04

12.5K 1.4K 69
                                    

"Iya, kenapa? Kok kaget gitu?" tanya Yusa.

Taka menghentikan langkah. "Kalau kalian berdua pergi, kasian Bapak dan Ibuk kamu, dong?"

"Aku pergi sendiri," jawab Yusa sambil berhenti.

"Bukannya Risa dipindahkan ke kantor pusat di Jakarta untuk naik jabatan?"

Penjelasan Taka membuat Yusa mengernyit dan tidak terima. "Dia nggak bilang itu? Kapan kamu denger itu, Ka?" cecar Yusa emosi.

Tidak ada jawaban dari Taka. Pria itu diam seakan menyadari jika sudah salah mengatakan sesuatu. "Maaf, Sa. Kupikir Risa sudah bilang ke kalian," ujarnya menyesal.

Senyum Yusa lenyap seketika. Banyak praduga dan kekhawatiran yang muncul di benaknya. Bagaimana tidak, kalau sampai itu benar adanya, kemungkinannya untuk pergi bekerja di luar kota akan gagal.

🍂🍂🍂

Pulang dari tempat kerja, Yusa ingin segera menyampaikan rencananya untuk keluar dari toko disetujui Abah Sukri. Lebih tepatnya, ia ingin meyakinkan kedua orang tuanya sebelum Risa mengatakan niat. Tentu saja ia harus menunggu Bapak bangun dan Ibuk pulang dari tempat kerja agar ia bisa menyampaikan niat.

Sekitar pukul empat sore, Bapak sudah bangun dari tidur dan Ibuk baru tiba. Rumah sudah rapi, makanan dan kopi hangat telah terhidang di atas meja makan tanpa kursi yang terletak di sudut dapur. Yudi segera mengambil minuman hitam pekat beraroma khas dalam sebuah mug stainless dan menikmatinya di ruang tamu. Sedangkan Ibuk mengambil sepiring nasi dan lauknya kemudian duduk di ruang tengah, menikmati makanan sambil menikmati sinetron favoritnya.

"Pak, Buk ... Yusa tadi udah bilang ke Abah Sukri—"

"Oh, iya. Tadi Risa juga bilang kalau dia lagi dipromosikan bosnya buat naik jabatan. Adikmu mau dipindah ke Jakarta, gajinya naik dua kali lipat loh, Nduk!" Ibuk memotong kalimat Yusa. Terlihat sangat antusias menceritakan hal tersebut.

"Kamu gak usah ke Surabaya aja, Nduk. Gaji adikmu udah cukup buat bantu-bantu," tambah Bapak.

Yusa benci mengakui, tetapi apa yang ia khawatirkan benar-benar terjadi. Ia coba meredam amarah dan kembali meyakinkan Bapak dan juga Ibuk. "Yusa pengen cari pengalaman baru, Pak, Buk," ujarnya, "Yusa juga pengen nabung, pengen buka usaha kecil-kecilan."

"Daripada kamu jauh-jauh ngurusin orang lain, mending kamu urus keluarga sendiri saja, Nduk!" sahut Ibuk tanpa mengalihkan perhatian dari layar televisi.

"Buk, Pak. Yusa ini pengen bikin bangga kalian. Apa nggak bisa kalian dukung keinginan Yusa?"

Belum Sumi menanggapi, suara pintu pagar yang terbuka mengalihkan perhatian penghuni rumah. Wanita dengan blouse lengan panjang dan rok span ketat yang membalut bagian pinggang hingga lutut terlihat di sana. Ketukan dari ujung sepatu hak tinggi terdengar jelas, mengiringi langkah sampai ke dalam rumah yang tak besar itu.

"Assalamu'alaikum," sapa Risa ketika masuk rumah. Ia langsung duduk di kursi ruang tamu, bersandar melepas penat.

"Wa'alaikumsalam,"

"Capek, Nduk? Mau di masakin air hangat buat mandi?" tanya Ibuk.

"Iya deh, Buk," jawab Risa. "Ngurusin pindah ke Jakarta ribet banget!" lanjutnya.

"Masakin air buat adikmu, Nduk," pinta Sumi pada Yusa. Ia berdiri dan pindah ke ruang tamu dengan membawa makanan yang belum habis.

"Jadi kapan kamu pindah ke Jakarta?" tanya Bapak. "Mbakmu juga mau kerja di Surabaya."

Risa melihat Yusa yang sedang menuju ke dapur rumahnya. "Oooh, kamu beneran mau jadi babu, Sa?" ejeknya.

"Yang baik kalau ngomong, Ri!" tegas Bapak mengingatkan putri bungsunya.

"Malu-maluin aja, Sa! Cari kerjaan lain gak bisa?" Risa tak acuh dengan peringatan Bapak.

"Kenapa harus malu? Itu halal, kok! Lagian juga uangnya bakal buat bantu Bapak sama Ibuk. Bukan kubuat senang-senang sendiri!" sahut Yusa tak terima.

"Kamu nyindir aku?"

"Aku nggak nyindir, emang faktanya seperti itu! Percuma punya gaji besar tapi nggak punya bakti ke orang tua!"

Risa yang semakin emosi melepas sepatunya dan melempar pasa Yusa. Beruntung wanita itu mampu menghindari.

"Pergi kamu dari sini! Jadi babu sana! Jangan balik ke sini lagi!" sentak Risa.

"Iya! Memang aku mau pergi dari rumah ini!" Balas Yusa.

"Udah udah! Ketemu dikit tengkar, ketemu dikit tengkar! Bikin rumah berisik aja!" sentak Bapak marah.

"Ya salahin dia, Pak! Enak aja ngatain aku. Dia pikir karena siapa tiap hari masih bisa makan enak?" balas Risa.

"Udah, Risa. Nggak baik ngungkit hal gituan. Yusa 'kan Mbakmu sendiri." Ibuk mencoba ikut menenangkan putri bungsunya.

"Nggak malu apa numpang hidup ke orang tua?" lanjut Risa masih dengan emosinya.

"Pak! Buk! Maafin, Yusa! Tapi kali ini Yusa nggak bisa nurutin kemauan Bapak dan Ibuk. Yusa akan tetap pergi ke Surabaya!" ujar Yusa dengan nada yang sedikit lebih tinggi dari biasanya kemudian pergi ke dalam kamar.

Ia memakai earphone, mendengarkan musik dengan nada tinggi untuk mengusir suara Risa yang masih merendahkannya di luar sana. Bibirnya terus mengucap istighfar dan memuji nama Allah agar marahnya lekas padam dan menghilang.

Terkadang ia ingin menyalahkan kedua orang tuanya yang terlalu mengagung-agungkan adiknya. Sejak kecil Risa sudah diperlihatkan bagaimana cara Yusa diperlakukan tidak adil. Dimarahi jika melakukan sedikit kesalahan, dianggap bodoh ketika mendapat nilai buruk, dianggap lelet ketika apa yang sudah diperintah kedua orang tuanya tak segera dilaksanakan.

Mungkin karena itulah Risa merasa dirinya jauh lebih baik dari Yusa. Ia tak pernah mendapat marah dan selalu dimanjakan kedua orangtuanya. Dan di mata Risa, Yusa tak lebih dari seorang pembantu rumah tangga. Semua kejelekan Yusa selalu disebarkan ke semua teman-teman perumahan.  Selalu membujuk orang-orang agak menjauhi kakaknya.

Hal tersebut membuat Yusa semakin tidak percaya diri berada di dekat orang lain. Hingga akhirnya, membuat ia lebih nyaman dan terbiasa sendiri sampai saat ini.

🍂🍂🍂

Sudah dua hari sejak pertengkaran dengan Risa membuat Yusa lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Sebisa mungkin ia selalu menghindari adiknya. Ia benar-benar marah dan sulit untuk memaafkan Risa kali ini.

Dini hari, seperti biasa Yusa bangun mengerjakan salat malam. Namun, di akhir salam ia mendengar suara gaduh di luar rumah. Menjadi ia abaikan ketika suara itu semakin senyap dan melanjutkan dzikir serta do'anya.

Baru Yusa melepas mukenah, ia dikejutkan dengan suara pintu pagar rumah yang dibuka paksa seseorang. Engsel pintu yang berkarat membuat decitan yang tidak nyaman di telinga.

"Mbak Sumi! Mbak Sumi!" panggil seseorang diiringi ketukan kasar pada pintu ruang tamu. "Mbak! Ini Abdul!"

Yusa bergegas ke depan dan membuka pintu. "Kenapa, Paklek?" tanya Yusa.

"Nduk! Bapakmu!" Pria paruh baya yang menjadi rekan kerja bapak itu terlihat menata napas sebelum menjawab pertanyaan Yusa. "Bapakmu ketabrak motor waktu mau nangkap maling, Nduk!"

"Astaghfirullahaladzim!" pekik Yusa.
.
.
.
.


🍂Bersambung🍂
Terima kasih sudah membaca karya saya. Sempatkan tekan bintang dan tinggalkan komentar di setiap babnya.💕

Elegi Tawa Niyusa [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now