Unknown Stairway 4

1.2K 201 18
                                    

Baru saja aku mencopot helm, ada yang memarkir kendaraannya di sebelah. Aku melongo heran ketika melihat si empunya motor.

"Hah? Rio?" Panggilku tak percaya.

"Selamat pagi, Ana," balas Rio. Ia mencopot helm tanpa semangat. Wajahnya kecut sepanjang pagi. Kami berjalan bareng menuju lift. Aku sampai bingung kudu gimana; apakah sebaiknya menghibur Rio atau dibiarin saja?

"Aku sebal," jelasnya sewaktu kami dalam lift. "Kemarin aku ketahuan bawa mobil, lalu ditegur. Murid-murid magang enggak boleh bawa mobil."

"Oh... yaa...." Aku bingung harus menanggapi apa selain hanya 'oh... yaaa...' Motor yang dikendarai Rio tadi kulihat jenis paling mutakhir dan harganya pasti mahal. Mungkin seharga gaji ibuku setelah dikumpulin selama enam bulan.

"Padahal apa salahnya naik mobil? Toh sama-sama kendaraan. Yang penting, kan, kita sebagai anak magang datang tepat waktu dan kerjanya beres!" sungut Rio. "Seharusnya peraturan anak magang enggak boleh bawa mobil kudu dibenahi lagi!"

Ah, iya. Benar juga. Aku baru ingat hotel tempat kami magang dan sekolah memberlakukan aturan seperti itu. Saat dijelaskan, jujur aku tak begitu mendengarkan dan mengingatnya karena... peraturannya nggak berguna buatku. Ibuku --apalagi aku -- punya mobil aja enggak.

"Kebayang nggak?"

Aku menoleh ke arah Rio. Teman cowokku itu masih bermuka masam. Kami keluar lift menuju ruang loker.

"Kebayang apa?" tanyaku.

"Prakerin ini aku dapat tugas di public area--garden. Kebayang nggak? Aku yang panas-panasan dan keringatan mengurus daun kering masih kudu naik motor sepulang dari magang? Masih mending kalau aku ditugasin bantu Florist. Masih bisa ngerasain dinginnya AC."

Oh. Aku belum merasakan bertanggung jawab bekerja di bagian Public Area. Mendengarkan keluhan Rio sepertinya berat juga. Tapi, Rio juga pasti tidak tahu kalau bekerja di bagian Room Section dan menjadi Room Attendant juga tak semudah yang dibayangkan.

"Tunggu aja sampai aku lulus dari sekolah busuk ini. Aku akan bekerja di hotel dan me-menej perusahaan milik keluargaku sendiri. Aku nggak perlu bersusah payah. Sebagai manajer dan juga anak owner aku bisa leyeh-leyeh dan menunjuk bawahan untuk mengerjakan segala sesuatu--" Rio menengok ke arahku. "Kenapa kamu malah cekikihan?"

Aku tersadar. Cekikihanku berhenti. Barusan aku membayangkan bagaimana Rio bila ia harus bertugas sebagai Room maid yang harus ngebersihin toilet dengan "sesuatu" yang berenang-renang mengambang di permukaan --

Sebagai seorang pekerja hotel, kami diajarkan untuk tidak jijik terhadap barang dan "barang" peninggalan tamu hotel setelah mereka check-out. Kami harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Tak ada yang namanya manja lalu tak mau membersihkan bathroom dan membiarkannya dalam keadaan jorok padahal sebentar lagi ada tamu baru hendak check-in.

Dan, membayangkan Rio menghadapi itu semua dengan wataknya yang penggerutu membuatku geli.

Aku berhenti tertawa. "Enggak... cuma keingat bercandaan kecil antara ibuku dan aku saat sarapan tadi. Kamu mau tahu? Jadi, Bu Riyadi tetangga kami yang--"

"Lokerku di sebelah sana," potong Rio cepat sambil berlalu. "Daah, Ana. Sampai ketemu lagi nanti."

Aku mengembus napas lega. Kalau dilanjutkan lagi, aku nggak tahu harus mengarang cerita lucu apa.

Pukul 06.30 pagi. Aku yang bertugas di bagian HK (housekeeping) harus tiba 15 menit sebelum jadwal sif. Sepertinya aku berangkat terlalu pagi. Masih ada waktu 15 menit sebelum aku muncul untuk absen dan mulai bertugas.

Stairway to UnknownМесто, где живут истории. Откройте их для себя