Unknown Stairway 28

577 139 11
                                    

Aku menyelesaikan tugas-tugas terakhir sebagai room attendant dengan sebaik-baiknya. Bu Helda tak lagi memanggilku saat jam makan siang untuk membenahi kembali kamar-kamarku yang kurang rapi. Semoga saja itu artinya hasil kerjaku semakin baik.

Florist masih berada pada department yang sama yakni house-keeping. Hanya saja, kali ini aku tak lagi bertugas membereskan kamar. Pekerjaanku yang baru adalah mengurus bunga. Kukira ini hanya tugas sederhana. Ternyata repotnya bukan main.

Hari pertama pindah ke bagian florist aku heran karena menemui Bu Helda sedang sibuk memeriksa catatannya. Mana Bu Silvia?

"Kamu ngapain ke sini, Ana?"

Ya ampun.

"Maaf, Bu. Sudah kadung terbiasa. Lupa harus ke ruangan floris. He-he." Tanpa menunggu jawaban Bu Helda aku langsung ngacir.

Lorong lower ground mulai tampak ramai dengan karyawan dan juga murid-murid magang. Aku agak kesulitan mencari ruang floris hingga melihat tumpukan bunga tak dipakai di depan pintu.

Bu Silvia sedang memeriksa catatan. Begitu aku mengucapkan selamat pagi beliau langsung bertanya, "Kamu bisa bekerja, Ana?"

"Bisa, Bu. Saya di sini untuk magang, belajar bekerja sebelum terjun ke dunia kerja sesungguhnya."

"Bekerja yang benar-benar bekerja, maksudku."

"Ya, Bu."

"Bagus...." Bu Silvia melirik ke ruangan di bagian dalam. Ternyata sudah ada Kak Arif, floris senior bawahan Bu Silvia yang sedang sibuk mengatur bunga. Bu Silvia merendahkan volume suaranya. "Selama ini aku sudah capek mengurus Tiara. Ia bisa minta membantu urusanku tapi di florist and parcel shop. Kedua temannya yang ditinggalkan di sini tak banyak membantu. Kerja tak cekatan, tak juga ingat bagaimana harus merangkai bunga. Hehh, ngrepotin!"

Bila Bu Helda tegas dan galak, sepertinya Bu Silvia adalah tipe banyak bicara dan mengeluh. Ia tak segan menceritakan hal buruk mengenai orang lain. Bebanku bertambah. Aku benar-benar tak boleh melakukan kesalahan bila tak ingin dijelek-jelekkan di depan hotelier dan teman-teman magang yang lain. Salah-salah bisa kedengaran para guru di sekolah. Keberadaan nilaiku dalam bahaya.

"Meski tak bertemu banyak orang, bekerja di bagian florist sangat berat. Saya harap kamu penuh tanggung jawab!"

"Baik, Bu."

Selepas sambutan singkat dari Bu Helda, aku segera bersiap.

"Bagian purchasing sudah memesan dari kemarin. Tapi barusan orang-orang receiving lapor kalau ada beberapa jenis bunga yang kurang," jelas Arif.

"Hah!" Bu Silvia menyalak kesal. "Selalu saja begitu! Sudah berkali-kali aku ingatkan Widya bagian purchasing untuk tak ceroboh! Selalu saja ada satu atau dua jenis bunga yang tertinggal. Berapa jumlah kurangnya?"

"Lima puluh tangkai!"

"Bisa ikut aku?" tanya Bu Silvia.

"Aku harus menyelesaikan -"

"Serahkan pada Ana. Beri penjelasan singkat. Kita pergi tak lama." Bu Silvia bicara padaku. "Saat kami kembali kamu sudah harus menyelesaikan tugas ini."

Aku tercengang. Ternyata Bu Silvia tak kalah tak manusiawi dalam memberi tugas bila dibanding Bu Helda.

Kak Arif menjelaskan cepat-cepat. Ada 40 single flower arrangement yang harus segera kutangani. Aku hanya tinggal mengisi vas bunga bening sederhana yang lucuk dengan air - tak usah terlalu penuh, kemudian memasukkan setangkai pink rose yang ujung tangkainya terlebih dulu harus kupotong miring.

Stairway to UnknownWhere stories live. Discover now