Monochrome

By Vekhapur

7.5K 5.1K 6.4K

Sekian banyak orang yang dapat Narend tebak aura dan ingatan mereka tapi tidak dengan, dia. Dia terlalu gelap... More

00- Prelude Narendra dan Kolasenya
01- Sore yang Sama
02- Di ambang Pintu
03- Walkman dan Lagunya
04-Terbiasa Berantakan
05- Tangerine
06- Menjadi Guru Senimu
07- One day
09- Jalan Pulang
10- Kata yang Tak Terdengar
11- Perjalanan
12- Peterpan's Story
13- Janji Neverland
14- Selamat Ulang Tahun
15- Jani, Januari, Dewasa
16- Sebait Kisah Lalu
17- Hujan dan Ingatan Lalu
18- Come and Go
19- Feeling

08- Mepet Sawah

356 279 147
By Vekhapur

Lagu Bambi- BAEHKYUN, tiba-tiba terngiang-ngiang di kepala.

****

"Narend, kamu tahu kenapa Tuhan menciptakan manusia?"

Narend menggeleng. "Tidak, tapi yang pasti Tuhan menciptakan manusia untuk beberapa alasan."

"Apa alasannya?"

"Em .. untuk saling menolong dan menyayangi mungkin?"

"Jadi, kamu tidak bisa menyamakan manusia satu dengan yang lain. Kamu tidak bisa merubah hidup seseorang sesuai kemauanmu."

"Maksudnya, Bunda?" Narend tidak tahu apakah Bunda mendengar suaranya. Karena, ia sengaja meredam suaranya dengan cara menenggelamkan wajahnya di perut Bunda. Kalian jangan berpikir yang macam-macam! Ini hal lumrah Ibu dan anak, apalagi dengan si bungsu.

"Bunda tahu .. kamu baru saja menolong orang-orang di dalam metromini beberapa minggu yang lalu."

"Aku tidak menolong, Bunda. Aku hanya memberitahu." Narend tahu kelebihan yang ia punya seringkali menghambat takdir Tuhan.

"Apapun itu namanya." Bunda menyisir ke belakang rambut Narend. "Hari ini ada cerita baru." 

Mendengar itu Narend langsung berdiri, merubah posisinya untuk duduk."Ceritakan!" katanya begitu antusias.

"Ada seseorang yang benar-benar takut pada dunia, seakan ia ingin berteriak namun dirinya berada di lorong yang sangatt gelap. Dia terlihat tidak apa-apa, bukan berarti tidak ada apa-apa. Dia hanya bersembunyi dengan ruang yang ia punya."

"Ruang? Ruang apa?"

"Bunda tidak tahu, Bunda bukan kamu. Sepertinya ruang itu dia beri nama kecewa."

Pembicaraan bunda tentang kehidupan mengingatkan Narend dengan Senjani. Senjani mengarah kepada ciri-ciri yang baru saja bunda katakan. Berada di ruang gelap. Bahkan Narend tidak bisa melihat atau mengetahui apapun dalam diri Senjani kan?

"Dia hidup dalam kegelapan, haruskah kita membantunya? Dia mengira dunia sangat menyeramkan. Padahal tidak."

"Ah, Bunda. Dia bisa membuat dunianya sendiri."

"Kamu ini kebanyakan nonton Peterpan!"

"Terus Bunda?"

"Terus orang itu berkata. Tolong bantu aku, aku tersesat dalam kegelapan, haruskah aku berteriak bahwa aku takut di ruang gelap? Tapi semua itu tertahan di dalam hatinya."

"Kenapa?"

"Karena, ia tidak punya keberanian."

"Aku mau datang sebagai keberanian, hahahaha!!" Narend menggerakkan tangannya seperti Superman. Kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Kalau gitu, genggam tangganya, katakan bahwa tidak ada apa-apa, semuanya akan baik-baik saja. Meskipun dia lebih suka keheningan daripada sebuah kata-kata, ia tetap manusia. Ia butuh teman." kata Bunda menggenggam tangan kanan Narend.

Tawanya tiba-tiba redam. Lagi-lagi Narend terpikirkan gadis itu. Lagi-lagi hatinya menghangat ketika di dekat Bunda.
Narend mendapati bunda tersenyum ke udara kemudian mengangguk. Membuat Narend semakin yakin, dan mantap.

Senjani butuh bantuan, Senjani butuh teman.

Keputusan yang ia ambil memang tidak pernah salah.

♤♤♤♤

"Jangan bawa kita ke lestoran mahal. Cukup ajak ke soto Tangkar Cak Ni aja! Bener deh gue gak mau nyusahin lo."

"Asu lo ya!! Gue banyak duit kali!" Haekal menempeleng muka bangor Gajun.

Rese emang. Ditraktir malah banyak bacot.

Mereka berlima- Narend, Haekal, Gajun, Jio, Ale sedang berada di Jalan A. Yani. Karena tadi tiba-tiba Haekal mengirim pesan lewat grub, disuruh ngumpul disini.

Dan disinilah mereka sekarang, memandangi plang yang tertulis di depan pintu masuk. 'RUMAH MAKAN MEWAH'

Jio benar-benar tidak yakin bila Haekal akan merayakan satu juta subscribe akun YouTube nya dengan acara makan-makan. Apalagi ketika melihat nama rumah makannya.

"Ini si curut beneran traktir makan kita nih? Perasaan gue gak enak banget sumpah!" Jio berbisik ke Ale yang memiliki tampang sama tidak yakinnya.

"Tau nih, gue cuman bawa duit gambar pahlawan Oto Iskandar Dinata lagi!" Ale yang notabene orang paling sugih diantara mereka pun hanya membawa duit pas-pasan.

"AYOLAH MASUK!" teriak Haekal geram ketika teman-temannya masih geming ditempat.

Hal pertama yang Jio rasakan saat membuka pintu rumah makan bukanlah hawa sejuk dan aroma terapi mahal dari pewangi ruangan lestoran mahal. Alih-alih itu justru aroma rendang yang menusuk hidung. Detak jantungnya juga terasa ingin berhenti.

Untuk beberapa lama Jio, Ale, Narend, dan juga Aruna berdiri geming di ambang pintu. Entah mengapa sel di dalam tubuhnya merasa disfungsi total. Seakan-akan otak jantung dan juga hatinya merosot ke jempol kaki.

Tak juga bergerak, Aruna yang memakai topi hitam, sampai merunkan hingga menutupi sebagian wajahnya.  

Disana juga ada Lukas yang sudah nyengir lebar seperti kuda nil. Sesaat kemudian ia bangkit mengayunkan tangannya. "SINI CUY!!,"

"Haekal?" tanya Jio lembut namun terdengar seperti peluru bila ujung bibirnya terangkat sebelah. Jio dengan mata sipitnya itu memang enggan untuk menatap wajah Haekal, tapi bila hal itu terjadi sudah dipastikan Haekal mati ditempat. 

Tak lama kemudian ibu-ibu sekitar  berumur empat puluhan datang, dengan pelayan disebelahnya yang tengah membawa daftar menu.

Tak ada yang bersuara dari kelima bujang itu, akhirnya ibu yang diyakini pemilik warung makan mulai membuka suara. "Bara urang nak?"

"Ba anam Uni!"

Setelah semua pesanan dicatat, mereka duduk di meja yang sudah di pesan Lukas terlebih dahulu. Haekal dengan senyum menterengnya itu mendoakan semoga teman-teman nya tidak menyumpah serapahi dirinya.

Baru lah saat Narend mulai duduk di kursi, diikuti lainnya. Haekal berani menatap mereka satu-persatu, meskipun wajah Jio terlihat dongkol bukan main.

Ruangan dengan suasana poster rumah Minang terpampang jelas disebelah tulisan besar 'RM Padang Siang Malam' kipas angin yang berada bergantung di atas rasanya tidak mempan untuk mereda esmosi jiwa.

"Sudah gue duga kan!" Ale dan Jio menggebrak meja bersamaan, disaat diantara mereka tidak kunjung membuka suara.

"Sabar sabar." Narend berbisik, dirinya sedari tadi hanya menahan tawa.

Disampingnya Aruna hanya menarik hembuskan nafas, biasanya Aruna yang akan medumel bila moodnya buruk. Dan kalau sudah medumel, setara dengan lima episode Drama Korea. Laki-laki itu melepas topinya. Menemukan raut wajah teduh Narend yang tengah duduk sambil membuka sebotol air mineral.

"Ini kita beneran ditraktir kan?"

Haekal mengangguk. Dalam pikirannya mungkin cuman Narend yang terlihat normal. Raut wajahnya masih ganteng saat mereka bertemu di parkiran, hari ini rambutnya juga sudah berubah warna menjadi abu-abu.

"Dalam rangka apa?"

"Cuman iseng aja. Sekali-kali kan gue ngajak kalian di rumah makan mewah. Gue tuh mau balas budi, kan biasanya gue yang numpang makan di rumah kalian."

Seperti angin yang menerobos celah fentilasi ruangan. Ale menyembur. "RUMAH MAKAN MEWAH? UMOK! HAEKAL UMOK!"

Sangking kerasnya suara Ale pengunjung sampai menoleh mencari sumber suara. Lalu kembali lagi pada sepiring nasi dengan lauk khas masakan Padang serba sepuluh ribu.

"Sebenernya Mewah itu singkatan." Haekal bersuara lagi. Di tempat duduknya, Ale sudah kehilangan akal.

"Mewah itu, Mepet Sawah kan?" akhirnya Aruna bersuara.

Entah bagaimana Ale dan Jio seakan kehilangan jati dirinya. Bertanya tanya, aku dimana? dengan siapa? dia siapa? Oh bangsat.

Narend menarik nafas dalam-dalam, dalam pikirnya ia sudah ingin menendang bokong Haekal sampai ke sungai Ciliwung. Tapi urung itu, Narend sering menerawang ke udara. Dosa besar apa yang sudah dilakukan Mama sama Bapak nya Haekal sampai-sampai dikaruniai anak seperti Haekal ini?

"Kan dari awal gue gak bilang ngajak kalian di restoran mahal, kalian sendiri sih yang udah mikir yang enggak-enggak tentang gue!! Eitsss taruh garpu nya" Jio menyodorkan garpu, lalu Haekal kembali bersuara. "Ini tempat makan langganan gue, namanya emang Rumah Makan Mewah, itu karena tempatnya deket sawah."

"Terus kenapa nggak diganti dengan nama yang masuk logika aja gitu?" kali ini Ale ikut nimbrung.

"Kata Uni Ida, biar ngelabuhin orang kaya, pejabat, biar bisa ngerasain enaknya masakan Nusantara. Tapi kalau udah masuk ke dalem suasana Minang nya kentel banget." Lukas menjawab.

"Boleh juga konsepnya. Mewah: Mepet Sawah." Jio terkekeh gamang.

♧♧♧♧

Tak butuh waktu lama, pesanan makanan mereka sudah tersaji di atas meja. Dengan senyum tulus Uni Ida mempersilahkan untuk menikmati hidangan. Entah mengapa, Uni Ida selalu merasa baik ketika menyajikan makanan diatas meja, rasanya seperti ia baru saja memberikan sebagian dari hidupnya. Meskipun sesekali si Haekal ini sering ngutang di warungnya, tetap saja sudah dianggap seperti anak sendiri.

"Makasih Uni!"

"Iyo."

Haekal yang hendak membuka suara namun urung ketika melihat Ale sudah mengambil piring terlebih dahulu. Bahkan sebelum menunggu aba-aba dari Haekal notabene disini ia yang mentraktir, Ale sudah menyeruput es teh manis.

"Eits... Kalian nggak nanya tujuan gue apa gitu?" celetuk Haekal, hanya untuk membuat semua teman-temannya tergelak di kursinya.

"Emang apa?!" dengan malas dan sedikit ngegas Aruna menjawab.

Lalu dengan hentak penuh semangat, Haekal berdiri. Anak itu sempat membuat Narend melotot dan ingin mencekik lehernya, ketika Haekal tanpa sengaja menyenggol dagu Narend. Pertikaian hampir terjadi, tapi dengan gerak tanpa dosa Haekal hanya melayangkan dua jarinya membentuk V lengkap dengan senyum menterengnya.

Perang dunia ketiga dibatalkan, tidak harini, mungkin besok.

"Ekhem!" Haekal berdehem, membuat kelima laki-laki itu duduk manis sambil menatap rendang dan ayam goreng yang sudah menggoda iman.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh."

"Waalaikumssalam warahmatullahi wabarokatuh." jawab kelimanya kompak, bahkan Uni Ida juga ikut menjawab dari balik etalase.

"Alhamdulillahi rabbil'aalamiin, wash-sholaatu wassalaamu 'ala isyrofil anbiyaa i walmursaliin, wa'alaa alihi washohbihii ajma'iin ammaba'adu..."

"Amin.." jawab mereka serempak, bapak-bapak berkumis yang duduk di pojok sampai menoleh.

"Apa kabar kalian? Semoga selalu baik ya, semoga dimanapun, kapanpun dan kemanapun langkah kakimu membawa pergi, semoga kamu senantiasa dalam lindungan-Nya..."

"AMINN.."

"Semoga, kita selalu berada dalam hal baik. Semoga, dengan ada atau tidaknya pembukaan doa ini, kalian selalu berdekap dengan doa-doa orang baik."

"Nah, langsung ke intinya saja... sebelumnya gue makasih banget buat sobat gue." Haekal menunjuk mereka satu persatu. "Tanpa kalian gue yakin gue gak pernah sampai di titik ini. Di titik dimana gue menjadi apa yang gue mau."

Lukas bertepuk dengan meriah. Seolah-olah pencapain Haekal juga termasuk pencapaiannya.

"Hari ini akun YouTube gue mencapai satu juta subscribe, dan akun sportfy mencapai di ranting ke empat. Ya meskipun itu masih hal kecil, tapi menurut gue itu hal besar yang yang... Yang... LUAR BINASAAA!!!"

"Luar biasa, cuk!"

"Ya.. itu lah. Nah, gue orangnya gak mau pelit kebahagiaan, jadi inti dari acara ini yaitu kita selametan... Atau apasih bahasa kerennya?" tanya Haekal pada siapapun, namun tidak ada yang menjawab.

Haekal menggaruk kepalanya, "Pokoknya ini acara syukuran gitu... Em apalagi ya... udah ya gitu aja, keburu dingin nasinya. Cefatt makan." serasa cukup, Haekal duduk kembali.

"Kas, pimpin doa." Haekal berseru.

Lukas mengangguk, seperti mendapat komando dari panglima, mereka berlima langsung mengangkat tangannya setinggi dada.

"Bismillahirrahmanirrahim.."

"Amin.."

"Bismika.. Allahuma ahya wa.."

"Kas doa makan, bukan doa sebelum tidur." kata Narend. Jelas membuat kelimanya harus me- restock kesabaran.

"Astaghfirullah ulang. Alloohumma barik lanaa fiimaa razatanaa waqinaa 'adzaa bannar ..."

"AMINN!!"

Disaat yang lain mulai menyantap makanan mereka, satu-satunya orang yang tak banyak bicara ialah Aruna. Ia memilih untuk diam dan tidak banyak melakukan cuap-cuap seperti yang dilakukan teman-temannya. Ia hanya berbicara sekenanya dan seperlunya.

Kalau hal pertama yang Jio rasakan saat membuka pintu ruangan ialah kecewa berat, beda lagi dengan Narend. Laki-laki itu juga sama termangu, tetapi alasannya ialah perempuan yang tengah sibuk dibalik pintu belakang yang terbuka setengah, yang ia yakini itu tempat untuk cuci piring atau kesibukan dapur lainnya.

Narend menyantap makannya disela-sela menatap gadis yang sibuk di belakang sana, sesekali gadis itu menyeka keringat di dahinya. Disaat ikat rambutnya putus, dengan cepat ia menyepol rambutnya asal dengan jepit rambut yang ia simpan di saku celemek.

"Bagi ayamnya dong!!" tak lengkap rasanya bila makan dalam satu meja yang sama tetapi tidak saling incip makanan satu sama lain. Padahal menunya sama.

Tau kan menu masakan Padang yang dijual serba sepuluh ribu. Yaudah kayak gitu.

"Eh, Na, lo gak mau sambelnya? Gue ambil nih." Lukas menyadari bahwa sambal di piring Aruna yang masih utuh.

"Oh, ya, ambil aja nih..."

"Makan yang banyak, hidup ini terlalu berat untuk kita hadapi. Berharap juga butuh asupan!" ucap Haekal setelah memindahkan ayam goreng miliknya yang sengaja ada dua, di pindahkan di piring Narend.

Nampaknya anak itu perlu mendapat gizi lebih dan sekaleng susu peninggi badan, agar cepat dalam masa pertumbuhannya.

Meski pada detik berikutnya Haekal bersendawa kencang, membuat Narend dan Lukas merunduk di bawah meja menahan tawa mati-matian untuk tidak mengacau suasana.

Tanpa Haekal sadari ternyata di sela-sela giginya terdapat sayuran hijau yang menempel. Mungkin laki-laki berkulit tan itu juga tidak tahu bila segelas es teh manisnya sudah di tukar dengan gelas kosong milik Ale.

Jadi waktu dirinya bersendawa dan hendak meminum untuk rasa lengkapnya, yang didapat justru bongkahan es batu yang tersisa. "Hukk..huk.."

"Minum.. minum..." Lukas menyodorkan teh botol Sosro miliknya. Jangan lupa, ia tertawa terlebih dahulu sebelum menyadari bila Haekal terbatuk-batuk.

"Besok-besok kalau batuk minum Baygon!"

"Sialan lo!" Haekal menjitak kepalanya, cukup keras. Bahkan Lukas merasa kepalanya mengalami keretakan, atau kegeseran otak.

"Gini-gini kan gue temen lo yang paling setia." kata Lukas sambil menarik turunkan alisnya.

"Setia ya? Ini setia...." tanpa aba-aba Lukas merasa bagian pinggangnya terasa baru saja di suntik, Haekal mencubit gemas. Dalam diam seperti ada arti tersembunyi siapa yang mengusiknya harus ada balasannya.

Disaat Narend hanyut dalam lamunannya, tiba-tiba suara tawa teman-temannya berhenti ketika seseorang muncul dari balik pintu belakang rumah makan.

Narend terkesima. Pantulan dari lampu ruangan seakan langsung menyorot menuju ke arahnya. Rambut panjang sebahunya yang hitam legam, beberapa ada bercak bumbu dapur sana-sini. Gadis itu keluar dengan membopong satu galon yang berisi air penuh.

Satu kata yang ada dipikiran Narend: Toughness.

Karena terlihat kesusahan membawa satu galon besar, Lukas yang tempat duduknya lebih dekat dari posisinya, pun bangkit, mendekati gadis itu. Mengubah posisi, kini ia yang membawa galon untuk ditaruh di sebelah lemari pendingin di depan.

"Ini bukan kerjaan lo, kan?" tanya Lukas lirih.

"Gue udah terbiasa kok, gapapa, Kas."

"Udah deh, diem! Ini bukan di sekolahan!" kata Lukas, setelah menuangkan galon ke dalam dispenser.

"Matheo mana?"

"Kak Theo..." Jani mengulum bibirnya sendiri. "Di rumahnya lah."

Begitu Jani berbalik ia menemukan seseorang yang sedang duduk, sambil menoleh keluar jendela. Dari samping saja pautan wajahnya sudah terlampau indah.

Untuk beberapa saat Jani geming, tapi tak lama ketika Uni Ida menepuk pundaknya. Memberi arahan untuk kembali kebelakang. Bahkan sosok Lukas sudah tidak ada di belakangnya, ia sudah kembali di tempat duduk yang berisi lima bujang tadi.

Sebelum eksistensinya terlihat, Jani segera kembali menuju ruang belakang. Ia tidak boleh bertemu lagi dengan laki-laki itu. Pokoknya tidak boleh, sebelum uangnya terkumpul untuk dibelikan sebuah jaket baru, yang laki-laki itu pernah pinjamkan kepadanya.

Jani iri dengan pertemanan yang Narend miliki. Ia memiliki banyak teman yang tentu saja bisa di jadikan tempat berbagi. Namun lagi-lagi Jani harus sadar diri. Di dalam hatinya seakan ada yang berteriak.

Hey? who are you? self conscious Jani. You are just a color blind person and don't know how to enjoy life

   


 


Bersambung...

Part ini ringan banget! Hehe enjoy! Sampai ringannya gak nyadar kalau panjang wkwk





Continue Reading

You'll Also Like

862K 41.6K 58
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...
416K 48.9K 33
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
475K 37.9K 43
Rifki yang masuk pesantren, gara-gara kepergok lagi nonton film humu sama emak dia. Akhirnya Rifki pasrah di masukin ke pesantren, tapi kok malah?.. ...
4.9M 211K 52
On Going ❗ Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...