[✓] From 5317 Miles

By Elfpath

70.3K 10.9K 996

Sebuah cerita sederhana antara Choi Seungcheol--seorang editor buku di perusahaan penerbit di Seoul, dengan Y... More

Prologue
Munich
Seoul
oktoberfest
Business Trip
First Meeting
Pretzel and Beer
Cold Pizza and Brandy
Kissing The Tipsy
Zweisamkeit
Like, Realizing Things
Ich liebe dich
Ich werde Sie vermissen
Home
Satan Temptation
A Wine of Advice
An Alley in Berlin
You Were Beautiful
Can't Lose What You Never Had
Lies
Won't You Say It
Standing Still
Umbrella
Last Chance
Answer
Epilogue
2/4 : Bonus Chapter
3/4 : Bonus Chapter
4/4

1/4 : Bonus Chapter

1.3K 166 21
By Elfpath

Pernikahan mereka yang sudah berjalan selama hampir satu dekade dapat dikatakan sebagai hal yang menyenangkan dan dramatis, tidak jarang penuh dengan tekanan yang diakibatkan oleh diri mereka masing-masing. Semakin bertambahnya umur mereka, semakin banyak hal yang mereka debatkan dan semakin kerasnya kepala mereka untuk mengalah. Untuk Yoon Jeonghan sendiri meskipun ia terkadang mengalah, tetapi keesokannya akan membalas dendam dengan mendebatkan hal yang lain hingga dia menang. Meskipun terlihat tidak menyehatkan tetapi ini adalah salah satu cara mereka untuk dapat berkomunikasi satu sama lain dan jika perdebatan tidak berakhir maka ranjang adalah tempat mereka untuk menyelesaikannya.

Jika ditanya apakah mereka saling mencintai dan menyayangi tentu jawabannya adalah ya. Very much so. Tidak ada hari tanpa Seungcheol untuk tidak mengirimkan delivery food ke kantor Yoon Jeonghan, begitu juga sebaliknya—bahkan makan siang sambil video call bukanlah hal yang aneh untuk mereka.

"Oh that motherfucker, you remember him? The asshole client of mine who asking for fucking ridiculous things about everything, he tried to ask me as her daughter's interior designer." Jeonghan bersungut-sungut dengan mulut penuh makanan dan kata-kata kasar keluar dari mulutnya.

Seungcheol yang hari ini memutuskan untuk makan siang bersama dengan Jeonghan di kantor sang designer menggelengkan kepala saat mendengarkan perkataan yang keluar dari mulut kotornya.

"Tetapi tetap kamu ambil, kan?"

"Of course, the money is good. She asked thrice our rate."

"Tiga kali? Aku punya firasat buruk tentang ini." ujar Seungcheol dengan alis mengerut.

Jeonghan menatap sang suami dengan mata terbelalak. "Oh shit, kamu benar juga. Dia menawarkan tiga kali harga pasti ada sesuatu yang menyebalkan. Dear god."

"Dari proposalnya tidak ada yang aneh?," tanya Seungcheol mencoba memberikan jalan keluar dari kemungkinan kesalahan yang baru saja disadari oleh suaminya. "Mungkin kamu bisa recheck kembali, yang pitching ke mereka siapa?"

"Perempuan itu yang datang ke tempatku kemarin dan memberikan map berisi proposal terkait rumah anak perempuannya. Aku lihat tidak ada yang aneh, tetapi aku akan recheck kembali seperti katamu." Jeonghan menjawab dan menyingkirkan mangkok plastik ke sampingnya lalu mengambil buku catatan dan menuliskan sesuatu dengan menggigit bibir, kebiasaan yang tidak pernah hilang saat ia menulis dalam keadaan kesal.

"Kubilang juga apa, kau terlalu cinta uang."

Jeonghan mendengus. "Sure, as if your salary is better than mine."

Perdebatan tentang gaji siapa yang paling tinggi selalu menjadi perdebatan yang nomor tiga yang paling sering mereka bahas, meskipun perdebatan ini tidak memiliki maksud yang buruk tetapi jika terlalu sering didebatkan akan menimbulkan hal yang tidak diinginkan seperti saat ini. Seungcheol balik merengut menatap Yoon Jeonghan.

"Right, sorry yang sudah sukses padahal pas awal-awal aku yang menyuntikkan dana ke perusahaan milikmu."

Jeonghan tertawa pelan mendengarkan nada kesal sang suami. "Cheol, it was you yang membuat pembicaraan tentang uang."

"Seharusnya tidak kau tanggapi," Seungcheol mengerucutkan bibir. "Aku hanya bercanda."

"Ha!," Jeonghan berseru kencang. "Lihat, kan? Kalau aku tidak menanggapi kau akan ngambek dan saat aku tanggapi kau juga ngambek. Childish."

Ia membereskan mangkok ramen yang isinya telah ia habiskan dengan cepat di awal, akibat kelaparan karena tidak sarapan karena bangun kesiangan bukanlah hal yang aneh untuk Yoon Jeonghan, meskipun ia sering menyalahkan Seungcheol yang tidak membangunkannya padahal mereka berdua termasuk orang yang cukup sulit bangun pagi.

"Kalau aku childish kau apa?" tanya Seungcheol sambil menguap dan menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tangan bersedekap di dada.

"Tidak childish, of course." Lelaki berambut pirang sebahu itu tertawa terbahak melihat wajah manyun sang suami.

Seungcheol ikut tertawa bersama sang suami yang menertawakan dirinya. Ia menyukai melihat Jeonghan yang tertawa terbahak-bahak, meskipun ia harus merelakan dirinya yang dijadikan bahan tertawaan lelaki tersebut.

"Omong-omong, hari ini Ibu menghubungiku dan memintamu memikirkannya."

Jeonghan menghentikan tawanya dan menoleh menatap Seungcheol. "Tentang itu?"

"Iya, kamu tahu kan bahwa Ibuku hanya mengkhawatirkan kita kedepannya saja. Beliau bilang kita sudah hampir sepuluh tahun dan mungkin beliau tidak ingin kita kesepian di hari tua nanti, untuk mengurus kita." kata Seungcheol menjelaskan dengan senyum kecil dan meminum latte dengan kikuk. Ia melirik ke Jeonghan yang menatapnya dengan tatapan serius.

"Bagaimana ya," Jeonghan bergumam, kedua alisnya mengerut. "Dengan Ibumu mengatakan bahwa memiliki anak adalah salah satu opsi agar kita ada yang mengurus dan menemani di masa tua nanti, aku sudah tidak suka. Kalian kenapa melihat anak sebagai investasi? Memang kamu tahu anak itu mau melakukan itu semua?"

"Bukan begitu, Han."

"Bukan begitu bagaimana? Jelas-jelas Ibumu mengatakan hal seperti itu."

Seungcheol menghela napas panjang, ia sudah tahu bahwa percakapan ini akan menjadi salah satu perdebatan besar mereka. Jika tidak diselesaikan di sini maka sampai mereka bertemu di rumah malam nanti juga masih akan tetap berlanjut.

"Begini," Seungcheol bersuara kembali dan menarik sang suami agar berdiri di depannya. "Mungkin kita harus mengadopsi anak yang setuju dengan klausa yang kau sebutkan tadi, itu sama saja kan kita meminta konsen mereka."

"Tidak, Seungcheol. Jika dilakukan seperti itu sama saja kau bukan mencari anak tetapi mencari pengasuh untuk diri kita nanti, kau mencari seorang pekerja."

"Lalu bagaimana? Kau benar-benar tidak menginginkan anak?"

"Tidak. Aku tidak ingin memiliki anak dengan alasan seperti itu dan kita sudah membahas ini di awal pernikahan kita, I want a free-child marriage."

"Aku tidak mengerti jalan pikiranmu." Seungcheol menyahut dengan jujur. "Jawab jujur, kenapa kau sangat menolak memiliki anak?"

"I hate them, those little shit." Jeonghan menjawab dengan dengusan keras dan seringai kecil. Ia benar-benar sangat tidak menyukai anak-anak, ia benci sekali mendengar suara mereka yang menangis, tingkah yang tidak bisa diatur, suara teriakan yang membuat dirinya pusing.

"The fuck, Jeonghan? What did they do to you?" Seungcheol bertanya. Amarah yang ia pendam sedikit terlihat.

Jeonghan berjalan mengelilingi ruang kerjanya dengan langkah besar, mencoba untuk tidak berteriak di tempat kerja yang kemungkinan akan terdengar oleh karyawannya dan menenangkan dirinya. Ia benar-benar membenci Seungcheol yang selalu memberikan pertanyaan kenapa kenapa kenapa dan kenapa seakan-akan seluruh kehidupan dan perilaku dirinya membutuhkan alasan jelas.

Jeonghan berhenti tepat d depan jendela yang ia tutup dengan tirai plastik, mengintip ke arah luar dan melihat karyawannya belum kembali dari makan siang. Dengan helaan napas pelan, Jeonghan berbalik menatap Choi Seungcheol yang masih duduk di kursi semula dengan tatapan tajam.

"Aku hanya tidak mau, oke? Pernikahan tidak harus memiliki anak. Aku bahagia hanya denganmu dan kalau kau mati lebih dahulu aku akan mengirim diriku ke panti jompo, atau kalau aku yang mati dahulu aku akan membuat wasiat agar kau ke panti jompo." kata Jeonghan dengan cepat dan suara naik satu oktaf yang membuatnya terengah-engah.

Seungcheol hanya menatapnya dengan mulut terbuka yang diikuti oleh suara tertawa hambar yang pelan. Ia masih tidak mempercayai jawaban itu akan keluar dari mulut Yoon Jeonghan, orang yang selalu tidak pernah bisa memberikan jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan.

"Listen,"

"No, you listen to me."

"Jeonghan!"

Mata Yoon Jeonghan melebar. "Did you fucking—motherfucker, aku tidak ingin berlarut-larut dengan hal tolol ini, oke? Aku selalu tidak suka ketika Ibumu memaksa kita." Kata-kata mama boy hampir saja keluar dari ujung lidahnya namun ia masih dapat menahan diri untuk tidak mengatai Seungcheol dengan kata-kata yang paling dibenci lelaki tersebut—but he surely a mama boy, fuck off.

"I did everything you wanted me to do, all my sacrifices. Aku setuju untuk tinggal di rumah yang kau pilih, aku setuju kau masih bekerja even i can feed you without difficulties, aku setuju saat kau selalu kabur ke Jerman dan semua hal yang aku lakukan untukmu. Kenapa kau tidak mengiyakan hal yang aku katakan?"

Jeonghan mendengus mendengar perkataan tersebut. Orang aneh, pikirnya sambil menatap Seungcheol dengan wajah memerah. Ia membalas dengan nada datar. "Jadi, ini keinginanmu bukan keinginan Ibumu?"

"My mom's wish is mine."

"Funny," Jeonghan bergumam dengan nada datar. "Kalau begitu kau seharusnya menikahi orang yang dipilihkan oleh Ibumu bukan aku, since her wish is yours but hence you trapped with me."

"Itu hal berbeda."

"Hal yang sama. I swear to god aku akan kabur dari rumah kalau begini terus." Jeonghan bergumam dengan kesal.

"Oh, kabur?" Seungcheol berkata dengan suara menantang. "Sana kabur, kamu selalu kabur kalau terjebak masalah dan tidak punya alasan baik untuk defend yourself."

"Terserah." Jeonghan melambaikan tangan tidak peduli. "Sekarang kau keluar dari sini dan kita lanjutkan pembicaraan tolol ini nanti saat di rumah, aku tidak ingin orang kantor mendengar perdebatan tolol ini."

"Fine, do as you wish."

Seungcheol berdiri dengan kasar dan memberi kecupan sekilas di bibir sang suami sebelum berjalan keluar ruang kerja Jeonghan dan membanting pintu kaca tersebut sedikit lebih keras. Meskipun mereka sedang bertengkar dan berkepala panas, tetapi kebiasaan mengecup satu sama lain tidak pernah mereka lepaskan.

— — —

1,389 words

Halo! Bagaimana kabarnya?

Maaf baru posting bonus chapternya sekarang karena jujur aku lupa... and life happens (as usual!)

So, what do you think? Semoga gaya tulisanku a bit better than previous ya hehehe.

See you on next part! Be healthy!

Continue Reading

You'll Also Like

48.5K 6.7K 11
"Setiap gadis mendambakan kisah cinta yang begitu indah. Aku pun sama. Meski pada akhirnya hanya sepi yang selama ini harus kuterima." Katya Diantha...
38.2K 5.1K 9
Jatuh cinta pada sahabatmu sendiri memang tidak mudah. Apalagi ketika sahabatmu bukanlah orang yang peka dan seringkali menyakitimu tanpa sengaja de...
27.3K 1.7K 33
"aku sudah lelah, bagaimana cara mengakhirinya" wonwoo "tidak!, maafkan aku" mingyu "aku tidak tau masa depan seperti apa" wonwoo mingyu x wonwoo mea...
9K 1K 12
Keduanya terikat, sehidup semati. Ketika yang satu hidup, yang lainnya hidup. Ketika yang satu mati, yang lain pun akan mati. Namun kali ini, ceritan...