25. Semua menjauh

1.5K 167 6
                                    

Kalo ada typo tandain ya:)

Jangan lupa vote dan komen😉

-Happy Reading-

Sasya terus saja menangis, ia sekarang terduduk di sudut gudang karena Langit yang terlihat begitu marah. Tubuhnya semakin sakit saat laki-laki itu tak hentinya terus saja mengamuk yang menyebabkan beberapa barang di gudang berhamburan mengenai tubuh lemahnya.

Tatapannya kosong saat Langit mencengkram pipinya kuat, menyuruh ia menatap laki-laki itu. Melihat tatapan Sasya, seketika Langit langsung melepaskannya dan berteriak di sana. Pikirannya kalut, tak menyangka bahwa itu bisa tersebar, meski wajahnya tak terlihat tetap saja Langit tidak suka melihat Sasya di-bully satu sekolah seperti ini.

"Lo ... aargh!" Teriakan dari Langit membuat Sasya menatap ke arah laki-laki itu. Susah payah ia bangun, bahkan sebelah tangannya memegang dinding dengan kuat agar bisa berdiri tegak walaupun kakinya sangat sakit, akibat beberapa barang yang Langit lempar tadi.

Sasya mengambil tasnya, niat ingin keluar dari sana. Namun, lagi-lagi Langit mendorong kuat tubuh itu. Punggungnya terasa begitu sakit, bahkan sekarang Sasya sudah tergeletak di lantai. Tubuh itu bergemetar, mencoba bangkit lagi.

"Maafin gue, Sya." Langit membantu Sasya duduk dan langsung memeluk tubuh itu erat. "Gue minta maaf, ini semua gara-gara gue yang terlalu terobsesi sama lo, Sya. Maafin gue, gue ...."

Sasya melepaskan pelukan itu. Bahkan ia tertawa sumbang, mendengar penuturan Langit tadi. Apa laki-laki itu tidak berpikir, bahwa hanya dengan maaf semuanya akan kembali seperti semula? Sasya sudah kehilangan semuanya, dan kenapa Langit baru sadar sekarang setelah ia benar-benar hancur.

"P-percuma minta maaf, aku udah hancur, Sasya yang dulu udah mati, Lang. Maaf dari kamu gak bakalan buat aku tenang, dan gak bisa rubah semuanya! Kamu sendiri yang udah ngehancurin aku, Lang. Kamu puas kan sekarang, liat aku gini? Ini kan yang kamu mau, liat aku menderita. Dan kamu berhasil, Lang." Sasya tersenyum, setelah mengeluarkan semua keluh kesahnya pada Langit yang hanya bisa terdiam.

Tangan laki-laki itu mengepal erat, membenarkan ucapan Sasya. Iya, ini yang ia inginkan. Melihat perempuan yang selalu menolaknya itu hancur, tapi ... kenapa rasanya begitu sakit, melihat kerapuhan orang yang begitu ia cintai dan sudah terlanjur dirusaknya.

"Kamu menang, sekarang boleh aku pergi dan minta satu hal sama kamu? Jangan ganggu dan cari aku lagi setelah ini, rasanya sakit Lang. Bahkan kata-kata juga gak bisa ngerubah rasa sakit yang aku rasain, a-aku mohon sama kamu. Jangan ganggu aku lagi, cukup sampai di sini aja kamu nyakitin aku. Kasih aku ketenangan walau sebentar, aku mohon ...." Sasya begitu hancur dan terpuruk, matanya terlihat semakin sembab dengan air mata yang terus mengalir.

Langit membiarkan tubuh lemah itu melangkah ke luar dari gudang. "Maaf, Sya ...." Langit menangis sejadi-jadinya, ini semua kesalahannya, Langit merasa tak pantas untuk hidup. Lagi, cara ia mencintai Sasya salah. Cara ia memperlakukan perempuan itu setiap saat juga salah. Rasa ambisi dan ingin menang tak bisa hilang dari dirinya, kenapa setelah semua ini, ia baru bisa mengucap kata maaf itu.

Kenapa saat orang yang ia sangat begitu cintai membenci dirinya, baru ia sadar bahwa selama ini cinta yang ada dalam dirinya sangat salah? Kenapa semuanya harus terlambat seperti ini untuk ia ketahui?

"Lang." Laskar dan Lintang memasuki gudang yang sekarang terlihat berantakan. Mereka berdua menghampiri Langit, membantu temannya itu untuk bangkit.

"Sasya gak mau ketemu gue lagi," ucap Langit lirih seraya menatap kedua sahabatnya yang hanya bisa terdiam. Mereka juga tahu, bahwa ini adalah kesalahan Langit sendiri.

"G-gue cinta banget sama dia," tambahnya.

"Ini resiko yang harus lo terima, Lang. Lo nyesal juga gak bakalan ngerubah apapun, Sasya udah hancur karena perbuatan lo sendiri." Bukannya menenangkan, Lintang malah semakin menyudutkan sahabatnya itu. Lagipula apa yang ia katakan benar adanya, menyesal bagiamana pun juga Langit, tidak akan membuat Sasya mencintai laki-laki itu.

***

Semuanya terasa asing, Sasya lebih memilih jalan di dekat gudang untuk ke luar dari SMA Jaya. Ia tidak berani ke depan gerbang, belum lagi tubuhnya yang lemah. Beruntung di dekat gudang ini sepi, mungkin karena sudah jam pelajaran. Makanya tidak ada lagi siswa-siswi yang berkeliaran.

Apa besok, ia masih bisa bersekolah setelah apa yang terjadi tadi? Sasya menunduk, menatap ke arah sepatunya dan lagi-lagi air mata itu mengalir. Entah berapa banyak air mata yang sudah ia keluarkan hari ini.

Namun, tetap saja menangis tidak membuat suasana hatinya menjadi lebih baik. Bahkan ia merasa lebih buruk sekarang. Apa yang harus ia lakukan? Kemungkinan ia pasti akan di keluarkan dari sekolah, Sasya ... tak mau itu terjadi. Ia masih memiliki mimpi yang harus digapai nya. Membuat ayahnya bangga dengan prestasi bukan malah seperti ini.

Sasya terus berjalan tanpa tahu arah tujuannya. "Kenapa masalah selalu datang? Apa aku begitu terlihat kuat, sampai harus diberi masalah terus-menerus?" tanyanya entah pada siapa. Tatapannya beralih pada Langit yang tampak cerah, bahkan matahari juga terlihat menghiasi langit itu.

"Langit di sana indah, tapi kenapa Dia malah membuat aku terus dalam masalah?" Sasya tak lagi memperhatikan langkahnya, bahkan ia tak sadar bahwa sekarang tengah berjalan di jalan raya. Untung saja suasana jalan sepi, mungkin karena jam kerja dan sekolah makanya jalan itu terlihat lengang.

Yang dilakukan Sasya sedari tadi hanya terus berjalan, bahkan sudah lebih dari beberapa jam kakinya terus saja ia paksa melangkah. Apa ia pulang saja, tapi bagaimana jika nanti ayahnya marah padanya karena pulang secepat ini?

Ah, Sasya baru ingat bahwa ayahnya pasti masih bekerja. Tak ada salahnya jika ia pulang dan berdiam diri di kamarnya.

***

"Din, kita gak temanin Sasya, ya? Dia pasti lagi butuh kita," ujar Bunga. Dini sama sekali tidak menjawabnya dan terlihat asik dengan ponsel ditangannya.

"Dini," panggil Bunga sekali lagi. Jenggah karena temannya itu terus mengabaikan dirinya. Bunga hanya bisa menghela napas, lalu menatap meja yang dipenuhi dengan coretan dan sampah.

Itu adalah meja milik Sasya, Bunga sejak pagi tadi sudah  berpindah tempat duduk karena Dini yang mengajaknya.

Sejujurnya, Bunga kecewa dengan apa yang ia dapati pagi tadi. Sahabatnya yang satu itu tidak mungkin seperti itu, tetapi bagaimana juga ia menyangkal, orang yang ada di foto dan video yang tersebar adalah Sasya.

"Dini?"

Dini menoleh sebentar sebelum kembali sibuk dengan ponselnya.

"Nanti, kita ke rumah Sasya yuk. Kasian dia," pinta Bunga.

Dini meletakkan ponsel miliknya, lalu menatap Bunga  yang kini terdiam. Menunggu jawaban dari Dini.

"Gak bisa, gue ada urusan. Lagi pula lo mau juga bermasalah sama kayak dia," jelas Dini.

Bunga tampak menahan air matanya. "T-tapi kan, dia sahabat kita, Din."

Tak ada lagi jawaban dari Dini. Perempuan itu terlihat pura-pura tidak mendengar ucapan dari Bunga.

TBC

Kalo ada typo tandain aja ya.

Sasya's Diary [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang