28th Day

530 127 94
                                    


Kemarahan paling menyakitkan yang kita terima adalah kemarahan yang datangnya dari diri sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kemarahan paling menyakitkan yang kita terima adalah kemarahan yang datangnya dari diri sendiri.

📷📷📷

Detak demi detak yang bergaung menggerakkan semesta membuahkan hal-hal yang semakin menyesaki kepala. Sebab satu per satu detak itu seolah berkonspirasi membawa banyak hal yang semakin tidak Adis mengerti.

Siapa Jati dan apa yang disembunyikan pria itu menjadi pertanyaan paling favorit sejak berpuluh menit belakangan. Foto, Jepang, ditambah sebuah rumah yang sangat amat dekat dengan SD Ksatria tidak bisa diterima sebagai kebetulan semata. Adis ingin meneriaki pria itu dengan berbagai tanya, tetapi yang dia punya hanya linglung. Jati mengenalnya, mengenal Bas, dan terlebih lagi Radit. Lalu, mengapa dia tidak sedikit pun mengungkapkan identitas di depan Adis? Ini terlalu di luar kepalanya.

Kini yang tersisa di antara mereka hanya hening. Setelah tadi, Jati membawanya pergi dari SD Ksatria dengan segala pertanyaan yang sama sekali tidak bersambut, menuju sebuah rumah joglo bergaya modern yang ada di dekat sana. Entah rumah milik siapa. Satu hal yang pasti, dari sana Jati mengambil motor ninja yang sedang mereka tumpangi.

"Saya antar pulang." Itulah satu kalimat terakhir yang terucap dari mulut Jati, yang membuat mereka kembali berkutat di jalanan.

Dari arah barat, sinar matahari menyorot tajam sebelum pamit pulang, membuat Adis mengembuskan napas dengan segala kesah yang hanya teredam di kepala.

Ada satu spekulasi yang susah payah diempaskan dari pikiran. Yaitu kemungkinan adanya hal buruk di balik sikap Jati yang enggan menampakkan diri sebagaimana dirinya: yang mengenal Radit, Bas, dan Adis.

Tidak berselang lama, saat Adis masih masa bodoh dengan angin yang menerbangkan sisa rambut yang tak terjamah helm, Ninja yang mereka tumpangi berhenti. Tentu saja bukan karena mereka sudah sampai di indekos Adis, sebab gadis itu bahkan tidak mengenali tempat ini.

Gadis itu mengikuti gerakan Jati yang turun dari motor, lalu mendekati loket dan mengulurkan beberapa lembar rupiah. Pandangan gadis itu memutar, dengan telinga yang awas menangkap debur ombak lirih di kejauhan.

"Ayo. Kamu pasti punya banyak pertanyaan tentang saya," ujar Jati yang mengaburkan lamunan Adis, membuat gadis itu kembali naik ke boncengan pria itu.

Motor kembali berpacu dan tanpa melewati banyak menit, gerakan benda itu kembali terhenti. Sebuah pemandangan damai tertangkap mata. Di depan Adis, sebuah jalanan kosong yang lurus sepanjang lima ratus meter terhampar, dengan beberapa manusia yang tengah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Berfoto atau sekadar duduk-duduk saja.

Tubuh Adis kini berpijak pasti di atas aspal, dengan helm yang sudah dilepaskan dan mata yang kini mengabsen langit jingga, serta bibir pantai yang mengintip tipis di salah satu sisi jalan. Di mana mereka dan untuk apa mereka di sini? Begitu pertanyaan baru yang menyinggahi pikiran Adis.

Day With Yesterday [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang