4th Day

1.2K 283 519
                                    


Seberkas kepribadian membuatku menempatkanmu di sisi barat, yang jauh dari jangkauan timur—tempatku menyemai kagum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seberkas kepribadian membuatku menempatkanmu di sisi barat, yang jauh dari jangkauan timur—tempatku menyemai kagum.

📷📷📷

"Biasanya habis magrib memang langsung dikunci, ya, Bu, ruangan-ruangannya?" Adis bertanya sambil mengekori wanita di depannya. Kini, Adis sedang menjalankan hukuman yang diberikan Jati, yaitu membantu petugas kebersihan fakultas sepanjang sore.

Wanita paruh baya itu menghentikan gerakan tangannya yang sedang memutar kunci. Berpikir sejenak, lalu membuka suara untuk menjawab pertanyaan Adis. "Biasanya sampai malem juga masih dibuka, Mbak. Tapi berhubung sekarang belum aktif kegiatan perkuliahan, jadi sehabis magrib langsung dikunci. Ini ruangan yang dibuka juga hanya beberapa, yang digunakan mahasiswa untuk kegiatan organisasi saja."

Adis mengangguk-anggukkan kepala. Di tangannya, sebuah sapu tergenggam. Kini, dia sedang berada di depan sebuah ruang kelas di lantai dua gedung kuliah manajemen, menemani Bu Ratih—petugas kebersihan itu—mengunci pintu.

Ternyata hukuman ini tidak buruk juga. Adis justru senang. Hitung-hitung dia bisa tour fakultas sebelum teman-temannya yang lain. Dia juga bisa mengenal Bu Ratih, salah satu petugas kebersihan yang diminta Jati untuk memberikan pekerjaan apa pun kepada Adis. Namun, tentu saja Bu Ratih tidak memberatkan Adis. Beliau justru cenderung melarang Adis mengerjakan hal berat. Adis-lah yang bersikeras hendak membantu. Jadi, apakah ini bisa disebut hukuman?

Adis dan Bu Ratih berjalan menuruni tangga. Pekerjaan mereka di lantai dua sudah selesai. Lebih tepatnya, semua pekerjaan mereka sore ini sudah selesai. Tugas mengunci gerbang dan parkiran fakultas dipegang satpam, sehingga Bu Ratih tidak perlu menunggu sampai semua mahasiswa meninggalkan kampus.

Tepat ketika Adis berbelok ke kanan—arah di mana gedung dekanat berada—dengan masih berbincang dengan Bu Ratih, matanya menangkap seorang pria yang sedang bersandar pada dinding, dengan kaki yang dimainkan, diayun-ayunkan. Sedang tatapannya menunduk memperhatikan gerakan kedua kakinya itu. Gerakan Adis otomatis terhenti. Karena lorong yang gelap, tubuh itu hanya terlihat sebagai siluet hitam. Tampak jelas karena backlight atau membelakangi sinar dari gedung lain.

Saat ini, bukan perasaan takut yang menghinggapi, tetapi kekaguman menyaksikan siluet yang terpulas indah di depannya. Garis wajah orang itu terlihat jelas, dengan dagu yang sedikit lancip dan anak rambut yang jatuh di dahi. Adis tidak berkedip, hingga kegelapan di sekitarnya sirna sebab lampu koridor yang tiba-ttiba menyala. Adis menoleh ke samping dan ternyata Bu Ratih tidak lagi di sana.

"Mbok ya dinyalain lampunya, Le. Kok berdiri sambil gelap-gelapan gitu." Bu Ratih berkata dengan aksen medhok yang kentara. Ternyata, Bu Ratih baru menyalakan sakelar yang tepat berada di dinging yang mengapit tangga. Kini, wanita itu sudah berada di samping Adis lagi.

Adis sibuk menatap dan menyimak perkataan Bu Ratih, hingga tidak sadar bahwa sekarang dia bisa tahu siapa pemilik siluet indah itu. Ketika sebuah suara rendah terdengar telinga, Adis baru menampilkan ekspresi terkejut sambil menelan ludah susah payah.

Day With Yesterday [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang