ARGARAYA

By adanysalsha

144K 21.1K 147K

"Mulai hari ini, lo jadi babu gue di Sekolah!" ucap Arga dengan sorot mata menajam kepada Raya. More

BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 14
BAGIAN 15
BAGIAN 17
BAGIAN 18
BAGIAN 19
BAGIAN 20
BAGIAN 21

BAGIAN 16

4.9K 851 589
By adanysalsha

VOTE DULU YUK SEBELUM BACA 🦋

*** 



Arga melepaskan tangan Raya saat mereka sampai di taman belakang sekolah. Arga menatap kanan dan kirinya, memastikan tidak ada orang lain selain mereka berdua.

"Mau ke mana Arga? Bentar lagi kita masuk kelas." ucap Raya gelisah.

"Lo diem aja jangan bawel!" ucap Arga kesal. Laki-laki mencari sebuah tangga atau benda lainnya yang bisa membawanya melewati tembok tinggi di hadapannya.

Raya benar-benar bingung, apa yang akan Arga lakukan.

Karena Arga tak dapat menemukan benda yang ia cari, ia pun berjongkok di hadapan Raya, lalu menatap gadis itu, "Ayo injak pundak gue, kita lewat tembok ini, lo bisa manjat kan?"

Raya terdiam kaget mendengar ucapan Arga. "Hah? Kita bolos? Mau ke mana Arga? Aku gak mau, aku mau ke kelas. Kenapa gak pulang sekolah nanti aja kalo ada keperluan di luar sana?" ucap Raya menolak mentah.

Arga berdiri, ia menatap Raya dingin. "Yaudah! Lo mau ke kelas kan? Silahkan!" gertak Arga.

Raya diam sejenak, lalu kakinya mendadak berat meninggalkan Arga.
"Emangnya... Sepenting itu ya yang mau kamu lakuin? Sampe kita harus bolos?" tanya Raya hati-hati.

Arga menyenderkan tubuhnya di tembok, lalu menatap Raya dengan tatapan tak bisa diartikan. "Penting."
jawab Arga singkat dan tegas.

"Apa aku wajib ikut?"

"Kalo lo mau ke kelas, yaudah pergi sana. Gue gak bakal maksa lo."

Raya tampak berpikir lama. Lalu ia memejamkan matanya sejenak, kemudian menatap Arga dengan serius. "Yaudah, aku ikut."

Detik berikutnya, Arga berjongkok kembali di hadapannya Raya, "Naik. Nanti gue bakalan pelan-pelan berdiri." ucapnya pada Raya.

Raya membuka sepatu dan kaos kakinya, lalu meletakkan sepatunya di tanah. Dengan hati-hati, ia menginjak bahu Arga sambil sesekali memejamkan matanya, karena takut terjatuh. "Arga, maaf ya..."

"Pegangan, dan jangan lihat ke bawah." ucap Arga yang kini hati-hati berdiri, hingga Raya bisa sampai memegang puncak tembok tersebut.

Dan akhirnya Raya bisa memegang ujung tembok itu, lalu ia duduk di atas sana sambil masih memejamkan mata. Tubuhnya merasa gemetar, ia benar-benar takut jatuh. "Arga, kamu cepetan naik, aku takut..."

"Iya bentar." ucap Arga yang kini mengambil sepatu Raya dan melemparkannya ke sebrang tembok.

Setelah itu, Arga berusaha memanjat tembok, dengan gampangnya kini ia sudah ada di samping Raya.

"Arga, kamu udah naik kan?" tanya Raya yang masih memejamkan mata.

"Gue di samping lo." jawab Arga.

Perlahan Raya membuka matanya, ternyata benar, Arga ada di samping dirinya. "Terus, gimana aku turunnya?" tanya Raya masih takut.

Arga tak menjawab, ia turun ke sebrang tembok itu dengan mudah. Setelah sampai di bawah, ia menjulurkan tangannya ke arah Raya. "Coba loncat sekarang."

Raya ternganga.

Loncat?

Yang benar saja!

Ini sangat tinggi.

Mungkin sangat mudah bagi Arga, namun tidak untuk Raya!

"Gak mauuu! Ini tinggi! Nanti kalo kepala aku kebentur tanah gimana?" tanya Raya dengan nada serius.

"Gak bakal, ada gue di sini. Lo tinggal loncat ke arah tubuh gue, gue bakal pastiin lo aman."

"Serius? Tubuh aku berarti gak bakal sakit kan?" tanya Raya lagi.

"Ya, paling luka-luka." ucap Arga sengaja menakut-nakuti Raya.

"Arga! Tuh kan, aku gak mau turun." ucap Raya yang semakin takut.

"Gue bercanda." jawab Arga kesal.

"Kamu gak pernah bercanda kayak gitu, baru kali ini."

"Jadi lo mau di seriusin? Iya?" jawab Arga dengan nada serius.

Pertanyaan Arga sukses membuat Raya terdiam.

"Udah cepat loncat atau lo gue tinggal sekarang. Pilih mana?"

"T-tapi takut..." Raya menatap ke bawah sambil terus berdoa dalam hatinya.

Arga maju selangkah, lalu mengangkat kedua tangannya ke arah Raya. "Ke sini." ucapnya.

Raya menatap Arga dengan jantung yang tak biasa. Haruskah dirinya meloncat ke arah laki-laki itu? Ya, jika bukan Arga, pasti tubuhnya akan sakit bertumpu pada tanah.

Perlahan demi perlahan, Raya berusaha mengumpulkan keberanian  untuk meloncat dari atas sini.

Satu...

Dua...

Ti...

Ga!

Bruk!

Raya dan Arga kini terjatuh secara bersamaan di tanah. Ya, Raya merasakan tubuhnya menabrak laki-laki itu.

Perlahan... Raya membuka mata. Ia sudah berada di atas Arga. Mata mereka saling menatap dengan lama.

Raya mengerjap beberapa saat.

Dengan cepat, Raya pun tersadar dan segera berdiri.

"M-maaf Arga." ucap Raya menahan takut, pasti tubuh Arga sangat sakit saat menahan tubuh Raya.

Arga berdiri, "Ngapain minta maaf?"

"Karena itu tadi. P-pasti badan kamu sakit kan?" tanya Raya hati-hati.

"Biasa aja."

"Emang iya ya?"

"Lo berat."

"Tuh kan..." Raya tampak menahan kesal dengan ucapan Arga.

Setelah menahan kesal, Raya sontak terdiam saat tangan kanannya di genggam oleh Arga. "Ikut gue." ucap Arga sangat pelan, seperti bisikan.

Raya mematung.

Jantung Raya tidak aman!

Jantungnya berdetak lebih kuat...

Sangat kuat.

Tidak! Kenapa ini? Ada apa ini?

"Ngapain diam?"

Raya mengerjapkan matanya beberapa saat. Lalu mengangguk, "A-ayo..." jawab Raya pada akhirnya.





***





Entah apa yang terjadi di kelas sekarang, mungkin mereka akan berdebat, atau mungkin saling bertanya-tanya perihal tidak masuknya dua manusia yang kini sedang berduaan di atas motor menuju ke suatu tempat. Arga dan Raya tampak menikmati angin pagi menuju siang ini. Mereka berdua tampak melupakan bahwa mereka sedang bolos bersama. Raya yang awalnya menolak mentah-mentah ajakan Arga, kini tampak menghirup udara segar saat keluar dari sekolah.

"Arga, kita mau ke mana sih?" tanya Raya dengan nada polosnya.

"K"

"K? Maksudnya?"

"U"

"Apasih Arga, yang jelas dong."

"A"

Raya terdiam sejenak saat sadar apa yang Arga maksud. Lalu ia memukul pelan bahu laki-laki itu. "Gausah bercanda terus." ucapnya kesal.

Arga tak menjawab.

"Kok diam?"

Arga tetap diam.

"Arga jawab atau aku turun di sini aja, aku mau pesen gojek terus balik ke sekolah..."

"Lo diam atau gue___"

"Apa?"

Arga menepis pikirannya, lalu menggeleng. "Udah, lo jangan bawel. Bolos sekali gak akan bikin lo bodoh."

Raya diam, benar juga yang Arga ucapkan. Lagi pula, Raya tidak mungkin langsung menjadi bodoh.

Wah, Raya sangat polos ya Readers. Apa yang Arga bilang, mudah sekali untuk Raya bisa percaya.

Mereka berdua kini diam, hingga secara tiba-tiba Arga mengegas kuat motornya, membuat Raya tersentak kaget dan sontak melingkarkan tangannya pada pinggang laki-laki itu.

"ARGAAA...." teriak Raya penuh kesal.






***






Kini motor Arga berhenti di sebuah rumah yang tampak sudah tidak terawat. Rumah itu tampak penuh rerumputan dan juga sangat kotor. Bahkan bagian atapnya juga sudah hangus seperti terbakar.

Arga mematikan mesin motornya, lalu ia membuka kaca helmnya dan menatap rumah itu dengan lama.

Raya mengerutkan dahinya, ia lalu menatap kanan dan kiri, daerah ini juga sangat sepi, tidak ada rumah selain rumah di hadapannya ini.

Kenapa Arga membawanya ke sini?

"Arga, ini tempat apa? Kenapa kita ke sini?" tanya Raya dengan bingung.

Raya berusaha untuk tidak takut pada sekitarnya.

Ada Arga di sini, untuk apa ia takut.

"Turun." perintah Arga yang belum menjawab pertanyaan Raya.

Raya segera turun dari motor.

Arga juga segera turun dan melepas helm-nya. Lalu ia merogoh saku celana dan mengambil ponselnya.

Ia mencari kontak seseorang, berniat akan menelepon orang tersebut. Namun, ia malah mendapat pesan dari seseorang yang membuat ia mengepalkan kedua tangannya.

Raya yang berdiri tak jauh dari Arga kini menatap laki-laki itu dengan bingung, Arga tampak menahan amarah saat melihat ponselnya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

"AGHH! F*CK!" Arga menendang ban motornya dengan sangat kasar dan penuh amarah.

Raya menahan kaget, Raya menahan takut melihat kemarahan laki-laki itu dengan sangat tiba-tiba. "Arga, kamu gak apa-apa, kan? Apa yang udah terjadi?" tanya Raya hati-hati.

Arga tak menjawab, laki-laki itu masih fokus membalas pesan pada ponselnya.

Raya bertanya-tanya dalam hatinya. Siapa yang sedang Arga chat? Dan mengapa Arga tampak semarah itu?

Raya hanya bisa diam di tempat, menunggu laki-laki itu selesai dengan aktivitasnya.

Dan ya... Kini Arga menatap ke arah Raya dan Raya menatap ke arah Arga.

Beberapa detik bertatapan hingga Arga mendekati Raya.

"Gue udah bilang ke elo kan, gue gak akan ngelepasin lo?" ucap Arga dengan jarak yang sangat dekat, membuat Raya mematung.

Mereka bertatapan lama.

Hingga Raya menyadari akan hal itu dan mengerjap. "A-arga... Sekarang tujuan kita mau ke mana? Bukannya kamu ajak aku bolos ada tujuannya kan?" tanya Raya gugup.

Arga menunjuk rumah kosong itu, namun matanya masih menatap Raya dengan tatapan tak bisa di artikan.

Raya tak mengerti. "Maksudnya?"

"Turuti semua kemauan gue."

"Arga, m-maksud kamu?" tanya Raya yang tampak masih belum mengerti.

Melihat Raya yang tampak polos dengan wajah lugu itu, membuat Arga berbalik badan dan menatap ke arah lain, ia lalu merogoh saku celananya dan mengambil sebatang rokok.

Dengan cepat Arga menyalakan rokok tersebut sambil berjalan ke motornya, lalu ia bersandar di motor sambil menghisap rokok itu dan menatap lurus ke arah Raya yang masih diam.

Melihat Arga yang sedang merokok, Raya mendadak bingung, apa yang sebenarnya laki-laki itu inginkan.

Raya kini merogoh saku roknya, ia mengambil ponsel dan segera menyalakannya. Karena sejak tadi ia sengaja mematikan ponsel itu.

Ternyata banyak sekali panggilan tak terjawab via WhatsApp dan banyak sekali pesan, ada dari Wino, juga dari grup kelas yang masuk. Ternyata mereka sedang menanyakan keberadaan dirinya dan Arga.

Kemudian, mata Raya menyipit saat melihat sebuah nomor tak di kenal mengirimkan pesan padanya. Dengan cepat Raya membuka room chat tersebut.

08xxx

Raya. Tolong angkat telepon saya! 

Hap!

Ponsel Raya kini di ambil oleh Arga. Ya, Arga kini sudah berada di hadapan Raya. Padahal, Raya belum membaca semua pesan itu.

"Arga, aku belum selesai baca! Kenapa main rebut aja sih!" ucap Raya kesal.

Dengan cepat, Arga memasukkan ponsel Raya ke dalam saku celananya.

"Arga! Kenapa di ambil? Balikin..."

Arga membuang kasar rokok yang sedang ia hisap. Lalu memegang lengan Raya dengan pelan. "Ikut gue."

"Ke mana!" tanya Raya masih kesal.

"Gue mau ambil sesuatu di dalam sana," tunjuk Arga pada rumah itu.

Raya menatap rumah itu sambil menahan takut. "Aku gak mau ikut Arga. Rumahnya serem banget, kamu aja sendiri sana." tolak Raya.

Arga diam sejenak, lalu ia menatap wajah Raya dingin. "Oke fiks, kita berdiri di sini sampe malam." tekan Arga dengan nada sungguh-sungguh.

Raya menahan kaget. Lalu ia menggeleng. "Arga, Mama aku bisa-bisa marah besar kalo sampe aku gak pulang ke rumah, kamu kok jadi kayak gini sih? Aku turuti kamu sewaktu kamu ajakin aku bolos, kan?"

"Gue udah bilang dari awal. Gue gak bakalan maksa lo buat ikut!"

Raya diam. Yang Arga katakan memang benar.

"Yaudah ayo, t-tapi kita jalannya samping-sampingan kan? Aku gak mau jalan duluan atau belakangan." ucap Raya yang melihat lagi ke arah rumah yang tampak seram tersebut.

"Iya." jawab Arga singkat.

"Emangnya kalo boleh tau, Arga mau ambil apa di sana?" tanya Raya lagi.

"Harta karun."

"Arga jangan bercanda, aku seriusss!"

"Gue gak lagi bercanda." ucap Arga yang kini menarik tubuh Raya ke sisinya, kini mereka berjalan menuju ke rumah kosong itu.

"Aku gak percaya."

"Gue gak ada nyuruh lo buat percaya."

Raya menatap kesal pada Arga. "Jujur, kamu mau ngapain ke sini, kenapa ajak aku?" tanya Raya lagi.

Arga tak menjawab.

Raya lelah bertanya, ia diam dan terus berjalan beriringan dengan laki-laki di sampingnya ini.

Saat baru menjejakan langkahnya ke dalam rumah ini. Ternyata di dalamnya tampak tak begitu buruk seperti apa yang sudah Raya pikirkan.

Di dalamnya tidak terlalu kotor, sedikit berantakan dan semua benda tertata rapi, tempat ini seperti baru saja di tinggal oleh pemiliknya.

Berbeda dengan di luar, sudah seperti rumah yang di tinggal berabad-abad oleh sang pemilik.

"Arga, kamu kenal siapa pemilik rumah ini?" tanya Raya di tengah kesunyian rumah ini.

Tiba-tiba Arga menunjuk sebuah kamar yang tak jauh dari mereka berada. "Kita ke kamar itu." ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Raya.

Raya menuruti kemauan Arga. Mereka kini berjalan bersama menuju kamar itu.

Sesampainya di ambang pintu kamar, Raya menatap takjub pada isi kamar tersebut. Kamar yang begitu sangat indah. Ini sama sekali tidak seperti kamar rumah kosong pada umumnya, kamar ini begitu tersusun rapi dan bersih, juga sangat besar dan ada lampu yang terang di atasnya.

"Wow, bagus banget..." ucap Raya menatap takjub.

Langkah Raya terhenti saat melihat Arga yang kini mundur beberapa langkah, lalu memotret kamar itu menggunakan kamera di ponselnya.

"Kenapa di foto?" tanya Raya bingung.

Arga tak menjawab, ia tampak sedang mengirimkan pesan kepada seseorang dengan raut wajah dinginnya.

Karena Arga merasakan bahwa Raya terus saja menatap ke arahnya. Lalu, Arga memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana, lalu menatap Raya sambil menaikkan sebelah alisnya, "Masuk." perintah Arga.

Dengan wajah polosnya Raya mengangguk dan segera masuk ke dalam kamar tersebut.

Namun, tidak dengan Arga, ia berhenti melangkah lalu mengepalkan tangannya saat seseorang kini menelepon dirinya.

Arga segera berbalik, ia menjauh dari kamar tersebut. Lalu segera mengangkat telepon.

"Aku udah bilang dari awal. Aku bakal lakuin apapun yang aku mau."

"TOLONG PAHAMI ARGA. JANGAN COBA MASUK KE RUMAH ITU! SAYA PERINGATKAN KAMU!"

"Udah masuk nih. Gimana ya? Kalian mau nyeret aku keluar? Silahkan. Datang aja ke sini." ucap Arga menantang.

"ARGA! TOLONG MENJAUH DARI PEREMPUAN ITU! JANGAN COBA KAMU SENTUH DIA!"

"Maaf. Tapi dia udah ada di kamar."

"Arga, tolong sadarlah, sadar."

"Kalian yang harusnya sadar, kalo aja kalian nerima____"

"ARGA!"

Arga berhenti bicara, ia berbalik. Menatap Raya yang tampak mendengar semuanya. Gadis itu kini menggeleng tak percaya dengan apa yang sudah Arga ucapkan.

Mata Raya berkaca-kaca.

Arga memutuskan sambungan telepon, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, matanya terus menatap Raya yang kini tampak berjalan dengan perlahan menuju keluar dari kamar, Raya tampak menahan ketakutannya.

"Raya, biar gue jelasin semuanya." baru saja Arga akan menghalangi Raya, Raya mundur dan takut akan sentuhan Arga padanya.

"Jangan mendekat! Tolong! Aku mohon sama kamu, jangan mendekat!" ucap Raya ketakutan dan mencoba menahan tangisannya.

Arga memijit pelipisnya, lalu memejamkan matanya sejenak. Bagaimana ia menjelaskan semua ini pada Raya. Lalu Arga kembali menatap perempuan itu.

"Aku gak percaya. Ternyata tujuan kamu ajak aku ke sini...gak Arga, kamu laki-laki jahat! Sangat jahat! Aku kira kamu baik, aku kira kamu tulus mau ngajak tunangan, aku kira kita cuma sebatas musuhan yang setelah itu benar-benar tunangan dan melupakan arti permusuhan itu, tapi kenapa kamu..." Raya meneteskan air matanya, sekujur tubuhnya gemetar menahan tangisan.

"RAYA, INI SEMUA GAK SEPERTI YANG LO DENGER!"

"Kamu memanfaatkan keluguan aku, diam nya aku, aku terlalu gampang ya luluh sama kata-kata kamu, aku seolah lupa dengan semuanya di saat kamu ajak aku pergi, Arga! Itu sangat percayanya aku sama kamu!" ucap Raya sambil terus terisak.

"Biar gue jelasin semuanya." ucap Arga yang tampak memerankan suaranya.

"Gak aku gamau denger apapun dari kamu. Semua ini kamu siapin dan kamu rancang? Wow, bagus Arga. Lihat kamar itu, semuanya tampak indah, bahkan kamu ajak aku bolos dan ke sini untuk___"

"Raya dengerin gue,"

"GAK AKAN. KAMU COWOK BRENGSEK YANG PERNAH AKU KENAL ARGA!" teriak Raya menggema.

Raya berniat akan pergi, namun dengan cepat Arga menarik tangan Raya dan menumburkan tubuh Raya ke tembok. Kini Raya terkurung di antara kedua tangan milik Arga.

"GUE RELA BERANTEM HEBAT SAMA ORANG LAIN DEMI LO! ASAL LO TAU ITU RAY!" teriak Arga penuh amarah.

Raya menunduk sambil meneteskan air matanya. Jantungnya berdetak lebih kuat, ia takut pada laki-laki ini.

Jarak mereka begitu dekat, dan Arga masih tak menurunkan tangannya yang kini bertumpu pada tembok tersebut. Ia terus menatap Raya dengan mata memerah menahan amarah dan emosinya.

"Lo tau kenapa gue bawa lo ke sini?" tanya Arga dengan suara pelannya.

Raya masih tertunduk menangis, dengan cepat Arga mengangkat wajah Raya perlahan, agar gadis itu menatap ke arah dirinya.

"Ya, lo berpikir kan kalo gue bakal lecehin lo? Iya kan!"

Raya masih menangis dan tak menjawab.

"Lo tau? Demi lo, tadi pagi gue berantem hebat sama Papa, lo tau kenapa? Karena dia menolak kehadiran lo di hidup gue." ucap Arga yang perlahan menurunkan tangannya dan membebaskan Raya dari kurungan tersebut.

"Lo tau apa ancaman gue ke Papa gue?" tanya Arga yang kini mendekatkan wajahnya pada Raya. "Gue ancam kalo gue bakal hamili lo."

Raya tersentak kaget dan menatap Arga dengan tak percaya.

PLAK!

Arga terdiam saat Raya menampar pipinya. Perempuan itu tampak syok mendengar apa yang keluar dari mulut Arga.

"Aku udah salah percaya sama kamu sepenuhnya Arga. Aku kira kamu orang yang bakal menjaga aku." ucap Raya penuh kekecewaan.

Perlahan Raya berhenti menangis, lalu berniat akan keluar dari rumah ini, dengan cepat Arga menghalangi Raya. "LO BELUM DENGAR SEMUA PENJELASAN GUE RAYA!" teriak Arga menggema.

"PENJELASAN APA LAGI? SEMUANYA UDAH JELAS ARGA! UDAH JELAS!" teriak Raya penuh emosi.

"LO TAU DARI AWAL KITA BERHENTI DI DEPAN SANA? GUE DAPAT GERTAKAN DARI BOKAP GUE UNTUK JANGAN MENGINJAKAN KAKI DI RUMAH INI, SETELAH ITU GUE DIAM DAN MENCOBA MEROKOK DI HADAPAN LO, LO TAU GUE LAKUIN ITU KENAPA? KARENA GUE BENER-BENER LAGI BERPIKIR TENTANG ANCAMAN ITU. SERIBU KALI GUE MIKIR UNTUK AMBIL ANCAMAN ITU RAYA!" Napas Arga berpacu lebih cepat, ia mencoba mengontrol emosi, ia menunduk sebentar, lalu menatap Raya kembali.

"Raya, ini hanya ancaman untuk Papa gue. Maka dari itu sejak tadi gue fotoin semua yang gue langkahi di rumah ini, termasuk kamar itu. Dan gue bersumpah gue gak ada niat sedikit pun buat nyentuh lo sebelum kita halal Raya." ucap Arga yang merendahkan nada bicaranya namun penuh keseriusan, ia menatap bola mata Raya dengan tatapan dalam.

"Apa semudah itu aku bisa percaya  kata-kata kamu, Arga?" tanya Raya dengan air mata yang kembali membendung di matanya.

"Lo gak percaya kata-kata gue?"

Raya menatap ke arah lain dan memilih tak menjawab.

Arga diam dengan tatapan kosongnya, setelah lama diam, ia langsung mengambil hiasan keramik yang tersusun di atas nakas lemari di dekatnya lalu ia melemparkan benda itu ke lantai dengan kasar.

PRANG!

"LO TAU! SEWAKTU DI DALAM KAMAR TADI. GUE MAU JELASIN SEMUANYA KE LO TAPI TIBA-TIBA BOKAP GUE NELPON GUE. DAN LO DENGAR SEMUA PERCAKAPAN GUE DAN BOKAP GUE DI TELEPON, APA LO LANGSUNG AMBIL KESIMPULAN KALO SEMUA ITU BENAR?" Arga berjalan mendekati Raya, lalu menatap gadis itu dengan kecewa. "KALO LO MIKIR GUE COWOK BRENGSEK? DARI DULU GUE UDAH HANCURIN HIDUP LO! TAPI SORRY, GUE BUKAN COWOK OTAK KOTOR YANG DENGAN GAMPANGNYA LAKUIN HAL ITU KE ORANG LAIN."

Raya meneteskan air matanya, lalu menatap ke arah Arga yang tampak benar-benar sangat marah.

"Kalo gue sebejad itu di pikiran lo, gimana dengan lo dan Echa yang pernah masuk ke kamar gue? Hah? Dan tadi, bahkan sekarang, apa gue kunci pintu kamar itu? Apa gue nidurin lo? Apa gue pegang lo!"

Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar di luar sana, dan setelah itu dia pria berbadan tegap masuk ke dalam rumah kosong itu, mendekat ke arah Arga dan Raya.

Arga mengenali dua orang itu. Lalu ia menatap ke arah Raya dengan tatapan seperti tak ingin lepas. "Makasih Raya, sebelum kejadian ini lo udah percaya sama gue. Kalo setelah ini gue menghilang dari kehidupan lo, lo harus jaga diri Ray, jangan pernah dekat lagi sama orang kayak gue, yang ada di pikiran lo, gue adalah laki-laki brengsek kan? Papa gue akan bayar semua itu. Kenyataannya gue bakal di habisin setelah ini." ucap Arga pasrah.

Raya menatap wajah Arga penuh kekhawatiran. Kini dua pria berbadan tegap itu memegang tangan Arga. Seperti nya dua orang itu adalah suruhan dari Papanya.

"Arga..." Raya panik, bagaimana jika Arga benar-benar akan di aniaya oleh Papanya.

"Raya, ini ponsel lo. Telepon Jay dan Hero buat bantu lo untuk pulang. Jangan pulang sendiri." ucap Arga yang kini menyerahkan ponsel itu pada Raya.

Raya mengambil ponsel itu. Lalu Raya masih tak akan membiarkan Arga pergi sebelum tahu apa yang akan dua pria itu lakukan pada Arga.

Kini Raya menghadang mereka.

"Pak, tolong jangan bawa Arga. Kalian mau bawa Arga ke mana?" tanya Raya sambil meneteskan air matanya.

"Raya pulang sekarang. Gue gak apa-apa."

"Gak Arga! Dari wajah kamu, kamu bohong. Aku tahu Papa kamu gimana, Papa kamu keras ke kamu. Setelah hal ini terjadi, pasti Papa kamu gak akan maafin kamu..."

"Lo benar. Setelah ini mungkin gue gak akan baik-baik aja. Tapi lo jangan khawatir. Gue kuat. Gue gak selemah yang lo pikir."

"Arga...aku khawatir..." ucap Raya menahan tangisan.

Arga tak bisa mengatakan apapun lagi, karena dua pria itu langsung membawa Arga dengan kasar menuju ke mobil.

"ARGA!" Raya berlari ke luar rumah, lalu berjalan mengikuti mereka.

"ARGA JANGAN PERGI, AKU TAKUT SENDIRIAN. ARGA..." Raya terus menangis sambil berjalan dengan lemah ke tiga orang yang sebentar lagi akan masuk ke dalam mobil.

Arga berhenti, lalu menatap dua pria itu dengan tatapan emosi. "Bisa lepasin sebentar? Gue janji gak akan kabur. Gue perlu bicara empat mata dengan perempuan gue, tolong!"

"Maaf, ini adalah perintah Pak Arya. Anda harus kami bawa ke tempat yang sudah di tunggu oleh Pak Arya dan bodyguard lainnya." ucap salah satu Pria itu.

Arga tersenyum pahit mendengar hal itu. "Ternyata kalian udah bikin rencana mau menghabisi gue."

"Arga, jangan pergi..." suara Raya terdengar serak.

"LEPASIN GUE SEBENTAR ANJING! ATAU GUE BENAR-BENAR AKAN BUAT HAL YANG DI LUAR BATAS!" teriak Arga penuh emosi.

Dua pria itu saling menatap, lalu setelah itu satu pria tersenyum dan mengangguk. "Oke, silahkan. Tapi hanya sebentar. Jika anda kabur, Siap-siap saja...perempuan itu akan saya tembak." ucap salah satu pria sambil mengeluarkan pistol miliknya.

Arga terdiam kaget melihat benda itu.

"Ayo cepat!" desak pria itu dengan tajam. "HANYA SEBENTAR!"

Dengan cepat Arga keluar dari mobil dan langsung mendekati Raya. Baru saja Raya akan memeluk Arga, dengan cepat pula Arga menolak.

"Nggak Raya, jangan sekarang. Gue masih brengsek di mata lo. Tolong, kita jangan pelukan." ucap Arga tanpa ingin menatap mata Raya.

"Arga. Aku khawatir sama kamu. Ini juga menyangkut aku kan? Karena aku kamu bakalan di hukum sama Papa kamu, tolong jangan ikut sama mereka, kita kabur aja, kamu bisa di habisin sama Papa kamu Arga." ucap Raya terisak penuh khawatir.

"Gak bisa. Gue gak bisa pergi sama lo sekarang. Gue harus turuti perintah Papa. Maaf udah buat masalah sebesar ini ke dalam hidup lo." ucap Arga yang sesekali menatap ke arah dua pria di mobil yang sedang memantau, takut jika sampai pria itu benar-benar mengeluarkan pistolnya.

"Arga. Aku percaya sama kamu. Sejak kita jumpa, kamu jarang sentuh aku, aku tau kamu melindungi aku dari hal-hal buruk. Makasih atas semuanya...aku baru sadar, kalo kamu benar-benar menjaga aku. Dan bahkan kamu mau kita cepat tunangan dan menepis kata pacaran."

Arga diam dan menatap Raya dengan menahan sesuatu di balik matanya. Arga menahan kesedihan tentang sesuatu hal yang belum ia ungkapkan pada Raya.

"Gue mau bicara serius sama lo... Tapi sebelum itu gue minta tolong sama lo, boleh?" tanya Arga yang belum bisa mengalihkan tatapannya dari Raya.

"Apa? Aku akan berusaha bantu kamu. Pasti, asal kamu nggak terluka di tangan Papa kamu."

"Kalo soal terluka, gue gak bisa jamin gue bakalan selamat atau nggak. Tapi gue minta tolong sama lo, tolong kasih tau ke Jep dan Hero, besok bawa gue kabur dari rumah neraka itu. Rahasiakan hal ini, hanya lo, Jep dan Hero yang tau, gue mohon sama lo..." ucap Arga penuh harap.

Kemudian, Arga mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya pada Raya. "Lo pegang ponsel gue. Di sana ada nomor Bik Rani, asisten di rumah gue, cuma dia yang selalu nangis di dalam penderitaan gue, dia yang paling ngertiin gue, lo bisa tanya apapun soal keadaan gue ke Bik Rani, tolong lo jangan khawatir lagi, ya?"

Raya mengambil ponsel itu lalu mengangguk paham. "Lalu, apa hal yang akan kamu bicarain? Katanya serius, kan?"

"Minggu ini, Papa bakal buat perjanjian pernikahan antara gue dan Echa. Papa mau tunangin gue dengan perempuan itu."

Raya terdiam syok.

"Lo tenang aja Raya. Gue cuma jatuh cinta sama lo, lo yang pantas dapatin semua itu." ucap Arga spontan.

Deg!

Raya menahan debaran jatung yang tak biasa. Itu berarti Arga baru saja mengungkapkan bahwa dirinya mencintai Raya? Sungguh?

"Jangan lupa, kasih tau ke Jep dan Hero, minta bantuan mereka supaya gue batal tunangan sama Echa dan keluar dari rumah neraka itu."

Raya mengangguk, lalu tersenyum penuh bahagia menatap Arga. "Aku juga jatuh cinta sama kamu." ucap Raya sambil menunduk, tak berani menatap Arga.

Mendengar itu, Arga berusaha menahan senyumnya, lalu ia menatap ke arah pria yang ada di dalam mobil itu, ia tampak memamerkan pistolnya, seolah memberi isyarat pistol itu akan bekerja sebentar lagi.

"Raya. Tolong kasih kunci motor gue ke Jep." Arga mengeluarkan kunci motornya, dan memberikannya pada Raya. "Abis ini, lo telepon mereka berdua, suruh jemput lo di sini. Bilang aja ini perintah Arga. Oke?"

Raya mengangguk mengerti. Namun ia begitu berat membiarkan Arga pergi dari hadapannya.

"Jaga diri kamu Arga." ucap Raya yang kembali meneteskan air matanya.

"Iya, sayang." jawab Arga yang kini tersenyum pada Raya, lalu ia masuk ke dalam mobil.

Melihat Arga sudah di bawa pergi oleh orang-orang itu, Raya menyeka air matanya, ia menatap mobil yang semakin menjauh.

"Aku baru sadar Arga. Kamu benar-benar berjuang demi dapetin cinta dari aku. Mungkin berawal dari hal-hal yang membuat aku benci, dengan gampangnya kamu bisa ubah rasa benci aku jadi rasa cinta..."





###


NEXT GAK? KOMEN BANYAK² YAA...

JANGAN LUPA VOTE🙏


FOLLOW IG :

@Salsha.writer
@Wattpad.Salsha







Continue Reading

You'll Also Like

RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.6M 222K 67
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
3.6M 173K 63
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.2M 245K 30
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.2M 53K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...