11th Day

865 181 387
                                    


Ada kalanya aku sama sekali tidak bisa melisankan kata hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada kalanya aku sama sekali tidak bisa melisankan kata hati. Seperti saat ini. Saat segalanya masih abu, hingga tak bisa kubaca gurat-gurat di dinding kalbu.

📷📷📷

Gaharu Sadjati. Dua kata itu terukir di ID Card yang menggantung di bawah dada, sebagai penanda identitas pemiliknya. Lanyard yang melingkar di leher Jati menjadi fokus Adis, selain dua kata yang di-print di atas kartu identitas pria itu.

Dia menunduk, menunggu giliran interogasi yang sedang berlangsung dalam lingkaran di mana dia berada. Lingkaran berisi enam orang, dengan Jati sebagai satu-satunya mahasiswa non-semester satu.

Kelompok Adis sudah dibagi menjadi dua sama banyak, untuk pendampingan program Internship Care. Lima orang bersama Lina—panitia yang membantu Jati di kelompok ini—dan lima sisanya bergabung di bawah pendampingan Jati. Tentu saja, Adis adalah kelompok kedua, karena di sinilah sekarang dia ada.

Hari Jumat sore, Jati mengumpulkan lima orang itu di koridor gedung kuliah Manajemen, duduk lesehan dengan posisi melingkar, untuk membahas segala hal tentang internship. Di divisi mana mahasiswa baru ditempatkan, adakah teman satu jurusan yang mengikuti magang organisasi yang sama, tanggung jawab apa yang dibebankan, serta project apa yang harus diselesaikan. Hal terakhirlah yang membuat Adis memutar kepala sejak tadi, menghafal kembali jawaban yang telah dirancang di kepala. Tanpa tahu, apakah jawaban itu akan menemui pertanyaan yang sesuai atau tidak.

"Penugasannya hunting foto?"

Ah, giliran Adis sudah tiba. Jati sedang menyimak isian Adis pada formulir yang sudah tersimpan rapi dalam sebuah database, yang kini ditampilkan melalui interface laptop Jati.

"Iya, Kak. Tapi foto yang diambil harus memiliki kesatuan cerita yang utuh. Kayak novel gitu, tapi divisualisasikan lewat gambar." Lancar. Jawaban itu sudah dipersiapkan, karena biasanya Adis akan gugup jika berhadapan dengan Jati. Hal yang baru, karena biasanya Adis selalu bisa mencari jawaban spontan.

Jari-jari Jati menari di atas keyboard, lalu matanya beralih dari layar, mendongak menatap Adis, ketika hendak kembali bersuara. "Memvisualisasikan novel karya orang lain atau diminta membuat konsep cerita sendiri?"

"Membuat sendiri, Kak."

"Terus konsep yang kamu angkat seperti apa? Kenapa pengambilan fotonya harus di banyak tempat?"

Sudah Adis tebak. Pasti Jati akan menanyakannya, karena dalam formulir tidak ada kolom untuk mengisi konsep project yang akan digarap. Bagi pria yang selalu—sejauh Adis mengenalnya—membutuhkan alasan untuk setiap hal, Jati pasti butuh penjelasan mengapa Adis menyebutkan berbagai tempat untuk mengerjakan project di formulir. "Saya mengangkat cerita tentang hari-hari di mana masa lalu masih menjadi bayang-bayang, Kak. Tentang ... seseorang yang setiap harinya ingin menemukan tokoh di masa lalunya yang pergi gitu aja. Nah, intinya foto-foto saya nanti menggambarkan pencarian si tokoh, dengan menyusuri tempat-tempat yang pernah disinggahi sosok yang dicarinya ini." Dan semoga, pencarian si tokoh benar-benar selesai ketika semua foto berhasil diambil. Adis melanjutkan dalam hati. Diam, hening, tidak menyadari puluhan detik yang terbuang dan Jati masih belum menanggapi.

Day With Yesterday [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang