Scene 27 Ruined It

1K 134 8
                                    

Kalut
Tak tahu
Ke mana hatiku bertaut

-Zoya

Tanganku menopang dagu, dengan mata memandangi lampu jalan. Sebentar kemudian posisi dudukku di mobil ini berubah. Helaan napasku terasa berat. Siapa pun yang melihat--termasuk Wiona--pasti bisa menebak; aku sedang gelisah.

Kata-kata Lucas tadi masih menggangguku.

Setengah jam lalu, dia menahanku yang hendak keluar ruangan. Tapi aku menarik tangan.

"Gue gak tahu ini salah atau nggak. Gue ngerasa perlu bilang kalau ..., gue tertarik sama lo. Lo juga punya berlapis kepribadian. Gue seneng bisa kenal lo lebih dalam beberapa minggu ini. Wish I have more time with you, but," Dia bicara sambil menggerakkan tangannya. Ke dagu, ke rambut, dan menunjukku dengan seluruh jarinya--"I just let you know."

Kok dia bisa nggak tahu, udah pasti salah.

"Haloo ..." aku melambaikan tangan di depan wajahnya berusaha memanggil kesadarannya. "I have a boyfriend," tekanku. Semoga ini tidak terdengar aneh.

Dia hanya membuat bibirnya melengkung ke bawah, lalu berganti senyum samar. Ekspresi macam apa itu. Aku hanya tersenyum kikuk. Okelah, dia kayaknya cuma belum bisa membedakan mana realita dan bukan. Dan itu bukan masalah besar. Ya, kan?

"Please be happy always," katanya terakhir.

Tapi kenapa ini jadi membuatku kepikiran?

Tanpa bisa kukontrol, sepanjang jalan aku mengingat seluruh kejadian dan momen bersamanya beberapa waktu terakhir. Nggak mungkin aku merasa kehilangan, kan?

Sampai di apartemen, Wio membereskan barangnya untuk kembali ke kostan. Selepas dia pergi bel pintu depan berbunyi. Aku berjalan ke depan.

Elang berdiri di sana.

"Paket!"

"Lo jadi kurir mulu. Masa salah alamat sampai berkali-kali?" tanyaku sambil menerima barang dari tangannya.

Seperti biasa dia cuma mengangkat bahu. "Mana gue tahu? Apa perlu gue bukain tiap ada yang anter?"

Aku mencibir dan segera menutup pintu. Tapi dia menekan bel lagi.

"Napa lagi!"

"Galak amat. Mau jadi temen gue gak?" ujarnya sambil cengar-cengir.

Aku memutar mata. "Kita udah tetanggaan berapa lama, ya?"

"Baru tetanggaan belum temenan. Come on!" Cowok berhoodie itu memohon.

"Yaudah iya." Aku menutup pintu dengan cepat. Baru beberapa langkah meninggalkan pintu. Bel berbunyi lagi. Aku mulai gerah. "Apa lagi, Elang!"

Ternyata yang kutemukan bukan Elang. Dera berdiri dengan raut bingung. Dia mengangkat alisnya. Aku melongok, Elang memperhatikan kami lalu membentuk tanda peace dengan jarinya dan berbalik sambil cekikikan.

"Oh, kamu-"

"Dia tadi ke sini? Ngapain?" Dera jadi menengok ke unit sebelah. Aku menunjukkan paket di tangan, lalu dia beranjak masuk mengikutiku. Sebenarnya aku nggak menduga Dera benar-benar mampir malam ini padahal baru pulang dari Brussel. Dia memberikan cokelat Helsinki padaku lalu langsung merebahkan tubuhnya di atas sofabed seperti biasa sambil memainkan ponsel.

"Kirain nggak jadi ke sini. Kenapa nggak langsung balik istirahat?" tanyaku sambil memanaskan air di kettle listrik untuk menyeduh teh.

"Mau numpang tidur di sini." Dera mengusap rambutnya. "Nggak boleh ya, aku mampir?"

Thespian ; Hendery ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang