Unknown Stairway 3

1.2K 212 28
                                    

"Ganjen...."

Aku baru saja memarkir kendaraan ketika mendapat sapaan ramah itu.

"Centil...."

Sapaan ramah berikutnya. Aku mencopot helm yang menggantungkannya di setang motor. Rambutku terlihat lepek sekali. Ah, nggak apa-apa. Sore sampai malam ini aku cuma akan bertugas di belakang meja kasir di sebuah minimarket milik Bude, bukan di hotel. Jadi, nggak begitu perlu menjaga penampilan.

"Banyak gaya...."

"Biarin," kataku menahan sebal. Rasanya ingin marah tapi akan percuma aja.

"Sekolah cuma diajarin jadi babu aja banyak gaya. Pakai seragam mentereng. Apaan tuh? Paling juga nyikat WC."

Dan, yang terlalu banyak komentar ini adalah Dimas. Anak bungsu Bude. Sudah lulus kuliah dari dua tahun lalu, tapi sampai sekarang masih menganggur. Saking tidak punyanya uang, Dimas pernah nekat menarik parkir kendaraan setiap pelanggan yang berbelanja di minimarket milik ibunya. Bude yang tahu langsung marah-marah dan meminta maaf pada para pelanggannya.

"Cari kerja makanya!" hardik Bude.

"Nggak ada yang mau nerima," jawab Dimas malas.

"Kamunya yang enggak aktif mencari!"

"Perusahaan masang standar kerjanya ketinggian. Mana bisa untuk seorang fresh graduate kayak aku --dan kayak fresh graduate-fresh graduate yang lain bisa lolos... kecuali kasih duit sogokan atau punya 'orang dalam'."

"Halah! Kebanyakan alasan!" Bude tak berminat lagi adu mulut dengan anak lelaki bungsunya.

Dan, begitulah jadinya. Karena kurang kerjaan, Dimas kerap menganggu setiap kali aku tiba di tempat kerja.

Perlakuan tidak mengenakkan seperti ini sudah sering aku terima. Selama ini aku diam saja. Paling banter juga membalas perkataannya. Segala kalimat enggak enak dilontarkannya setiap kali aku datang untuk bekerja.

"Hari ini sudah nyikat berapa WC?" tanya Dimas lagi, yang lalu cekikihan sendiri.

"Hari ini anak-anak Housekeeping ditugasin ke bagian laundry," jawabku.

"Biasa ngucek baju pakai tangan aja gaya-gayaan pakai istilah laundry."

"Iya, kalau di rumah pakai tangan. Tapi kalau di hotel pakai mesin. Gombal eh gembel pengangguran kayak kamu kalau diucek pakai mesin hotel bisa kinclong, lho."

"Heh! Berani kamu--"

Aku buru-buru berlari meninggalkan Dimas. Sesekali ia memang harus diskak atau dibalas perkataan tajamnya. Kalau nggak gitu bisa kebablasan.

"Dimas masih gangguin kamu?" tanya Bude yang baru saja menata kemasan minyak goreng.

"Ya, Bude. Katanya sekolahku itu sekolah pencetak babu."

Perkataanku langsung disahut teriakan dari arah luar. "Heeh, Ana tukang ngaduu...!"

"Siapa yang ngadu!? Nggak ada yang ngadu!" Bude malah menyahut seruan anak bungsunya. "Kamu kalau nggak segera nyari kerja, Ibu usir dari rumah!"

"Ahh, mana mungkin Ibu tega.... Nanti Dimas tinggal pergi baru beberapa jam, Ibu pasti kangen nyariin," rayu Dimas dengan melembutkan suara. Mengambil hati.

"Malu sama Ana...," damprat Bude lagi. Kali ini ia sampai berdiri keluar mencari sosok si manja. "Ia sampai sekolah di SMK biar bisa dapat kerja setelah lulus. Tapi, juga masih giat kerja tambahan di sini. Sementara kamu? Sarjana kok lama menganggur. Malu...."

"Memangnya ada jaminan si Ana bakal langsung dapat kerja setelah lulus? Tuh, tetangga kita si Rudi, Yani, Ami yang dulu sekolah kejuruan juga sekarang cuma jadi pelayan toko. Gajinya nggak seberapa."

Stairway to UnknownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang