Unknown Stairway 27

567 138 27
                                    

Hari ini aku libur. Inginnnya bermalas-malasan sekadar untuk menebus letih telah bekerja begitu keras di hari-hari sebelumnya. Tapi, mataku malah terbuka lebar. Kepalaku pening memikirkan hukuman yang harus kujalani. Dua minggu lembur tambahan di luar waktu magang – ah, sebaiknya aku bangun sekarang.

Seusai membikin sereal panas, aku menggeret kursi. Ibuku sudah berangkat kerja sejak pagi tadi. Jadi aku bisa mengerjakan tugas dengan tenang.

Lembur tambahan selama dua minggu benar-benar siksaan. Supaya laporan prakerinku tak keteteran aku harus mencicil pekerjaan itu dari sekarang. Beberapa hari yang lalu aku dan Rinrin meminjam beberapa laporan prakerin yang akan kami gunakan sebagai contoh. Ibu petugas perpustakaan memandang kami dengan tatapan heran.

“Kalian rajin sekali?”

Aku dan Rinrin tak membalas keheranan tersebut. Kami sudah terlalu penat menjalani hari-hari sebagai murid SMK untuk mau repot-repot menjelaskan mengapa kami terlihat begitu rajin.

Masih terbayang jelas di ingatanku. Seusai mendapatkan kepastian hukuman, kami menjalani magang dengan penuh beban. Hari pertama ditugaskan sebagai tukang cuci piring, Rinrin tak lagi bisa mengendalikan emosinya.

Jam istirahat makan siang Rinrin menghampiriku dengan wajah bersimbah air mata. Baki makanannya kosong. Ia tak mengambil apa-apa untuk mengisi perut.

“A... ak… aku….”

Aku tahu; ini saatnya wafer cokelat alias curhat. Makan siangku kutinggalkan begitu saja. Seharusnya tak baik; membuang makanan adalah tindakan mubasir dan perutku bakal keroncongan sepanjang siang sampai sore. Tapi, sahabatku lebih penting.

Aku cepat-cepat mengambil cokelat wafer dari ruang loker. Setelah itu kami menyelinap ke taman dekat pool yang sepi – siapa juga yang mau berenang di siang hari yang terik begini. Pot besar melindungi kami dari risiko ketahuan.

Rinrin mengusap air matanya. “Aku capek, Ana…,” rintihnya. “Prakerin kok gini amat, yaa…? Kayaknya cuma kita yang sering kena masalah.”

“Ah, yang lain juga banyak masalah. Cuman, kita nggak tahu aja…,” hiburku – meski aku sendiri juga tak yakin dengan penghiburan itu. Iya ya, jangan-jangan cuma aku dan Rinrin yang sering kena masalah saat prakerin tahun ini.

“Aku tuh senang banget bisa sekolah SMK. Sekolah banyak praktiknya – aku paling nggak suka menghafal.” Air mata Rinrin mengalir lagi. “Kirain prakerin cuma gitu-gitu doang. Aku tuh senang memasak. Senang belajar resep baru….”

Hidung Rinrin bumpat sehingga ia kesulitan bicara. Aku menyodorkan tisu. Ia menyusut ingus kuat-kuat. Tangisnya dikendalikan agar tak kerepotan curhat.

“Tapi pada akhirnya aku berakhir sebagai tukang cuci piring. Dishwasher – bayangin, Ana! Saat teman-temanmu yang lain repot dibentak-bentak chef karena harus sigap menyiapkan makanan, aku turun derajat mainan air dan sabun.”

Tangis Rinrin pecah lagi.

“Ini gara-garanya aku, ya?” gumamku pelan. “Cuma gara-gara dekat sama Rio, Tiara terus-terusan menganggu. Nggak cuma menganggu aku tapi juga kamu.”

“Bukan gara-gara kamu. Tapi Tiara memang nggak bermutu. Huaa…!” Rinrin mewek terus. “Aku sudah bosan dengan keluargaku. Terlalu banyak kakak, terlalu banyak adik, kurang perhatian. Aku sudah berkorban nggak lagi pacar-pacaran, mau tekun sekolah, fokus prakerin, lulus, dapat kerja, banyak duit, hidup berkecukupan, tapi hidupku malah semakin nggak jelas. Tukang – cuci – piring….”

Aku terdiam. Takut menenangkan Rinrin. Bagaimana pun juga, hukumanku bisa dibilang mendingan. Aku masih bertugas di bagian housekeeping seperti biasa. Minggu depan baru pindah ke bagian florist.

Stairway to UnknownWhere stories live. Discover now