kaki kanannya sekarang. Mengurut betisnya. Wanita itu tampaknya bisa tidur di dalam kolam buih, kalau Jona meneruskan beberapa menit lebih lama lagi.

Wanita yang pintar menggoda, juga menyiksa. Jona nyaris bisa melihat selangkangannya, seakan dengan gamblang mengatakan, kau boleh menyentuh pahaku, namun tidak lebih jauh. Walau begitu aku biarkan saja pemandangan ini menghauskanmu. Carlie sadar akan daya pikatnya. Dari pemandangan ini, setiap pria niscaya tergila-gila ingin menyelusup ke dalam bak mandi Carlie, secepat mungkin. Jika bukan Jona yang piawai menekan emosi, mungkin nafsu akan mengambil alih dan menggilakannya. Namun egonya tentu tidak serendah itu untuk mengumumkan kekalahan pada godaan Carlie Eloise. Dia menelah ludah, sembari dalam hati bersumpah kalau suatu saat dia akan mengecap tubuh wanita ini, sepenuhnya, tanpa batasan. Entah bagaimana caranya.

Toh, kata mereka pikiran yang diyakinkan, akan menjadi kenyataan, tidak?

Erang Carlie mengencang tatkala tangan Jona memijat pahanya sedikit lebih kencang. Jona tahu rasanya. Apalagi yang lebih nikmat dari larik-larik otot lelah dikendurkan oleh pijatan? Bahkan Carlie mendenguskan nafas kecewa ketika Jona mendorong kembali kakinya ke dalam air, meminta kaki yang sebelah. Sebanyak Jona tidak ingin ini cepat berakhir, Carlie pun rupanya sama. Entah takdir macam apa tengah dirajut semesta, namun rasanya aneh, sekaligus lucu, melihat sesi mandi belaka bisa menjalin hiburan tak ada dua.

"Kemari." Kekecewaan di wajah Carlie – yang semula terbit seusai Jona memijat tungkai kirinya – berganti menjadi kebingungan.

"Kaki dan tanganku batasannya, kalau kau inga-"

"Diam dan menurutlah saja." Jona berucap. Dia menarik lengan Carlie, tak apa walau kini bajunya sudah basah di mana-mana. Carlie menegakkan duduknya dari bersandar, membiarkan belahan dadanya tampak, tapi tidak cukup untuk menunjukkan pentilnya. Satu hal lagi yang Jona sesali.

"Oh, sialan." Wanita itu menggerang, kelewat merdu ketika Jona menyentuh lehernya, memijatnya dari bawah telinganya, pelan turun hingga leher bawahnya. Memberikan tekanan yang pas dalam setiap iramanya. Tengkuknya juga dijamah, perlahan-lahan Jona naik ke rambut Carlie, sekalipun sudah bersih dan sekarang akan berlumuran scrub, Carlie tak apa. Pria itu memijat belakang kepalanya, membiarkan rajutan otak pening diluruskan pelan-pelan. Carlie bagai terbang menuju awan ke sembilan, mendarat di antariksa dan bintang-bintang. Matanya terpejam, sepenuhnya membiarkan diri terlena. Tanpa repot-repot tampak keras di kenikmatan ini.

Wanita itu nyaris berseru keenakan ketika Jona naik untuk memijat kedua pelipisnya dengan ibu jari, sedangkan 4 jarinya yang lain, memijat batok kepalanya. Kepalanya bersandar lebih dekat ke Jona, seakan meminta lebih. Lebih lama, lebih kencang. Jona membiarkan wajah Carlie menyandar di pahanya tak peduli walau celananya basah. Air tak mengusiknya. Tidak di depan pemandangan wajah, juga tubuh Carlie yang tak terkira menawan.

Jona mengambil air dengan tangannya, membasuh leher Carlie, meluruhkan seluruh butiran scrub, sambil sesekali masih memijatinya. Carlie bagai akan menangis, ketika Jona selesai membersihkan lehernya, masih ingin lebih. Namun jelas egonya tidak akan menoleransinya untuk meminta lagi. Jona bersyukur kali ini ego Carlie tinggi, jemarinya pun sudah pegal-pegal setelah mengurut tubuh seorang wanita jangkung.

"Siapa saja orang-orang sialan beruntung yang pernah kau pijati?" tanyanya, sembari merebahkan punggungnya kembali ke sandaran bathtub, menghela nafas panjang. Rasa lemas setelah dipijat, adalah hal kedua paling nikmat, setelah pijatan itu sendiri.

"Diriku sendiri, dan kau."

Carlie tersenyum. "Aku beruntung, rupanya."

Jona duduk di sana, menatap wajah Carlie nyaris tanpa berkedip. Menikmati sosok cantik ini yang entah sampai kapan bisa dia letakkan di sampingnya. Moga-moga masih lama. Moga-moga selamanya. Jona tidak bisa membayangkan dirinya tak menemui wanita ini lagi. Dia terlalu menghibur untuk dilepas, terlalu mengesankan untuk direlakan. Jona berharap sampai kapan pun, wajah ini akan disuguhi ke depan matanya, menjadi pemandangan cantik yang membuai mata.

"Terima kasih. Aku tidak menyangka aku akan mengatakan ini kepadamu, setelah kau mendobrak masuk ke dalam kamar mandiku." Carlie terkekeh serak, tanpa disengaja terdengar menggoda. Matanya memejam erat, hela dan tarik nafasnya teratur, seirama dengan detak jantung. Untuk sesaat, Jona menebak kalau Carlie tertidur, sembari terlena air dan tubuh hangat. Namun matanya yang membuka kembali, mengatakan kalau Jona keliru.

Tangannya yang panjang, meraih ke kloset tertutup yang ada di samping bathtub, mengambil bathrobe merah pekatnya. "Keluarlah sebentar, aku ingin membasuh tubuhku." Carlie berucap, tanpa penekanan. Sebab dia tahu jelas kalau Jona tidak akan menolak. "Lalu setelahnya kau boleh masuk kembali."

Kening Jona berkerut. " Untuk?"

Seringai Carlie kembali terbit. Seringai penuh maknanya, berbanding terbalik dengan tubuh lemasnya yang seakan tak memiliki taring. Atau itu hanya kamuflase saja. "Jangan berpura-pura. Di bawah sana," Carlie merunut ke balik celana Jona, tepat di tengah kakinya, "ada yang bangun, tidak? Kurasa air dingin dan mandi lama bisa menidurkannya kembali."

Carlie sungguh menyadari pesonanya lebih dari siapa pun di dunia ini. Bibirnya yang menyungging senyum kemenangan menjadi bukti konkret. Kali ini Jona yang merasa ditelanjangi, oleh ego yang sedikit terluka, sebab Carlie tidak salah. Dan itu terdengar buruk.

"Kalau bukan kau yang memberi syarat tak menyentuh, aku niscaya akan mengancammu untuk menghiburku."

Carlie tergelak geli. "Sayangnya, kau menemukan wanita yang kelewat keras kepala, setan." 

~~~ 

Sneak peak next chapter : (sweet parah) Aku suka banget chapter selanjutnya, jadi tungguin yaa 

Next Update : 22 Mei 2022

Spoiler in instagram : 21 Mei 2022

Insta uname : nnareina 

Thank you banget semuanya yang udah baca, udah komen, udah vote, dan udah share. Pokoknya thank you semuanya yang udah neyempetin waktu baca cerita ini. Aku sayang kalian semua. 

Have a nice day and see you next week! (tecnically, this week sih wkwkw) Love you All!

Continue Reading

You'll Also Like

8.5M 532K 76
[Warning] +21 tahun ke atas 🔞 Ini hanya kisah tentang gadis berusia 17 belas tahun yang bernama Cherry Alexandria. Dari mulai kisah percintaannya be...
6.2M 320K 59
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
2.4K 174 9
Joana Alexa Claudiana, seorang mahasiswi yang sejak lahir sudah dijodohkan oleh orang tuanya pada cowok bernama Stiven mulai lelah dengan nasib bucin...
1.1M 31.4K 8
[DIHAPUS - Bisa dibaca lengkap di aplikasi Dreame/Innovel] Taruhan yang kubuat dengan musuh bebuyutanku membawaku ke dalam hidup seorang Delfano Adir...