Unknown Stairway 5

1.1K 184 10
                                    

Ketika pintu kamar superior dibuka, jeritan anak-anak terdengar memekakkan telinga.

"Ayaah...!"

"Aku mau jajan, Mamah! Aku mau jajan! Sekaraangg...!" Suara si bocah berambut keriwil itu begitu melengking.

"Michelle! Angel! Turun dari tempat tidur! Jangan melompat-lompat begitu!"

Seorang mamah muda berseru-seru menenangkan anak-anaknya.

"Bantu Mama menenangkan adik-adikmu, Jonathan!" pinta Mama.

Seorang bocah laki-laki kira-kira berusia 10 tahun segera memeluk salah satu adiknya. Lalu mengajak turun. Ia kemudian memeluk adiknya yang satu lagi untuk turun. Begitu adik satunya turun, adik yang pertama merambat naik tempat tidur dan kembali melompat-lompat.

Aku melihat cemong noda cokelat di sekeliling mulutnya. Semoga si bocah tak mengusap kotor di mulutnya menggunakan bantal atau jatuh terjerembab di atas kasur hingga cemong cokelatnya --

Kedua mataku langsung menemukan bercak-bercak noda cokelat -- banyak dan begitu cemong-cemong -- pada sarung bantal dan sprei.

Oh. Kepalalu rasanya ingin terkulai lemah. Tapi aku tak bisa menunjukkan lemas sekaligus rasa jengkel itu pada tamu.

"Permisi. Saya akan mengecek kerusakan AC di ruangan ini," kata si Teknisi.

Pekik melengking duo bocah masih terdengar. Jonathan sepertinya sudah menyerah mengurus adik-adiknya. Sekarang ia malah menghabiskan jajanan sembari duduk santai di sofa. Volume televisi dinaikkan -- si Mama cepat-cepat meraih remote dan menurunkan volumenya kembali.

Tidak ada yang mempersilakan kami masuk kamar. Semua sibuk sendiri-sendiri, sementara si Bapak yang tadi marah-marah di resepsionis berdiri sembari berkacak pinggang di depan pintu kamar.

Aku memutuskan untuk menunggu di dalam. Sementara si Teknisi mulai melongok untuk memeriksa AC. Sekilas tampangnya berubah kesal. Karena....

Sebelum aku ikut ke kamar si Tamu, mbak Resepsionis memberi kode supaya aku mendekat.

"Kamu ikut ke kamar tamu," perintahnya.

"Ya, Mbak."

"Sebelumnya aku jelasin kondisinya secara singkat. Tamu tadi memaksa check-in lebih awal. Alasannya anak-anaknya rewel setelah menempuh berjam-jam perjalanan. Butuh segera rebahan. Aku menolak, ia menggebrak-gebrak meja. Aku memberikan kamar dengan biaya tambahan --"

"Halah, paling dia bikin onar cuma biar dapat diskon. Seenggaknya dibebasin dari membayar biaya tambahan," sahut mas bagian Concierge -- yang kebetulan lewat -- dengan suara pelan.

"Ya. Apalagi...," timpal mbak Resepsionis.

Ada bermacam-macam tipe tamu hotel. Kami nggak bisa memilih tipe yang mana, hanya bisa melayani sebaik-baiknya dan berharap kelakuan mereka nggak kayak demit. Nyebelin.

"Kamu ikut ke kamar tamu. Tambah handuk atau nggak, kamu yang ambil keputusan," perintah mbak Resepsionis. "Dan, bilang pada SPV-mu, lain kali jangan merepotkan!"

Bukannya aku membela departemen tempatku prakerin, tapi bagian FO ini memang semena-mena. Minta tambahan handuk seenaknya. Padahal kami bagian HK melis dan menghitung betul jumlah handuk yang keluar. Masalahnya ini ada hubungannya dengan si tukang cuci di bagian laundry.

Repetan marah mbak Resepsionis masih terus terdengar. Aku buru-buru pergi menyusul mas Teknisi.

Tentu saja aku akan menjalankan perintah yang pertama; mengambil keputusan apakah akan diberi tambahan handuk atau tidak --tapi bu SPV sebelumnya sudah menekankan departemen kami tak akan mengeluarkan tambahan handuk. Dan, aku akan membangkang pada perintah kedua; biarlah repetan marah dari bagian FO disampaikan sendiri pada pimpinan HK.

Stairway to UnknownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang