37. Positif

2.2K 177 5
                                    

Kalo ada typo tandain ya:)

Jangan lupa vote dan komen😉

-Happy Reading-

Semuanya terdiam, mendengarkan penjelasan dokter yang sungguh tak diduga-duga. Bagaimana ini bisa terjadi? Wajah Saski terlihat begitu marah, tatapannya berubah tajam dengan tangan yang mengepal kuat. Mati-matian ia menahan amarahnya, setetes air mata jatuh dan cepat-cepat ia hapus. Tak ingin terlihat lemah di depan Alvin, Awan serta Biru.

Mereka hanya bisa bungkam, mengetahui fakta yang begitu sangat mengejutkan. Saski menatap Sasya yang kini sudah terlelap, pakaiannya sudah berganti begitu pula selimutnya.

"Usahain adik kamu jangan banyak pikiran dulu, itu akan menganggu kondisi kehamilannya. Saya permisi dulu, jika butuh sesuatu bisa panggil saya," jelas sang dokter sebelum keluar dari sana bersama dengan suster.

Alvin mendekat pada Saski, lalu menepuk bahu sahabatnya memberi ketenangan. "Jangan gegabah," peringat Alvin seolah tahu dengan apa yang sekarang ada dipikiran Saski.

"Kak Sasya, hamil?" tanya Biru pada Awan seraya berbisik. Awan hanya bisa terdiam, bagaimana perempuan seperti Sasya harus menanggung beban seperti ini. Ia kehabisan kata-kata, bahkan untuk menjawab pertanyaan Biru saja seolah sangat sulit.

Biru menatap semua orang yang ada di sana sedih. Terutama saat melihat wajah terlelap Sasya, padahal baru saja ia melihat tawa dan senyum itu. Semoga Sasya, tetap kuat dan tabah. Hanya itu doa yang bisa Biru ucapkan.

Mereka, kecuali Saski memilih duduk di sofa. Hanya ada keheningan di dalam ruangan itu, Saski masih bertahan menemani adiknya. Ia menggenggam erat tangan Sasya,  tanpa terasa air matanya jatuh lagi. Saski menangis, karena merasa tidak becus menjaga adiknya. Ia merasa bersalah, padahal yang berbuat orang lain. Namun, mengetahui fakta bahwa adiknya sudah dirusak seperti ini, entah kenapa rasa sedih sangat begitu besar ia rasakan. Kedua orang tuanya pasti kecewa dengan dirinya, karena tidak becus menjaga Sasya.

Suara tangisan yang begitu menyayat hati, membuat siapa saja yang ada di sana merasakan hal yang sama. Mereka tahu, bagaimana hancurnya perasaan Saski.

Tak tahan mendengar suara tangisan Saski yang kian menjadi. Seolah laki-laki itu yang menjadi korban, padahal sebenarnya adiknya. Membuat Alvin bergegas menghampiri Saski dan kembali menguatkan sahabatnya itu.

Awan dan Biru masih betah menjadi penonton saja, mereka tak mau memperparah keadaan. Diam lebih baik.

"Lo gak bisa gini, Saski. Sasya butuh dukungan lo, bukan lo yang lemah gini?!" sarkas Alvin kelewat kesal. Saski masih saja tak berhenti menangis, bahkan Alvin seperti tidak mengenali laki-laki di depannya ini siapa.

Yang Alvin tahu, Saski itu kuat dan tidak mudah menangis. Bukan seperti ini yang malah kebalikannya.

"Berhenti nangis, Saski! Lo bisa ngebangunin Sasya." Meski pun nada ucapannya begitu tajam, tetapi yang dilakukan Alvin sungguh tak terduga. Laki-laki itu memeluk sahabatnya, membiarkan baju yang ia pakai basah terkena air mata Saski.

"Gue gak becus jagain adik gue, Vin. Gue abang yang buruk! Padahal gue tahu gimana, menderitanya dia, tapi gue malah selalu memperlambat waktu buat ketemu dia. Ini salah gue, Vin. Sasya jadi hamil, karena gue yang gak cepat-cepat bertindak, gue ...." Saski tak mampu lagi melanjutkan perkataannya, ia merasa sangat bersalah atas semua hal yang terjadi pada Sasya. Seandainya ia bertindak cepat dan mengambil Sasya dari rumah itu, semua ini tidak akan terjadi.

Namun, apa yang ia bayangkan nyatanya tak sesuai harapan. Kenyataan ini begitu menakutkan, bagaimana juga Saski tidak bisa mengubah semua yang sudah terjadi, ia tidak bisa memutar waktu untuk kembali pada masa kemarin. Masa di mana semua hal buruk seharusnya tidak terjadi dan adiknya tetap baik-baik saja sampai sekarang.

"Berhenti nyalahin diri lo, ini karena laki-laki brengsek itu, bukan karena lo, Ki!" Alvin dapat merasakan gelengan kepala dari Saski, ternyata sahabatnya ini masih saja menyalahkan diri. Alvin hanya bisa menghela napas  berat, mendengar setiap kata yang Saski ucapkan, begitu sangat menyakitkan.

Namun, seharusnya Saski sadar, sikapnya sekarang tidak akan bisa menggubah semua yang sudah terjadi. Mereka terlambat, dan inilah resikonya.

Jika Saski saja bersikap seperti ini, bagaimana dengan Sasya. Alvin tidak bisa membayangkan jika perempuan sebaik dan seceria Sasya harus mengetahui bahwa di dalam tubuhnya telah hidup seorang buah hati. Mental Sasya akan semakin terganggu dan Alvin tidak mau itu terjadi lagi.

"Lo harus kuat, Sasya pasti lebih sedih dari lo, Ki. Sebagai abang dan keluarga satu-satunya yang dia punya, seharusnya lo gak bersikap gini. Pokoknya habis ini, gue gak mau liat lo nangis di depan Sasya. Lo harus bisa nguatin dia, Ki." Alvin melepaskan pelukannya, lalu melihat ke arah Sasya yang masih terlelap damai. Wajah yang tampak pucat itu, membuat ia tak tega. Namun, jika semua merasa sedih, siapa yang akan menguatkan?

Setelah mendengar nasehat dari Alvin, tangis Saski mulai berangsur reda. Terlihat laki-laki itu mengusap matanya dan berusaha tersenyum.

"Makasih, Vin," ucap Saski tulus seraya memeluk Alvin singkat.

"Anjir, kata gue jangan nangis lagi! Lo mau gue tabok?!" kesal Alvin berhasil membuat Saski terkekeh kecil.

Memiliki sahabat seperti Alvin yang rasanya seperti saudara sendiri, membuat Saski bersyukur. Masih ada orang yang mau menguatkan ia, di saat seharusnya ia bisa berpikir dewasa. Bukan malah menangis seperti anak kecil. 

"Kak Sasya itu perempuan kuat. Dia pasti bisa nerima ini dengan lapang dada," celetuk Biru tiba-tiba, mengalihkan atensi mereka semua dan berfokus pada remaja laki-laki yang saat ini sedang asik dengan camilan di tangannya.

Awan menatap adiknya tajam, bisa-bisanya Biru berkata demikian. Namun, tak urung Awan juga berharap seperti itu. Ya, semoga saja Sasya kuat menerima kenyataan ini.

"Semoga aja," ucap Saski seraya tersenyum tipis dan menatap wajah cantik adiknya. Tangannya terulur, merapikan beberapa helai rambut yang begitu berantakan.

"Capek juga, gue berdiri daritadi." Alvin melangkah ke arah tempat duduk Biru dan Awan. Dan membiarkan Saski berada di dekat Sasya.

Di sisi lain, Langit tak kalah terkejut saat ia bertanya pada dokter yang menangani pacarnya keluar dari ruangan itu. Mereka sekarang tengah berada di depan ruangan dokter yang letaknya tak jauh dari ruang inap Sasya. Itu karena keinginan Langit, agar ia juga tak diketahui oleh mereka semua.

"Kamu beneran teman, Sasya?" tanya dokter itu memasang tatapan curiga pada Langit, karena melihat tingkahnya, sebenarnya ia tidak mau memberi tahu pemuda ini apa yang terjadi pada pasiennya. Namun, karena Langit terus membujuknya dan mengatakan bahwa ia sangat mengenal Sasya. Rasa iba itu muncul dan mulutnya dengan begitu saja mengatakan apa yang terjadi.

"I-iya, Dok. Saya teman Sasya-- Langit menjeda perkataannya, membuat sang dokter mengernyitkan dahi bingung, menunggu apa yang selanjutnya ingin di sampaikan oleh pemudai ini.

dan ayah dari anak itu ..." lanjut Langit di dalam hati, ia terlalu pengecut mengakui perbuatan bejatnya. Siapa lagi yang melakukan 'itu' pada Sasya, jika bukan ia orangnya. Maka dari itu, Langit sangat yakin bahwa anak yang dikandung oleh Sasya adalah anaknya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Langit langsung pergi dari sana. Bahkan  dokter itu sampai dibuat heran dengan tingkahnya.

TBC

Cerita ini apa perlu direvisi ya?

Menurut kalian gimana sih cerita Sasya dari awal sampai part ini?

Jujur, cerita aku yg lain gak ada yg direvisi. Soalnya gimana ya, mageran hehe (jangan dicontoh). Malah ada keinginan buat cerita baru dengan tokoh dll serba baru, fresh gitu. Hiyaa

Oh iya, terima kasih banyak buat kalian yang masih bertahan sampai sejauh ini baca Sasya's Diary. Satu lagi, aku punya keinginan buat ganti judulnya, tapi dari kemarin gak ada nemu2 terus😤 oke sekian curhatan saya. Bagi yg baca terima kasih.

Btw di sini ujan. Aku mulai gaje😨

Sasya's Diary [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang