[✓] From 5317 Miles

By Elfpath

70.3K 10.9K 996

Sebuah cerita sederhana antara Choi Seungcheol--seorang editor buku di perusahaan penerbit di Seoul, dengan Y... More

Prologue
Munich
Seoul
oktoberfest
Business Trip
First Meeting
Pretzel and Beer
Cold Pizza and Brandy
Kissing The Tipsy
Zweisamkeit
Like, Realizing Things
Ich liebe dich
Ich werde Sie vermissen
Home
Satan Temptation
A Wine of Advice
An Alley in Berlin
You Were Beautiful
Can't Lose What You Never Had
Lies
Won't You Say It
Standing Still
Umbrella
Last Chance
Answer
Epilogue
1/4 : Bonus Chapter
3/4 : Bonus Chapter
4/4

2/4 : Bonus Chapter

868 118 28
By Elfpath

"That mama boy got on my nervers, fucking motherfucker." Jeonghan mengumpat dengan sepenuh hati, memaki-maki lelaki yang sudah menjadi suami sahnya. Ia menegak botol bir yang disediakan oleh sepupunya hingga habis dan meletakkan di atas meja dengan gerakan kasar membuat laki-laki berkacamata yang duduk di depannya mendongak menatap.

"Hyung, kau bisa tidak mengumpat?"

Jeonghan mendorong pundak sepupunya hingga lelaki itu terhuyung. "Kau bisa tidak mencampuri umpatanku?"

Jeon Wonwoo mengerutkan alis dengan bibir mengerucut menatap kelakuan tidak waras sepupu jauhnya yang tiba-tiba datang ke apartemennya dengan mata penuh kemarahan yang membara dan rentetan makian yang tidak berhenti. Merasa tidak suka dengan sikap kasar sepupu jauhnya, Jeon Wonwoo balik mendorong bahu laki-laki berambut pirang sebahu itu.

"Orang gila." Gerutu Wonwoo sambil meletakkan sebotol bir penuh dan menyingkirkan botol yang telah habis sebelumnya. Meskipun ia sering merasa jengkel dengan kelakuan sepupu jauhnya, tetapi ia menyayangi Jeonghan seperti kakaknya sendiri.

Jeonghan mendegus kesal sambil menatap ponselnya dengan kening berkerut, jari telunjuknya bergerak menaiki dan menuruni layar dengan cepat. "That mama boy sudah 15 kali missed calls dan 20 kali mengirimkan pesan singkat menanyai kapan aku pulang dan ada di mana. As if I'll surrender and grant his wish."

"Astaga, dia hanya mengkhawatirkan dirimu, hyung. Kenapa kau selalu mencari-cari hal buruk dari suamimu? He's nice guy and always clean up whatever shit you did." Gumam Wonwoo dengan suara pelan. Ia benar-benar takut jika suatu saat pasangan yang secara diam-diam ia kagumi ini akan berakhir dalam perceraian dan membenci satu sama lain.

Jeonghan menoleh menatap sepupu jauhnya dari balik botol bir yang sedang ia minum. Ia tahu maksud Wonwoo hanya mengingatkan dirinya dan ia juga sangat sadar Seungcheol sangat baik terhadap dirinya. Hanya saja, saat ini rasa kesal masih membuncah di dalam dirinya sehingga ia hanya bisa membalas ucapan Jeon Wonwoo dengan umpatan pelan.

"Aku tidak akan menyarankan kalian punya anak, honestly. Sangat mengerikan jika ada manusia versi kecil berada di dalam asuhan dan pengawasanmu." Wonwoo berujar dengan kata-kata penuh candaan dan sindiran.

"Whatever, but I know Seungcheol will be a good father to them," Jeonghan berujar dengan suara pelan, kali ini kemarahan yang berkilat-kilat berganti dengan kesenduan yang membuatnya merasa mual. "Jika ia benar-benar mengingkan anak, dia bisa menceraikan diriku dan menikah dengan orang lain yang mau mengambil posisi tersebut." Ia melanjutkan dengan satu tegakan terakhir dan menghabiskan seluruh sisa isi birnya.

"Hyung, jaga ucapanmu." Wonwoo berseru mendengar laki-laki berambut pirang tersebut mengeluarkan kata-kata bercerai dengan mudahnya. Apakah dia lupa sulitnya mereka menikah karena drama bodoh yang terjadi untuk sampai ke dalam tahap tersebut? Ia benar-benar merasa Yoon Jeonghan sangat aneh meskipun sangat jenius.

"Aku bisa hidup tanpa dirinya, you know."

Wonwoo duduk mematung mendengarkan ucapan konyol tersebut. Dirinya, semua orang bahkan Yoon Jeonghan sendiri pun tahu bahwa lelaki itu tidak bisa hidup tanpa Choi Seungcheol, meskipun tidak mau mengakui tetapi Wonwoo tahu bahwa Jeonghan sangat mencintai suaminya. Ia sedikit menyadari mungkin kemarahan yang bergejolak di dalam diri Jeonghan bukan tentang masalah anak, tetapi ada hal lain yang sudah menggajal dan bersarang di dalam benak.

"Hyung," Wonwoo memanggil dengan suara pelan membuat Jeonghan menatapnya dengan mata menyipit. "Bagaimana kalau kalian ikut marriage conselling?"

Jeonghan yang berdiri mendekati lemari es langsung berhenti di tempat dan berhenti di sana dengan menatap tajam lemari es seakan-akan benda mati tersebut menyinggung perasaannya selama bertahun-tahun. Ia lalu berbalik dan berkacak pinggang menatap Jeon Wonwoo. "Why is that?"

"Aku pikir kalian membutuhkannya dan rekan kerjaku tahu psikolog yang ahli dalam bidang ini."

"Kami tidak bermasalah besar hanya selisih paham." Jeonghan menjawab dengan enteng.

Wonwoo mengerjap mendengarkan jawaban yang kuat dengan unsur penolakan dan ketidakpercayaan kalau mereka memiliki masalah besar. "Hyung, orang dengan hubungan waras tidak akan mudah mengeluarkan kata-kata bercerai."

Jeonghan kembali membalikan badan dan berjalan ke arah lemari es, membuka kotak tersebut dan mengambil bir dingin yang berada di dalamnya dan membukanya dengan pelan. "Itu hanya perumpamaan."

"Baiklah, tetapi tolong pikirkan baik-baik tawaranku."

Lelaki berambut pirang itu hanya memberikan senyum datar.

Seminggu berlalu semenjak mereka berdua berselisih paham namun tidak ada satupun dari mereka yang ingin memulai untuk membahas kembali ataupun meminta maaf setelah melontarkan kata-kata penuh amarah saat perdebatan mereka di kantor Yoon Jeonghan. Sejujurnya, Jeonghan lebih menyukai mereka tidak membahas kembali hal yang hanya akan memperburuk suasana hati dan keadaan rumah yang sudah membuatnya tidak nyaman karena seperti ada perang dingin antara dirinya dan Choi Seungcheol.

Mereka tidak berdebat apapun, tidak berselisih paham lagi, tetapi mereka juga tidak benar-benar bercerita seperti biasanya. Jeonghan sudah seminggu sengaja untuk pulang ke rumah larut malam untuk bekerja di kantor dan menyusun rencana untuk berlibur ke Swiss dalam waktu dekat. Saat ia pulang larut malam, biasanya Seungcheol masih terjaga sambil mengerjakan kerjaannya sendiri atau bermain video game dan menyuruhnya untuk makan yang akan langsung ditolaknya.

Setelah seminggu lelah lembur hingga tengah malam, Jeonghan memutuskan untuk bekerja dari rumah pada hari ini dan meminta asistennya untuk menunda in-site meeting dengan klien yang hampir memenuhi jadwal hariannya. Anehnya lagi, hari ini juga Choi Seungcheol memutuskan untuk cuti dari tempat kerja dan memilih untuk membereskan barang-barang mereka yang tidak terpakai untuk diberikan ke tempat daur ulang.

Jeonghan yang sejak tadi membenarkan konten deck presentasi milik anak buahnya sambil mengobrol secara daring dengan sang asisten yang masih menjelaskan permintaan panjang lebar klien yang seharusnya mereka temui hari ini.

"Iya, aku aku tahu—kau sudah menjelaskan itu tiga kali," Jeonghan menghela napas panjang mendengarkan asistennya mengulang hal yang sama. "Aku tahu orang ini merepotkan, kau tidak perlu takut. Kalau ada yang salah yang akan kena marah aku, kan? Jiho—astaga, lebih baik kita akhiri telepon ini. Aku akan menghubungimu setelah lunch time over. See you." Lanjutnya langsung mematikan sambungan telepon dan menutup laptop yang sejak lima jam lalu ia tatapan berlarut-larut hingga membuat keduamatanya terasa sakit dan perih.

Sambil memijit dahi secara perlahan, Jeonghan berjalan keluar dari ruang kerja yang merupakan space kecil di pojok rumah yang disediakan oleh Seungcheol untuk dirinya. Jam baru menunjukkan waktu makan siang tetapi ia merasa seluruh tenaganya telah habis karena mendengarkan omongan klien di meeting daring tadi. Seperti sebuah kebiasaan yang sepertinya diingat oleh tubuhnya, tanpa ia sadari ia berjalan mencari Choi Seungcheol yang berada di dalam kamar tidur mereka. Laki-laki dengan badan besar itu sedang beres-beres sambil menelpon seseorang.

Jeonghan ragu sejenak, menatap punggung Seungcheol dari ambang pintu yang terbuka setengah. Ia rindu memeluk dan membenamkan wajah di ceruk leher laki-laki yang bekerja sebagai editor tersebut, meski baru seminggu tetapi rasanya seperti berbulan-bulan. Ia tidak tahu apakah dengan keadaan mereka yang seperti berjalan di atas kulit telur ini ia bisa langsung memeluk suaminya tanpa rasa canggung dan dorongan untuk membahas masalah itu kembali muncul.

Setelah memantapkan hati dan memutuskan untuk masuk ke dalam kamar namun langkahnya berhenti ketika mendengar suara setengah berbisik halus suaminya menghampiri indera pendengaran.

"... Josh, I don't care. Aku sudah terlalu lama bersabar dengan ini semua dan dia tidak ada perubahan. If he wants out, then go on... Aku—"

Seungcheol yang tiba-tiba memutar balik tubuh untuk mengeluarkan kotak dari dalam kamar langsung berhenti melangkah melihat sosok Yoon Jeonghan yang diam di ambang pintu dengan sorot mata kosong. Sang editor langsung meletakkan kardus yang ia gendong dan mematikan sambungan telepon tanpa mengucapkan kata-kata apapun ke lawan bicaranya, dengan langkah cepat Seungcheol menarik Jeonghan ke dalam pelukannya.

"Hani, I miss you." Katanya dengan sebelah tangan memijat tengkuk Yoon Jeonghan. Ia menatap Jeonghan yang hanya mematung dalam pelukannya, lalu senyumnya merekah melihat mata laki-laki yang sangat ia cintai membuka dan menutup dengan pelan. He is so pretty.

Jeonghan menatap kedua mata Seungcheol lekat-lekat. Kepalanya dipenuhi oleh ucapan yang tidak sengaja ia dengar tadi. Ia tidak tahu apakah Seungcheol tadi membicarakan dirinya dengan Joshua atau bukan, tetapi jika benar laki-laki itu membicarakan dirinya dan mengatakan bahwa ia merelakan dirinya—Yoon Jeonghan—untuk keluar dari dunianya, ia merasakan seluruh tubuhnya berkeringat dingin.

Why. WHY.

Kenapa dirinya yang selalu meyakinkan diri bahwa dia adalah laki-laki yang sangat mandiri dan bisa hidup tanpa Choi Seungcheol, jika mereka berpisah maka ia akan menghadapi perpisahan mereka dengan besar hati dan tanpa beban. Tetapi, kenapa sekarang ide Seungcheol mengakhiri hubungan mereka membuat ia merasa sangat takut dan terancam? Apakah sebenarnya ia tidak siap jika kehilangan laki-laki tersebut atau sebenarnya ia ingin menjadi orang pertama yang mengakhiri hubungan mereka? Jeonghan menahan napas dan mengeluarkannya dengan perlaha-lahan, membuat kepalanya terasa pusing.

"Sepertinya kita harus ikut marriage conseling."

Seungcheol dengan bulu mata lentiknya mengerjap-ngerjap menatap sang suami, mencoba menelaah kata-kata yang baru saja ia dengar dan berkata dengan suara lembut. "Jeonghan, ada apa? Apakah aku melakukan sesuatu yang buruk?"

Jeonghan melepaskan pelukannya, namun dengan cepat sang editor menarik dirinya kembali ke dalam pelukan dan menyandarkan tubuhnya ke tembok. Seungcheol masih menatap matanya dengan pandangan bertanya-tanya. "Jika ini tentang percakapan kita tentang anak, aku sudah banyak berpikir belakangan ini dan aku ingin menyerah."

Menyerah? Oh.

Yoon Jeonghan yang mendengarkan perkataan laki-laki yang masih memeluknya dengan erat ini langsung mendorong tubuh tersebut dan menatap lurus-lurus mata besar yang selalu melihatnya dengan lembut.

"Aku sudah... aku... sudah melakukan booking dengan psikolog akhir pekan nanti untuk kita. Kau datang, kan?" Jeonghan bertanya yang lebih tepat disebut sebagai perintah karena nadanya yang terdengar sangat tegas seperti tidak bisa menerima penolakkan.

Seungcheol yang merasa ada yang salah dengan suaminya ini memutuskan untuk mengikut kemauan laki-laki yang terkadang memiliki perubahan mood drastis. Ia mengangguk dan menjawab, "Tentu saja, Hani. Aku akan ikut dirimu."

"Oh, satu lagi."

"Ya, Hani?"

"Seharusnya minggu besok aku pergi ke Swiss untuk berlibur, tetapi aku membatalkannya demi marriage conseling ini."

— — —

1,607 words

Halo semuanya, apa kabar? Aku gak tahu apakah masih ada yang ingat, baca atau menunggu kelanjutan epilogue dari cerita ini karena udah kelamaan gak aku lanjutin. Maaf banget yah.

Semoga untuk part 3 & 4 tidak akan selama part 2, yah. Aku ingin bisa ngasih ending yang pas buat mereka. Heheh. Mohon maaf juga kalau penulisanku berubah jauh dari yang sebelumnya.

Oh ya, kalian ada yang tau event fanzine YMMDay Project di twitter, kah? Fyi aku ikut partisipasi di dalam event tersebut sebagai author, tetapi untuk pairing CheolxShua. hehehe.

Thank you so much, semuanya! Have a nice day and be happy 💙

Continue Reading

You'll Also Like

909K 75.6K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
373K 31.1K 58
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
27.3K 1.7K 33
"aku sudah lelah, bagaimana cara mengakhirinya" wonwoo "tidak!, maafkan aku" mingyu "aku tidak tau masa depan seperti apa" wonwoo mingyu x wonwoo mea...
37.7K 1.6K 39
Prolog... "Kamu itu cuek tapi ngangenin,"ucap gadis tersebut. Cowok tersebut tersenyum tipis. "Lo itu cerewet tapi gue suka," **** "Kenapa ar?kenapa...