ARGARAYA

By adanysalsha

144K 21.1K 147K

"Mulai hari ini, lo jadi babu gue di Sekolah!" ucap Arga dengan sorot mata menajam kepada Raya. More

BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 14
BAGIAN 15
BAGIAN 16
BAGIAN 18
BAGIAN 19
BAGIAN 20
BAGIAN 21

BAGIAN 17

4.2K 712 399
By adanysalsha

H A L O  S E M U A 🖤

- H A P P Y   R E A D I N G -


Sebelum baca, nih lihat dulu Arga mode gantengnya keluar🖤😇🙏



•••


Kini mobil yang di bawa oleh suruhan Arya- Papa Arga, sampai di sebuah tempat di mana Arga tidak mengenal tempat tersebut. Bangunan agak tua yang begitu tinggi dan megah.

Dengan cepat, dua bodyguard itu membawa Arga secara paksa ke dalam bangunan tersebut.

Arga tampak diam dan menatap diam sekitarnya. Ia tidak memberontak sedikit pun. Ia sangat bersedia dan bahkan sudah bersedia jika ia di hajar oleh Papanya saat ini juga.

Di sebuah sofa, kini sudah duduk seorang pria dengan kacamata hitam dan pakaian formalnya. Pria itu pun dengan cepat melepas kacamatanya saat melihat siapa yang sudah berdiri di hadapannya sekarang.

Dua bodyguard itu kini mundur beberapa langkah, sementara dapat Arga lihat empat bodyguard lainnya baru saja datang dan berdiri di belakang Papanya.

Arya tersenyum miring, menatap anaknya dengan tatapan remeh.
"Hebat ya sekarang. Berapa perempuan yang sudah kamu pacari? Atau bahkan kamu hamili?" tanya Arya dengan tuduhannya pada Arga.

Arga tak menjawab, ia mencoba menahan dirinya agak tak memberontak.

Arya berdiri, lalu mendekat kepada anaknya. Kini Arya berdiri tepat di depan Arga dengan tatapan tajam.

bugh!

Arya menonjok perut Arga dengan kuat, membuat Arga merukuk memegang perutnya menahan rasa sakit. Namun, ia masih menahan mulutnya untuk tak mengatakan apapun.

"Masih kurang itu. Dulu saya mengajarkan kamu karate kan? Tunjukan kekuatan kamu, lawan saya!" gertak Arya menantang Arga.

Arga menegakkan tubuhnya, menatap sang papa dengan tak percaya. Mengapa ada orang tua setega ini pada anaknya?

Arga benar-benar mengepalkan kedua tangannya, ia sudah tak tahan dengan perlakuan Papanya.

"To the point! Apa mau Papa sebenarnya?" tanya Arga dingin.

Arya tertawa. Lalu menepuk pelan bahu Arga. Menatap anak itu beberapa detik dan...

PLAK!

Arga di tampar kuat oleh Arya hingga ia hampir tersungkur ke lantai, untungnya ia menahan diri agar tetap berdiri. Kini ia memegang pipi kirinya yang tampak sudah memerah.

Arya kini memegang kuat kerah Arga, lalu menatap horor sang anak sambil menarik kasar kerah tersebut. "JAWAB SAYA! APA YANG KAMU LAKUKAN DENGAN PEREMPUAN KAMPUNG ITU? KAMU PUNYA HARGA DIRI KAN!" teriak Arya penuh amarah.

"Dia punya nama, bukan perempuan kampung!" jawab Arga tegas.

"KAMU MENCOBA INGIN HAMILI DIA?"

Arga terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan itu. Kemudian dengan berani ia menjawab. "Kalo iya, kenapa?" ucapnya serius.

PLAK!

Sekali lagi Arga di tampak kuat oleh sang Papa, kemudian Arya mendorong Arga hingga kini tersungkur ke lantai.

Karena belum puas, Arya menarik Arga kembali dengan kasar, kini mereka berdua sama-sama berdiri berhadapan, lalu Arya menatap kecewa pada Arga, tangannya kini mencengkram pada kerah sang anak.

"KAMU JANGAN BOHONGI SAYA. DUA BODYGUARD SAYA MELIHAT KAMU DAN PEREMPUAN ITU MASIH BERDEBAT DI LUAR! INGAT ARGA, KAMU ADALAH PENERUS SAYA, JANGAN PERNAH MELAKUKAN APAPUN SEBELUM SAYA PERINTAHKAN! DAN STOP BERTINGKAH SEPERTI ORANG TIDAK PUNYA PENDIDIKAN!"

Mendengar itu, Arga tersenyum miris. "Apa yang Papa mau dari aku? Ini hidup aku Pa, aku punya hak dalam memilih, dan kalian gak pantas menentukan kehidupan aku!"

Arya mengepalkan kedua tangannya. Lalu dengan wajah penuh amarahnya ia menatap empat bodyguard-nya, "Bawa anak ini ke rumah, kurung dia di kamar dan berikan kuncinya pada saya. Ingat, jika kalian lalai akan hal ini, kalian akan terima akibatnya!" perintah Arya penuh tegas.

"SIAP PAK."

Dengan cepat mereka memegang Arga, namun Arga menahan dirinya dan memberontak dari orang-orang itu. "Tunangkan aku sama Raya, setelah itu Papa bebas melakukan apapun." pinta Arga pada Arya.

Dengan cepat bodyguard itu memegang Arga lagi, Arga mencoba memberontak namun gagal.

"PA, TOLONG PA... KALI INI AJA AKU MINTA HAL ITU KE PAPA..."

"Justru saya yang akan mengikat kamu dengan perempuan lain. Siap-siap, dalam waktu dekat, kamu akan bertunangan dengan Echa." ucap Arya dengan penuh keseriusan.

Arga terdiam dan menggeleng tak percaya dengan fakta yang Papanya ucapkan barusan.

Tunangan bersama Echa?

"NGGAK PA! NGGAK! AKU MENOLAK HAL ITU. AKU CUMA CINTA SAMA RAYA, PA! AKU GAK AKAN BISA NERIMA ECHA PA! ECHA CUMA SAHABAT AKU PA! ECHA UDAH AKU ANGGAP KAYAK ADIK AKU SENDIRI, PA!"

Arya diam dan terus menatap anaknya yang kini semakin jauh di bawa oleh beberapa bodyguard keluar dari bangunan ini.

"AKU JATUH CINTA SAMA RAYA, PA..."


***


Raya berusaha menghubungi Jep dan Hero. Namun, dua laki-laki itu belum juga mengangkat teleponnya.

Dengan cepat, Raya mengetik sesuatu pada room chat WhatsApp Jep.

Raya: Jep, Arga di bawa sama suruhan Papanya. Tolong dia Jep, please. Gue gak tega Jep. Sekarang lo bisa gak ke sini, lokasinya bakalan gue share, ajak Hero juga ya. Arga minta bantuan sama kalian berdua🙏

Tak menunggu lama, tiba-tiba pesan itu langsung di balas oleh Jep.

Jep: Lo serius Ray? Sorry, gue gak bisa angkat telepon sekarang, di kelas lagi ada guru.  Tenang, jangan panik. Gue dan Hero bakalan ke sana, share lokasi lo sekarang ya.

Raya sedikit lega karena membaca pesan dari Jep. Dengan cepat, Raya segera mengirimkan alamatnya.

Setelah itu, Raya duduk di sebuah kursi yang ada di halaman tersebut, ia masih membayangkan dirinya bisa menyatakan cinta pada Arga.

Kenapa ia spontan mengatakan hal itu? Padahal ia berusaha keras untuk tidak mengatakannya.

Raya memejamkan matanya, ia menggigit jari tangannya, kenapa dirinya bisa seperti ini? Jantungnya berdebar terus menerus. Ada apa dengan dirinya? Apa ini cinta pertamanya? Ya, ia sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Ternyata, ia selama ini sudah salah paham pada Arga. Laki-laki yang ia anggap adalah orang yang paling membencinya, musuh abadinya, justru laki-laki itu dengan tingkat keberaniannya ingin mengikat cinta pada Raya. Raya tidak bisa percaya bahwa ini adalah nyata.

Kenapa Arga menyukainya?

Padahal dirinya hanya perempuan biasa, perempuan yang dengan segala kekurangan.

Tapi, anehnya mereka berdua tiba-tiba saling mengungkapkan perasaan cinta!

Aneh!

Sangat aneh!

Atau mungkin, sebenarnya sejak mereka musuhan, perlahan-lahan tumbuh rasa cinta itu?

Entahlah, Raya tidak mengerti bahagianya awal perjalanan rasa ini.

Arga juga tak ingin jauh darinya. Di mana Raya menghindar, Arga selalu menemukannya. Sungguh!

Raya kini menatap motor Arga, ia membayangkan laki-laki itu kini di aniaya oleh Papanya.

Tidak! Itu tidak boleh terjadi, Arga tidak boleh terluka. Jika Arga kenapa-kenapa, maka ini semua adalah kesalahannya.

Raya kini menyalahkan dirinya sendiri.

Ia adalah penyebab semua ini.

Setelah menunggu cukup lama, Jep dan Hero datang dengan satu motor. Mereka langsung berhenti tepat di samping motor Arga, dengan cepat pula Raya mendekati dua orang itu.

Raya berdiri, lalu mendekati dua orang itu. "Jep, Hero... Tolong Arga... Kasian dia, tolong... " ucap Raya penuh khawatir sambil menahan air matanya.

"Iya, Raya. Tenang." ucap Jep yang kini turun dari motor.

"Di mana Arga?" tanya Hero yang masih di motor, kemudian ia mematikan mesin motornya.

"Dia di bawa dengan paksa sama bodyguard Papanya. kalian pasti kenal kan gimana orangnya, gue minta tolong sama kalian, bantu dia." ucap Raya panik sambil menahan tangis.

"Tenang Raya, tenang... Gue yakin Arga baik-baik aja. Sebelum dia pergi, dia ada bilang ke elo gak, dia nyuruh kita berbuat apa setelah ini?" tanya Jep yang berusaha menenangkan perempuan itu.

"Lo ngapain berduaan sama Arga di tempat kayak gini?" tanya Hero dengan tatapan menyelidik.

Raya terdiam.

"Udahlah bro, bukan saatnya nanya ini, kita selamatin Arga dulu dari Papanya. Lo tau kan om Arya gimana?  Bisa-bisa Arga babak belur..." ucap Jep yang kini menengahkan suasana.

"Ya lo pikir sendiri ajalah Jep, gak mungkin ada asap kalo gak ada api. Pasti om Arya marah besar kayak gitu ada penyebabnya." ucap Hero sambil menatap Raya dengan emosi.

Raya kini menunduk. Ia tak berani mengatakan mengapa Arga membawanya ke sini.

"Ro, lo juga harusnya mikir, gak mungkinlah Raya yang ngajak Arga ke tempat ini!" gertak Jep pada Hero.

"Lo guna-guna Arga kan? Sampe dia ajakin lo ke sini?" tuduh Hero pada Raya.

"UDAH RO UDAH. LO APA-APAAN SIH? MALAH NUDUH RAYA KAYAK GITU? LO JUGA HARUSNYA TAU DARI AWAL, YANG BULLY RAYA ITU ARGA," tegas Jep.

Raya meneteskan air matanya. "Hero gue minta maaf kalo ada salah sama lo, tapi gue bener-bener gak pernah ada niat sedikit pun dengan apa yang lo ucapin itu. Kalo gitu gue pulang duluan aja ya... Ini kunci motor Arga. Dia tadi pesan, kalo kalian harus selamatkan dia di rumahnya. Dari rumah neraka itu. Bawa dia pergi."

Setelah menyerahkan kunci itu pada Jep. Raya berlari entah menuju ke mana. Yang penting ia harus menjauh dari dua sahabat Arga.

Raya benar-benar tak mau membuat Hero kesal. Ia yakin, Hero sama seperti Echa, membenci dirinya.

"Tuh anak pergi kan gara-gara lo njing!"

"Bodo amat. Tuh cewek pembawa sial untuk Arga. Harus banget di jauhi." ucap Hero kesal.


***


Arga sampai di rumahnya.

Ia masih di pegang dengan dua bodyguard.

Kini dua pria itu membawa Arga masuk ke dalam rumah. Terlihat Tasya yang sedang duduk di ruang tamu kini langsung berdiri dengan wajah syoknya.

"Arga..." ucap Tasya yang begitu khawatir saat menatap wajah anaknya yang kini memerah. "Lepasin anak saya!" pinta Tasya dengan tegas pada dua pria itu.

"Maaf Bu, ini perintah Pak Arya. Arga harus di Kurung di kamarnya. Permisi Bu... " ucap salah satu pria itu.

"Mama tenang aja, aku gak kenapa-kenapa. Tolong nasehati papa tentang keinginan aku ma, aku gak akan minta apapun lagi setelah ini." pinta Arga penuh harap pada sang Mama.

Dengan cepat dua bodyguard itu langsung membawa Arga naik ke lantai atas, menuju kamar Arga.

Melihat anaknya dalam kondisi seperti itu, Tasya terduduk di sofa sambil menahan kesedihannya.

Kenapa suaminya tega melakukan hal ini pada anaknya?



***



Jep memberhentikan motor yang ia bawa saat melihat Raya yang berdiri di tepi jalan raya. Untung saja gadis itu belum jauh dari tempat ini.

Hero ikut berhenti di belakang Jep, "Ngapain sih lo? Tuh cewek kan udah bilang mau pulang sendiri."

"Lo kalo mau duluan, silahkan. Lo tau kan, di tempat TKP itu ada Raya, kalo kita mau bantu Arga ya kudu ada Raya juga lah, cuma dia yang tau penyebab Arga bisa kayak gini karena apa..." jelas Jep pada Hero.

Hero hanya berwajah malas dan diam.

Jep turun dari motor yang ia bawa. Ia membawa motor Arga. Sementara Hero membawa motornya sendiri.

"Raya, sini..." panggil Jep pada Raya.

Raya menghela napas saat mendapati ada Jep dan Hero. Ia berjalan malas mendekati dua laki-laki itu.

"Kenapa lagi?" tanya Raya.

Jep dapat melihat Raya seperti habis menangis. "Lo habis nangis ya?"

Raya diam sejenak, lalu menatap Jep dan Hero secara bergantian. "Jujur Jep, gue bener-bener merasa bersalah dengan Arga. Gara-gara gue, Arga dapat hukuman dari Papanya. Gue juga bingung, kenapa semua ini terjadi, gue____"

"Jelasin, apa yang terjadi!" ketus Hero di motornya.

Raya diam.

"Diam lo kan? Lo bahkan gak bisa jelasin ke kita apa yang udah terjadi!" gertak Hero pada Raya.

"Udah Ro." ucap Jep menenangkan.

Raya benar-benar tak bisa mengatakan apapun pada dua orang ini sebelum ia mendapat izin dari Arga. Jika sampai Arga marah, maka situasinya akan bertambah berat.

"Raya, sekarang lo ikut kita ya. Bantu gue please..."

"Alah untuk apaan sih Jep dia ngikut segala, malah susah nantinya."

"HERO! LO JANGAN EGOIS LAH!" kesal Jep.

Raya mundur selangkah, "Kalian aja. Nanti gue bakalan bantu hubungi Bi Rani. Arga yang minta ke gue tadi. Nanti gue bakalan telpon lo Jep, buat kasih tau apa yang udah Bi Rani sampaikan ke gue... Ya... "

Jep diam sejenak, lalu mengangguk. "Oke kalo gitu, oh iya lo pulang sama siapa?" tanya Jep.

"Gue udah pesen ojek online. Kalian duluan aja ya. Dan gue mohon, kabari gue secepatnya nanti kalo udah di sana." pinta Raya memohon.

"Oke siap. Gue duluan ya."

"Iya Jep. Hati-hati..."

Setelah dua motor itu pergi meninggalkan Raya. Ia mengeluarkan ponsel milik Arga yang ada padanya. "Di sini pasti ada nomor Bi Rani. Aku harus telepon Bi Rani." Dengan cepat Raya membuka ponsel tersebut.

Tak lama kemudian, ojek online pesanan Raya datang. Dengan cepat, Raya segera menaiki motor itu.



***



"Halo, den Arga?"

"Ini... Raya, bi. Temannya Arga..."

"Loh, kok ponselnya ada sama kamu?"

"Iya. Jadi gini bi, Arga kan ada masalah sama papanya, jadi Raya di suruh hubungi bibi buat memastikan Arga di rumah baik-baik aja, soalnya tadi dia di bawa paksa sama bodyguard, Raya takut Arga di apa-apain sama papanya. Raya boleh minta tolong gak bi?"

"Iya, bibi udah dengar semua dari Nyonya. Nyonya bilang, den Arga suka sama kamu, bibi udah tau dari nada bicara kamu, dari sikap kamu waktu ke rumah ini, kamu gadis yang baik dan manis, bibi harap den Arga bisa bahagia sama kamu..."

"Makasih banyak ya bi, ta-tapi..." Raya tiba-tiba menangis.

"Kenapa nangis Raya?" tanya Bi Rani khawatir.

"Semua ini gara-gara Raya. Raya tau, papa Arga gak suka sama Raya. Dan Arga jadi melawan sama papanya, menentang papanya karena aku. Padahal, aku benar-benar gak mau semua ini terjadi...aku gak mau Arga kenapa-kenapa bi," isak Raya.

"Raya yang manis. Udah gak apa-apa sayang. Ini bukan kesalahan kamu. Bibi kenal betul bagaimana Arga. Dari kecil, bibi udah ngerawat dia kayak anak bibi sendiri. Sebenarnya dia anak yang baik, tidak suka memberontak seperti sekarang ini, dia berubah karena tuntutan dari papanya, apapun keinginannya, selalu saja di tepis oleh Tuan Arya...bibi kasihan melihat dia..." curhat bi Rani pada Raya.

Raya terdiam.

Ternyata, selama ini Arga hidup dengan tekanan di bawah orang tuanya.

Padahal, Raya mengira Arga adalah orang kaya raya yang begitu sangat beruntung juga memiliki keluarga lengkap, namun ada kesedihan  terdalam di dalam lembar hidupnya.

"Bi, makasih ya, bibi udah jagain Arga."

"Iya Raya. Kamu juga harus jagain Arga ya, jangan bikin dia sakit hati." pesan bi Rani.

Raya menahan senyumnya sambil menahan air mata. "Bi, kalau aku boleh tau, Arga gimana sekarang? Bibi, aku boleh minta tolong, lihatin Arga ke kamarnya, aku khawatir sama dia."

Bi Rani diam sejenak, lalu detik berikutnya ia menghela napas.

"Raya, di depan pintu den Arga sekarang ada dua bodyguard, duduk di kursi, tepatnya di sisi kanan dan kiri pintu, gimana bibi mau ke sana ya?"

"Atau bibi pura-pura mau anter makanan?"

"Oh iya, sebentar ya Raya. Bibi taruh ponselnya di saku, tapi kamu jangan matikan telepon nya, kamu dengarin aja ya. Jangan bersuara."

"Siap bi..."

Setelah menunggu begitu lama, Raya sedikit menahan kaget, ternyata bi Rani terdengar sudah menaiki tangga.

"Permisi, boleh saya antar makanan den Arga?" tanya bi Rani pada dua bodyguard itu.

"Silahkan bi, tapi jangan lama-lama."

"Iya."

Terdengar pintu terbuka.

"Den Arga. Ayo makan dulu..."

"Bi Rani?"

Raya mulai menyimak dengan jelas. Itu adalah suara Arga!

"Bi, gimana? Apa Raya ada telepon bibi? Aku mau nanya ke dia, apa dia baik-baik aja? Soalnya dia lagi sendirian di sana, bi..." terdengar suara Arga yang tampak sangat khawatir.

Mendengar itu, Raya tersenyum sambil menahan air matanya.

"Iya den...bibi lagi teleponan sama dia. Ini, dia mau bicara sama kamu." bi Rani tampak memberikan ponselnya pada Raya.

"Raya, lo di mana sekarang? Ada Jep dan Hero datang kan? Lo di anterin pulang sama mereka kan?" tanya Arga yang begitu sangat khawatir.

Raya terisak. "Arga. Sebelumnya aku beneran gak pernah nangis kayak gini karena laki-laki. Aku beneran malu sama kamu, tapi... Aku beneran khawatir sama kamu, kamu ada yang luka gak? Papa kamu apain kamu? Mukul kamu? Atau nampar kamu? Ayo kasih tau aku Arga... Maaf aku cengeng..." Raya terus sesenggukan menangis. Ia beringkuk di ranjangnya sambil memeluk guling.

"Gue ke balkon kamar nih, jauh dari bi Rani. Nanti dia senyum-senyum lagi denger lo nangis kayak gitu."

"Kenapa senyum-senyum?" tanya Raya yang mulai meredakan tangisannya.

"Ya lucu aja. Lebih tepatnya aneh sih. Gue gak kenapa-kenapa kok. Udah ya nangisnya." Arga menahan senyum.

"Jadi aku aneh ya nangisin kamu kayak gini?" tanya Raya yang kini duduk sambil membayangkan dirinya menangis seperti tadi.

"Ya aneh aja. Baru kali ini, lo nangis khawatirin gue. Lucu."

"Arga. Kamu ngomong gini, sambil senyum atau raut wajah kamu kesel? Kalo kamu benci sama aku, kenapa nyatain perasaan tadi! Hah!" ucap Raya yang tiba-tiba emosi plus kesal.

"BI RANI, CALON ISTRI ARGA NIH BAWEL BANGET."

"Heh! Argaaaaa... Please jangan teriak!" ucap Raya menahan malu. Ia menahan senyum sambil terbaring di ranjangnya kembali. Arga benar-benar cowok aneh.

"Lo anggep gue selalu galak ke elo kan? Sekarang galak gue cuma buat cowok yang deket-deket sama lo, atau bisa habis tuh cowok di tangan gue."

Ucapan Arga kini membuat Raya  semakin salting brutal.

Agghhhhh!

Raya terus membenturkan kepalanya ke bantal sambil menahan senyumannya, jantungnya berdebar kencang.

"Kenapa diam?" tanya Arga.

"Ekhm..." Raya mencoba menormalkan keadaan. Ia batuk beberapa saat dan duduk kembali. "J-jadi gimana? Kamu di sana ada liat Jep dan Hero gak di luar? Katanya mereka mau ke tempat kamu."

"Kayaknya mereka belum bisa masuk ke lingkungan rumah gue, pasti di depan sana ada bodyguard yang lagi jaga."

"Kamu beneran gak apa-apa kan, Ga?" tanya lagi Raya dengan nada khawatir.

"Iya, gue baik-baik aja. Lo lagi di mana?"

"Aku di rumah. Tadi aku mau ikut Jep sama Hero, tapi kalo aku ikut mereka, takutnya aku bakalan jumpa sama papa kamu, makanya aku milih buat pulang dulu, takutnya masalah ini makin panjang dengar hadirnya aku." ucap Raya memberikan alasan lain.

"Yaudah. Intinya lo udah di rumah. Maaf soal kejadian tadi ya."

"Iya Arga. T-tapi... Kamu sekarang kenapa di jaga ketat sama bodyguard? Kamu di larang keluar rumah?"

"Iya."

"Berapa hari Arga?"

Arga diam sejenak, lalu menghela napas. "Gue bakalan pegang ponsel bi Rani. Gue bakal telepon Jep dan Hero, bantu gue keluar dari rumah ini gimanapun caranya."

Raya menahan kaget, "Kamu mau kabur?"

"Gue punya apartement milik gue sendiri. Gue bakal tinggal di sana untuk sementara waktu. Jangan khawatir." ucap Arga yang kini mengecilkan volume suaranya, mungkin ia takut terdengar oleh bi Rani. Walau bagaimanapun, pastinya bi Rani tidak setuju jika Arga kabur dari rumah ini.

"Tapi Arga..."

"Dan nanti, misalnya gue berhasil kabur  dan udah di apartement, lo bisa dateng ke sana? Gue bakal suruh Jep jemput lo."

"Untuk apa?"

"Bantu obati luka gue."

"Kamu luka Arga? Papa kamu mukul kamu kan?" tebak Raya yang kini kembali khawatir.

"Cuma dikit."

"Di obati sekarang aja Arga. Aku minta tolong bi Rani ya, nanti infeksi kalo gak sekarang di obatinya..."

"Gak bisa."

"Kenapa?"

"Gue mau lo yang obati."

Raya diam. Ia berdiri dan membuka pintu balkon kamarnya. Ia terus menahan senyuman. Demi apapun jantungnya kembali berdebar.

"Gue matiin teleponnya ya. Nanti lagi, gue mau telepon Jep dan Hero."

"Ya udah kalo gitu, Jaga diri kamu ya Arga..."

"Iya sayang. Jaga diri kamu juga. Aku matiin teleponnya ya."

Raya salting brutal kembali, ia jingkrak-jingkrak penuh bahagia.

Kenapa Arga selalu membuat dirinya terus terbang hingga ke langit.

"I-iya..." jawab Raya sambil mengigit kuku jari tangannya.

Setelah Arga memutuskan sambungan telepon, Raya kini berdiri dan loncat-loncat di atas ranjang.

"ARGA...NGAPAIN SIH KAMU MANGGIL GITU, AKU BAPER...KAYAK ORANG GILA BENERAN INI MAH..."


***


Setelah banyak cara yang mereka lakukan tidak berhasil juga untuk masuk ke dalam rumah Arga, untung saja Arga tadi menelepon dan memberi tips bagaimana masuk ke dalam lingkungan rumahnya dengan mudah. Jep dan Hero kini berhasil memanjat sebuah tembok besar di sisi kiri lingkungan rumah Arga, tepat di dekat pohon jambu air yang buahnya baru saja tumbuh. Sesekali Jep dan Hero menatap ke sekitar mereka agak takut, karena bodyguard papanya Arga begitu sangat tajam pendengarannya.

Buru-buru kini Jep mengeluarkan ponselnya. Lalu segera menghubungi Arga.

"Gue sama Hero di bawah, ya lumayan ketar-ketir lah lihat kanan kiri rumah lo, penuh sama tuh bodyguard." keluh Jep sambil berjongkok di bawah pohon jambu air bersama Hero.

"Gue butuh waktu buat ke bawah. Lo bayangin aja lah di depan pintu gue, tuh orang belum juga pergi. Sekarang, lo berdua tolong gue, ambil tangga di dekat pohon jambu air, lo posisi kan di bawah balkon kamar gue..." ucap Arga.

Jep dan Hero melirik ke arah kanan mereka, ternyata tangga tersebut berada tepat di samping mereka berdua.

"Oke-oke. Siap. Gercep Ga, gue gamau kalo sampe tuh suruhan bokap lo ngeciduk gue sama Hero... Yang ada masalahnya bakalan tambah berat."

"Iya, lo berdua tenang aja."

Setelah itu Arga memutuskan sambungan teleponnya, lalu Jep dan Hero mulai memulai aksinya mengambil tangga di samping mereka.



***


Arga mengambil beberapa pakaiannya dan juga barang-barang penting lainnya lalu memasukkannya ke dalam tas sekolah. Kemudian, ia memasukkan ponsel bi Rani ke dalam laci meja belajar, setelah itu ia mengendap keluar balkon kamar, membuka perlahan pintu balkon tersebut, ia berjalan ke arah ujung teras balkon, dapat ia lihat, di bawah sana sudah ada Jep dan Hero sedang menunggunya.

Teman yang setia.

"Woi. Cepat njing, gue ketar-ketir nih, kaki gue geter." ucap Jep sambil berbisik namun bisa Arga dengar.

"Sabar njing. Lo pikir gue gak ketar-ketir juga? Empat orang lagi jaga di depan kamar gue noh!" umpat Arga.

Jep menghela napas, namun tidak dengan Hero yang kini menahan tawa. "Ga, lo yakin kita bertiga bakalan selamat dari bokap lo?"

Arga tak menjawab, ia melempar tas hitamnya ke arah Hero, dan Hero langsung sigap menangkapnya.

Dengan cepat Arga segera turun, menginjak tanggal perlahan-lahan, "Tahan Jep!" ucap Arga.

Jep dan Hero menahan tangga tersebut.

Yap! Arga berhasil turun.

Buru-buru Arga dan dua sahabatnya itu berlari menuju pohon jambu air yang tak jauh dari mereka, lalu dengan sangat cepat seperti atlit panjat tebing, mereka akhirnya keluar dari pekarangan rumah besar ini.

Mereka pun kini pergi menggunakan motor menuju ke apartment milik Arga.


***


Sebuah notifikasi pesan WhatsApp masuk ke ponsel Raya. Raya yang tengah membersihkan kamarnya kini terhenti sejenak, buru-buru ia mendekati nakas yang ada di samping ranjangnya, di mana ponselnya sedang di charger. Dengan cepat, Raya membuka aplikasi WhatsApp-nya.

Jep : Raya. Ini gue Arga. Lo sibuk ga?

Deg!

Raya memejamkan matanya sejenak, lalu berusaha menghilangkan perasaan campur aduknya. Ia benar-benar merasa senang, sepertinya Arga sudah bebas dari rumah itu.

Dengan cepat, Raya membalasnya.

Ngga sibuk kok. Arga, kamu kabur dari rumah ya? Sekarang di mana? Baik-baik aja kan? Papa kamu gak mukul kamu lagi kan?

Pesannya sudah Raya kirim. Mampus! Kenapa dirinya secara blak-blakan menanyakan hal tersebut.

Dengan cepat, Raya menjatuhkan dirinya di ranjang dan menutup wajahnya memakai bantal.

Sungguh memalukan!

Tiba-tiba saja ponsel Raya berdering nyaring. Membuat Raya sontak berdiri dan melotot ke arah ponselnya.

Mampus!

Arga langsung menelpon dirinya!

Dengan agak gemetar, Raya mengangkat telepon tersebut.

"H-halo?"

"Gue bisa minta tolong?"

"A-apa Arga?"

"Bisa kan ke sini? Sebentar aja Ray. Lagian abis ini juga Hero mau ngajakin dia ke rumahnya. Kayaknya di rumah Hero lebih aman buat sembunyi di sana."

"E-emangnya aku ke sana ngapain ya?"
Raya memejamkan matanya, kenapa dia menanyakan hal bodoh seperti itu.

"HP gue kan sama lo."

Oh iya! Tuh kan! Raya benar-benar malu sekarang!

"Eh... Hehe... I-iya..."

Terdengar tawa Arga di sebrang sana. Membuat Raya benar-benar bertambah malu sekarang.

"Kenapa ketawa Arga!" ucap Raya kesal.

"Lucu aja."

"Siapa?"

"Lo."

Raya menahan senyumnya.

"Berarti aku ke sana anter HP aja kan? Atau aku titipin aja sama Jep?"

"Lo aja ke sini. Gue mau ketemu."

Ingin sekali Raya berteriak keras pada ponselnya bahwa ia juga ingin bertemu dengan Arga. Ia ingin melihat bahwa laki-laki itu benar-benar tidak terluka.

Raya urungkan niatnya. Ia mencoba menahan kebahagiaannya saat Arga menyuruhnya untuk bertemu.

"I-iya. Oke."

"Yaudah, tunggu depan gerbang Ray, bentar lagi Jep dateng."

"Oke."

Dengan cepat, Raya bersiap-siap dengan wajah penuh senangnya.

Namun, senyum Raya mendadak luntur  saat ingat bahwa Hero sangat membenci dirinya.

Bagaimana jika di sana ada Hero?



***


Raya dan Jep sampai di apartment milik Arga. Perlahan, Raya menekan bel pintu  di hadapannya.

Tak lama kemudian, pintu terbuka menampilkan Arga yang sedang memakai pakaian santainya dan juga tampak luka memar di pipi akibat Tamparan keras dari papanya.

Melihat itu, Raya menutup mulutnya dengan satu tangannya. "Arga."

"Masuk." perintah Arga.

Raya dan Jep segera masuk ke dalam. Langkah Raya terhenti saat melihat Hero sedang asik bermain game di atas sofa. Sontak, Hero pun menghentikan aktivitasnya dan kini juga melihat ke arah Raya yang baru saja datang.

Arga menatap Hero dan Raya secara bergantian. "Kenapa kalian?"

Hero pun langsung berdiri. "Ngapain lo bawa nih cewe ke sini, Ga! Lo tau kan penyebab lo sama bokap lo berantem pasti gara-gara nih cewek!" gertak Hero sambil menyorot api pada Raya.

Raya menunduk.

Arga mengangkat sebelah alisnya, menatap tajam pada Hero. "Maksud lo apa ngomong kayak gitu?"

"Udah Arga. Udah. Aku ke sini kan cuma mau kasih HP aku aja ke kamu, ini..." Raya meletakkan HP itu di tangan pemiliknya. "Aku mau pulang dulu, maaf udah ganggu." Raya menahan takut dan buru-buru akan pergi.

Namun, saat akan membuka pintu, pintu itu tidak bisa terbuka karena menggunakan pin.

Raya berbalik, menatap ke arah Arga yang kini juga sama, sedang menatap ke arahnya.

"Arga, a-aku mau pulang, please bukain pintunya..." ucap Raya memohon.

"Gue gak akan biarin lo pulang. Lo udah janji kan sama gue, obati luka gue." ucap Arga dengan tegas.

Setelah itu, Arga menatap ke arah Hero yang kini tampak benci melihat Raya.

Dengan kasar, Arga mendorong bahu Hero. "Ada masalah apa lo sama Raya? Jawab gue! Apa masalah lo sama dia?" tanya Arga dengan tatapan membunuh.

Raya ingin menghentikannya, namun tampaknya Arga benar-benar sedang marah besar. Sementara Jep memilih berbaring di ranjang dan tidak memperdulikannya.

Dengan kasar, Hero menyingkirkan tangan Arga yang mendorongnya. "Gak akan Ada gunanya gue jelasin ke elo." dengan cepat, Hero segera mengambil kunci motornya.

Hero segera membuka pintu itu dengan pin, karena ia dan Jep sudah biasa Keluar masuk apartment ini.

Setelah Hero keluar, Arga mendekati Raya. "Ada masalah apa sama Hero?"

Raya menggeleng. "Ya mungkin Hero makin benci sama aku karena dia anggap aku yang buat kamu kayak gini Arga." ucap Raya sambil menunduk dan menyesali dirinya sendiri.

Melihat Raya seperti ingin menangis, Arga menatap Jep. "Jep," panggilnya.

"Kenapa?" tanya Jep yang kini berhenti bermain ponsel.

"Lo bisa pulang sekarang?"

Jep ternganga. "Lo ngusir gue?"

"Kalo iya kenapa?" ucap Arga tanpa merasa bersalah.

Jep mengangguk mengerti sambil menatap Arga. "Sekarang gue tau, bahayanya benci sama orang tuh ya gini kan akibatnya. Berubah jadi cinta."

Ucapan Jep membuat Raya menahan senyumnya.

"Gausah sok puitis." ketus Arga.

"Baiklah baiklah bosku." dengan cepat Jep berdiri dan mengambil kunci motornya. Lalu saat melewati Arga, Jep menepuk pundak laki-laki itu sambil berucap, "Halalin segera ya."

"Bentar lagi juga nyebar tuh undangan," ucap Arga to the point.

Membuat Raya melotot kaget.

Jep tertawa. "Ucapan lo gue pegang."

"Yayaya... Pulang pulang sana!"

Setelah Jep pulang, Arga melirik Raya yang kini menunduk.

"Atau kita langsung nikah aja? Gue beneran udah siap." ucap Arga serius.

Raya menghela napas, "Arga please jangan bercanda terus, gak Lucu tau!"

"Gue gak lagi bercanda."

"Arga, udah. Stop."

Arga berdiri tepat di hadapan Raya. "Gue punya apartment Ray, kita bakal tinggal di sini setelah kita nikah."

"Arga..."

"Gue butuh lo buat temani kehancuran hidup gue yang di rusak sama keluarga gue sendiri." ucap Arga serius.

"Arga tapi gak nikah solusinya."

"Terus apa? Pacaran? Lo pikir pacaran itu awet? Lo pikir bisa seumur hidup kita tinggal bareng? Nggak Ray!" ucap Arga yang kini berdiri di pintu balkon apartment, menatap gedung-gedung pencakar langit di hadapannya.

Raya berjalan mendekati Arga.

"Arga, kamu kalo ada masalah, kasih tau aku. Aku bakalan dengerin semua cerita kamu, aku janji..."

"Barusan yang gue omongin ke elo, itu masalah gue sekarang Ray." jawab Arga sambil menatap Raya serius.

Raya menahan kaget, ia menunduk dan mencoba menyimak ulang kata-kata yang Arga berikan padanya.

Menikah? T-tidak!

Ia masih sangat muda untuk menikah.

"Arga, tenangin diri kamu dulu sebelum ambil keputusan. Aku obati luka kamu ya. Kan janji aku datang ke sini, mau obati luka kamu..."

Arga berjalan mengambil kotak P3K. Lalu ia berbaring di sofa. "Sini." panggil Arga pada Raya.

Raya berjalan mendekat, lalu duduk di sisi Arga dan mulai mengobati lukanya.

"Malam ini temani gue ya."

"Ke mana Arga?"

"Temani gue tidur. Lo jangan pulang."

Raya tercekat mendengar itu, lalu ia menggeleng. "T-tapi Arga... Gak bisa. Mama aku galak."

Arga diam sejenak, lalu mengangguk mengerti. "Oke. Nanti malem gue bakal anter lo pulang."

"Iya." jawab Raya pelan.

Lama Arga menatap wajah Raya dengan jarak sedekat ini. Wajah perempuan yang begitu ia benci dulunya dan kini benar-benar wajah benci itu berubah menjadi wajah yang paling ia cintai.

"Kenapa lo peduli sama gue Ray?"

Pertanyaan Arga membuat Raya menghentikan aktivitas mengobati luka, lalu Raya menghela napas dan tersenyum kecil, ia melanjutkan mengobati luka laki-laki itu.

"Sakit gak?" tanya Raya sambil menekan sedikit pipi Arga menggunakan kapas.

"Jawab dulu pertanyaan gue."

Mereka berdua kini saling menatap lama.

"A-aku... Aku kan udah bilang ke kamu, aku juga cinta sama kamu Arga."

"Gue sebejat dan senakal ini, lo bisa cinta sama gue?"

"Arga. Ini bukan tentang sifat kamu. Tapi ini berasal dari perasaan." ucap Raya dengan suara tulusnya.

Arga yang sejak tadi berbaring, kini ia duduk dan berhadapan dengan Raya. "Kalo seandainya hal itu terjadi di rumah kosong, lo bakal sebenci apa ke gue?" pertanyaan Arga membuat Raya menatap ke arah lain.

"Aku gak percaya kamu bakal ngelakuin hal itu. Karena kamu cinta dan sayang sama aku, dan pastinya kamu bakal jagain aku dari hal apapun."

"Makanya ayo nikah."

"Arga please...Jangan mulai."

Tiba-tiba ponsel Arga yang ada di sampingnya berdering.

Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, membuat Arga menghela napas. Lalu ia mengangkat telepon tersebut.

"Halo? Kenapa Cha?"

Mendengar Arga mengatakan hal itu. Raya tahu siapa yang meneleponnya, Raya memilih menyibukkan dirinya dengan bermain ponsel.

"Lo di mana Ga? Gue beneran capek banget nyariin lo, gue relain bolos sekolah nih, gue khawatir banget, soalnya Jep dan Hero juga udah bolos tadi."

"Ngapain pake bolos segala? Gue baik-baik aja kok. Lo jangan khawatir, mendingan masuk lagi ke kelas sana, gue gamau ya kalo sampe nyokap lo nyalahin gue lagi." ucap Arga kesal.

"Lo di mana Arga? Gue mau ke elo."

"Gabisa Cha, gue jauh."

"Arga please, gue khawatir. Gue bakalan lacak ponsel lo, bye!"

Sambungan terputus.

Arga, menatap Raya yang kini juga sedang menatap ke arah dirinya.

"Kenapa?" tanya Raya bingung.

Arga berdiri, lalu mengambil kunci motornya. "Ayo kita pergi dari sini." ucap Arga kini langsung menarik tangan Raya menuju keluar dari apartment ini.

Raya diam dan terus mengikuti ke mana laki-laki ini membawanya pergi.

Tapi, Raya merasa kasihan pada Echa. Perempuan itu adalah sahabat Arga sejak kecil, Raya merasa dirinya telah merebut Arga dari Echa.


***

Siang menuju sore hari, Arga mengajak Raya keluar dari apartement -nya. Arga yakin Echa akan menemukan dirinya kalau saja dirinya tidak segera pergi dari tempat tersebut.

Di motor, Raya tak berani menanyakan apapun pada Arga. Begitupun dengan Arga yang sejak tadi fokus pada Jalanan.

Tiba-tiba Arga menepikan motornya di Jalanan yang sepi. Raya mengerutkan dahinya bingung, namun ia enggan Bertanya pada Arga.

"Raya."

"Iya?"

Arga mematikan mesin motornya. Lalu melepaskan helm yang ia pakai. Kemudian, Arga menatap Raya sebentar, "Seandainya..." Arga menjeda kalimat, lalu menatap ke arah lain.

"Seandainya apa Arga?"

"Lo lihat suatu pesta besar yang ada di rumah gue nanti, lo___"

"Kamu mau di tunangkan sama Echa kan?"

Arga terdiam.

"Aku bakalan terima semua keputusan kamu."

"Bukan itu yang gue maksud Ray."

"Terus apa?"

Arga turun dari motor, di susul dengan Raya yang ikut turun juga.

Arga mendekati Raya dan berdiri tepat di hadapan perempuan itu. Menatap Raya dengan intens. Tangan Arga ingin sekali memegang kedua tangan Raya, namun ia mencoba menahannya. Entah kenapa Arga takut jika perempuannya ini merasa risih di sentuh, ia tahu hal itu di larang dan belum halal.

Entahlah, padahal dirinya begitu nakal, sama halnya dengan remaja laki-laki lainnya. Namun, ia benar-benar tidak bisa dan merasa berdosa saat akan menyentuh perempuan ini.

"Maksud gue. Andai Papa benar-benar melakukan hal itu. Gue bakal iyakan keputusan Papa..."

Deg!

Raya terdiam mendengar hal itu.

"Lo jangan salah paham. Gue bakal buat rencana besar, dan lo harus bantu gue, tolong gue Ray." ucap Arga dengan tatapan memohon pada Raya.

"Rencana apa?" tanya Raya.

"Lo harus ikut ke acara pertunangan gue dan Echa. Di sana, gue bakalan buat masalah besar yang bikin pesta itu benar-benar hancur!"

Raya menahan kaget, "Nggak Arga... Nggak... Kamu gak boleh___"

"Gue harus gimana lagi Ray? Memohon sama bokap gue? Sujud di kaki dia? Gak akan mempan Ray, gak ngaruh." ucap Arga yang kini duduk di motornya sambil menatap sekelilingnya dengan penuh emosi yang terpendam.

Raya mendekati Arga, lalu menatap laki-laki itu dengan tatapan teduh. "Arga, kalo kamu menyelesaikan masalah dengan marah kayak gini, itu gak akan baik akhirnya..."

Arga menatap Raya dengan dalam. "Tapi gue cuma mau lo, Raya."

Raya menunduk, lalu matanya kini berkaca-kaca, kemudian tersenyum. "Kalo kita gak jodoh? Gimana?"

Arga berdiri, "Kalo pertunangan Echa dan gue benar-benar terjadi, lo harus datang ke sana, setelah itu gue bakalan bilang ke semua orang kalo sebenarnya lo tunangan gue, bukan Echa."

"Tapi Arga____"

"Hari itu juga hari yang gak bakal bisa lo lupain Ray, gue bakal ikat lo jadi milik gue sepenuhnya, hari itu entah hari pertunangan kita atau pernikahan kita." ucap Arga dengan nada serius.

DEG!

Mendengar ucapan itu, Raya mematung di tempat.

"T-tapi Arga, aku takut menikah. T-tolong jangan dulu, aku belum siap dengan kehidupan baru... Kita masih SMA..." ucap Raya getir ingin menangis.

Melihat Raya menangis, Arga menatap perempuan itu dengan khawatir.


###



5400+ word untuk para readers-ku tercintahhhh wwkwk💕

Maaf banget lama update😭🙏 aku sibuk kuliah + tugas seabrekk😔

PENASARAN GA SAMA ACARA PESTA PERTUNANGAN ARGA & ECHA? BAKAL ADA APA YAAA NANTINYA? ☺

N e x t   ?   S p a m   k o m e n   k u y.

Follow IG aku :

@Salsha.writer
@Wattpad.salsha

Continue Reading

You'll Also Like

780K 28.4K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
6.1M 262K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.5M 257K 31
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.3M 58.4K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...