Prologue

917 10 1
                                    

Sepasang kaki jenjang beralas flat shoes berwarna hitam terpaku ditempat, dingin tetap dirasa oleh pemilik kaki jenjang tersebut meskipun telah dibalut dengan rok abu-abu panjang yang menutupi bagian pinggul hingga bagian mata kakinya. Terima kasih kepada sekolah yang mewajibkannya memakai almamater sehingga —meskipun itu sedikit- ia tetap merasa hangat pada bagian atas tubuhnya.

Rambut gelombang berwarna hitam arang miliknya tertiup pelan oleh angin, ia masih terdiam di depan gerbang dan belum berniat untuk masuk. Ia masih merasa enggan, asing dengan suasana sekolah dimana ia sudah menuntut ilmu selama hampir 2 tahun. Salahkan saja demam dan maag yang menyerang hingga ia butuh waktu hampir 1 minggu untuk beristirahat di rumah.

Ia merasa tertinggal jauh dan tak tahu apa-apa.

"Mala!" ia menolah mendengar seseorang menyerukan namanya. Seorang gadis berkerudung syar'i dengan senyuman lebar berlari kecil menghampirinya. Kalau membaca kata syar'i dan kalian berpikiran gadis itu akan bersuara halus dan lembut, kalian salah besar.

"OMG! Kenapa sakitnya lama sekali? Kau kan jadi ketinggalan pengalaman pertama bersama Pak Ambo!" gadis yang dipanggil Mala malah mengiris ngeri begitu nama Pak Ambo disebut, masih tidak menerima bagaimana takdir mempermainkan sehingga ia harus mendapatkan guru Penjaskes yang begitu tega melatih murid-muridnya untuk menjadi atlet.

"Entah aku harus bersyukur atau malah menangis, tapi kita belum ambil nilai, kan?" tanya Mala. Adalah sebuah bencana baginya jika harus mengambil nilai seorang diri karena teman-temannya yang lain sudah punya, oh, dia benci sakit.

"Tenang saja, belum kok. Ngomong-ngomong lebih baik kita masuk sekarang deh, Mala. Cuaca terlalu dingin." gadis itu memeluk pelan tubuhnya sendiri dan menampakkan mimik wajah yang kedinginan —sekedar melucu. Mala yang sedaritadi berdiri di depan gerbang akhirnya mengikuti temannya masuk, dengan beribu pikiran dan perasaan mengganjal yang mengikutinya.

***

"Ponselnya bisa kan dimainin sebentar, makan dulu, Nak."

Segera disimpan ponsel hitam miliknya pada saku seragam dan melahap sandwich isi telur rebus yang telah dihancurkan bercampur mayonnaise. Pikirannya masih berada di tempat lain, masih memikirkan kesehatan gadis itu. Kalau hari ini ia belum masuk juga, ia harus menjenguknya. Ini sudah terlalu lama.

"Awan lagi mikirin siapa?" pertanyaan itu sukses membuatnya berhenti mengunyah dan memandangi wanita bermata belo dihadapannya. Segera ditelan makanannya saat menyadari tatapan dan senyuman itu menunggu sebuah jawaban, "Teman, Ma."

Berbohong sama sekali tidak berguna, apalagi pada Mamanya. Beliau terlalu tahu dan sensitive untuk dikira bisa dibohongi, cukup dengan menjawab dan ia tak perlu menjelaskan lebih. Karena tak penting untuk dijelaskan lebih meskipun sebuah deheman dari suara berat menggodanya —Ayah.

"Memang temannya Awan kenapa?" suara berat itu terdengar, ikut berbicara. Mungkin tergelitik mendengar anak semata wayangnya memikirkan seseorang yang disebut teman. "Temannya Awan sakit, hampir seminggu tidak masuk. Kebetulan dia si Sekretaris Umum." jawabnya. Untuk memperjelas siapa temannya dan mengapa ia sampai harus memikirkannya.

"Setidaknya kan kalau ada apa-apa Wakil Sekretaris masih bisa membantu." tambah Mama.

"Iya, Awan cuma kepikiran aja dia sakitnya lama juga."

Ayahnya mengelus lembut kepalanya, anak laki-laki yang dipanggil Awan itu tersenyum hangat merasakan kasih sayang —meskipun dari cara paling sederhana- Ayahnya yang kini memakai pakaian dinasnya yang berwarna hijau dengan satu bintang yang tersemat pada kedua bahunya. Sosok Ayah yang sebenarnya adalah saat berada di rumah dan menghabiskan waktu bersama Mama dan dirinya, karena sosok Ayah selain itu adalah sosok lain yang begitu tegas dan tak bisa untuk diketahui isi hatinya. Sama seperti dirinya.

***

"Awan ada?" anggukan dari laki-laki dihadapannya membuatnya menghela napas pelan dan segera memasuki ruang kelas Awan. Kakinya melangkah ringan menuju sosok Awan yang berambut cepak —ala Tentara- dengan postur tubuh tegap dan cukup kekar untuk seumurannya. Terima kasih kepada semua latihan fisik yang selama ini mereka jalani.

Iris cokelat terang milik Awan menatapnya dan mengikutinya hingga ia berdiri tepat dihadapannya, dibatasi oleh bangku kayu milik pria tenang —menjurus dingin- itu. "Tanda tangan!" ucapnya dan memberikan sebuah map plastik pada Awan, dibacanya beberapa saat lembaran-lembaran kertas yang kini ada ditangannya sebelum membubuhi tanda tangan pada bagian kosong di atas namanya, Muhammad Awan Arjuna.

Sesaat ia memperhatikan tanda tangan milik gadis dihadapannya, diatas nama Kemala Ahreumi. Lalu Awan kembali membaca nama-nama pada susunan kepanitian yang baru saja ditandatanganinya dan memberikannya pada orang dihadapannya, Kemala. Baru beberapa langkah Kemala meninggalkannya dan Awan telah memanggil namanya, menghentikan dirinya melangkah dan berbalik menatapnya.

"Ada yang mauku tanyakan." Kemala mengedipkan kelopak matanya beberapa kali sebelum melangkahkan kedua kakinya mendekati Awan, "Kenapa?"

"Kamu... udah baikan?"

...

...

...

"Kemala?"

Butuh waktu beberapa saat untuk membuat gadis itu tersadar dari keterjutannya —ia merutuki dirinya sendiri yang harus terkejut akan pertanyaan biasa seperti itu- dan mengerjap memandang Awan. Ini hal paling ganjil yang terjadi diantara dirinya dan Awan, entah mengapa pria ini bersikap sopan kepadanya. Entah sejak kapan Awan menjadi sejuk.

"Belum terlalu baik, makanya disuruh cepat pulang dan nggak boleh tinggal lama-lama." jawabnya membuat Awan mengangguk. "Rapat besok nggak usah datang, oke?"

"Oke." jawabnya, memberi senyuman simpul lalu beranjak pergi.

"Kemala." ia menghentikan langkahnya lagi dan memandang Awan. "Ya?"

"Ge-we-es."

***

Happy Reading:)


Perhaps.Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt