19

81 4 0
                                    

"Tetap seperti ini, Awan. Tetaplah menjadi sejuk seperti awan putih."

Permintaan itu masih terngiang dengan jelas di telinga Awan, seperti lagu Only Hope yang sedari tadi diputar oleh Mamanya dan memenuhi seluruh ruang perpustakaan pribadi di rumahnya. Awan menatap dengan pandangan kosong tumpukan rapi buku-buku yang ada di perpustakaan itu, tanpa niat untuk membacanya. Ia berada di sini hanya untuk menenangkan diri tanpa harus terganggu atau melihat sesuatu yang mengingatkannya akan Kemala, seperti foto mereka berdua yang tertempel di kamarnya.

Seperti ini apa yang Kemala minta padanya? Ia tak mungkin tak menyadari apa yang dialaminya dan seingatnya, satu-satunya hal yang berubah dari Awan semenjak SMA adalah ia tak mau lagi masuk dalam lingkaran gaul. Lalu tetap seperti ini apa yang dimaksud gadis itu?

Seharian ini atau tepatnya semenjak ia menyadari keanehan yang terjadi pada Kemala, ia tak pernah tak merasa frustasi. Kali ini tentu saja karena kalimat Kemala. Sungguh, ia tak mengerti dengan kemampuan yang dimiliki Kemala untuk berbicara dengan cara yang tak bisa ia mengerti. Ia lebih memilih mengerjakan Logika Matematika pada buku kumpulan soal TPA daripada harus memikirkan Kemala, yang kesulitannya sama sekali tak tertandingi dibandingkan dengan ingkaran-negasi dkk.

Awan melirik sejenak pada Mama yang sedari tadi keluar-masuk perpustakaan, dimulai sejak lima menit ia telah berada di ruangan ini. Kemudian ia fokus lagi pada pemikirannya, bukan lagi memandangi tumpukan buku tetapi langit-langit perpustakaan yang dipenuhi dengan lukisan awan. Dari awan tipis hingga tebal, awan yang dekat dengan bumi dan jauh dari bumi, awan putih hingga hitam.

Begitu melihat awan putih itu, Awan teringat pada awan-awan di atas langit yang selalu ia harapkan muncul untuk melindunginya dari sengatan matahari selama latihan. Awan putih? Rasa-rasanya Awan ingin membenamkan dirinya pada semua buku yang ada di perpustakaan ini, bodoh sekali dirinya! Sejak kapan ia menjadi orang yang berlebih-lebihan –jika tak ingin disebut lebay- dan tak berpikir seperti biasanya?

Maksud dari ucapan Kemala sangatlah sederhana, gadis itu hanya ingin Awan selalu berada di dekat gadis itu untuk melindunginya dari setiap ancaman yang menyiksa dan menyakitinya. Awan meringis geli, bukan kah itu yang selama ini Awan lakukan pada gadis itu? Awan mengehela napas panjang, mungkin saja Kemala sama sekali tidak menyadari hal itu atau mungkin... yang ia lakukan selama ini masih kurang. Buktinya, sampai sekarang Kemala masih bisa menangis.

Awan meraih ponselnya, menyalakan data seluler yang sedari tadi dimatikannya. Dan dengan sabar ia meletakkanya kembali ke meja kopi di sebelahnya, membiarkan ponselnya berjoget ria akibat pesan yang bertubi-tubi masuk.

Langit Hakim

Ku harap kau tak punya rencana untuk menahan Kemala bersamu besok, ada sesuatu yang harus kulakukan dengannya.

Kening Awan menjadi berlipat-lipat membaca pesan itu, rasa-rasanya ia begitu ingin menghajar dan membanting Langit. Sekalian merobek bibir dan mematahkan lengannya agar berbicara dengan cara yang tak songong seperti itu padanya, ia bersyukur junior kurang ajar itu tidak menjadi anggota Paskib.

Muhammad Awan Arjuna

Terserah kau.

***

Langit mengetuk-ngetukkan sepatunya pada lantai, menebalkan muka dengan berdiri di koridor lantai dua. Dimana kelas XI Unggulan baik IPA maupun IPS berada. Dibanding koridor kelas XI yang lain, koridor dimana ia berdiri sekarang dipastikan sudah berpenghuni sejak pukul enam lewat puluh tadi. Meski masih segelintir orang, itu pun langsung sibuk dengan laptop masing-masing.

Langit tersenyum seadanya begitu melihat senior ekskul Basketnya, Rio, dengan headset yang tersemat dikedua telinga menyapanya. "Lagi nungguin Kemala?" tanya seniornya.

Perhaps.Where stories live. Discover now