PELANGI dan HUJAN || NA JAEMIN

By safitrinrjh

5K 1.6K 368

[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] "Hai! We meet again." Peperangan antara dua sepupu ini sudah menjadi hal lumrah d... More

P R O L O G
PDH - 1
PDH - 2
PDH - 3
PDH - 4
PDH - 5
PDH - 6
PDH - 8
PDH - 9
PDH - 10
PDH - 11
PDH - 12
PDH - 13
PDH - 14
PDH - 15
PDH - 16
PDH - 17
PDH - 18
PDH - 19
PDH - 20
PDH - 21
PDH - 22
PDH - 23
PDH - 24
PDH - 25
PDH - 26
PDH - 27
PDH - 28
PDH - 29
PDH - 30

PDH - 7

136 62 3
By safitrinrjh

Hayy!! Jangan lupa vote ya. Happy reading.

.
.
.
.
.

Anna menyisir rambut panjang nya yang lurus. Dia baru saja selesai mengambil wudhu. Selesai menyisir rambut, Anna memakai mukena nya —bersiap untuk beribadah. Anna tak Sholat sendirian, ayah, adik dan ibu nya juga ikut Sholat berjamaah.

Ia memiliki adik laki-laki berumur 10 tahun. Ayah nya hanya seorang satpam di SD dekat rumah —tempat adik laki-laki Anna bersekolah— Ibu nya hanya lah ibu rumah tangga.

Hidup Anna memang tak semewah Kenzin. Bahkan Anna masuk ke SMA Garuda karena beasiswa. Banyak murid yang mengatakan bahwa Anna berteman dengan Kenzin untuk menggoroti uang nya. Padahal Anna benar-benar tulus berteman dengan Kenzin.

"Assalamualaikum Warrahmatullah..."

"Assalamualaikum Warrahmatullah..."

Selesai memberi salam untuk rakaat terakhir, Edgarsyah —ayah Anna— memimpin doa setelah Sholat. Kemudian di akhiri dengan surah Al-Fatihah, Johan —adik Anna— menyalim punggung tangan ayah nya, begitupun dengan Dwi —ibu Anna— dan Anna.

"Ayo Anna bantu ibu panasin lauk untuk makan malam." Ajak Dwi pada Anna yang tengah melipat sejadah nya.

Anna mengangguk, "iya, Bu. Anna beresin mukena dulu."

Anna menyusul ibu nya ke dapur. Memasak lauk-pauk seadanya. Hanya beberapa menit saja semua siap terhidang di meja makan kecik itu. Di atas sana terhidang nasi hangat —asap nya mengepul di udara, tempe goreng renyah, dan sayur-mayur.

Sembari makan, Anna mengumpulkan niat untuk bertanya sesuatu. "Ayah, Ibu," panggil Anna.

Edgarsyah dan Dwi menoleh ke arah Anna. Gurat wajah nya seolah bertanya "kenapa nak?"

"Anna mau les." Ucap nya dengan penuh ragu.

Edgarsyah terbatuk, Dwi cepat-cepat menyuguhkan air putih. "Selama ini Anna pintar-pintar aja tanpa les." Edgarsyah berkata setelah meneguk minumnya.

Dwi mengangguk setuju, "Anna pernah kan les waktu kelas 6 SD? Nilai kamu malah turun."

Anna menghela nafas berat. "Tapi Anna akhir-akhir ini nilai nya gak bagus karena tingkatan nya lebih tinggi. Apalagi saingan Anna makin banyak," ia memperjelas.

"Nak, kita gak punya uang yang banyak kayak dulu. Kamu juga tau, buat makan aja Ayah susah nyarinya." Edgarsyah menatap Anna.

"Tap-

Edgarsyah memotong kalimat anak nya, "udahlah Anna. Jangan-jangan kamu les cuman mau main doang."  

"Anna beneran mau les, Yah." Anna sedikit meninggikan suara nya.

"ANNA!!" Edgarsyah membulatkan mata. Terkejut saat Anna meninggikan suara.

"Hiks... maaf Ayah. Anna cuman mau les." Gadis berpiama boneka beruang itu menunduk. Air matanya sudah luruh tak terbendung.

•••

Jam menunjukkan pukul 5 subuh, Kenzin sudah terbangun dari tidurnya. Mata nya sedikit bengkak karena menangis semalam. Hari ini ia memilih untuk tidak berangkat sekolah di antar supir. Jadilah ia menelpon Rezvan yang masih tertidur nyenyak.

Di seberang sana, Rezvan yang mendengar suara dering ponsel langsung mengambil nya segera. Di tatap nya nama penelpon, membuat ia berdecak kesal.

"Nih anak ngapain sih nelpon subuh-subuh gini?" Gerutu Rezvan. Cowok itu segera menarik tombol berwarna hijau ke atas.

"Halo kak Rezvan. Maaf ya ganggu hehe." Kenzin menyengir kuda.

"Ck. Ngapain lo nelpon gue?" Rezvan mengucek mata nya.

"Nanti kak Rezvan bisa jemput aku gak?" Tanya Kenzin takut-takut.

Rezvan duduk, mengernyitkan alis. "Mager gue."

"Hufft... Gue gak mau di anter supir. Gue juga gak mintak duit jajan." Kenzin menghela nafas berat.

"Dih sengaja ya lo? Mintak anter supir lo aja anjir. Ribet amat."

"Kak tolong lah... Gue lagi ribut sama bokap nyokap."

Rezvan bingung mau menjawab apa. Tapi suara Kenzin terdengar serak, hal itu membuatnya sedikit percaya kalau ucapan Kenzin tadi tidak bohong.

"Ya udah. Jam 6 lewat 15 gue jemput."

"YEAAAYYY!!! Makasih kak!"

"Yayaya, gue matiin."

Tutt.. tuut.. ttutt.

Sambungan telpon terputus. Kenzin refleks loncat-loncat di atas ranjang nya yang besar itu.

5.50

Kenzin berlari ke arah kamar mandi. Pertama ia menyikat gigi nya yang rapi. Sembari sikat gigi, dia memperhatikan wajah nya yang cantik.

"Kalau di pikir-pikir cantikan gue tuh dari Hellen. Otak gue aja yang gak bisa ngalahin dia. Cih." Gumam Kenzin dalam hati.

Selesai mandi Kenzin segera memakai seragam nya dengan rapi. Tak lupa mengoleskan bedak bayi di wajah nya. Serta sedikit pelembab bibir agar bibir nya tak kering.

6.10

Kenzin keluar dari kamar nya, menuruni tangga, melewati Mama nya yang tengah memasak di dapur. Ia masih kesal dengan Lisa karena kejadian semalam. Lisa pun belum terlihat mau berdamai dengan nya. Maka Kenzin segera memasang sepatu kemudian keluar. Cuman 10 menit dia menunggu, motor hitam milik Rezvan sudah berhenti di depan nya.

"Telat 5 menit lo, Kak." Ucap Kenzin berkacak pinggang.

Rezvan turun dari motor nya, memakai kan helm pada Kenzin. Wajah mereka yang sedekat ini membuat jantung mereka sama-sama berdetak kencang. Mata mereka bertemu dalam seperkian detik. Namun Rezvan memutuskan tautan itu dengan menaiki motornya.

Rezvan terkekeh melihat pipi Kenzin yang sudah merah merona. Siapapun tau bahwa Kenzin tengah tersipu. "Woi naik, cepetan." Tehur Rezvan.

Kenzin terlonjak kaget. Salting dirinya. Gerakan nya patah-patah. Bingung mau bergerak kemana. Tersadar bahwa sikap nya aneh, Kenzin berdecak kesal lantas menaiki motor Rezvan.

"Pegangan." Kalimat tersebut belum saja selesai, Rezvan sudah melajukan motor nya dengan kecepatan tinggi. Membuat Kenzin harus memeluk pinggang nya.

•••

Hellen tersenyum simpul saat berpapasan dengan para guru. Kaki nya sekarang melangkah menuju kantor. Karena itu ia bertemu dengan guru —menuju kelas yang akan mereka ajar. Sampai di kantor Hellen mengucapkan salam terlebih dahulu. Matanya celingak-celinguk mencari kepala sekolah.

"Hellen. Sebelah sini nak." Suara berat seorang pria berumur 40 an.

Kepala gadis itu menoleh kemudian bibirnya tertarik ke atas. Hellen berjalan menuju kepala sekolah yang —tadinya— sedang berbincang dengan seorang siswi lainnya. Hellen mengenali siswi itu.

"Nah karena kalian berdua sudah kumpul disni, kita langsung ke intinya ya." Pak Slamet —nama kepala sekolah SMA Garuda— tersenyum simpul menatap Kenzin dan Hellen bergantian. Dua gadis di hadapan nya mengangguk serentak.

"Ini ngapain si jalang ikutan di panggil." Hellen membatin.

"Ck. Masa nenek lampir ini yang di ajak." Ucap Kenzin dalam hati nya.

Pak Slamet kembali membuka mulutnya. "Bapak mendengar rumor yang beredar kalau kalian tidak akur. Tapi bapak ingin kalian bekerja sama dalam cerdas cermat beberapa bulan lagi. Jika kalian egois, sekolah kita akan kalah. Tapi jika kalian bisa bekerja sama, bapak serta guru-guru lain yakin kalau kalian bisa membuat sekolah kita menjadi juara 1."

Hellen mengernyitkan alisnya, "saya dan jal- Kenzin ikut cerdas cermat pak?"

"Iya, Hellen. Bapak tau kalian masih sepupuan. Tapi bapak tidak tau kenapa kalian tidak akur. Guru-guru serta bapak sendiri menaruh harapan besar kepada kalian berdua." Wajah Pak Slamet kini benar-benar tegas dan serius. Senyuman nya sudah pudar.

"Saya berjanji, Pak. Saya dan Hellen bisa bekerja sama dan memenangkan lomba itu." Kenzin tersenyum yakin sembari menepuk bahu Hellen. Hellen menoleh ke Kenzin, kemudian ikut tersenyum —mengangguk.

Selesai mendapat penjelasan banyak dari Pak Slamet, Kenzin dan Hellen berjalan beriringan kembali ke kelas. Tak ada percakapan antara kedua nya. Mereka bergulat dengan pikiran masing-masing.

Kenzin yang memikirkan bagaimana cara bekerja sama dengan Hellen agar memenangkan lomba cerdas cermat tingkat Gubernur —antarsekolah. Dan Hellen yang berpikir agar Kenzin tidak bisa ikut lomba, membuat dirinya jauh lebih ungguk daripada Kenzin.

"Kita harus kerja sama."
"Lo harus mundur."

Mereka berdua mengucapkan kalimat tersebut bersamaan. Kedua nya bersitatap. Langkah kaki pun terhenti dengan sendirinya.

Gadis bersurai panjang hitam legam itu mengernyitkan alis. "Maksud lo mundur apaan?" Tanya kenzin.

Hellen meneguk ludah, "gue mau lo gak ikut lomba."

"GILAK YA LO?!" Tangan Kenzin bergerak mendorong bahu Hellen.

"GAK USAH DORONG-DORONG ANJING!" Hellen balas mendorong.

"Lah lo sendiri ikutan dorong, sialan!!"

"Terserah! Pokoknya gue mau lo mundur dari lomba ini. Gue gak bakal bisa menangin lomba kalo ada lo."

"Woi nenek lampir. Gue deluan yang di ajak kepsek. You know?" Mata Kenzin berotasi.

Hellen tertawa remeh mengejek gadis di depannya. "Lo cuman dateng deluan, jalang."

"Dih?! Jelas-jelas gue di panggil deluan. Baru lo yang di panggil." Kenzin mengeraskan rahang, "kalo kita gak bisa kerja sama. Bukan gue yang mundur, lo yang harus mundur."

"CARI MATI LO, JALANG?!" Hellen maju untuk menjambak rambut Kenzin.

Namun Kenzin menghindar dengan cepat. Hellen hanya menggapai angin, kemudian tersungkur ke tanah.

"Gimana? Enak ciuman ama tanah? Hahaha!!" Kenzin tertawa kencang.

Hellen kesal mendengar ucapan dan tawa Kenzin. Mata hazel milik Hellen melotot ke arah Kenzin.

"Awas lo bangsat!"

— PELANGI & HUJAN —

Wah gak kerasa besok udah mau lebaran yaa.
Remember when brainly said,
maaf kalo ada salah🙏🏻

Selamat hari raya idul fitri semua nya😸❤️

Continue Reading

You'll Also Like

393K 27.9K 26
[JANGAN SALAH LAPAK INI LAPAK BL, HOMOPHOBIA JAUH JAUH SANA] Faren seorang pemuda yang mengalami kecelakaan dan berakhir masuk kedalam buku novel yan...
945K 86.3K 32
Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum layaknya bayi beruang saat ia sedang marah...
2.1M 98.5K 70
Herida dalam bahasa Spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 72.6K 35
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...