Unknown Stairway 2

1.8K 257 20
                                    

Saat prakerin aku berharap bisa mendapat pengalaman bekerja di Front Office Departement. Salah satu bagian yang 'bertemu' langsung dengan tamu hotel. Betapa aku wajib berdandan cantik dan segar. Menyunggingkan senyum lebar nan tulus. Duh, aku pasti cantik banget. Para tamu yang datang pasti akan mengagumiku.

Memangnya aku sudah bisa tersenyum sesuai standar? Bisa, doong. Selama setahun terakhir kemarin aku telah giat berlatih hingga berhasil menampilkan senyum terbaik. Senyum yang sudah pantas disunggingkan seumpama aku mendapat tugas di bagian resepsionis.

"Lumayan," kata Rinrin. "Lumayan sudah bisa disebut senyum daripada cengar-cengir."

Itu bukan pujian. Aku menggetok kepala Rinrin menggunakan ujung tongkat pel.

"Kalau cuma pringas-pringis saat mengurus check in dan check out aja mungkin kamu bisa," kata Rinrin lagi. "Tapi, untuk urusan handling complaint, memangnya kamu bisa bersikap profesional? Tanpa pakai mencak-mencak dan menjambak-jambak rambut karena frustrasi."

Kenapa perkataan dan pertanyaan Rinrin hampir selalu benar dan menohok?

"Mungkin sekarang belum lihai. Tapi, untuk menjadi seorang hotelier yang baik, aku harus banyak belajar, kan?"

Jawaban berkilah yang omong kosong. Aku cengar-cengir melihat Rinrin hanya mendengus kecil. Untuk seorang remaja yang mudah mengkhawatirkan banyak hal yang belum tentu terjadi, aku tak yakin bisa bekerja dengan baik.

Mereka yang terlihat cantik dan ganteng di meja resepsionis kerjanya sesungguhnya tak semudah yang terlihat dan yang dibayangkan orang-orang. Bila mendapat tamu yang baik dan sabar itu berkah. Tapi, tak semua tamu begitu.

Aku pernah melihat seorang resepsionis sedang dimarah-marahi hanya karena koran pagi terlambat diantar ke kamar. Belum beres mengurusi repetan komplain, datang banyak tamu hendak check in -- mereka yang barusan datang tentu ingin dilayani dengan cepat dan tahu beres. Baru juga punya niat untuk menyapa, telepon berdering-dering --

How may I assist you?

Pertanyaan sederhana yang harus diucapkan dengan ramah dan semanak. Tapi, dalam keadaan sekacau-balau itu, bisakah tetap diutarakan dengan senyum lebar tersungging di bibir? Belum lagi kalau handie-talkie di meja berdebip-debip minta diperhatikan. "Rombongan dari kementrian akan tiba sepuluh menit lagi. Apakah semua lokasi sudah clear?"

Membayangkan itu semua membuatku bergidik. Bila ingin kerja santai, baiknya besok aku mencari kerja di hotel kelas melati saja. Tapi, aku punya cita-cita berkarier di hotel bintang lima --yang tentu saja dengan risiko kerja 'semengerikan' itu. Atau mungkin lebih.

Setiap karyawan hotel sepertinya harus punya kemampuan multi-tasking level dewa.

"Melulu pengin di front office," gerutu Rinrin. "Sebenarnya kamu ingin berlatih kerja secara profesional atau sekadar mengejar penampilan mentereng?"

Aku menoleh. Lalu, menatap langit-langit.

Di hotel tempat kami praktik kerja sekarang ini, bagian telepon tidak tergabung dalam IT Departement, tapi masuk Front Office Departement. Bagian telepon ruangannya terpencil. Harus melewati banyak lorong dan begitu terisolasi. Macam ruangan telekomunikasi zaman perang --kayak yang di film-film itu, lhoh. Pekerjaannya pun tak ringan. Sepuluh panggilan berdering dalam waktu yang bersamaan. Dan, itu terus terjadi selama 24 jam.

Seumpama ditempatkan di bagian telepon, apakah aku akan tetap menginginkan praktik kerja di departemen yang sama?

"Kamu benar. Kukira aku cuma pengin gaya-gayaan...," jawabku lesu.

Stairway to UnknownWhere stories live. Discover now