10

83 5 2
                                    

Matahari bersinar dengan lembut karena awan-awan yang begitu dekat dengan daratan menutupinya. Sejauh mata memandang hamparan tanaman hijau dengan buah berwarna merah segar menghiasi pemandangan. Orang-orang berlalu lalang memetik buah segar tersebut, beberapa kelompok remaja yang begitu sibuk mengabadikan momen daripada menikmati momen juga sibuk berpose di depan kamera DSLR seakan-akan sedang memetik buah segar tersebut.

"Sebaiknya kau berhenti memakan buah itu sebelum dicuci, Kak!" tegur Langit.

Kemala yang sibuk mengunyah buah stroberi menatap tajam pada Langit, ia benar-benar tidak suka jika Langit memanggilnya Kakak atau Kak. Pertama, itu membuatnya merasa sangat tua dibanding dengan Langit yang hanya berbeda lima bulan –tanpa memperhitungkan tahun- dari dirinya. Kedua, Langit punya irama mengejek setiap kali memanggil dirinya seperti itu.

"Ini sehat kok, segar dari kebunnya langsung," ujar Kemala sembari memasukkan dua buah stroberi sekaligus ke dalam mulutnya.

"Yang marah-marah kalau ngga cuci tangan sebelum makan siapa ya—hp!"

Senyum Kemala melebar begitu melihat wajah lucu Langit. "Enak, kan?"

Langit tidak menjawab, ia buru-buru mengunyah buah stroberi yang rasanya manis-manis-asam itu. Meskipun rasanya enak, Langit tetap tidak menunjukkan ekspresi itu pada Kemala. Wajah tampannya dibuat –sok- ngambek dengan bibir yang dibuat manyun.

"Sok unyu banget sih," ujar Kemala sembari menarik hidung mancung Langit.

Langit tidak menggubris perlakuan Kemala, ia memilih berjalan menjauhi Kemala dan memotret beberapa pemandangan dengan kamera DSLR yang sedari tadi menggantung dengan setia di lehernya.

"Langit!"

Ia memilih tidak berbalik begitu mendengar seruan Kemala memanggil namanya. Ia terus berjalan sambil mendekati objek yang akan dipotretnya, sepasang suami-istri yang sedang mengawasi anak-anaknya yang masih balita memetik buah stroberi.

"Langit!"

Langit menghembuskan napas keras-keras sembari menyunggingkan senyumannya, ia berbalik dan memandang Kemala dengan wajah –sok- ngambeknya. "Kenapa, Kak?"

"Kamu marah sama aku?" tanya Kemala dengan wajah polos.

Sungguh, Langit tidak tahan untuk terus-terusan mempertahankan wajah –sok- ngambek dihadapan Kemala. Senyuman terlukis dengan jelas di wajah tampannya sembari dengan gerakan ekstra cepat memotret wajah polos Kemala.

"Ya!" seru Kemala, ia tak sadar menggunakan bahasa Ibu dari Mamanya.

"Ya?" tanya Langit dengan wajah bingung.

Kemala menghembuskan napas dengan keras, membiarkan udara yang dihembusnya menjadi asap-asap kecil. "Maaf, bercandanya ngga lucu ya?" tanya Kemala.

Melihat wajah cantik Kemala yang terlihat begitu polos membuat Langit benar-benar berhenti terlihat ngambek. Selama ini Langit selalu menahan diri setiap kali bersama Kemala di sekolah atau pun tempat-tempat umum di Makassar, tapi mereka berdua ada di Malino. Kemungkinan orang-orang disini –entah penduduk asli atau wisatawan- mengenali mereka sangat lah kecil. Dengan mantap ia merasakan jantungnya berdegup kencang berjalan menuju Kemala, lengannya meraih bahu Kemala dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

"Lucu kok, tapi lebih menggemaskan kamu."

***

"Halo?"

"Assalamualaikum, Nak Awan."

Sontak kedua kelopak mata Awan terbuka, kepalanya sedikit pusing begitu ia mengubah posisi dari tidur menjadi duduk dengan sangat cepat. Ia mengucek matanya yang masih berat untuk memastikan siapa yang mengganggu tidur siangnya yang begitu langka, tapi ia tidak jadi melakukan segala umpatan hanya dalam hatinya begitu melihat ID Caller yang tertera di layar ponselnya.

Perhaps.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang