29

63 3 3
                                    

Awan berarak pelan terhembus oleh angin, mempercantik langit yang hari ini berwarna biru cerah. Di bawahnya, Awan bersama Ayah sibuk membersihkan kolam ikan Koi yang ada di halaman belakang rumah mereka. Tidak terlalu besar memang, tapi lumut-lumutnya sudah membuat Mama tak berhenti memutar bola mata setiap kali melewatinya.

Ikan-ikan yang ada di kolam untuk sementara berada dalam baskom besar, pekerjaan mereka sudah hampir selesai. Ubi ungu yang dikukuskan Mama sebagai camilan bagi mereka pun sudah habis, kecuali niat Awan yang sejak tadi belum terwujudkan.

Ia ingin berdiskusi dengan Ayah.

Jika terkadang Awan bersikap begitu cuek, sifat itu dominan diturunkan dari Ayah. Awan ingat Mama pernah bercerita bagaimana kecuekan dari Ayah membuat Mama merasa frustasi setengah mati. Sekalipun Ayah tahu, ia bisa dengan mudah membuatmu berpikir bahwa ia tidak tahu –atau lebih parahnya, tidak peduli.

Tapi, setelah mengalirkan air dan mengembalikan ikan-ikan yang telah menjadi teman bermain Awan sejak kecil ke tempatnya, Ayah dengan wajah datarnya menatap lekat-lekat pada Awan. Senyuman miring yang diturunkan pada Awan membuat laki-laki itu menyadari bahwa Ayah mengetahui niat terselubungnya.

Awan memang sengaja mengusulkan membersihkan kolam ikan koi tersebut sebelum Mama kembali menatap mereka berdua dengan wajah tertekuk. Niatnya, agar pada saat bekerja ia bisa bertanya dan melihat bagaimana reaksi Ayahnya.

"Biar Ayah tebak ada apa denganmu hari ini," ucap Ayah sembari mengamati Awan lekat-lekat, "Kemala?"

Anggukan lemah dari Awan menghadirkan tawa nyaring Ayah, membuat Mama yang berkutat di dapur melongokkan kepalanya dari jendela yang berseberangan langsung dengan taman belakang.Awan perlu berbicara tanpa menggerakkan bibir –seperti yang dilakukan oleh Edward Cullen dan percayalah itu sangat aneh.

"Situasinya sudah siaga 1, Ayah."

Tawa Ayah berhenti, beliau menatap Awan dengan tatapan datarnya. Beliau bergegas mencuci kedua kaki dan tangannya, kemudian duduk di ayunan dari bahan kayu yang terlihat dibuat sesuai dengan ukuran keluarga mereka yang tinggi.

Awan tanpa dikomando duduk disebelah Ayah, sesekali kakinya juga ikut menggerakkan ayunan tersebut dengan memberikan dorongan kecil. Ia bingung harus memulai darimana sebenarnya, kemungkinan Ayah malah memberikannya hukuman karena berpikiran sama dengan Kemala besar adanya.

"Semalam Awan meluk Kemala, Yah."

Ayunan itu seketika berhenti bergerak, dengan posisi kedua kaki Ayah yang sepenuhnya menahan dari berat badan mereka berdua. Awan lebih berani menatap awan yang berarak di langit dibandingkan harus menoleh dan menatap kedua mata Ayah, tapi toh ia tetap saja melakukannya. Menemukan raut wajah yang kadang mampu membuat Ayah risih setiap kali menggodanya.

"Dan Ayah Kemala marah, Awan—"

"Ditampar?"

Kedua mata Awan membulat, ia mengangguk membenarkan. Hening setelahnya, Ayah hanya mengangguk dan menepuk pelan bahu Awan. "Bersyukurlah dengan fakta Ayah Kemala tidak memukulmu, harusnya kau mencari tempat yang aman dan waktu yang tepat jika ingin memeluk anak gadis orang."

Kekehan Ayah melumerkan degupan jantung Awan.

"Ayah juga pernah muda seperti kamu, malah sepertinya lebih ekstrem Kakek kamu daripada Ayah Kemala," Ayah tertawa dengan mata mengenang, "tapi Ayah selalu main cantik. Kalau kamu mau sentuh-sentuh –which is kamu mau pegangan tangan atau pelukan- jangan depan orang tuanya lah, jangan di daerah territorial orang tuanya."

Awan mendengarkan dengan khidmat wejangan Ayahnya, ini pertama kalinya Awan membahas masalah perempuan sebagai lawan jenis dengan Ayahnya. Biasanya mereka membahas perempuan secara umum saja jika berhubungan dengan topik-topik yang sedang mereka diskusikan.

Perhaps.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang