13

88 6 1
                                    

Pukul 07.15 masih terlalu pagi dan sunyi bagi SMA Negeri 5 Makassar setelah ulangan semester berlangsung. Biasanya hanya ada dua tipe siswa yang datang pada pukul segitu, kalau bukan yang sangat rajin datang pasti karena terlalu malas untuk tetap berada di rumahnya.

Kemala sibuk menikmati roti pisang coklat yang baru saja dibelinya di Emi Bakery –penjual roti dan beberapa jenis kue yang ada di dalam sekolah dengan tempat seadanya namun selalu laris manis- sambil duduk di koridor laboratorium komputer.

Ia yakin Aida belum datang sehingga ia terlalu malas untuk menginjakkan kaki di kelas saat ini dan begitu malas untuk ke basecamp, karena itu berarti ia harus bertemu dengan Awan. Sungguh, ia tak mau bertemu dengan Awan saat ini meski ia tahu laki-laki menyebalkan itu sedang menunggunya agar bisa meminjam pulpen darinya.

"Disini kau rupanya."

Kemala menoleh dan mendapati Awan sedang mengunyah sebagian dari roti pisang coklat miliknya. "Siapa yang mengizinkanmu untuk memakan rotiku?" tanyanya dengan mata melotot.

Bukannya merasa terancam atau sebal karena sudah dipelototi Awan malah tersenyum lebar. "Sejak kapan aku memerlukan izin darimu untuk memakan makananmu?" tanyanya.

Sejak kau jadi menyebalkan dan sedikit mengabaikanku dan sibuk dengan Marsya. Kalimat itu yang sangat dikatakan Kemala, tapi ia tahu Awan akan menjadi pura-pura tuli dan berpura-pura seakan mereka belum saling mengenal untuk beberapa saat. Kemala tahu karena itulah yang dilakukan Awan kepada semua gadis yang menyuka--- tunggu dulu!

Memangnya siapa yang menyukai Awan?!

Kemala menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengalihkan perhatian dari Awan. Ia mendengus sembari mengunyah dengan sadis roti pisang coklatnya, tidak mungkin! Sama sekali tidak mungkin jika ia menyukai Awan. Mari diluruskan, Awan akan bertingkah seakan-akan ia adalah orang yang tuli jika membahas mengenai sesuatu yang tidak ingin dibahasnya. Kemala yakin Marsya bukanlah seseorang yang akan dengan senang hati Awan jadikan sebagai gagasan utama dalam percakapan mereka.

Awan akan bertingkah seakan-akan mereka tidak saling kenal kepada para gadis jika ada indikasi kalau gadis itu menyukainya. Indikasi itu muncul dari kebesarkepalaan yang dimiliki oleh Awan, jangan sampai ia mengatakan hal itu dan membuat Awan berpikiran yang tidak-tidak tentang perasaannya pada laki-laki itu.

Kemala mengerutkan kening begitu melihat tangan Awan berada di depan wajahnya. "Apa?" tanyanya.

"Pulpen, banyak orderan nih," jawab Awan tak sabaran.

Kemala membuka tas ranselnya yang begitu ringan dan mencari pulpen Hi-Tech 0,3 miliknya –sambil memutar mata sebelum melakukannya dan mendumel dalam hati- dan segera memberikannya pada Awan.

"Kau tahu kan kalau aku tak suka barang-barangku hilang? Jaga baik-baik," ucapnya dan berlalu meninggalkan Awan. Ia memilih untuk menjauh karena dari kejauhan ia bisa melihat Langit yang berjalan dengan santai sambil menggunakan headset –sepertinya ia satu dari sejuta warga sekolah yang tidak peduli dengan aturan yang melarang penggunaan benda itu di sekolah.

Seragam batik Langit tertutupi dengan sweater hitam abu-abu yang dikenakannya. Kemala bisa merasakan aroma parfum yang sering dipakai Langit begitu jaraknya dengan laki-laki itu hanya tinggal tiga langkah. Langit menoleh terkejut begitu merasakan tepukan Kemala pada kedua bahunya, ia tak sadar dengan kehadiran gadis itu karena sibuk mendengarkan salah satu lagu Fall Out Boys.

"Selamat pagi, Langit," sapa Kemala.

Langit membalasnya dengan suara rendah sambil mengacak-acak rambut Kemala yang sengaja digerai, lalu dengan sengaja menyelipkan rambut gadis itu ke bagian belakang telinga. Ia suka model rambut Kemala seperti itu, karna ia bisa melihat wajahnya dengan jelas.

"Bagaimana kalau kita makan nasi kuning? Aku ingin mendengar sesuatu darimu dan kurang baik mengatakannya disini, kalau kau tidak keberatan." Langit menatap Kemala dan berharap dengan cemas gadis itu mau menerima ajakannya. Ia masih bisa menemukan Awan sedang duduk di depan laboratorium komputer dan fokus dengan ponselnya, namun Langit tak yakin bisa dengan tenang membiarkan Kemala berada terlalu dekat dengan Awan. Jika mengingat kejadian semalam, maka kecurigaan dan nasihat-nasihat waspada pada Awan jika berhubungan dengan Kemala terbukti benar adanya.

***

"Jadi, apa yang ingin kau dengar dariku?" tanya Kemala. Ia meminum teh pucuk yang ada di hadapannya sembari menatap Langit yang baru saja menyuap sesendok nasi kuning miliknya.

Langit menelan dengan ragu nasi kuning yang dikunyahnya, ia merasa tak yakin dengan apa yang dilakukannya. "Aku ingin mendengar pendapatmu tentang kita," jawabnya. Sudah kepalang basah, apa yang ingin dikatakannya sudah terucap. Tak penting untuk saat ini tentang dirinya yang terdengar sangat tidak laki-laki atau semacamnya, ia sungguh ingin mendengar pendapat gadis di depannya.

"Kita?" tanya Kemala, memastikan. Kelopak matanya berkedip berkali-kali dan menatap tak tentu arah, napasnya sedikit memburu. Ia tak bodoh, keinginan Langit untuk tahu pendapatnya tentang Kita pasti dengan maksud dan tujuan tertentu. Tidak, Kemala sedang tidak menyombongkan diri atau besar kepala, tapi hal ini pasti dipicu karena ulah Awan semalam.

"Ya, tentang Kita," jawab Langit, pasti. Meski dalam hati ia merasa tak pasti, merasa semua ini tak akan sesuai dengan harapan yang ada.

"Kita... kita baik, sejauh ini, kurasa."

Jawaban bodoh, batin Kemala. Tentu saja mereka baik baik, kalau tidak tak mungkin Kemala mau pergi ke Malino berdua saja dengan Langit. "Kita menjadi semakin akrab, mulai saling tak canggung, dan mulai saling percaya. Dan aku mulai merasa nyaman dengan dirimu," jelas Kemala. Untuk beberapa saat ia bernapas dengan begitu lambat, takut jika ia salah memberi jawaban.

"Jika harus memilih, mana yang lebih membuatmu merasa nyaman, aku atau Kak Awan?" tanya Langit. Nasi kuning dihadapannya mulai kehilangan suhu hangatnya, terabaikan. Sungguh fokusnya saat ini hanya pada Kemala. Meski yang ditanya perlu mengerutkan dalam-dalam keningnya, mencari kejelasan akan kemana pembicaraan ini bermuara.

Untuk sepersekian detik yang Kemala tak harapkan, kejelasan tersebut didapatkannya. Kemala cukup cerdas untuk mengerti maksud dari Langit bertanya seperti ini padanya. "Kau mau menyuruhku untuk memilih antara dirimu atau Awan?" tanyanya, memastikan."

"Ya, aku ingin kau memilih," Langit mencengkram kuat-kuat bagian lutut celananya, cemas.

"Aku atau... Awan?"

***

GIVE ME YOUR LOVE, PLEASE?

Semoga kesibukan dan kemalasan saya tak menghambat lagi.

Perhaps.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang