IQ (SELESAI)

By syigantari

134K 31K 3.9K

[BEBERAPA PART DIPRIVAT. FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA YA] Untuk diakui sebagai manusia, harus menerapkan rumus... More

PROLOG
1. Kekekalan Momentum
2. Delapan Pangkat N
3. PUEBI dan KBBI
4. Pasar Monopolistik
5. Kelarutan Molar
6. Energi Mekanik
7. Bilangan Eurol
8. Titik dan Stalemate
9. Heereen Seventien
10. Gaya Kohesi dan Biologi
11. Grafik Fungsi
12. Rumus Molekul
13. APRIS dan Fatahillah
14. Filosofi Tanda Koma
15. Dunia Integrasi
16. Morfologi Kata (1)
17. Outlook Express
18. Ikatan Primer
19. Turunan Implisit
20. Pigmen Klorofil
21. The Ducth Word
22. Studi Komprehensif
23. Virus ILoveYou
24. Biological Hazard
25. World Wide Web
26. F Aksi = - F Reaksi
27. Chord Diatonis (BB')
28. Tricyclicdibenzazepine
29. Grafik Peninjauan Limit
30. Aplikasi Turunan
31. Morfologi Kata (2)
32. Presipitasi Gerimis
33. Identifikasi Tiga Meter
34. Welcome to IQ Classification
35. The Result of IQ Classification
36. Sejarah Permen
37. Grafik Desmos 350°C
38. Gerak Jatuh Bebas 313,6m
39. Dua Jenis Kalorimeter
41. Gatra Olympics
42. Sebelas Sel Manusia
43. Simbiosis Mutualisme
44. Skala Richter & King of Brain
45. 1/2 Aldebaran
46. Labirin Membranosa
47. Skizofrenia
48. Sel Kromator
49. 34,5 Detik
50. Schadenfreude
51. Peluang
52. Nilai Mutlak Palmatias
EPILOG
2023
8 AM

40. Short Service Forehand

1.3K 435 29
By syigantari

Seperti biasa, tinggalkan jejak kalian ya, cantik, ganteng.

tapi yang paling ganteng Lee Taeyong tetep. Hehehe.

"Dunia ini banyak tekniknya. Teknik bahagia, teknik pura-pura bahagia, teknik menyembunyikan kesedihan, teknik menghilangkan kecewaan, dan masih banyak lagi."
IQ (F=m.a)

"Ra!"

Nawasena memanggil Bora saat gadis itu berjalan masuk menuju kelas bimbingan kimia. Bora membalikkan badan selepas menghentikan langkahnya. Matanya memicing sesaat sebelum akhirnya tersenyum ketika mendengar pekikan Nawasena.

"Semangat!"

Cukup satu kata yang keluar dari mulut Nawasena. Satu kata yang benar-benar mengisi bensin semangat untuk Bora. Bagi Bora, satu kata itu benar-benar bermakna.

Selepas mengatakan satu kata tersebut, Nawasena pergi ke ruang latihan bulu tangkis. Mulai hari ini sampai sebulan ke depan, Nawasena akan menghabiskan waktunya di lapangan indoor daripada di kelas, alias dispen. Selain di lapangan, pria satu ini mulai besok akan sibuk belajar materi sejarah bersama anak-anak olimpiade IPS lainnya.

Selama kurang lebih dua jam belajar bersama pembimbing dan teman-teman lainnya yang kemudian dilanjut seleksi. Akhirnya satu per satu siswa yang berada di ruang bimbingan keluar. Bora juga begitu, dia sudah memasukkan buku dan alat tulisnya.

Saat menyalimi pak Hansa-salah satu guru Kimia, beliau memanggil Bora, menyuruh Bora untuk tetap berada di ruangan ini, ada yang ingin beliau sampaikan, katanya. Dan, Bora menurut, Bora bahkan berharap bahwa dia akan mendapat kabar baik sore ini.

Sampai di mana ruangan ini hanya berisi Bora dan pak Hansa, barulah pak Hansa duduk di samping Bora selepas menutup pintu. Gadis itu memang sedari tadi duduk di bangkunya, paling belakang.

"Mau ngomongin apa, Pak?" tanya Bora hati-hati.

Pak Hansa tersenyum. Bora meneguk salivanya, takut sendiri. Terlebih, pak Hansa menatap ke arah bibirnya sejak tadi.

"Kamu lulus seleksi. Selamat, ya."

"Bukannya besok pengumumannya, Pak?"

"Khusus kamu sekarang."

Bora tercekat. Buru-buru gadis itu beranjak dari duduknya. "Terima kasih, Pak. Kalau begitu saja duluan ya, Pak."

Tidak. Tidak semudah itu. Pak Hansa mencekal tangannya. Bora mencoba untuk tetap tenang, meski nyatanya tidak bisa, jantungnya sudah berdegub kencang, bukan karena jatuh cinta tetapi karena ketakutan. "Ada apa lagi, ya, Pak?"

Bora tercekat sewaktu pak Hansa memegang bahunya. "Sepertinya..., saya mau kamu." Bora sudah panik sendiri, dia mencoba melepas cengkraman tangan Hansa yang masih memegang bahunya, tetapi Hansa justru mendorongnya pelan ke dinding.

"LEPASIN!" Bora berteriak seraya membentak, terserah mau dicap tidak sopan juga, guru di depannya ini jauh lebih tidak sopan, bukan?

Hansa melepaskan tas yang bertengger di kedua bahu Bora, lelaki gila ini sedikit menekan bahu Bora hingga anak muridnya terduduk di lantai. Hansa sekali lagi tersenyum, dia hendak mencium bibir Bora, tetapi kalah cepat dengan tangan Bora yang lebih dulu melindungi wajah.

Hansa berdecak pelan, dia kembali mendorong tubuh Bora ke samping hingga tubuh gadis itu bertemu langsung dengan lantai, tangannya kembali memegang bahu gadis remaja yang masih menutup wajahnya dengan tangan. Hansa bisa melihat dengan jelas di balik sela-sela jari, Bora sedang menangis.

"Belum mulai, masa udah na-"

Terdengar desahan yang berasal dari mulut Hansa sewaktu Bora menendang perutnya dengan kencang. Gadisi itu sempat berdiri dan berlari, tetapi Hansa berhasil beranjak dan memeluk tubuh Bora dari belakang. "LEPASIN BAJINGAN!"

"Saya udah bilang, saya mau kamu. Saya enggak akan lepasin kamu sampai saya dapatin apa yang saya mau dari kamu."

"GURU SINTING!"

Bora kembali mencoba melepaskan diri dari kungkungan tangan kekar milik Hansa. Namun, Hansa kembali bertindak, dia membanting tubuh Bora ke lantai. Tubuh Bora rasanya sakit sekali, belum lagi rasa takutnya yang semakin menjadi-jadi. Jadi pengin hilang dari bumi saja rasanya.

Bora hendak beranjak, tetapi Hansa lebih dulu menindihi tubuhnya. Tangan Hansa bergerak membuka kancing seragam Bora dengan cepat. Bora berkali-kali memberontak, tetapi tetap saja tidak membuahkan hasil.

Tangisan Bora semakin kencang sewaktu Hansa membuka roknya, apalagi baju seragamnya sudah terbuka sempurna menampilkan kaos dalamnya. Bora menutup kembali wajahnya dengan kedua tangan. Kakinya sudah diapit oleh Hansa jadi tidak bisa memberontak lagi. Bahkan kini, kedua tangan Bora yang menutup wajahnya sudah berada di genggaman Hansa secara paksa.

Sedikit lagi, benar-benar tinggal sedikit lagi bibir Hansa bertemu dengan bibir Bora. Akan tetapi, suara dobrakan pintu yang kencang menggagalkan rencana Hansa. Hansa terkejut sewaktu Nawasena menarik rambutnya, lantas memukulnya tanpa jeda.

Bora mendudukkan badan dan masih menangis sesegukan dengan tangan yang sibuk memakai kembali pakaiannya. Lemas, tubuhnya benar-benar lemas. Bagaimana tidak, badannya hampir dipakai.

"Naw...," panggilnya.

"Mau pulang...."

Nawasena berhenti memukuli Hansa yang sudah terkapar lemah meski masih bisa membuka matanya. Nawasena menatap Hansa dengan penuh amarah, tatapannya seolah mengatakan; gue bakal laporin lo, dan jangan pernah sentuh Bora lagi. Kira-kira seperti itu.

Nawasena membuka hoodie krem yang dikenakannya, lantas memakaikannya di tubuh Bora yang masih sedikit bergetar. Bora menunduk seraya berjalan pelan dengan Nawasena yang merangkulnya sambil menepuk-nepuk pelan bahunya.

πππ

Nawasena menghentikan mobilnya di depan kediaman Ranajaya. Selama perjalanan tadi benar-benar hening. Bora terdiam dengan tatapan yang kosong menghadap ke arah depan. Nawasena tidak menyukai suasana seperti ini.

"Ola," panggil Nawasena. Panggilan Ola biasanya hanya Nawasena pakai di saat Bora sedang marah padanya. Biasanya, Bora kalau marah selalu diam, seperti saat ini.

"Gue gamau ikut olimpiade," sahut Bora tiba-tiba.

"Iya, ga perlu ikut. Belajar buat UTS sama UTBK aja."

Bora tidak menjawab, gadis itu kembali terdiam. Bayangan tentang kejadian hari ini membuatnya takut sampai sulit untuk mengutarakan perasaan takut yang amat menusuk. Lagian, perempuan mana yang tidak trauma dengan kejadian serupa?

"Ola...," panggil Nawasena, lagi.

"Semua cowok di kehidupan gue selalu ngecewain gue. Papi gue, Utkarsa, guru gue sendiri. Apa suatu saat lo bakal kayak mereka, Sen?" Asen, panggilan yang dipakai Bora untuk Nawasena saat sedang membicarakan hal yang menurutnya serius. Nawasena pun paham maksud panggilan Asen dari Bora.

"Never, Ola. Asen gak akan join circle mereka, Asen join circle om Nakula aja," jawab Nawasena. Sebenarnya Nawasena bingung, kenapa Bora menyebut Utkarsa? Memangnya Utkarsa telah berbuat apa sampai Bora kecewa? Iya, Bora tidak pernah bercerita tentang Utkarsa padanya.

"Sen, gue jadi takut ke sekolah."

"Gausah sekolah tiga hari atau seminggu enggak papa, Ola. Nanti bikin surat izin."

"Sen, gue gabisa tidur padahal udah ngantuk. Gue takut mimpiin kejadian tadi."

"Ola, coba liat Asen."

Bora menoleh, terlihat jelas matanya bengkak dan masih berair. Nawasena tersenyum simpul, tangannya meraih tangan Bora, lantas dia meletakkan tangan Bora di antara kedua pipinya. "Liat Asen aja, biar nanti mimpiin Asen."

Nawasena menyenderkan kepalanya ke jok mobil, diikuti oleh Bora. Keduanya saling tatap. Tangan Bora masih menangkup wajah Nawasena, sedang tangan Nawasena sudah beralih membelai kepala Bora, agar gadis itu cepat tidur.

Tak butuh waktu lama, Bora akhirnya terlelap. Nawasena melepas tangkupan tangan Bora dengan perlahan. Dia keluar dari mobil, menggendong tubuh Bora pelan-pelan, memindahkan tubuh yang sudah lelah ini ke atas kasur di kamar lantai bawah.

"Gue pulang dulu, ya, Ra. Mau ganti baju sama izin ke mama. Nanti malem gue ke sini lagi. Semoga gue bener-bener ada di mimpi lo, ya, Ra."

πππ

Nawasena menepati omongannya. Sekitar pukul tujuh malam, dia sudah berada di rumah Ranajaya. Awalnya, Bora masih tidur saat Nawasena baru datang. Baru pada pukul delapan kurang tujuh menit, Bora keluar dari dalam kamar dengan wajah bantalnya.

"Eh? Belum pulang, Naw?" tanya Bora selepas duduk di sofa, tepat di samping Nawasena. Sesekali dia menguap, sambil mengucak-ngucak matanya.

"Udah, tapi ke sini lagi. Gue mau ngajak lo main bulu tangkis, mau gak?" ajak Nawasena.

"Mau, tapi satu jam aja."

"Siapa juga yang mau berjam-jam."

"Lo lah, masa gue, gue cuma bisa main-main aja ga kayak lo yang penuh keteknikan."

"Kalau kalah jangan nangis lo."

"Siapa juga yang mau nangis gara-gara kalah main bulu tangkis."

"Lo lah, masa gue. Gue mana mungkin kalah lawan lo."

"Berisik ifrit. Gue mau mandi dulu, lima menit."

"Emang lo pernah mandi?"

"Gue pengen gampar mulut lo, asli, Naw. Lemes banget itu mulutnya."

Bora beranjak seraya melempar bantal sofa ke tubuh Nawasena, yang kena lemparan cukup kencang tadi justru tertawa lepas. Nawasena bahagia karena Bora sudah bisa sedikit ceria tidak seperti tadi sore. Rasanya, sore tadi benar-benar sore yang menakutkan bagi Nawasena.

πππ

Lapangan bulu tangkis yang berada di belakang rumah Ranajaya benar-benar seperti lapangan bulu tangkis di sekolah. Meski jarang dipakai, lapangan ini tetap terawat karena setiap hari dibersihkan oleh asisten rumah tangga Ranajaya.

Selain bulu tangkis, ada lapangan olahraga lainnya, yang masing-masing dibatasi oleh bunga dari berbagai jenis yang berbeda dengan warna yang beragam, benar-benar terlihat indah dan menyegarkan mata.

Di hari pertama Bora tinggal di rumah ini, rasanya ingin sekali mengunjungi bagian belakang rumah setiap hari bersama Trayi. Hanya saja, takdir berkata lain.

Malam ini lumayan dingin, mereka berdua memakai jaket yang cukup tebal agar tidak masuk angin.

Malam ini juga bulan setengah muncul di langit bersama para bintang yang bertabur di sekitarnya.

Satu kalimat. Malam ini cukup sempurna untuk mengukir kebahagiaan.

Sekitar setengah jam mereka bermain, akhirnya permainan selesai dengan Nawasena sebagai pemenang. Sudah jelas, seperti biasanya.

"Keren banget, atlet," puji Bora.

Nawasena terkekeh. "Mau diajarin sama atlet gak? Mumpung baik."

"Boleh, siapa tau nanti gue bisa kalahin lo, sekali-kali plot twist gue yang menang kan mantep."

Nawasena mengambil raket yang tadi sempat dia taruh di bawah. Lantas, berjalan sampai berada di samping Bora. "Cara pegang raket itu gak asal-asalan, yang paling gampang dan benar itu gini, namanya forehand grip," jelas Nawasena, tangannya memegang raket dengan jari jempol dan telunjuk yang membentuk huruf V.

Bora langsung menerapkan penjelasannya, matanya sesekali melirik tangan Nawasena, mencoba mengikuti. "Gini, kan?"

"Iya. Terus, servis mending pakai servis pendek, usahain bola melambung serendah mungkin dengan ketinggian net, biar lawan sedikit kesusahan."

"Ga baik bikin orang susah," celetuk Bora.

"Dilarang banyak protes."

"Hahaha, yaudah sih, lanjut-lanjut."

"Caranya, pertama berdiri dengan sikap kaki kuda-kuda, kayak gini." Nawasena memperagakan, dan langsung ditiru oleh Bora.

"Salah satu tangan memegang raket yang diletakkan di samping badan, tangan satu lagi melambungkan bola."

"Abis itu bola dipukul pelan pakai pergelangan tangan diikuti badan yang sedikit gerak ke depan."

Bora mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah mengerti sesudah Nawasena selesai memperagakan dan menjelaskan. Nawasena memberikan shuttle cock pada Bora. "Coba sendiri."

Bora mencoba melakukan servis sesuai yang dicontohkan Nawasena diakhiri dengan cengirannya saat shuttle cock justru melambung lumayan tinggi. "Kekencengan kayaknya gue mukulnya, Naw."

"Duh, tawon berjalan banyak banget alasannya."

"Dih, lagian gue gamau bikin lawan gue kesusahan jadi tinggi aja gapapa, servis panjang berarti namanya, biar panjang umur."

"Badan lo tuh ga panjang-panjang."

"Nawasena mulut rombeng! Gue doain badan lo menyusut. Biar tau rasa!"

"Masalahnya, gue makin tinggi tiap hari. Lo yang menyusut."

"Gue enggak menyusut, ya!"

Nawasena berdehem, dia berdiri di depan Bora, mengukur tinggi badan Bora yang hanya sebahunya. "See?" Dulu lo setelinga gue. Artinya lo menyusut atau gue yang makin tinggi."

"Diem deh lo, gausah ngomongin tinggi badan."

"Huuuu, kalahan," ejek Nawasena yang mulai memunguti shuttle cock yang berserakan di bawah.

"Yang menang bersihin shuttle cock," ujar Bora yang memilih untuk duduk di pinggir lapangan dan meneguk air mineral di tumblr-nya.

"Iya, Nyai."

Seusai mengumpulkan shuttle cock, Nawasena menghampiri Bora. Lelaki itu berdiri dan menundukkan wajahnya, menatap Bora yang memang sedari tadi sedang menatap langit. "Jangan nangis lagi, ya, Ra. Ngoceh aja yang banyak, lo lebih cocok jadi nyai-nyai dibanding jadi bayi."

"TELINGA GUE GA BISA DENGER SUARA IFRIT!"

πππ
Kalian yang tim Nawasena-Bora, bagian dari ifrit karena ga mikirin perasaan Xena. Hehehehe.

MAU NANYA SERIUSSSSSS

ceritaku yang ini ada bagian yang ga logisnya ga ya? jawab plisss sama jelasin kalau ada yang ga logis menurut kalian, thanksss.

Continue Reading

You'll Also Like

2.7K 219 41
Muren. Kota tanpa hukum, yang berhasil melahirkan Umella. Itu adalah, aku. Seorang remaja yang menghidupi mimpi dari keringat sendiri. Karena kedua o...
272K 32.3K 43
(TAMAT, PART DIACAK) Temukan cerita yang sama di Dreame/Innovel ________________________________ "Ikuti apa yang aku katakan!" "Melompatlah." Jangan...
3.5K 336 21
Kasus pembunuhan yang terus-menerus terjadi pasti akan membuat semua orang sangat waswas dan takut. Itulah yang dialami oleh murid-murid Galaxy High...
20.9K 2.9K 34
Teka-teki dan masa lalu. Teka-teki akan terpecahkan jika masa lalu terungkap. Tapi bagaimana jadinya jika masa lalu tersebut sudah hilang dari ingata...