Monochrome

By Vekhapur

7.5K 5.1K 6.4K

Sekian banyak orang yang dapat Narend tebak aura dan ingatan mereka tapi tidak dengan, dia. Dia terlalu gelap... More

00- Prelude Narendra dan Kolasenya
01- Sore yang Sama
02- Di ambang Pintu
03- Walkman dan Lagunya
04-Terbiasa Berantakan
05- Tangerine
06- Menjadi Guru Senimu
07- One day
08- Mepet Sawah
09- Jalan Pulang
10- Kata yang Tak Terdengar
11- Perjalanan
12- Peterpan's Story
14- Selamat Ulang Tahun
15- Jani, Januari, Dewasa
16- Sebait Kisah Lalu
17- Hujan dan Ingatan Lalu
18- Come and Go
19- Feeling

13- Janji Neverland

269 184 282
By Vekhapur

Update edisi B'day Jeno & teaser Renjun keluar wkwk

****

Jalanan Ibu Kota masih juga sama macetnya, sebab bersamaan dengan orang-orang pulang bekerja. Suara radio kembali terdengar setelah sekian lama metromini mulai berjalan.

Jani memandangi lampu jalan yang satu per satu mulai menyala. Ketika Jani bilang bahwa Narend memiliki segalanya, mungkin itu benar. Narend memiliki cinta yang dapat di terima oleh orang lain. Bisa dengan mudah mendapatkan ini itu tanpa harus bekerja keras.

Circle pertemanannya juga terlampau luas. Mungkin teman Narend hanya itu-itu saja, tapi mereka sudah cukup untuk di jadikan tempat berbagi cerita. Mereka berharga, seperti warna pelangi yang akan menyatu membuat kolase warna yang sangat indah. Juga dikelilingi oleh orang-orang baik. Apalagi?

Terkadang Jani sering bertanya-tanya dalam hati, tentang ... .

Boleh aku meminta apa pun yang bahkan belum aku inginkan?

Boleh aku tanyakan pertanyaan paling menyakitkan?

Boleh aku utarakan bagaimana rasanya terjebak di ruang gelap sendirian?

Boleh aku marah sekencang-kencangnya walau tak terjadi apa-apa?

Jani ingin merasa menang sehari saja, walau esok pagi seisi bumi lupa, bahwa seorang Senjani Teodora pernah bahagia.

Lagi-lagi ia hanya bisa menghembuskan napas, lelah. Ia tidak bisa untuk menyalahkan takdir, Tuhan menciptakan kita bukan sekedar gabut kan? Tapi kita dilahirkan seperti ini untuk beberapa alasan.

Jani berusaha menerima diri sendiri. Jadi daripada membandingkan diri dengan orang lain, berpikir bahwa kita nggak berharga, lebih baik berpikir dan merencanakan bagaimana cara supaya diri sendiri bisa bahagia. Tapi di mana ia mendapatkan bahagia?

Di sini ada yang menjual bahagia? Satu bungkus berapa harganya? Jani ingin beli.

"Kalau sore gini biasanya aku duduk-duduk di situ." Narend bersuara, setelah melewati minimarket dimana ia menghabiskan waktu sorenya.

"Sudah tahu. Masih ingat juga awal kita ketemu di situ."

"Menerobos deretan antrean?"

Jani tidak menjawab lagi. Gadis itu hanya menatap lurus ke arah jendela kaca, memandangi lalu lalang yang membuatnya pusing sendiri. Suara klakson dari para mobil pejabat melengkapi panggung sandiwara ini. 

Tanpa disangka-sangka Narend menarik tangan kirinya tanpa izin terlebih dahulu. Jani menoleh menimbulkan terkejutan yang kentara pada raut wajahnya.

Jani mengernyit, menatap laki-laki aneh yang akhir-akhir ini selalu menguntitnya. "Ngapain?!"

"Kalau aku nggak bisa lihat ingatan apa yang ada di kepala kamu, biarin aku yang buat ingatan itu sendiri." kata Narend.

