MAMPU✓

By sunHT06

29K 3.8K 5

[C O M P L E T E D | ft. Na Jaemin] ❝Bagaimana rasanya bertetangga dengan orang yang kita suka?❞ ©tata2022 More

Prolog
Cast
DUA : Tragedi Hari Senin
TIGA : Mie Kuah dan Raket
EMPAT : Antara Anandra dan Renata
LIMA : Kalau Motor Bisa Ngomong
ENAM : Buta Map
TUJUH : Ugal-ugalan
DELAPAN : Ada Rindu yang Tersampaikan
SEMBILAN : Jatuh Cinta, Kematian dan Penyesalan
SEPULUH : Retak
SEBELAS : Andira Halangan
DUA BELAS : Dua Ajakan
TIGA BELAS : Cerita Dalam Hujan
EMPAT BELAS : Senja Melilit Nestapa
LIMA BELAS : Masih Pada Hari yang Sama
ENAM BELAS : Prayvesi Cigeum!
TUJUH BELAS : Jangan Salahkan Kejujuran
DELAPAN BELAS : Hujan Selalu Menang
SEMBILAN BELAS : Kita Sama
DUA PULUH : Terjebak Di Loteng
DUA PULUH SATU : Cosplay Spiderman
DUA PULUH DUA : Legenda Tanda Lahir
DUA PULUH TIGA : Pagi Cantik
DUA PULUH EMPAT : Berat Seperti Babi
DUA PULUH LIMA : Bukan Homo
DUA PULUH ENAM : Beli Empat Gratis Satu
DUA PULUH TUJUH : Sayang
DUA PULUH DELAPAN : Jangan Gaduh
DUA PULUH SEMBILAN : Pertama dan Terakhir
TIGA PULUH : Bohong
Epilog

SATU : Aku Andira, Kamu Jondara dan Dia Anandra

2.7K 148 0
By sunHT06

Cung yang Mamanya suka
jemur kasur dan bantal
tiap hari minggu. —Andira

⋇⋆✦⋆⋇ 

Ramalan cuaca hari ini mengatakan kalau kota Jogja akan diguyuri hujan saat siang hari, tapi bagaimana berkuasanya baskara pukul satu siang di atas sana, cukup meyakinkan presepsiku untuk 'tak percaya berita klise tersebut. Lagian kemarin-kemarin juga begitu, sampai Mama menyadarkanku bahwa berita zaman sekarang tidak menjanjikan sesuatu yang harfiah.

Buktinya beliau berani menjemur kasur king size berwarna abu-abu di halaman rumah kami. Tadi barusan kutepuk permukaannya pakai pemukul khusus seukuran raket nyamuk elektrik. Sekarang otot-otot tangan kananku mengencang, pukulan demi pukulannya memang kulakukan dengan kuat, bahkan sangat.

"Oey, mau ngapain lu?" Teriakan seseorang yang lagi nongkrong di pelataran rumahnya membuatku menoleh.

"Nyolong mangga," jawabku seraya berkacak pinggang dan mendongak lagi, mengerucutkan kedua sudut mata, lalu memprediksi incaran yang tepat pada atribut pohon tua di depanku.

Aku juga yakin kalau dia, laki-laki yang sedang meneliti kegiatanku dari tempatnya sana, sudah menebak hal ini sebelum tubuhku menyebrang ke halaman rumahnya. Ini terpicu dari rasa kesal yang dibuat oleh Kak Novan, orang yang baru saja menjadi pelaku tindak pidana korupsi di rumah. "Sarimi, sarimi. Yang beli siapa, yang makan siapa" Sungguh, memikirkannya saja membuat rahangku tegang.

"Kapan bisa mateng buah mangga punya emak gue kalo diambilin terus?" Terdengar anak dari sang pemilik pohon memelas, tapi aku tidak perduli.

"Kayu yang di sini mana?" tanyaku.

"Dibuang."

"Kenapa?"

"Ya karena lu malingnya lah!"

Jondara adalah orang yang kalau bicara seperti lilin menyala, agak panas, bahkan mustahil kembali utuh ketika meleleh. Jadi, ucapannya tidak pernah ditarik lagi meski sudah disampaikan. Namun, sama seperti lelehan lilin yang jatuh karena api, aku tidak pernah merasa sakit hati karena omongannya. Itu terdengar jokes di telingaku.

"Jo, ambilin dong!" Aku menunjuk-nunjuk bagian buah yang kumau, tapi Jo masih sibuk dengan ponselnya. "JO!" teriakku lagi.

Dia sempat mendengus, lalu bangkit dan berjalan mendekatiku, celana bola warna hitam yang dia pakai dinaikkan sedikit lalu menyingsing lengan baju sampai ke bahu. "Udah nyolong, nyolot lagi," ujarnya bersiap memanjat.

Meski aku merupakan pelaku tindak kejahatan tingkat RT yang profesional, Jo tetap mau sia-sia membuang tenaganya untuk membantuku. Dia benar-benar melakukannya sekarang.  Aku pun hanya senyam-senyum sambil berkacak pinggang, melihatnya bergerak-gerak di atas pohon seperti binatang kelaparan. "Ayo monyet, kamu pasti bisa meraih buah itu!" ejekku.

"Gila lu!" sarkasnya sambil mulai melempar buah yang mampu digapainya, dan itu tidak satu atau dua saja, lagian mana cukup kalau cuma di bawah lima buah.

"Ih, masam! Eerrr! Bilangin emak lu jangan suka marah-marah, gimana buahnya mau manis coba," kataku yang sudah duduk di atas tanah dan mulai memakan buah tanpa harus dicuci atau kupas dulu. "Masam banget, Jo! Masam!"

"Yang lu makan mangga mentah, Bangsul! Lu mau makan mangga Korea sekali pun kalo belum mateng ya gak bakal manis rasanya!"

Akukah yang salah? Setelah tiap tahun ganti musim selalu setia pada pohon ini untuk langganan memakan buahnya? "Semua mangga muda gak pernah manis?" tanyaku basa-basi.

"Buah apa pun," jawab Jo.

Aku berpikir. "Tapi kelapa muda enak." Hingga Jo melempariku dengan buah-buah mangga yang dipetiknya lagi dengan tenaga besar.

"YA TUHAAANNN! MASIH CILIK IKUU, JONDARA! TURUN TURUN TURUN!"

"Jo, kabur!" Aku berteriak sambil memungut buah-buahan di tanah —dalam kesempatan yang ada, padahal Bunda Yohana alias Mamanya Jo tidak berbuat apa-apa. Iya, teriak saja. Tapi menurutku kalau tidak lari rasanya tidak afdol, lagian seru saat beliau sedang teriak terus kita bergerak tergesa-gesa untuk menghilang.

"Gue ngapain lari juga anjirr!" Jo tidak habis pikir kenapa dia jadi ikut lari sampai ke halaman rumahku, bahkan dia lupa pakai sendal. "Lu ngagetin, gue kira apaan tadi pake kabur-kabur segala!" Sekarang dia marah-marah sambil mengatur napas, lalu melempari kepalaku dengan buah mangga yang dia pegang seadanya.

"Makasih banyak, Nak."

"Sama-sama, Tante. Izin pulang dulu, mau beres-beres, ehehe. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku dan Jo terdiam saat menyadari seseorang baru saja selesai berkomunikasi dengan Mama, awalnya dari belakang kami tidak kenal.

Tapi saat dia berbalik, ternyata kami tetap tidak kenal. "Siapa, Dir?" tanya Jo yang membuatku hanya menggeleng.

Orangnya rapi, berpakaian sopan dan berkulit putih nan bersih. Aku seperti mampu melihat masa depan yang indah. Meski minder dengan kulit badanku sendiri, juga kalau dibandingkan dengan Jo yang amburadul ini, mungkin orang itu sedang berpikir anak jalanan mana yang sedang dia lihat bahkan tanpa pakai alas kaki satu pun.

"Ganteng banget lu," ujarku padanya saat dia yang juga kebetulan berencana berhenti, tampak sedari tadi berpikir sambil memperhatikan kami. "Apa kita saling kenal?" tanyaku hingga membuat Jo menempeleng kepalaku dengan kuat.

"Siapa coba yang mau temenan sama cewek maling mangga?" tanya Jo.

"Lah, elu 'kan temen gue," kataku.

"Kapan gue bilang kita temenan?"

"Weh Jo  ...."

"Jondara?" Orang itu menyebut nama Jo, dan Jo yang disebut justru pangling sendiri karena bingung. "Andira?" Sekarang dia menyebut namaku.

Sebentar.

Aku merasa mau kayang sekarang.

"Anandra, kah?" Jo menebak, dan orang itu mengangguk.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Aku ceritakan sedikit tentang masa lalu, kenangan, dan juga Anandra ya.

Dulu, saat sudah tahu apa itu arti berpetualang, aku dan Anan berlangganan ke rumah Jo sebagai pencuri. Lalu Bunda Yohana akan stand by; stay healthy —di depan pintu dan berteriak hingga kami berlari terbirit-birit sambil tertawa.

Kami anggap beliau pelit padahal buahnya tidak pernah terasa manis, meski kami tahu, buah mana yang manis kalau dipetik saat masih kecil dan mentah?

Teman kecilku satu-satunya cuma Anan waktu itu, kalau Jo justru tidak mau main bersama kami dan memilih diam di rumah. Padahal kami berdua tahu, Jo selalu mengintip di balik tirai jendela berwarna ungu kalau kami sedang bermain di area perumahan. Kadang di halaman rumah Anan, kadang juga di halaman rumahku.

Hal-hal sederhana antara aku dan Anan sama saja seperti kegiatan anak-anak kecil pada umumnya, makan, tidur, mandi dan main. Bila waktu main sudah tiba, maka tidak jarang bisa buat kami jadi lupa waktu. Kadang Mama Anan yang harus menjemputnya pulang dari rumahku, atau sebaliknya jika aku ada di rumah Anan.

Namanya bocah gendeng pasti 'tak tahu letak jaimnya, aku juga sudah biasa jadi saksi mata kalau Anan berak di celana --sehabis makan mangga muda. Karma kali ya, soalnya setiap konsumsi itu pasti dia sakit perut dan kepicrit, Anan bilang itu di luar kendali.

Tapi lama-lama sih bisa terkendali, kalau-kalau dia sudah sakit perut nih, pokoknya harus cepat-cepat tancap gas ke rumah, cuma tidak jarang juga masih bisa terjadi lagi. Dia juga justru kaget sediri pas mencium bau tau-tau sudah ada tai di celana. Jorok? Iya, jorok banget! Sayangnya kejadian itu berlangsung sampai kelas tiga SD saja, sebab seterusnya hingga sekarang, Anan tidak bersamaku.

"Anan jalan-jalan dulu, nanti kita main lagi." Dia mengatakan hal itu ketika memberikanku kabar akan keluar kota. Tanpa paham, tanpa tahu, bahkan tanpa menyadari, jikalau ikut bersama Papanya cukup menjadikan itu alasan abstrak kenapa kami harus berpisah. Sedih? Tentu sedih banget. Soalnya kalau sudah musim mangga, cuma sisa aku malingnya, mau ajak Jo jadi maling tapi itu 'kan pohon punya dia.

"Itu tadi Anan temen kecil lu?" Jo bertanya sambil menyikat kakinya di dekat kran air yang ada di sudut pelataran rumahku, meski tidak berkulit putih sekali, Jo ini orang yang bersih karena anak rumahan. Tadi jadi terlihat seperti gelandangan karena aksi kabur yang kata dia lari enggak jelas banget karena kaget.

"Mungkin iya, eh tapi kayak beda banget gak sih?" tanyaku, lantaran tadi di saat Jo menyebut nama Anandra dia keburu dipanggil Tante Ratna alias tetangga sebelahku alias memang Mamanya Anan. "Kok bisa ganteng gitu ya?" Masih merasa tidak percaya, kupikir itu adalah keluarga sepupu dari Tante Ratna saja.

"Masih gantengan gue." Pelan Jo memuji dirinya sendiri.

"Cowok ganteng tuh gak jomblo sih," kataku.

"Berarti Anan udah punya pacar?" Pertanyaannya membuatku terdiam dan berpikir.

Jika Jo menebak ada something  di otakku, maka jawabannya tidak. "Ke rumah Anan yuk!" Karena inilah ending yang kubuat di mana Jo sampai kaget hingga hanya menghela napas.

"Ayo!" Dan aku serius benar-benar ingin berkunjung untuk memastikan sesuatu. Naasnya, guntur bersama petir-petirnya menganggetkan kami hingga Jo saja melempar gelasnya ke tanah. Langit tiba-tiba mendung, bersama angin yang juga datang brutal hingga kegaduhan di rumahku terjadi.

"ANDIRAAAA! CEPAT SELAMATKAN KASUR MAMA!" Mama teriak dari belakang rumah dan aku yakin teriakannya bisa sampai kepada tiga rumah lain di sekitar kami, mana teriaknya seperti si kasur bakal terjun dari gunung saja.

"Woi malah bengong!" Jo terlihat lebih antusias daripada aku, kakinya kotor lagi, dia lari dengan gerakan mirip Upin Ipin mengejar Rembo. "ANDIRA!"

"IYA! IYA!"

Sebagaimana Mama menganggap kami tim SAR dadakan, aku dan Jo bergegas melakukan aksi heroik guna menyelamatkan korban bencana hujan yang menimpa kasur tempat tidur Mama. Aksi kami amburadul namun kompak, kasurnya langsung diangkat begitu saja tanpa menyusun strategi maupun diskusi, kami bersembunyi di bawah dengan kepala sebagai penyangga kasur yang dibawa.

"LARI KAMPRET!"

JO YANG KAMPRET!

Ini aku terhuyung-huyung karena sadar kasurnya berat banget tahu! Sedangkan Jo yang ada di belakang ribut dengan memaksaku mengimbangi pergerakkan fisiknya yang kuat.

"Gimana masuknya?" tanyaku lantaran masih panik hingga menabrakkan kasur saat di depan pintu.

"Ya dimiring lah, Andira! Mau lu tabrak-tabrak gitu seratus kali juga gak bisa masuk!" Seolah menyalahkan otak kecilku, Jo mulai menurunkan kasur di lantai, lalu posisinya diubah agar bisa masuk. Di sini aku tidak membantu, dia mendorong benda itu sendirian hingga ke ruang tengah rumah kami.

"Wah, mantap!" pujiku.

"Gila lu!" Selalu begitu perkataannya setelah merasa kumanfaatkan.

"MOTOR GUE, JO!"

Dan dia lari lagi keluar untuk menaikkan motorku ke pelataran rumah, iya, dialah Jo yang kukenal sekarang. Bukan lagi seorang Jondara yang bersembunyi di rumah dan mengintip lewat jendela.

Tbc;

Ekspresi Jondara ketika disuruh-suruh
oleh Andira.

Continue Reading

You'll Also Like

6.9M 291K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
1.3K 431 28
𝙁𝙤𝙡𝙡𝙤𝙬 𝙨𝙚𝙗𝙚𝙡𝙪𝙢 𝙗𝙖𝙘𝙖⚠️ Judul awal : Zanaya and Zayana Cerita dua gadis kembar namun beda nasib. Mental yang di hajar habis-habisan...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.7M 317K 35
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.3M 116K 44
[SUDAH TERBIT + PART TIDAK LENGKAP] "Lo jadi Mamanya, gue jadi Papanya. Gimana?" -Rasen "Nggak sudi! Kalau pun iya, nih anak nggak akan mau punya Bap...