Unknown Stairway 36

412 116 25
                                    

Hatiku mendadak merasa melankolis. Kelas sehari-hari yang biasanya ramai sudah tidak ada. Deg-degan mulas dan sakit pinggang karena terlalu capek mengerjakan tugas tidak akan ada lagi. Mengobrol sambil mengeluh panjang-panjang saat mengejakan tugas di perpustakaan kelak akan berganti mengeluh panjang-panjang saat istirahat jam kerja di hotel.

Rasanya banyak sekali surat keterangan lulus yang harus ditandatangani dan dibubuhkan cap jari. Kami mengantre satu demi satu.

Setelah ini apa?

Setelah ini adalah perpisahan. Masing-masing dari kami akan berpisah - mungkin ada juga yang tetap satu tempat kerja. Tapi semuanya akan bertumbuh dan menjalani jalan nasibnya sendiri-sendiri. Akan ada yang sukses menjadi petinggi di hotel bintang lima, juga - tak bisa dimungkiri - akan ada yang berakhir sebagai dishwasher sepanjang hidup.

"Kita enggak pernah tahu masa depan...," gumamku, "kecuali dengan terus ngejalanin apa yang ada di depan mata."

Senyum lebar Rinrin waktu itu kembali menguncup. Sahabat baikku cemberut. Sikutnya terus-terusan menyodok pinggangku.

"Sakit tau!" gerutuku balas menyikut.

"Gembira sedikit kenapa, sih!?" protes Rinrin. "Kita lulus, nih!"

Ruwet karena cemas akan masa depan yang tadi menyelimuti kepalaku perlahan menipis dan menghilang. Aku bisa mendengar kembali teriakan gembira teman-teman di sekitar kami.

Aku memastikan lagi. Kertas berisi keterangan kubaca dengan hati-hati.

LULUS.

LULUS, KOK. LULUS.

LULUS SAMA KAYAK RINRIN YANG JUGA LULUS. RIO JUGA LULUS. TIARA JUGA LUL -

Haluku tentang keterangan lulus berhenti di nama Tiara. Aku dan teman-teman seangkatan yang lain lulus semua.

Aku nyengir. Alhamdulillah, lulus juga. Rasa gembira terbersit di dalam hatiku. Rasanya baru kemarin galau karena kecemasan akibat overthinking memilih sekolah.

SMK itu bisa seenaknya. SMK itu enggak sebagus sekolah umum kebanyakan. SMK tidak menyeramkan. Murid-murid SMK banyak yang kurang pintar. Sekolah di SMK condong untuk murid-murid yang tidak diterima di sekolah umum.

Air mata mengembang di pelupuk kedua mataku. Belajar di SMK tidak seperti itu semua. Terbayang saat masih polos di kelas X, menerima segala teori baru yang berjibun banyaknya. Tertatih-tatih praktik dan encok mengerjakan laporan.

Naik tingkat beban belajar bukannya semakin mudah tapi semakin berat dan sulit. Pengalaman magang itu.... Aku mengerjap-ngerjapkan mata supaya tangisku tak jatuh berderai. Terbayang kembali betapa takutnya aku tidak lulus dan harus mengulang on job training di hotel. Terbayang kembali ketakutan-ketakutanku akan masa depan bersama Rinrin. Nasihat personel band Eastwest bahwa dunia kerja akan jauh keras ketimbang sekadar masalah saat magang.

Pujian-pujian itu... semoga tidak membuatku terlena.

"Malah nangis...," senggol Rinrin di sebelahku.

Air mataku runtuh. Aku memeluk sahabatku erat-erat. "Hu-hu-hu.... Aku enggak mengira bakalan bisa lulus. Hu-hu-hu."

Rinrin memeriksa wajahku yang basah oleh air mata, lalu nyengir. Ia balas memelukku erat. "Iya. Kita enggak pernah mengira sekolah perhotelan sebegini sulitnya, ya."

Aku mengangguk-angguk. Kembali melintas ingatan pinggang hampir patah karena harus membenahi kembali sprei kasur sepuluh kamar dalam waktu singkat - dengan pengawasan mata galak Bu Helda saat magang.

Stairway to UnknownWhere stories live. Discover now