Jani sontak memundurkan kepalanya. Sebelum akhirnya Narend betulan menggenggam tangan kiri Jani, sambil melihat kekosongan pada bola mata gadis di hadapannya ini.

"Pejamin mata kamu." pinta Narend.

"Mau ngapain? Mau? Mau aneh-aneh ya?"

"Aneh-aneh apa sih? Emangnya aku mau cium gitu? Kayak kebanyakan cerita fiksi?"

"Hah?! Nggak!" Jani melotot. "C-ciu–"

Narend langsung menyekap mulut Jani. Ini masalahnya di dalam kendaraan umum. Penumpang sekitar sampai menoleh mendengar percakapan mereka. Untung saja di metromini tidak ada tulisan 'dilarang bicara'.

"Kalau gue mau nglakuin pelecahan ke lo ngapain gak dari tadi aja? Atau dulu? Buktinya lo gak gue apa-apain kan selama sama gue?!" Narend sesekali sadar dengan kelakuan Jani yang sering membuatnya geram.

Iya, juga ya? Pikir Jani dalam hati.

Narend menurunkan tangannya. Kemudian Jani menatap laki-laki aneh ini dengan penuh selidik. Baru sadar ada manusia aneh lainnya selain dirinya.

"Jangan ngelihatin kayak gitu entar naksir."

Jani mengedipkan mata beberapa kali. Tidak percaya dengan apa yang laki-laki itu katakan barusan. Naksir? Emang naksir itu kayak gimana?

"Siapa juga yang mau naksir sama kamu? Cuman mau ngelihatin aja memang nggak boleh?"

"Nggak boleh. Ini wajah limited edition buatan orang tua gue." Narend menjawab dengan sedikit ketus. Bisa-bisa kesabarannya dikuras jika lama-lama membiarkan Jani bicara.

Jani semakin tidak mengerti dengan laki-laki ini. Tapi ada satu perasaan senang di dalam hatinya. Jadi, gini rasanya punya teman lagi? Padahal dia sendiri tidak tahu apakah mereka sudah berteman atau belum. Tidak ada yang memulai kata pertemanan di antara keduanya.

Narend sibuk mendengarkan lagu yang terputar dari player walkmannya. Memainkan jarinya di atas paha, sambil menunggu gadis yang duduk di sebelahnya berbicara lagi. Namun, lima menit setelahnya gadis itu tak kunjung juga bicara. Sampai akhirnya Narend menjentikkan jari. Kemudian berkata.

"Mau ke Neverland nggak?"

"Hah?" Jani langsung menoleh. Kali ini ia betulan bingung.

Narend menangkup wajah Jani kemudian menggerakkan ke kanan dan ke kiri. "Gemeshh banget sih jadi cewek." dengan bonus mengacak-acak rambutnya.

"Berasa lagi ngomong sama keong tahu nggak?! Kayak nggak ada kata lain selain 'Hah?' gitu di otakmu?"

"Ada. Ada banyak kata. Bahkan sampai banyaknya nggak pernah bisa menjadi kalimat."

"Jangan ngomong lagi. Sekarang gantian aku yang ngomong! Gimana jadi mau nggak?"

"Ke mana sih?"

"Ke Neverland."

"Emang ada?"

"Ada. Aku udah pernah ke sana."

"Serius?" Jani dengan tampang tak percayanya.

Tanpa di duga, Narend menghentikan metromini. "Pak, kiri!"

"Sekarang banget?"

"Emang maunya sekarang?"

"Aku nggak bisa." Jani ingat bila hari ini ia harus bekerja. Bisa sampai jam berapa nanti dirinya ke warung makan Uni Ida bila waktunya terus-terus di habiskan dengan Narend.

"Yah, ya udah ke Neverlandnya besok-besok aja. Tapi hari ini ikut aku sebentar."

"Ke mana lagi? Udah sore lho."

"Sebentar aja, sepuluh menit deh."

"Yang tadi aja dua jam." Jani merutuk.

Jani akhirnya memilih untuk tidak lagi meneruskan percakapan. Sebenarnya tujuan Narend itu menjadi guru seni atau guru abal-abal sih?

♧♧♧♧

Jani keluar dari metromini terlebih dahulu, setelah Si Kernet menyuruhnya untuk turun. Diikuti Narend di belakangnya. Setelah menapakkan kaki di atas tanah. Jani mulai menyadari ini bukan tujuan penurunan awalnya. Ini bukan depan gang rumahnya. Jani sendiri baru pertama kali ke sini. "Ini di mana, Rend?"

Narend membenarkan posisi ranselnya yang sedikit melorot. Kemudian beranjak berjalan menuju sebuah ruko yang berjejeran di pinggir jalan.

"Mau ngerayain Halloween?" tanya Jani setelah membaca plang toko.

Narend tak menghiraukannya, ia justru memasuki area toko.

"Sore, Mas, ada yang bisa dibantu?"

"Saya cari kostum yang mirip-mirip princess seperti Disney, gitu, ada nggak ya Mbak?"

"Oh, ada. Mari ikut saya, mau cari yang apa?"

"Mau apa sih, Rend? Ini bukan Neverland, ini toko baju."

Narend masih tidak menjawab pertanyaan Jani, ia lantas mengikuti penjaga toko tadi. Berkeliling mencari kostum yang pas.

"Maunya kostum princess apa, Mas?" tanya Mbak pelayan dengan ramah.

"Belle itu yang pangerannya dikutuk jadi monster itu bukan, sih Mbak? Yang wajahnya jelek?"

Si penjaga toko mengangguk, "Iya, bener Mas."

"Terus kalau Snow White?"

"Snow White yang pingsan gara-gara makan apel–"

"Aha! Yasudah yang kostum Tinkerbell aja, ada nggak?" potong Narend dengan cepat.

"Ada, Mas. Mau cari ukuran yang seberapa?"

"Tolong dicarikan ukuran yang seperti ini ya," jawab Narend sambil menunjuk Jani yang sedang duduk di kursi.

Mata Jani langsung membelakak sangking kagetnya. "Aku?! Kok? Aku nggak butuh gituan." Jani menggerakkan tangannya dengan heboh.

"Udah deh, diem!" jawab Narend santai, meskipun sebenernya ia takut bila Jani menolak. Haha emang untuk siapa?

"Mari Mbak ikut saya, kita cari ukuran yang pas." Dengan mudahnya si Mbak penjaga toko menggiring Jani menuju ruang ganti sambil membawa beberapa ukuran kostum Tinkerbell.

♤♤♤♤

Setelah mendapatkan ukuran yang pas, Narend segera membayar kostum Tinkerbell itu di kasir. Sedangkan Jani menunggu di luar, wajar ia sedang berada di puncak kekesalan, sebab sedari tadi si Mbak penjaga toko terus menanyakan berbagai pertanyaan.

Berulang kali Jani mondar-mandir, antara resah atau ia sudah muak. Lebih tepatnya ia takut. Sedari tadi pagi ia belum ke rumah. Mama gimana? Iya kalau Kak Theo mampir di rumahnya, kalau tidak? Jani menggerutu di dalam hati.

Dari dalam toko, Narend terus melihat kegelisahan Jani sambil terus berpikir. Kenapa Senjani terlihat begitu biasa saja dengan kekurangan yang ia miliki? Tuhan, Kau ciptakan dia dari apa? Kenapa selama ini ia menutupi semuanya, seakan memang gak pernah ada apa-apa.

Narend akhirnya keluar setelah kostum itu sudah di bungkus dengan rapi, lalu perlahan ia menghampiri perempuan yang sedang mondar-mandir di depan toko.

"Ini, bukan untukmu kok, Jani."

Jani menoleh, lega. "Beneran?"

"Iya, Kakakku mau ulang tahun, postur tubuhnya sama kayak kamu."

"Kirain. Jadi sekarang bisa pulang kan?"

"Tapi kalau kamu mau, aku belikan."

Jani beranjak. "Nggak. Udah yuk, pulang." Wajahnya semakin menggambarkan keprasahan. Dari raut wajahnya ia terlihat sangat capek.

"Nggak makan dulu?" tawar Narend.

Entah sejak kapan ia merasa sedikit baik ketika bersama Senjani. Biasanya di sore ia akan ongkang-ongkang kaki, tapi kali ini ia merasa hidup. Kalau bersama Jani, Narend merasa dunia punya arti yang berbeda. Merasa ada senyuman yang hilang, yang harus segera ditemukan.

"Nggak. Pulang aja, ya."

"Di situ ada soto yang enak, mau coba?"

"Enggak."

"Di sana juga ada kedai kopi yang lumayan enak, tempatnya juga bagus. Mau kesana?"

"Enggak, Rend."

"Aku antar pulang?"

"Nggak usah, barang bawaanmu itu ribet."

Mereka berdua sedang berdiri di pinggir jalan. Mata Jani tertuju pada kendaraan yang lewat. Ia tidak mau sampai ketinggalan angkot. Dari kejauhan sudah terlihat angkot menuju arah rumah Jani, ia segera bersiap-siap.

"Nah, itu dia angkotnya."

Jani memegang ujung ranselnya, berharap cepat-cepat pergi lalu meninggalkan Narend. Huh? Capek sekali perjalanan hari ini. Untung saja kaki Jani tidak patah, sebab berjalan sejauh itu untuk menemui anak-anak tadi.

Angkotnya semakin dekat. Tiba-tiba ada sesuatu yang berlari di dalam perasaan Narend. Sesuatu yang memaksanya untuk bilang. "Besok-besok aku beneran ajak kamu ke Neverland."

Jani yang tengah bersiap-siap untuk memberhentikan angkot, langsung menoleh ke arah Narend dengan wajah bingung. "Neverland itu nggak ada, Rend. Selamanya nggak ada."

"Aku yang bakal buat itu."

Angkotnya sudah tepat berada di depannya, kernetnya pun sudah menyuruh Jani untuk buru-buru naik. Dan dari semua kosakata yang ada di kepalanya, Jani memilih untuk mengucapkan. "Oke. Aku tunggu kamu mengajak ku kesana."

Sebelum Jani benar-benar naik, ia berbicara lagi. "Dan untuk tadi tiba-tiba pergi, aku minta maaf. Tolong bilangin ke anak-anak juga ya."

Narend mengangguk, "Iya."

Akhirnya Jani naik, meninggalkan Narend yang tetap berdiri di pinggir jalan. Sebelum angkotnya benar-benar berjalan, Jani membuka suara lagi. "Selamat ulang tahun untuk Kakakmu ya, Rend. Ucapin salam dariku, haha."

"Iya, nanti ku sampaikan!" kata Narend setelah angkot itu mulai berjalan. Ia sempat melambaikan tangan, dada dada kepada Jani yang duduk manis di dalam angkot. Tidak tahu saja, Jani sedang merunduk, berdoa di dalam hati supaya ia cepat sampai rumah.

♧♧♧♧

Jani membuka pintu rumahnya. "Mama... Mama.. Jani pulang." Dengan cepat, ia melepas sepatu yang ia kenakan, menaruhnya di sebelah tanaman monstera yang hidup subur di dalam pot. Juga, melupakan perkara aneh yang ia lakukan hari ini.

Mama hanya duduk di depan TV, menatap lurus ke arah TV yang mati dengan pandangan kosong. Ada semangkuk bekas bubur dan susu yang masih hangat di taruh di atas meja. Itu pasti Kak Theo.

"Mama sedang apa?"

Tak ada jawaban.

"Buburnya kok nggak dihabisin? Jani suapi ya, Ma." Jani meraih mangkok lalu menyuapi Mama dengan penuh hangat.

"Tadi Kak Theo ke sini jam berapa, Ma?"

Tidak ada jawaban, mungkin selamanya Mama nggak pernah menjawab pertanyaan Senjani. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Jani ceritakan kepada Mama, tentang bagaimana ia hari ini bertemu dengan orang-orang baru. Pergi ke toko baju. Dan bertemu orang se unik Narend.

Iya, unik. Yang katanya laki-laki itu bisa melihat aura seseorang dan ingatan yang terjadi di dalamnya.

Tak lama kemudian, ada suara orang mengetuk pintu.

"Sebentar ya, Ma. Mungkin itu tetangga depan. Jani tinggal sebentar ya?"

Jani menyahut dari dalam rumah, sebelum akhirnya ia buru-buru keluar untuk membuka pintu rumah. Ternyata kurir.
Perasaan Jani tidak pernah memesan atau membeli apapun. Apa kurir ini salah alamat? Kalau benar begitu, kasihan sekali.

"Atas nama Senjani Teodora?" kata si Mas kurir. Kalau dari penyebutan nama, itu benar nama Jani.

"Iya, Mas. Saya sendiri?"

"Mohon tanda tangan di sini, Mbak." katanya sambil memberi kertas tanda terima.

"Tapi saya nggak pesan apapun, Mas?"

"Tapi, ini alamat menuju ke rumah ini, Mbak. Mbak juga namanya Se-senjani kan?"

"Iya. Tapi ini dari siapa ya?"

"Di atas paketnya ada surat dari pengirimannya kok, Mbak. Ini saya cuman mengantar saja."

Jani manggut-manggut, kemudian menandatangani kertas tanda terima. Kasihan bila Mas kurir terlalu lama menunggu. "Oke, makasih ya, Mas."

Setelah benar-benar si Mas kurir berbalik, dan hilang di balik pagar kayu rumah Jani. Ia segera membuka bungkusan kotak itu. Dari bentuknya sih familiar, Jani seperti mengenalinya. Ia langsung curiga bahwa sebenernya ini dari manusia yang nggak pernah di harapkan dalam hidupnya.

Ia mengambil amplop berisi surat yang menempel di atas bungkusan. Ketika dibuka, tertulis sepucuk surat dengan isi ...

Ini untukmu, Jani. Aku bohong. Kakakku nggak ulang tahun, lagi pula dia cowok, masa anak cowok pakai kostum Tinkerbell kan nggak lucu hehe. Kostum Tinkerbell ini untukmu, sebenarnya tadi beli cermin dulu biar paket lengkap, tapi kayaknya kamu capek banget, jadi nggak jadi deh.

Di pakai ya, Jani. Terus berdiri di depan cermin sambil bilang, 'Ini peri dari mana nyasar ke bumi?' HeHe. Ngomong-ngomong kamu cantik. Baru nyadar, selama hampir tiga tahun sekolah di satu SMA yang sama, baru tahu ada Tinkerbell nyasar.

Besok-besok kita ke Neverland. Aku bakal ngenalin kamu sama duniaku. Makanya aku ingin sekali diizinkan mengunjungi duniamu itu, Jani. Tidak usah besok, tidak usah lusa, terserah Tuhan maunya kapan.

—Narend Si Paterpan

PS. Aku nulis ini sambil dilihatin sama si Mbak penjaga toko, malu banget. HAHAHA.


 


Bersambung....

tempat untuk pingsan dipersilahkan

Jangan berharap banyak dengan cerita ini. Aku bisa saja membolak-balikkan semuanya dengan gampang. Cling!

HAHAHA
*Ketawa sampe Korea*

Continue Reading

You'll Also Like

849K 41K 58
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...
4.9M 207K 51
On Going ❗ Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
698K 61.6K 40
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...
ALFA By Caaaaa

Teen Fiction

6.2M 358K 60
Gimana jadinya kalau seorang badboy jatuh cinta pada pandangan pertama? Pada seorang gadis yang ternyata adalah adik dari sahabat kakaknya? Ketua gen...