Unknown Stairway 6

1K 175 10
                                    

Seharian bekerja, belum sarapan, nggak sempat makan siang, ketemu tamu yang aneh-aneh, bu SPV yang nggak mau menolerir kesalahan sedikit pun... rasanya benar-benar membuatku ingin pingsan.

Aku mengisi ulang tenaga dengan cokelat pemberian Rahmat. Saat di ruang loker, sesaat sebelum pulang, aku melihat ujung bungkus Silverqueen di dalam tas. Baru kuingat pemberian mas Rahmat itu belum kuapa-apain. Dengan sedikit agak rakus aku memotek-motek cokelat dan segera menghabiskannya. Untuk sementara perutku terisi sesuatu.

Ponselku berbunyi. Ada pesan pendek dari Bude, hari ini minimarket tutup karena mereka harus pergi.

Semoga aja perginya mengobati Dimas ke dukun biar agak sedikit waras. Tentu saja Dimas nggak mungkin dibawa ke dukun, tapi membayangkan anak bungsu Bude dipaksa makan kembang sambil disembur-sembur air membuatku tak dapat menahan tawa.

Baik, Bude. Hati-hati di jalan. Aku membalas pesan tersebut dengan sopan.

Hari ini aku libur kerja paruh waktu. Besok juga jadwalku libur--libur yang benar-benar libur, bukan karena minimarket tutup dadakan. Lumayan. Aku bisa istirahat di rumah dengan layak.

"Masih pucat aja," sapa seseorang.

Aku berharap orang itu Rinrin, tapi dari suaranya aja cowok.

"Masih lapar...," jawabku sambil meringis.

"Aku traktir es krim, yuk," ajak Rio. "Aku juga perlu ngademin pikiran. Plus badanku hari ini berasa remuk banget."

Saat melihatku masih memikirkan tawaran tersebut, Rio langsung menyambung. "Di tempat jualan es krim juga ada nasi gorengnya, kok. Lumayan enak. Aku traktir kamu makan juga. Tenang aja kalau pergi sama aku."

Asyik!

Sepertinya enak, ya, jadi Rio. Setiap mau jajan di luar, utamanya di resto atau tempat makan yang mahal gitu, enggak pernah khawatir untuk urusan uang. Nggak kayak kalau mau pergi sama mas Rahmat. Dapat duit dari kerja lembur di bengkel aja, paling banter cuma traktirin Beng-beng.

Kami pergi dengan naik motor sendiri-sendiri. Begitu tiba, Rio memesankan semuanya untuk aku. "Aku tahu mana yang enak," bisiknya sembari mengembalikan buku menu.

Pilihan Rio benar-benar tepat. Aku enggak tahu nama jenis es krimnya, tapi rasanya memang benar-benar enak. Sebelumnya aku telah menghabiskan sepiring nasi goreng telur dan sebotol air mineral.

"Trims, Rio," kataku sungguh-sungguh. "Aku beneran kenyang banget! Dan, es krim ini... enak! Yummm...!"

"Kembali kasih, Ana. Aku kasihan ngeliat kamu pucat kayak tadi. Enggak sempat sarapan, eh?"

"Ah, eh, iya. Begitulah."

Rio memasang ekspresi prihatin. "Lain kali harus sarapan, ya. Kalau kamu sakit, nanti siapa yang khawatir?"

"Mmm... enggak ada," jawabku.

"Mmm... ya juga, sih," tanggap Rio. "Yang ada malah makin diomel-omelin manajer!"

Kami ketawa bareng. Menertawakan penderitaan kami sebagai anak magang.

"Sekolah memang busuk," omel Rio dengan pelan.

Aku baru saja menyuap sendok es krim terakhir. Perutku berasa penuh dan kenyang banget. Kenyang sampai bikin bego. "Eh, gimana?"

"Aku capek banget, Ana. Tugas sekolah ini menyiksa banget." Rio menopang dagu. "Aku nggak pernah menyangka belajar di SMK bakal seberat ini."

"Memangnya kalau di sekolah lain nggak berat?" tanyaku.

"Nggak tahu. Aku, kan, cuma sekolah di satu tempat."

Stairway to UnknownWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu