Tasya 2 || Empat Puluh Tujuh.

871 94 15
                                    

Semua sudah selesai. Tasya sudah selesai makan, sudah mencuci tangan dan sudah membersihkan bekas makannya. Sekarang waktunya penjelasan part 2!

"Ayo, silahkan jelasin." suruh Tasya seperti seorang guru.

Gibran menggaruk leher bagian belakangnya, "Dari mana gue harus jelasinnya?"

"Terserah, dari mana ke!"

Bukannya menjelaskan Gibran malah diam seakan bibirnya tertutup rapat. Tasya yang melihat geram sendiri.

"Lama!"

"Gue bingung harus dari mana."

Tasya menghembuskan nafasnya kasar, kan, kebanyakan ngibul sih!

"Kebanyakan yang lo sembunyiin jadi bingung kan!" matanya memandang Gibran remeh.

Jika yang ada di depan Gibran saat ini adalah pria dapat di pastikan Gibran sudah membuat wajah itu babak belur sayangnya yang di depannya adalah Tasya.

"Kenapa lo bisa pergi sama Lani?"

Pria itu berdehem memikirkan jawaban yang pas yang akan ia sampaikan pada Tasya, jika salah penempatan kata alamat pulang-pulang tinggal nama, udah mana cuma berduaan di kamar.

"Seperti yang lo tau kalo Lani adalah informan gue dan kita pergi bareng juga karena ga sengaja. Awalnya gue mau ngajak Valen tapi Valen bilang dia ga mau lihat secara live, bisa-bisa dia ga makan dua minggu."

Tasya tertawa.

"Tapi Bimo, orang kepercayaan gue udah terlanjut beli dua tiket hal hasil gue ajak Lani karena gue sempet denger dia nelepon sama seseorang yang ada di Riau." jedanya menarik nafas sambil meminun minunan miliknya.

"Lanjutin, baru ngomong sedikit aja udah haus!"

"Gue ga biasa ngomong banyak." jawab Gibran cepat.

"Mulai hari ini biasain ngomong banyak. Titik!" paksanya mendapat putaran mata. Gibran kembali berdehem.

"See, akhirnya kita berangkat bareng.  Sampai sana gue langsung ke tempat Mauren berada dan Lani ke rumah Bibinya yang lagi sakit. Pas udah selesai kita ketemuan di bandara dan pulang."

Dengan hati-hati Tasya bertanya takut melukai perasaan Gibran, "Lani tau lo-

Gibran mengangguk sekali, "Tau. Awalnya gue ga yakin, takut dia lapor polisi tapi nyatanya ngga. Dia pernah bilang kalo Kakak lelakinya juga sama kaya kita dan lebih parahnya lagi sejak kecil Lani udah di ajarin cara main tapi Lani nolak."

"Gila, gue ga sangka." ketidak percayaan Tasya mendapat anggukan dari Gibran. Gibran pun demikian, jika di lihat dari wajah Lani nampak seperti wanita polos yang buta akan hal kejahatan dan senjata tapi nyatanya salah.

"Lanjut. Masalah keluarga lo, gimana? Gue bingung harus jawab apa."

Gibran mendengus. Sehari saja tidak membahas keluarganya yang tidak bahagia itu bisa tidak sih? Rasanya sangat muak bila harus memanggil mereka dengan sebutan keluarga.

"Bener, gue anak yang ga di harapkan. Kedua orang tua gua terpaksa rawat gue dan Adrian karena nenek dan kakek yang suruh. Sampai pada satu titik dimana Adrian pergi ninggalin gue buat selamanya dan dari sana gue belajar meneliti keadaan. Setelah gue selidikit sedikit demi sedikit akhirnya gue paham kalo sebenernya Adrian di buang. Dari situ muncul keyakinan kalo gue bakalan nyusul Adrian, see benerkan?"

"Di sana gue cuma di kasih tempat tinggal seadanya, mereka cuma bayarin gue sebulan dan gue cuma di beri uang lima juta uang indonesia. Bayangin, Sya. Akhirnya gue coba cari kerja seadanya mulai dari jaga toserba, otlet-otlet makanan, sampai pada bulan ke lima gue ketemu sama seorang Kakek yang jatuh di depan tempat gue kerja, dia minta anterin pulang dan gue anterin terus yang bikin gue kaget ternyata dia tinggal cuma sama para pekerjaannya aja. Dia ga punya anak, ga punya istri."

"Terus?"

"Lo boleh percaya atau engga tapi ini murni adanya, gue di angkat jadi anak dia atas keinginan dia. Setelah sebulan tinggal sama dia, Kakek Willian meninggal, gue sedih karena Kakek Willi udah gue anggep Kakek gue sendiri." Gibran menghirup udara.

"Tanpa gue duga ternyata semua aset kekayaan dia jatuh di tangan gue. Gue berterima kasih banget dan dari situ gue mulai bangun perusahaan gue sendiri. Dua tahun kemudian keluarga gue dateng dan ngajak gue pulang tapi gue tolak karena gue tau apa keinginan mereka. Singkat cerita akhirnya gue pulang, pas banget gue baru nyampe depan pintu ada rentenir yang datang buat nyita rumah sekaligus ngasih tau kalo perusahaan milik ayah gue di ambang kebangkrutan."

"Antara sedih dan seneng sih. Dan sekarang semua udah ada di kendali gue. Mereka bisa aja gue depak tapi dalam hati gue, gue ga ikhlas jadi gue kasih syarat itu biar mereka mikir kalo hidup ga semudah apa yang mereka rencanakan."

Tasya tersenyum mendengarnya, mendekat lalu memeluk Gibran erat. Rasanya sangat bangga dengan apa yang Gibran ceritakan.

Benar, hidup kadang seperti roda, kita bisa di atas dan kita bisa di bawah. Jika sedang di atas usahakan tidak menyakiti yang di bawah.

Mereka melepas pelukan mereka, tersenyum begitu indah. Ini bukan akhir melainkan awal yang terlambat mereka gapai.

"Bran, sampaikan sama keluarga lo kalo gue memberi maaf untuk mereka." Gibran tersenyum lalu mengangguk.

Gibran membelai rambut Tasya, membawa anak rambut itu ke belakang daun telinganya, "Jangan lupa dateng ke konpres gue, ya?"

Tasya mengangguk, "Kalo gue ga ada jadwal operasi gue usahain datang tapi kalo ada maaf, ga bisa."

Kecewa, tapi tidak apa karena ia tau tugas Tasya adalah seorang dokter.

"Sya, kapan kita selesaikan ini?"

Manik mata Tasya menatap lurus Gibran, "Secepatnya. Semua sudah terselesaikan, teka-teki dalam hidup sudah terjawab. Kebahagiaan sudah di dapatkan oleh kita dan mereka."

"Tapi ini bukan akhir kan?"

Tasya terkekeh, "Bukan, ini awal, awal yang sempat tertunda."

👩‍⚕👩‍⚕👩‍⚕

Up!

Sorry telat, gue perbaiki sedikit tadi

Part selanjutnya besok aja ya, udah malem, bsk kalian kan daring atau ulangan?

Heheh

Selamat malam!!!

Tasya 2 (Continued Story) [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang