#AuthorPOV
Tuk...tuk...tuk...
"I'm come back! Mama! Papa!"
Tak ada sahutan.
"Ishh, bi!"
"Iya non, bibi datang!"
Tak lama Bi Uum datang menghampiri.
"Iya non, ada apa?"
"Bi, mama sama papa--"
"Suprice!!"
"Welcome home putri mama yang paling cantik!" seru Irene mendekat.
"Kok mama sama papa tau Ziva pulang?"
"Apa sih yang nggak papa tau." Sahut Albert menyombongkan diri. "Tiup lilinnya, papa pegel bawanya dari tadi."
"Kok pake cake segala? Kan Ziva nggak lagi ultah."
"Masa setelah 2 tahun putri keluarga Gregory pulang kerumah nggak dirayain? Ayo, ditiup lilinnya."
Hufhh...
"Ayo-ayo, pasti Ziva capek kan sayang." Irene merangkul Ziva pergi dari sana diikuti oleh Albert dari belakang.
"Gimana studinya? Baik-baik aja kan sayang?"
"Baik kok ma," balas Ziva.
"Ekhm... Ini nggak ada niatan peluk papa nih? Mama aja?" Ujar Albert.
"Hehe, nggak dong. Masa Ziva nggak kangen sama papa." Ziva mendekati Albert dan memeluk papanya itu.
"Oh ya, sebelumnya mama udah telfon Riki dan kayanya bentar lagi dateng." Papar Irene.
"Bang Al?"
"Lagi keluar kota, dan besok baru pulang."
"Yahh, padahal Ziva kangen."
"Kan bisa ditelfon cantik," gemas Albert mencubit hidup mancung milik putrinya itu.
"Ehh, iya juga yah. Tapi kan nggak bisa peluk." Rengek Ziva.
Mendengar hal itu, Albert tertawa ringan. "Yaudah, papa yang wakilin aja nih." Albert kembali memeluk putrinya itu.
🍀
Cklekk...
Ziva masuk dan kemudian menutup pintu pelan. Berjalan menghampiri jendela untuk menyingkap gorden berwarna putih itu.
"Masih sama, berarti dia belum datang." Gumam Ziva memandangi keseluruhan kamar.
Ia masih berharap jika cowok itu kembali, meski dalam versi yang berbeda. Ziva akan tetap senang bisa dekat dan memandang wajahnya. Ziva rindu, benar-benar rindu. Entah itu kepada mantan kekasihnya maupun sang kakak kembarannya. Mereka orang yang sama, dan sama-sama menghilang pula.
Ziva pernah mendengar jika Alex berada di Shanghai, China. Tapi kemudian tak ada kabar lagi dari informan Alfred. Ya, Ziva tahu itu dari sang kakak.
.
.
.
"Heumm, Kak Alex?"
"Sayang,"
Ziva mengerjap beberapa kali dan dibuat buyar seketika. "Owh, mama rupanya."
"Ada apa hm?"
"Nggak ada kok ma, Ziva cuma..."
"Kangen?" tebak Irene.
Ziva mengangguk kecil. "Kapan ya Kak Alex pulang?"
"Semoga secepatnya."
Ziva mengangguk setuju.
🍀
"Ziva keluar bentar ya ma."
"Mau kemana sayang? Udah sore loh ini."
"Nahda udah pulang tadi siang, jadi kita mau ketemuan sebelum dia berangkat lagi besok."
"Besok? Kok cepet banget? Apa nggak capek dia? Bilangin pesan mama, 'jangan fokus karir mulu, cepetan cari calon suami terus nikah'. Bolak-balik keluar negeri, apa nggak capek dianya?"
"Ck, papa bilang mama juga dulu gitu."
Kekeh Ziva meledek, Irene memanyunkan bibirnya sebal.
"Ziva berangkat ya ma, mmuuahh." Ziva melayangkan flying kiss kearah sang mama.
🍀
"Aaaaa... Bestie, akuu merindukanmu!"
"Yaa! Biasa aja meluknya bisa? Gue tau lo mau cepet-cepet liat gue dikremasi." Sebal Nahda.
"Ishh, jangan ngomong gitu ihh. Lo belum nikah jadi jangan mati dulu."
"Ohh yaa Zi, lo tau yang gue liat tadi?"
"Nggak tuh, apa?"
"Kak Alex! Dia disini anjir."
"Disini? Masa?" Ziva langsung celingak-celinguk.
"Ishh, punya temen gini amat." Jengah Nahda. "Hehh kampret, maksud gue ada di kota ini. Bukan ditempat ini! Tadi gue ketemunya di dekat halte, kayanya dia nunggu bis deh."
"Yang bener lo? Atau lo salah liat? Jangan bikin gue berharap ya Da."
"Ishh nggak percayaan banget jadi orang. Beneran Zi! Sumpah! Tadi dia pake kemeja hitam kotak-kotak."
Ziva terdiam, kini ia percaya. Tapi ia bingung harus apa sekarang. Apa dia harus keluar untuk mencari keberadaannya. Atau hanya diam, sambil berharap jika ia sendirinya datang menghampiri.
"Hei, kok malah bengong sih." Buyar Nahda.
"Hah? Iya?"
"Ck, sudahlah. Sekarang mau lo apa sih Zi?"
"Maksudnya?"
"Ya, yang lo mau itu sekarang Alex yang merupakan 'mantan kekasih lo' atau Alex kakak kembaran lo yang terpisahkan? Bayangin lo sekarang ada di depannya, Kira-kira lo mau apa? Lo mau bilang apa?"
Ziva diam sejenak, "Entahlah, gue juga bingung. Disatu sisi gue mau keluarga gue lengkap. Gue mau liat mama papa bahagia melihat kedua anak kembarnya. Dan disisi lain gue masih mau kekasih gue kembali Da."
Ziva menghela nafas sejenak, "Gue benar-benar dihadapkan pilihan yang berat. Gue bingung, benar-benar bingung. Jika nanti Kak Alex mutusin buat balik kerumah, kira-kira gue harus bersikap kaya gimana? Apa manja seperti adik pada kakaknya? Apa gue harus terlihat senang, hingga seakan kenyataan bahwa hubungan kami sebelumn hanya sebuah ilusi semata? Arghh, kepalaku berdenyut memikirkannya."
Nahda berdiri menghampiri Ziva, menepuk punggung sahabatnya itu pelan menyalurkan dukungan.
🍀
Deg....deg...deg...
"Ini beneran? Gue nggak salah liat kan?"
gumam Ziva dalam hati.
"Sayang, kemari. Kenapa hanya berdiri disana. Apa kau tidak merindukan kakakmu?"
"Tidak, ini bukan ilusi. Ia nyata!" debat Ziva dalam hatinya.
Tukk...tukk...tukk...
Suara High heels yang Ziva kenakan mendominasi ruangan yang sunyi itu.
"Apakah ini pembuktian, bahwa perkataan itu adalah doa?" Lagi-lagi Ziva berucap dalam hati.
Tukk...
Ziva berhenti. Matanya masih memandang tak percaya pria berkemeja kotak-kotak yang duduk di sofa seberang. Rambutnya yang menutupi keningnya, hidung mancung dan bibir yang merona. Tak ada yang berbeda dari tiga tahun yang lalu.
"Aku belum memutuskan untuk bersikap seperti apa! Aku harus bagaimana sekarang!" Rutuk Ziva dalam hati.
"Sayang, kenapa hanya diam?" tanya Irene.
"Hm? Oh, iya ma." Ziva kembali menatap wajah pria itu. Menampilkan senyum tipis, dan...
"Hai, lama tak berjumpa... Kak."
Akhirnya! Ziva dapat mengeluarkan suaranya!
Ziva masih diam, menunggu tanggapan dari si pria.
"Oh, hai. Apa kau baik-baik saja?"
"Owhh tidakk! Aku tidak baik-baik saja saat ini!!" teriak Ziva dalam hati.
"Yah, seperti yang kakak lihat. Ziva baik," balas Ziva kemudian.
"Hm, kakak bagaimana?"
"Baik." Jawaban yang singkat dan padat.
"Papa udah dijalan, bentar lagi nyampe kayanya. Hm, mama ke dapur dulu bantu Bi Uum siapin makan malam. Kalian berbincang-bincanglah." Ujar Irene.
Tak ada sahutan dari keduanya.
Tak lama setelah Irene pergi.
"Duduklah, kakimu tidak sakit berdiri terus?"
"Eh, iya kak." Sahut Ziva, kemudian mengambil duduk disofa yang Irene tempati sebelumnya.
Beberapa menit kemudian hening.
Hingga...
"Hiks... Kakak kemana aja? Hiks... Ziva bingung harus apa, kakak bilang jangan cari tapi..."
"Maaf,"
"Hiks... Kakak baik? Benar-benar baik kan? Kakak makan dengan baik kan?"
Alex mengangguk kecil.
"Papa dan mama khawatir, aku bisa lihat itu. Tapi mereka berusaha untuk sembunyikan itu dari aku, supaya aku nggak kepikiran dan merasa bersalah. Tapi...hiks... Apa kakak fikir aku tidak tersiksa?"
"Maaf."
"Hiks... Jangan coba pergi lagi! Hiks..."
Alex mengangguk. "Jangan nangis lagi, oke."
Ziva menyeka air matanya, "minta maaf ke papa dan mama. Ziva nggak mau tau, intinya kakak salah dalam segala hal."
"Ya, aku tahu itu." Balas Alex.
Tiga tahun, waktu yang lama bukan?
Namun, tiga tahun itu belum bisa menghapus kekecewaan Alex atas takdir yang dimilikinya. Tapi setidaknya, ia tak lagi se pecundang tiga tahun lalu. Yang tanpa fikir panjang langsung mengambil keputusan pergi meninggalkan semuanya. Lari dari masalah tanpa memikirkan masalah yang akan timbul akibatnya.
Kini ia kembali, meski masih terasa berat ia mencoba untuk menjadi versi berbeda dari dirinya. Versi yang menerima semua yang telah tertulis di takdirnya. Meski tak bisa memiliki, tapi ia masih bisa menyayangi dan menyalurkan cintanya kepada Ziva. Cinta seorang kakak kepada adiknya, hanya sebatas itu saja.
🍒🍒
~ END ~
TAPI BOONG 😁😋
Masih berlanjut dongg
Jadi mohon bersabar 🥰
Udah vote belum nih?
Vote dulu dongss
THANKS FOR READERS ♥