Unknown Stairway 33

567 125 13
                                    

Hilih, gayanya! Kayak yang paling cantik sedunia aja! Sekolah itu untuk belajar. Nyari ilmu. Ngumpulin bekal buat kerja besok. Bukan untuk lomba siapa yang paling cantik! Siapa yang paling centil! Dih! Lagian kalau sudah cantik dan centil buat apa!? Memangnya besok tamu di hotel bakal puas sama kecantikanmu doang!? Enggak! Tamu di hotel butuh pelayanan yang baik!”

Aku dan Rio saling berpandang-pandangan. Kantin di jam istirahat lumayan penuh oleh murid-murid yang kelaparan. Tiga gelas es jeruk di meja kami baru separuh habis. Seharusnya kepala Rinrin bisa lebih dingin setelah menghabiskan minumannya, tapi nyatanya enggak. Repetannya malah semakin panjang.

“Dia marah sama siapa?” tanya Rio berbisik.

“Tiara,” jawabku balas berbisik.

“Kenapa?”

“Ya, itu. Centil.”

“Ooh.” Rio terbahak. Ia sebenarnya sudah tahu apa yang membikin Rinrin uring-uringan sesiang ini.

“Kalian lihat nggak tadi? Di toilet, bisa-bisa ia ngebenerin eye-lash yang lentik dan keliatan banget palsunya di depan cermin! Apa-apaan –“

“Memangnya kalau mau benerin eye-lash kudunya di mana?” tanya Rio.

“Ya di – ah, bukan itu maksudku! Rio! Jangan ganggu orang lagi marah-marah! Maksudku – cuma demi menerima selempang putri-putrian konyol, buat apa sih Tiara –“

“Buat aapaa, siih, benang biru kau sulam menjadi kelambu….,” sahutku menimpali omelan Rinrin dengan lagu dangdut dari Meggy Z.

Rinrin melotot kesal. “Kalian memang nggak pengertian!”

“Nggak usah kesel gitu,” kataku. “Ngapain sih sebel sama Tiara? Biarin aja-laah ia menang kontes miss-miss-an. Memangnya kamu pengin juga? Nggak, kan? Nggak penting itu gelar putri Housekeeping atau Front Office atau apalah. Lagian, besok kalau kita kerja nggak bakal ditanya: dulu waktu sekolah pernah menang kontes putri-putrian? Enggaak. Enggak bakal. Besok kalau kita kerja, yang dilihat itu hasil –“

“Ehh, baiknya kita latihan dadah-dadahannya nggak, siiih?”

Perkataanku langsung terhenti. Aku dan Ana menoleh ke arah sumber suara. Sementara Rio tenang aja menyeruput minumannya.

Tiara masuk kantin dengan menyibak rambut panjangnya yang bagian bawahnya di-curly kyoot. Wika dan Salma berjalan di sebelah kanan dan kiri.

“Aku perlu latihan dadah-dadah nggak, siih?” ulang Tiara lagi. Ia mengangkat tangan dengan telapak tangan terbuka lalu digoyang-digoyang seperti kipas. “Aneh nggak, siih?”

“Kayaknya nggak ada jajanan yang menarik,” gumam Wika.

“Sebaiknya kita nggak jajan di kantin dulu,” kata Salma. “Tiara harus menjaga penampilan supaya nggak kelihatan gembrot saat menerima selempang nanti.”

Aku dan Rinrin saling pandang lalu melengos kesal tanpa suara. Rio menunduk-nunduk menahan tawa –juga untuk menghindari Tiara.

“Ya sudah, yuk, kita pergi lagi. Selain nggak mau gembrot, jajanannya memang nggak ada yang menarik. Mending kita latihan dadah-dadah untuk persiapan nanti. Aku yang dadah-dadah, kalian yang ngecek dan ngasih masukan sudah bener atau belum gerakanku. Okeei...?” Tiara segera berbalik dan diikuti dua dayangnya.

“Mungkin mulai sekarang aku sama Wika latihan mengucap salam, deh. Besok pagi saat ketemu Tiara, kita bisa kompakan berseru, ‘Selamat pagi, Miss Tiara’,” usul Salma dengan menyikut lengan Wika.

“Ah iya bener banget!” balas Wika penuh semangat.

“Sudah, sudah. Kalian malah ribut sendiri. Pemenangnya aja belum diumumin, kok. Kita jangan terlalu heboh dulu,” ingat Tiara dengan bijak. Trio Centil segera melenggang keluar kantin.

Stairway to UnknownWhere stories live. Discover now