09

13K 1.4K 93
                                    

Yusa semakin kesal dan ia mengayuh kembali pedal sepedanya. Melihat hal itu, Tak menarik gas motornya dan segera menghadang wanita yang sedang marah itu.

"Aku mau bicara denganmu, Sa!" katanya.

Yusa menggeleng.

"Ini mengenai lamaran itu."

"Aku akan minta maaf pada Ayahmu karena sudah membuatnya salah paham."

"Aku hanya ingin membantumu."

Yusa mengernyit heran.

"Kita harus bicara, Sa."

Wanita itu berpikir sejenak. "Kita bicara besok, Ka."

Taka mengangguk setuju. Tak ada lagi percakapan di antara mereka. Taka menepikan motornya, membiarkan Yusa melanjutkan perjalanannya.

🍂🍂🍂

Sampai di rumah, Yusa lekas membongkar semua belanjaan dan mulai menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak esok pagi. Seperti biasa, Sumi membantu sambil melihat televisi.

"Terima saja lamarannya Taka, Nduk." Untuk kesekian kalinya Sumi membujuk putrinya. "Bapakmu sakit, nggak bisa kerja. Ibuk juga harus jaga Bapakmu. Risa habis ini ke Jakarta. Siapa yang mau nanggung beban keluarga ini?" lanjut Ibunya.

"Yusa kan habis ini kerja di Surabaya, Buk. Pasti cukuplah buat kehidupan kita."

"Gaji dan penghasilan Bapak sama Ibuk aja kurang buat bayar hutang, Nduk. Apalagi kalau nggak kerja gini. Bapakmu sekarang butuh pengobatan lebih. Pakai uang dari mana?" Sumi mengiba.

"Ibuk kan punya anak emas yang punya segalanya? Kenapa nggak minta dia saja? Yusa yakin gajinya di Jakarta lebih dari cukup buat bayar hutang Bapak sama Ibuk. Nggak harus pake cara pernikahan gini, Buk!" sungut Yusa.

"Kamu tahu sendiri bagaimana adikmu, Nduk."

Yusa melempar kesal pisau pada talenan yang ada di depannya. "Kenapa waktu seneng, cuma Risa yang kalian agung-agungkan? Sedangkan kalau susah seperti ini selalu Yusa yang kena imbasnya?" sentaknya.

"Karena cuma kamu yang bisa kami handalkan, Sa."

"Yusa capek, Buk! Sekalipun Bapak dan Ibuk nggak pernah mikirin pendapat Yusa, nggak pernah mikirin perasaan Yusa. Yusa udah capek ngalah terus! Apalagi ini masalah pernikahan. Sesuatu hal yang sakral, Buk! Melibatkan Allah loh, Buk!"

"Sudah, Buk. Jangan dipaksa terus. Kasihan anakmu." Yudi yang sedari tadi di kamar mendengarkan perdebatan antara istri dan anaknya ikut ambil suara. Yudi tak sekejam Sumi yang kehendaknya harus selalu dituruti. Setidaknya pria itu masih memikirkan perasaan putri sulungnya

"Ya sudah! Terserah kamu saja! Jadi anak perhitungan banget sama orang tua! Nggak ada bakti-baktinya!" Sumi berdiri kesal dan meninggalkan Yusa dengan pekerjaannya.

Wanita itu hanya bisa menangis dalam diam. Ia mengambil kembali pisau yang dilemparkannya tadi dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Nangis mulu!" ejek Risa yang tiba-tiba duduk di depannya. Jarang sekali dia duduk di karpet itu, karena di kamarnya sudah ada TV LED yang membuatnya betah tidak keluar dari tempat ternyamannya itu.

Yusa menghapus air matanya, tak mau jika adiknya akan semakin mengejek dan menginjak-injaknya.

"Udah, Sa. Nikah aja sama Taka. Nggak akan nyesel deh kamu sama dia," bujuk Risa. Ia mendekatkan ke telinga Yusa, "dia jago di ranjang. Nggak nyesel deh kamu," bisiknya.

"Astaghfirullah! Gila kamu, Ri!" sentak Yusa. "Kamu sampai sejauh itu?"

"Semua cowokku juga udah kucobain, Sa! Udik banget kalo pacaran nggak sampe ngerasain gituan."

Elegi Tawa Niyusa [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now