Monochrome

By Vekhapur

7.5K 5.1K 6.4K

Sekian banyak orang yang dapat Narend tebak aura dan ingatan mereka tapi tidak dengan, dia. Dia terlalu gelap... More

00- Prelude Narendra dan Kolasenya
01- Sore yang Sama
02- Di ambang Pintu
03- Walkman dan Lagunya
04-Terbiasa Berantakan
05- Tangerine
06- Menjadi Guru Senimu
07- One day
08- Mepet Sawah
09- Jalan Pulang
10- Kata yang Tak Terdengar
11- Perjalanan
12- Peterpan's Story
13- Janji Neverland
14- Selamat Ulang Tahun
15- Jani, Januari, Dewasa
16- Sebait Kisah Lalu
18- Come and Go
19- Feeling

17- Hujan dan Ingatan Lalu

171 106 194
By Vekhapur

Dengan langkah pasti, Jani pergi meninggalkan halte dan Damar yang masih geming di tempat. Ia berjalan menerobos hujan, membiarkan tubuhnya basah.

Melewati puluhan kilometer aspal yang dingin di malam hari sepertinya sudah jadi kebiasaannya sekarang. Karena ia bisa menangisi semuanya tanpa semuanya tahu. Sekuat itu ia pernah berpura-pura.

Semuanya baik-baik saja, Ma. Bahkan tidak ada yang menyakiti anakmu, Pak. Hanya saja harapannya terlalu jauh. Giliran di jatuhkan keadaan bahunya luruh. Matanya sayu dan di banjiri air mata ketidakberdayaan dari segala arah.

Jani teringat hari dimana Kak Theo berlari menerobos hujan untuk menjemputnya di tempatnya bekerja satu minggu yang lalu. Kak Theo akan selalu datang seperti pahlawan dengan payung hitam di genggaman tangannya, menerobos hujan dengan gerakan yang sangat keren.

Pada sore itu Kak Theo pernah berkata. "Kesayangannya Kak Theo gak boleh nangis. Masa abangnya tampang preman pasar senin, tapi adiknya lembek."

Karena bagi Kak Theo, Jani adalah segalanya Kak Theo.

Tapi setelah diingat-ingat lebih jauh lagi, laki-laki itu akan selalu menghampirinya saat hujan dan malam mulai datang. Dan disaat-saat seperti ini Jani membayangkan Kak Theo tengah berlari dengan payung hitam seperti biasanya.

Jani butuh teman. Jani butuh Kak Theo. Jani butuh siapapun yang bisa menariknya dalam ruang gelap.

Ada masanya bayangan itu menjadi kenyataan, seperti sekarang. Dengan penglihatan gelapnya Jani bisa melihat bayangan Kak Theo sedang berlari menderap langkah. Melangkah begitu pasti dengan napas terengah-engah. Sepatu Converse hitamnya terlihat basah, namun ia tetap berjalan begitu keren.

"Jani hujan." dan disaat Jani mendengar suara berat itu, ia tidak punya kemampuan lain selain berdiam sejenak mengentikan kakinya sendiri yang terus berjalan.

Sampai pada akhirnya Kak Theo mendekat, wajahnya basah kuyup terlihat dari pantulan lampu jalan yang remang-remang. Kak Theo mengikis jarak, disaat laki-laki jakung itu sudah berdiri menjulang di hadapannya, yang di lakukan Jani hanya diam sambil menangis.

"Sini peluk Kakak."

Tanpa bisa dicegah, Jani langsung memeluk Kak Theo. Dan menumpahkan segala air mata ketidakberdayaan pada dada besar Kak Theo. Hujan masih turun dengan deras disaat ada angin yang melintas payung yang semula di genggam Kak Theo sudah jatuh terbang entah kemana.

"Ulang tahun kok malah hujan-hujanan sih?" kata Kak Theo setelah mereka berdua saling terdiam dalam dekapan.

"Soalnya udah malam, jadi Jani terpaksa menerobos hujan, Kak." Meskipun itu benar, tetapi tidak menutupi kemungkinan bahwa ia juga berbohong.

"Ya udah, pulang sekarang yuk. Hujan-hujanan sekalian bareng Kak Theo. Coba sini lihat dulu."

Jani justru menggeleng. "Nggak mau lepas. Mau gini aja."

Karena nantinya disaat Jani melepas pelukan ini, Kak Theo akan melihat wajahnya yang sayu dan muram. Ia tidak ingin menunjukkan bahwa dirinya baru saja menangis

"Iya, deh. Kak Theo wangi nggak?" Tanya laki-laki itu sembari beberapa kali mengecup puncak kepala adik kesayangannya.

"Wangi."

"Haha, masak sih? Padahal belum mandi."
 
Bahkan di sela-sela hujan seperti ini, laki-laki berumur 25 itu masih menyelipkan candaan. Jani tidak menjawab lagi, ia sibuk mengirup dalam-dalam wangi baju Kak Theo yang sudah bercampur dengan air hujan. Seakan ia mendapat pasokan oksigen yang banyak di sana.

"Udah jangan nangis." katanya, yang praktis membuat Jani tersadar. "Gue jadi ikut sedih."

"Ja- Jani nggak nangis kok."

"Nggak apa-apa. Tadi itu udah yang terbaik. Lo nggak salah mengambil keputusan, yang lo lakuin udah keren."

"Kak Theo tau?"

"Hm? Emang apa yang nggak Kak Theo tau?"

Dan di saat itu Jani mampu mendongakkan kepalanya, remang-remang ia melihat Kak Theo tengah tersenyum dengan arti yang Jani tidak pernah ia mengerti.

"Jangan mau sama cowok yang kayak gitu. Jangan cari cowok yang jahat kayak Kak Theo."

Seringkali Jani bertanya pada dirinya sendiri, apa alasan yang membuatnya beruntung memiliki Matheo sebagai kakaknya disaat semua orang melihatnya sebagai sosok yang nakal, tampang preman, dingin, dan susah banget di bilangin.

Sampai pada akhirnya Jani tahu jawabannya. Karena dia adalah segalanya Kak Theo.

Kak Theo mungkin sudah cukup kehilangan kedua orangtuanya, kehilangan seorang pundak yang selama ini tempatnya untuk mengadu. Tapi Kak Theo nggak mau kehilangan aku, ya, aku. Adik buta warna kesayangan Kakak. Ucap Jani dalam hati.

Kak Theo tidak pernah membenci Jani, yang notabenenya ia anak dari Papa setelah Mama juga pergi, dan akhirnya Papa juga ikut pergi meninggalkannya.

Kak Theo memang bukan orang yang memberinya sebuah berlian dengan harga miliaran. Tapi dia adalah orang yang memberinya uang sebesar sepuluh ribu disaat hanya uang sepuluh ribu itu yang ia punya.

"Gak apa-apa nangis aja sini, nangis sepuasnya, sampai Jani udah lega. Sampai nantinya disaat lo lihat dia lagi lo udah nggak merasa sakit. Kadang kita butuh nangis, cuman manusianya aja yang sok kuat."

"Kak?"

"Iya?"

"Makasih."

"Untuk? Harusnya tuh Kakak yang makasih. Makasih sama Tuhan karena udah ngehadirin adik yang cantik banget." kata Kak Theo mengelap air mata Jani dengan ujung bajunya.

"Pakai baju Kak Theo aja ya ngelapnya, Kak Theo nggak punya tisu."

Tiba-tiba Jani tersenyum. "Percuma. Hujan."

"Oh iya iya?"

♤♤♤♤

Pukul sembilan malam, Narend melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Melarikannya pada lintasan yang sepi dikarenakan hujan juga belum berhenti sedari tadi. Siapa juga yang rela kehujanan hanya dengan sebotol minuman? Ah, tentu saja itu Narend.

Narend bersenandung kecil ketika lagu Ikke Nurjanah terputar dari mobil. Sejak kapan abangnya itu mengoleksi lagu-lagu lama? Jangan lupakan, Narend belum punya surat ijin mengemudi. Jadi harus berdebat kecil dulu ketika ingin meminjam mobil miliki Winata.

"Enaknya beli minum apa ya?" Narend bertanya pada dirinya sendiri.

Narend memberhentikan mobilnya di depan minimarket. Kemudian keluar dengan balutan kaos yang berlapis jaket. Ia sempat menggesekan kedua tangannya, lalu ditiupnya beberapa kali. Sebelum akhirnya, bertemu dengan penjaga kasir yang sudah terlanjur hafal dengan keberadaannya.

"Selamat malam, Kak. Selamat berbelanja."

Narend tersenyum simpul. Ah, pasti si penjaga kasir itu sedang dalam mood bagus. Sebab ketika Narend melihat matanya, sepertinya si Mbak baru saja di lamar oleh kekasihnya.

Narend hanya membeli sebotol air mineral. Setelah membayarnya di kasir. Ia langsung buru-buru keluar, sebab tidak tahan dengan pendingin ruangan yang membuatnya semakin menggigil.

Narend duduk sambil menyaksikan bagaimana hujan turun tanpa ada rasa takut. Ia bertanya kepada langit. Kalau besar nanti gue akan jadi apa ya?

Ia pernah bertanya tentang mimpi kepada Winata. Lalu Winata menjawab.

"Kamu nanya mimpi ke seseorang yang bahkan nggak punya mimpi." Narend pikir kalimat itu hanya berhenti di sana. Ternyata tidak, Winata melanjutkan lagi.

"Katanya mimpi itu seperti puncak gunung. Untuk sampai di sana, butuh waktu yang lama dan perjalanan yang sulit. Cuma orang-orang berani aja yang mau punya bermimpi. Dan sama seperti pendaki gunung, pendaki mimpi juga banyak punya resiko. Berani bermimpi juga harus tahu konsekuensinya, untuk tiba-tiba jatuh kemudian berdarah-darah. Kalau sudah di titik jatuh itu, kamu akan dihadapi dengan persoalan yang baru...

Berani untuk bangkit dan berjuang lagi?"

Narend bangkit dari tempat duduknya. Bukan karena ia baru saja mengingat ucapan Winata tentang bangkit atau berjuang lagi. Tapi ia bangkit karena e melihat siluet tubuh laki-laki yang sepertinya pernah ia temui.

Narend segera menyambar kunci mobil. Kemudian masuk ke dalam mobil sebelum akhirnya melajukan mobilnya ke halte busway yang berada tak jauh dari sana.

Dam!

Yang benar saja, laki-laki itu sudah tepat di hadapannya. Narend tidak mau menyia-nyiakan waktu ini. Meskipun sudah pukul sepuluh malam. Ia tidak akan mengulur lagi untuk bisa berbicara dengan laki-laki yang sudah menjadi incaran keduanya itu.

Narend turun dengan mengenakan topi hitam. Karena badannya yang tidak terlalu tinggi, tetapi tubuhnya kekar. Ia justru sangat mirip dengan penguntit bayaran seperti di cerita-cerita action.

"Damar!" sesingkat itu ia memanggil, sang pemilik nama langsung menoleh.

Lampu halte berkedip-kedip, membuat suasana semakin mencekam. Dari radius dua meter terdapat mobil Audi, milik Damar. Damar menatap Narend tidak mengerti. Kenapa cowok itu memanggilnya?

"Gue mau ngomong sama lo." tanya Narend tanpa basa-basi lagi. Ia sudah menunggu masa ini.

"Ada urusan apa lo sama gue?" Tanya Damar ia berusaha sopan. Dari gayanya memang ia seperti murid teladan yang dikatakan Pak Talmi.

Siluet berwarna kuning keruh itu terlihat sangat jelas. Bahkan warnanya bertambah keruh. Perlahan-lahan berangsur menjadi warna Pale Brown.

Damar sempat terkekeh menunggu Narend yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Ada apa sih? Nggak usah sok misterius deh, lo."

"Sini, duduk sebentar." Narend menepuk tempat kosong di sebelahnya. Meskipun Damar merutuk dalam hati, toh ia duduk juga akhirnya.

"Gue mau tanya sesuatu sama lo."

Pandangan Damar bergerilya kesana-kemari, menatap ruko-ruko yang mulai tutup. "Apa? Tanya aja selagi itu penting."

"Penting. Ini penting banget. Lo siapanya Senjani?"

Satu kalimat itu berhasil membuat Damar melihat Narend. Akhirnya. Mata mereka bertemu. Damar menelisik jauh tentang laki-laki itu, yang tiba-tiba saja menanyakan Jani-nya. Tidak tahu saja hubungannya dengan Senjani sudah benar-benar selesai dua jam yang lalu.

Benar-benar selesai.

Hubungan persahabatan.

"Apa untungnya buat gue kalau gue jawab?"

Satu menit.

Narend melihat baik-baik kaset ingatan pada diri Damar.

"Kenapa gelap sekali?"

Ayolah. Tiba-tiba suasana hati Narend mendadak tidak bagus. Kenapa ini. Kenapa sulit sekali. Padahal objek sudah di depan mata. Harusnya ini lebih mempermudah.

Dua menit.

"Ada untungnya buat lo. Gue akan —"

Narend bisa melihatnya. Ya! Akhirnya. Ada tiga orang perempuan dengan dress panjang, yang menyeret Damar di sebuah ruangan sempit. Tapi sialnya Narend tidak bisa melihat wajah perempuan itu.

Ketiga perempuan itu sempat membekap Damar untuk beberapa waktu. Tak lama kemudian salah satu diantaranya mengeluarkan botol kecil dari balik tas mini. Memaksa Damar menelan benda yang berasal dari botol itu.

Damar menggerang. Ia mencoba menendang namun hasilnya nihil. Yang terjadi justru ia mendapat satu goresan benda tajam pada bagian kaki belakangnya. Yang membuatnya menahan sakit dan tidak bisa bergerak bebas.

Nginggg.. tiba-tiba berdenging. Kaset itu rusak.

Kepala Narend mulai pusing. Ingatan itu hanya berputar secara abstrak, dan terus berulang-ulang. Perut Narend seperti dikoyak, mendadak ia ingin mual.

Tiga menit.

"Gue akan. Gue —"

"Lo apa?"

Lagi-lagi Narend masuk ke dalam ingatan Damar. Mencerna satu cerita dan cerita lain agar bersambung. Lalu menentukan sampai di mana ending cerita ini?

Sampai akhirnya Narend bisa melihat Damar tengah berdiri di antara orang-orang. Yang Narend yakini itu pasti di acara, seperti sebuah pesta. Narend dibuat menganga setelahnya. Damar meraih ujung microfon yang berada di tengah-tengah kolam.

Damar menahan sakit pada kaki belakangnya. Seperti robot tiba-tiba mulutnya berbicara sesuatu dengan lancar. "Senjani anak haram."

Sontak orang yang berada di pesta membekap mulutnya, tidak percaya. Tak jauh dari sana, Narend dapat menemukan Senjani. Ya, Jani ada di ingatan Damar. Jani dengan setelan navy blue itu juga membekap mulutnya sendiri. Sekon berikutnya ia berlari, berlari, meninggalkan pesta.

Damar yang mengetahui itu, langsung tercengang. Ia juga ingin ikut mengejar Jani. Namun dirinya lupa kaki belakangnya tengah berdarah-darah. Hal yang terjadi justru sangat sial. Damar tertatih berjalan, dengan langkah-langkah yang tertatih itu. Damar tumbang. Tubuhnya jatuh ke dalam kolam renang yang dingin dan senyap.

Lima menit.

Selanjutnya Narend tidak dapat melihat apa-apa lagi. Seperti layar televisi yang padam secara tiba-tiba.

Ingatan Damar berhenti di sana. Satu yang membuat Narend paham. Damar tidak sepenuhnya salah.

Ternyata apa yang dikatakan di hati, lain juga di mulut. Dari semua kosakata Narend justru mengatakan. "Gue minta lo jauhin Senjani."

"Kenapa?"

"Karena gue suka sama dia."












 
Bersambung....

Pengen deh dipeluk Kak Theo 👁️👄👁️


Luama banget ya ga update? Terakhir lihat update-an kemarin tanggal 9 Mei coba hehe.
Soalnya lagi sibuk sana-sini, dan ngerjain lima projects sekaligus yang ga kelar-kelar 🤧

Thanks untuk yang sudah bertahan❣️

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 88.5K 60
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Kita emang nggak pernah kenal, tapi kehidupan yang Lo kasih ke gue sangat berarti neyra Gea denandra ' ~zea~ _____________...
389K 45.9K 31
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
375K 19.8K 33
SEBELUM BACA JANGAN LUPA FOLLOW AUTHOR NYA DULU YA GUYSS.. ~bagaimana ketika seorang perempuan bertransmigrasi ke tubuh seorang perempuan yang memili...
3.4M 279K 47
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...