Unknown Stairway 14

698 143 10
                                    

Aku hanya punya sisa waktu 45 menit sebelum masuk waktu istirahat dengan tanggungan dua kamar kosong yang mesti kubereskan. Kedua mataku membulat tak percaya. Lantai kamar penuh sampah. Trash can berguling-guling sebelum kemudian berhenti.

Oh, bagus, keluhku geram. Aku membungkuk hendak membereskan kotoran namun Tiara menahanku. “Nggak usah terburu-buru. Sekalian diberesin nanti aja.”

Sekalian apa maksudnya!?

“Sekalian sama yang kotor-kotor lainnya.” Tiara tersenyum manis. Kepala meneleng samar memberi tanda. Wika dan Salma mengangguk. Kejadian berikutnya berlangsung lebih parah.

Salma mendorongku ke samping saat masuk bathroom. “Minggir,” desisnya mengusir. Tak lupa tumit sepatunya menginjak bagian depan sepatuku. “Sepatumu buluk, tauk. Ganti, tuh! Dasar malu-maluin.”

Aku tak bisa berbuat lebih. Tiara bersidekap dengan wajah culas di pintu. Salma menuang sampo, sabun cair, dan cairan pembersih di lantai, ke dalam bathub, dan bahkan menciprat-cipratkannya ke dinding. Kaca toilet pun tak lepas dari sasaran kejahilannya.

Wika menimang vas bunga. Bila aku menarik Salma keluar, vas bunga itu siap dihantamkan dinding kamar. Bila perlu, Wika siap menginjak remote televisi hingga remuk – atau minimal tombol-tombolnya tidak berfungsi. Tiara juga akan sigap menarikku keluar bila aku memaksaa masuk bathroom.

Plis, Tiara!” teriakku parau. “Aku nggak pacaran sama Rio! Bilang Salma untuk berhenti!”

“Nggak pacaran tapi kok sering makan es krim bareng?” balas Tiara lembut. Sementara di dalam kamar mandi aku mendengar Salma mengocok cairan pembersih lantai dikocok lalu disemprotkan dinding. Crot-crot-crot!

“Aku sudah punya pac –“ perkataanku tertahan. Aku sudah nggak punya pacar lagi. Kan, sudah putus sama mas Rahmat. Aku harus cepat mengganti alasan. “Memangnya harus pacaran untuk bisa makan es krim bareng!?”

“Aku dan Rio nggak pacaran,” kata Tiara, “tapi kami nggak pernah makan es krim bareng.”

“Ya kamu ajak dia, dong,” balasku. Kepalaku mulai pening. Bathroom terlihat begitu kacau. Salma masih mencari cara untuk membuat ruangan itu semakin buruk.

Wajah Tiara berubah masam. “Aku selalu ditolak Rio. Padahal cuma kuajakin nonton film bareng atau cuma makan es krim bareng. Cowok itu nggak pernah mau.”

“Nah, terus apa salahku!?”

“Salahmu karena mau aja diajak nongkrong bareng Rio!” balas Tiara berdesis kesal. “Kamu seharusnya menolak ajakan itu. Dia, kan, bukan pacarmu.”

“Kami teman sekelas!”

“Bukan alasan yang cukup kuat untuk boleh pergi bareng,” balas Tiara cepat. “Kalian pasti pacaran.”

“Astaga, Tiara! Nggak sama sekali! Waktuku sudah habis untuk mikirin prakerin! Nggak ada waktu lagi untuk –stop, Salma!” teriakku geram. Aku sudah tak tahan lagi menyaksikan kamar mandiku diacak-acak semakin parah. Belum sampai aku masuk, pundakku ditahan Tiara. Tenaganya kuat sekali. Wika mengambil ancang-ancang untuk melempar vas bunga ke kaca rias –

“Jangan dilempar!” teriakku. Aku berbalik dan mencoba menahan perbuatan Wika. Baik Tiara dan Wika tertawa bersamaan. Aku tak peduli dengan ketawaan mereka asalkan tidak ada barang pecah di dala kamar.

Stairway to UnknownDonde viven las historias. Descúbrelo ahora